13 Juni 2012
Prinsip Clear and Clear dalam Penyediaan tanah bagi kepentingan transmigrasi
Penemuan riset ini sebenarnya tidak mengagetkan, karena halangan terbesarnya merupakan masalah laten dalam birokrasi kita: koordinasi lemah dan tidak simetrisnya informasi serta konflik kepentingan. Koordinasi lemah tidak hanya di internal Departemen Kemenakertrans sendiri, tetapi juga antar lembaga pemerintah, terutama dengan pemerintah daerah (merasa dilewati, dst). Informasi tidak simetris ini mungkin berhubungan dengan kapasitas dan kapabilitas aparat birokrasi. Lucunya, banyak aparat di daerah yang belum tahu prinsip clean and clear (2C) sebagaimana diatur dalam Permen no. 15 Tahun 2007. Konflik kepentingan? ada tarik menarik kepentingan dalam mendapatkan suara bagi pilkada atau pemekaran daerah. Apalagi yang dimaksud transmigrasi sekarang tidak lagi memindahkan orang dari luar daerah (biasanya Jawa/Bali), tapi juga ada transmigran lokal, yakni penduduk lokal yang ikut dalam program transmigrasi.
Dalam suasana seperti itu memang sulit menerapkan prinsip clean and clear. Perbedaan data nyata hadir karena memang koordinasi lemah/info tidak simetris. Menurut satu data, ada sebagian wilayah pemukiman transmigrasi yang masuk dalam kawasan hutan, tapi data dari lembaga pemerintah lain menyebutkan sebaliknya.
Tapi, memang, hukum di Indonesia memang unik sekaligus amburadul. Dalam suasana ketidakpastian, misalnya, sebenarnya tidak boleh ada orang dalam kawasan hutan, tapi kenyataannya ada, menimbulkan "terobosan-terobosan' khas lokal yang jika dilihat dari sisi kepastian hukum bisa bikin pening kepala. Bantuan pembangunan tetap masuk, sekolah didirikan, jalan dibentangkan, walaupun itu kawasan hutan lindung sekalipun. Di sisi lain, ada ketegangan dengan yang ingin "menegakan hukum" yang terus menerus mengganggu "realitas". Apalagi ketika kepentingan politik masuk. Makin amburadul, chaotic.
Dalam suasana seperti itu, konflik, kemenangan/kekalahan, tidak bisa didefinisikan atau dimampatkan ke dalam suatu ruang-waktu pasti. Ia selalu fluid, cair, menunjukan situasi terkini dari setiap aktor dan lingkungan yang ada.
29 September 2011
Biomassa: energi terbarukan dan kekawatiran penguasaan lahan
24 Mei 2011
Newtress-WWF: Karbon offset dan pertanyaan soal greenwashing?
Kegiatan penanaman pohon di kawasan Taman Nasional Sungai Sebangau bahkan sudah direncanakan sebagai salah satu proyek percontohan bagi kegiatan REDD. Hanya saja, menurut dokumen WWF sendiri, tidak disebutkan apakah program Newtrees ini masuk di dalam proyek percontohan REDD di Sebangau sebagaimana disebutkan dalam situs REDD Indonesia. Atau bisa jadi di dalam kawasan yang sama, WWF melakukan dua atau mungkin lebih proyek yang kemudian dimasukkan ke dalam proyek percontohan REDD.
Dengan demikian, program newtress ini memang seperti carbon offset karena berkeinginan mewadahi perusahaan yang ingin mengimbangi emisi karbon yang dikeluarkannya akibat roda bisnisnya dengan menanam sejumlah tertentu pohon di kawasan taman nasional atau hutan lindung. Apa yang dilakukan oleh program ini di Taman Nasional WWF menjadi indikasi kuat.
Pertanyaannya pertama adalah apakah sepadan? Sayangnya saya belum tahu berapa emisi karbon yang dikeluarkan oleh PT Garuda atau PT Nokia pertahunnya sehingga harus dioffset dengan berapa ratus ribu buah pohon yang harus ditanam. Di dalam website WWF sendiri tidak ada penjelasan soal hitung-hitungan seperti itu, sehingga misalnya apakah 100ribu pohon di kawasan seluas 250 ha dapat mengimbangi emisi yang dikeluarkan oleh PT Garuda dalam kurun waktu tertentu (yang juga tidak jelas)? Atau apakah 10ribu ponsel bekas dan aksesori bekas memang pas untuk "dihargai" dengan menanam pohon di area seluas 10 ha di hulu Sungai Ciliwung? Tidak jelas. Tentu akan beda sekali keadaanya jika WWF kemudian membuka ke publik hitung-hitungannya sehingga menjadi jelas perbandingan antara emisi karbon "yang diimbangi" dengan jumlah pohon yang ditanam.
Bagaimana dengan soal greenwashing? Sama sekali berbeda dengan kontroversi di Ulu Masen, Aceh, dimana sebuah perusahaan pertambangan (PT East Asia Mineral) membeli saham Carbon Conservation yang terlibat dalam proyek karbon di Ulu Masen, yang lalu pembelian saham ini diindikasikan sebagai praktek greenwashing oleh perusahaan tambang asal Kanada tersebut. Program Newtress ini berjalan diam-diam dan sepi dari kontroversi.
Mungkinkah karena perusahaan yang terlibat di dalam program ini tidak memiliki conflict of Interest, sebagaimana perusahaan tambang Kanada tersebut yang berkepentingan untuk terlibat di dalam proyek karena ada beberapa proyek tambang (emas dan tembaga) di Aceh dan berdekatan dengan proyek Ulu Masen? Mungkin ini karena kita, terutama saya, tidak menemukan apa kepentingan (langsung) perusahaan-perusahaan yang menanam pohon di Sebangau tersebut, selain menunjukkan kepedulian tinggi untuk berpartisipasi dalam menjaga lingkungan. Tapi apakah PT Garuda tidak memiliki kepentingan agar perusahaannya dianggap hijau dengan ikut menanam 100 ribu pohon untuk kawasan seluas 250 hektare di TN Sebangau? Saya kok ragu. Ya, memang bisa jadi tidak ada kepentingan langsung PT Garuda dengan penanaman pohon (tidak ada kontribusi langsung keberhasilan penanaman pohon itu pada kelangsungan bisnis PT Garuda), tapi bagaimana kepentingan tidak langsungnya; ini strategi marketing yang bertujuan menghijaukan kesan akan PT Garuda?.
Di sisi lain, PT Nokia berterus terang bahwa sumbangan mereka terhadap kegiatan Newtrees ini diharapkan dapat menaikkan citra mereka sebagai perusahaan hijau ("Nokia wants to show our customers that Nokia as a green company has commitment to saving the environment and supporting Indonesia government program One Man One Tree"). Jika dilihat dan dibandingkan dengan press release PT East Asia Mineral Corp, yang juga secara berterus terang mengakui bahwa pembelian ini dilakukan agar bisa dianggap "green", sehingga produknya dapat dikategorikan sebagai produk "green mining" sehingga laku dan dihargai tinggi, kenapa tidak ada yang menganggap PT Nokia juga melakukan "greenwashing"? Apakah karena yang PT East Asia Mineral lakukan itu membeli sementara PT Nokia itu memberi? Atau karena memang inheren kegiatan tambang itu tidak mungkin menjadi "hijau", sehingga apapun yang dilakukan sebaliknya akan dicurigai sebagai greenwashing, sementara perusahaan komunikasi seperti PT Nokia tidak memiliki "cacat bawaan" sehingga lebih mudah menjadi (dianggap) "hijau"?
Sama seperti menilai CSR sebuah perusahaan, apakah sebuah perusahaan melakukan greenwashing atau tidak bisa dilihat dari perilaku perusahaan secara keseluruhan. Apakah "nilai-nilai hijau" yang coba ditonjolkan ke luar itu juga diterapkan di dalam kegiatan sehari-hari bisnisnya, yang bisa dilihat antara lain dalam soal penggunaan energi, pemilihan bahan mentah, proses produksinya, bahkan sampai perlakuannya kepada karyawannya dan seterusnya. Jika nilai-nilai itu tidak diterapkan dalam kegiatan bisnis sehari-hari dan perusahaan tersebut menyumbang untuk kegiatan kampanye hijau, maka menurut saya, sudah masuk dalam kategori greenwashing, karena perusahaan tersebut mencoba mengelabui publik atau konsumennya dengan seolah-oleh tampak hijau, padahal sejatinya tidak. Karenanya tinggal kita perhatikan saja, apakah perusahaan yang terlibat dalam program Newtrees ini benar-benar menerapkan prinsip-prinsip hijau di dalam kegiatan bisnis setiap harinya atau tidak atau, kalau berharap jauh, ada efek positif keterlibatan perusahaan tersebut ke dalam bisnisnya. Sebagian kecil "kewajiban" ini, sebenarnya, juga menjadi tanggung jawab WWF, dengan, misalnya, membuka informasi ke publik soal program ini serta alasan perusahaan tersebut dilibatkan.
Dalam horison yang lebih luas, jika memang benar program newtress ini juga akan dijadikan proyek percontohan REDD, maka segala aturan atau norma soal REDD yang sedang hangat digagas dan diperbincangkan, misalnya soal akuntabilitas dan transparansi pemrakarsa, keterlibatan penuh (dengan FPIC) dari masyarakat yang terkena dampak, sensitivitas atas soal tenurial serta pembagian keuntungan yang adil dengan berbagai pihak, seharusnya juga berlaku di dalam program ini. Ini tentu saja, tidak hanya berlaku bagi WWF, tetapi juga pada kegiatan percontohan REDD yang dilakukan oleh pemrakarsa lainnya. Dan tidak hanya menyorot proyek-proyek yang besar (dan kontroversial) saja seperti di Ulu Masen, eks-PLG-nya KFCP atau UN-REDD di Sulteng.
Ini juga menjadi catatan penting bagi siapapun yang akan melaksanakan program offset karbon di tanah air. Saya kira ada persoalan, yang tidak hanya soal hukum/kepatuhan pada aturan, tetapi juga soal etika dalam pelaksanaan karbon offset ini yang seharusnya juga disinggung oleh para pemerhati dan berbagai pihak. Ada potensi besar berupa "fraud" dalam pelaksanaan karbon offset ini serta penyelewengan yang akan menyingkir tujuan awal dilakukannya offset ini, yang indikasi awalnya, saya kira, akan terlihat dari perilaku greenwashing.
12 Mei 2011
Target Norwegia turunkan emisi
Norwegia memang bisa percaya diri di hadapan negara-negara lain dalam mendorong REDD agar bisa diterapkan dalam skema UNFCCC. Pengelolaan hutannya, terutama penanaman pohon setelah perang (Dunia kedua ?) telah membuat hutan di Norwegia menjadi "carbon sink" (sehingga jadi pengurang dari emisinya). Emisi Norwegia pada tahun 2008 adalah 53.71 Tg CO2 eq jika tidak memperhitungkan emisi sink dari kehutanan (dan perubahan lahan). Namun jika emisi sink dari kehutanan (dan perubahan lahan) dimasukkan maka angka emisinya menjadi 25.15 Tg CO2 eq. Ini berarti sektor kehutanan Norwegia menyumbang pada pengurangan emisi sebesar 28.56 Tg CO2 eq.
Dengan memasukkan sektor kehutanan (dan perubahan lahan) pulalah, target penurunan emisi sebagaimana diminta oleh Protokol Kyoto dapat dilalui Norwegia. Dari tahun 1990 - 2008, Norwegia berhasil menurunkan emisi sebesar 34,6% (Target komitmen pertama Protokol Kyoto sendiri (untuk negara Annex 1) adalah pengurangan emisi sebesar 1% dari level emisi di1990 dan target Norwegia di bawah Protokol Kyoto adalah harus menurunkan emisi sebesar 10 persen di bawah level 1990).
Menurut saya, dengan melihat struktur perekonomiannya, wajar saja. sektor kehutanan menjadi carbon sink di negara Norwegia. Perekonomian mereka sudah "lepas landas", tidak lagi bertumpu pada sumber daya mentah seperti kayu. (selain tentu, harus diakui, pengelolaan hutannya yang memang bagus; kalau tidak bagus bagaimana mungkin muncul IKEA?hehe). Di negara-negara maju juga rata-rata sudah dan sedang terjadi proses penghutanan kembali. Kondisi ini berbeda halnya dengan negara tropis seperti Indonesia yang masih melihat hutan (dan isi didalamnya) sebagai modal pembangunan, sehingga sedang mengalami deforestasi. Perubahan lahan dan kehutanan menjadi penyumbang emisi terbesar negara Indonesia.
Justru ketika sektor kehutanan (perubahan lahan) dikurung tutup dalam melihat struktur perekonomian (dan sumbangan emisinya) Norwegia, kondisinya sebenarnya tidak menggembirakan. Norwegia adalah salah satu pengekspor minyak mentah terbesar di dunia. Hal ini tampak di dalam sumbangan emisi persektornya, bahwa sektor energi menjadi penyumbang emisi terbesar (ini berkebalikan dengan Indonesia, bukan?). Dan bahkan, sumbangan emisinya terus menurus naik sejak tahun 1990 hingga tahun 2008 (dari 29.56 ke angka 39.03). Begitu juga halnya dalam sektor transport. Dan dalam hal penurunan emisi berdasarkan Protokol Kyoto pun tampaknya Norwegia juga keteteran, bukannya menurunkan, sebaliknya emisinya naik 8% dari level di tahun 1990. Karena itu pula, pengurangan emisi tidak hanya dilakukan di dalam negeri (karena kemungkinan tidak akan berhasil, kecuali ada perubahan penting dalam kebijakan energi/transportasi di dalam negerinya), tapi akan mencari "bantuan" dari luar negeri, salah satunya lewat skema REDD.
29 April 2011
Menhut VS Bupati Penajam Paser Utara di Mahkamah Konstitusi: Ijin Pinjam Pakai Kawasan Hutan
Dari mana sebenarnya akar permasalahannya? Disinyalir berasal dari perbedaan cara pandang dalam melihat pengurusan hutan: ada yang melihatnya dari sisi hutannya (ini posisinya pemerintah) dan ada yang melihatnya dari sisi otonomi daerah (ini posisi pemohon). Dan hal tersebut didasari oleh teori hukum: peraturan yang khusus mengalahkan peraturan yang umum. apa yang khusus di antara peraturan perundang-undangan dalam bidang otonomi daerah dengan peraturan di bidang kehutanan?
Saldi Isra (saksi ahli dari pemohon) berpendapat sebenarnya tidak ada yang khusus di antara aturan otda dan kehutanan tersebut. Hanya saja jika dilihat dari posisi UU mana yang harus dibuat sebagai perintah UUD 1945, Saldi menyebut UU Otda-lah yang mempunyai posisi kuat sebagai "Undang-undang Pokok".
Pendapat pemerintah dalam menaggapi permohonan ini adalah dengan mencoba ke luar dari polemik UU Kehutanan vs UU Otda, dengan menyatakan bahwa Pasal 38 dan Pasal 50 harus dibaca secara senapas dengan Pasal 66 yang mengatur soal penyerahan kewenangan ke daerah. Jadi kedua pasal itu tidak bertentangan dengan otonomi daerah karena esensinya adalah dalam rangka pengendalian pemanfaatan hutan lewat pemberian ijin. Jadi tidak ada kewenangan daerah yang diambil alih, sehingga tidak ada "kerugian konstitutional" yang diderita oleh pemohon.
Saya kira, di balik pendapat pemerintah itu, sebenarnya ada meta-pikirnya, mungkin paradigma, yang melekat di benak pemerintah pusat dalam melihat pengurusan hutan ini. Pemerintah pusat melihat bahwa ketika pemerintah daerah diberikan kewenangan luas dalam mengurus hutan, maka hutan akan rusak karena daerah ternyata hanya melihat hutan sebagai aset untuk kepentingan pemasukan PAD saja. Ini sebenarnya agak bersisian dengan pendapat pemohon sendiri, yang melihat posisi penting kehutanan dalam peningkatan kesejahteraan daerahnya.
Kekawatiran makin rusaknya hutan jika pengurusannya diberikan sepenuhnya kepada daerah ternyata juga diamini oleh beberapa aktivis lingkungan hidup yang sempat saya tangkap pendiriannya. Inisiatif Bupati PPU untuk mengajukan judicial review ke MK memang bisa dilihat dari usaha daerah untuk "mempertanyakan" kekuasaan "absolut" Kemenhut dalam mengurus kawasan hutan. Ini penting, karena salah satu ciri negara hukum adalah adalah penyebaran kekuasaan, baik horizontal maupun vertikal (pusat-daerah).
Tapi, bercermin dari praktek pengelolaan SDA yang dilakukan oleh Pemda serta niatan pemohon sendiri, daerah hanya akan melihat hutan sebagai aset ekonomi semata. Permohonan ini dilihat dengan penuh curiga sebagai usaha pemerintah daerah memaksimalkan keuntungan dari adanya hutan di daerahnya. Apalagi konflik antara kehutanan dengan pertambangan akhir-akhirnya ini mengemuka terus. Posisi kehutanan (dalam term "konservasi"-nya, saya kira) dianggap sebagai "penghalang" kemajuan daerah.
Para aktivis itu cenderung untuk berpendapat biarlah IPPKH ini dipegang oleh pemerintah pusat. Meta-pikirnya adalah dalam hal pemberian ijin pemakaian kawasan hutan sebaiknya terkontrol di tingkat pusat saja. Ini lebih memudahkan pengawasan, daripada diserahkan di tingkat daerah yang membuka peluang dihambur-hamburkannya IPPKH atau bentuk IPPKH yang berbeda-beda antar kabupaten.
Tapi apakah benar pengawasan menjadi lebih mudah jika IPPKH itu hanya ada di tangan Menhut? Saya tidak sepenuhnya yakin. Praktek selama ini, informasi soal IPPKH yang sudah jalan tidak dibuka ke publik. Informasi yang ada hanya dalam bentuk statistik yang lebih berupa penyederhanaan. Sudah adakah tindakan Menhut pada pemilik IPPKH yang tidak menaati aturan? Lalu apa tindakan Menhut terhadap pemilik usaha yang tidak memiliki IPPKH?
Kekawatiran itu sendiri sebenarnya, secara teori, bisa ditepis dengan mengetengahkan bahwa dalam aturan otonomi daerah pun, ada pengawasan bersama antara pemerintah pusat dan daerah. Gampangnya, jika sekarang ini dianggap pengurusan hutan oleh daerah tidak betul sebetulnya membuka ruang tanya juga: lalu apa kerja pemerintah pusat? Bukankah di dalam UU Otda sendiri sudah dijelaskan pembagian kewenangannya: pusat buat aturan, norma; daerah eksekusi; pusat-daerah mengawasi. Hancurnya hutan tidak hanya karena ada euforia daerah, tapi juga karena adanya pengawasan yang lemah, bahkan pembiaran, dari pemerintah pusat.
Untuk itu, menarik untuk dinanti apa putusan MK soal masalah ini. Mungkin saja Mahkamah Konstitusi dapat memberikan jalan tengah dari konflik peraturan perundang-undangan ini dan mengajarkan kepada kita bagaimana seharusnya kawasan hutan/hutan itu diurus?
20 April 2011
Kepala daerah dan Kejahatan Kehutanan
Nampaknya ada alasan mengapa ia membuka data seperti di atas. Hal itu ada hubungannya dengan jumlah kerugian negara yang cukup fantastis akibat perubahan fungsi hutan itu dan itu hanya di Kalimantan saja: 104 T (Kalteng), 32 T (Kaltim), dan 100 T (Kalbar). Itu pun yang terjadi di kawasan hutan lindung dan hutan konservasi. Naga-naganya, ini ada hubungannya dengan temuan Tim Satgas Anti Mafia Hukum di Kalimantan Tengah bahwa ada "...terdapat 352 unit perusahaan perkebunan dengan luas setidaknya 4,6 juta Ha namun hanya 67 unit perusahaan (sekitar 800 ribu Ha) yang memiliki izin pelepasan kawasan hutan. Terdapat pula 615 unit perusahaan yang memperoleh izin melakukan pertambangan dengan luas setidaknya 3.7 juta Ha dan hanya 9 unit perusahaan saja (atau sekitar 30 ribu Ha) yang telah memiliki izin penggunaan kawasan hutan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan..."
Dengan mudah, telunjuk kita akan mengarah pada 'desentralisasi' sebagai biangnya sebagaimana sekarang sering dihembuskan oleh banyak pihak, termasuk pemerintah pusat c.q. Departemen Kehutanan. Tidak salah memang, dalam soal pemberian ijin perkebunan dan KP (Kuasa Pertambangan), bupati/gubernur banyak mengeluarkan ijin yang disinyalir untuk membiayai atau membayar biaya politiknya. Kita selalu saja mendengar hubungan antara ijin-ijin yang keluar dengan masa pilkada. Sebuah penelitian terbaru dengan memakai data perpetaan mengkonfirmasi tersebut, bahwa tingkat pembukaan hutan yang masif di sebuah daerah berjalan seiring dengan masa pilkada kepala daerahnya.
Tapi tidak berarti desentralisasi harus diganti dengan sentralisme. Ada "penyakit" dalam pelaksanaan desentralisasi yang perlu disembuhkan, tapi saya kurang setuju jika hal itu menjadi alasan untuk menarik kewenangan daerah, apalagi menjadi sentralisme lagi. Dengan alasan itu pula, sebenarnya tidak ada desentralisasi kehutanan di Indonesia, karena hampir semua kewenangan daerah telah diambil alih oleh Departemen Kehutanan. Bisa dikatakan masa desentralisasi kehutanan Indonesia hanya berlangsung singkat: 1999 - 2001. Selebihnya adalah masa-masa di mana Departemen Kehutanan menarik kembali kewenangannya.
Lagi pula, Departemen Kehutanan mempunyai kredit besar terciptanya kondisi buruk desentralisasi (kehutanan) dengan selalu ingin tampak mengerjakan sendiri segala urusan kehutanan dan menyerahkan segala urusan yang tidak menghasilkan benefit atau pemeliharaan dan pengawasan kepada pihak daerah. Belum lagi masalah tata batas yang tidak kunjung diselesaikan yang menjadi ajang 'bancakan' bagi tidak hanya kepala daerah tetapi juga pejabat pusat kehutanan.
Dalam soal kejahatan kehutanan, jika kita memahami alur perjalanan ijin keluar, baik ijin kehutanan maupun non kehutanan (perkebunan dan pertambangan), tampak bahwa ada keterlibatan pejabat pemerintah pusat di sana. Kasus Suwarna membuktikan hal tersebut.
15 Desember 2010
Skenario Mitigasi Kehutanan Indonesia

Awalnya adalah pernyataan Presiden SBY pada waktu pertemuan di Pittsburgh bahwa Indonesia siap menurunkan tingkat emisinya sebesar 26% dari emisi Business As Usual [BAU] pada tahun 2020 dengan referensi tahun 2005. Angka itu akan menjadi 41% jika ada bantuan internasional. Dengan referensi di tahun 2005, maka penurunan emisi sebesar 26% di tahun 2020 sebenarnya hanya menurunkan emisi sebesar 6% dari emisi tahun 2005; sedangkan jika targetnya 41% maka itu berarti penurunan emisi sebesar 24% dari emisi di tahun 2005.
Sektor kehutanan berperan besar dalam proses mencapai penurunan sampai 26% itu. Dari 26% target itu, 14%-nya berasal dari sektor kehutanan atau lebih dari separuh [tepatnya 52%] target penurunan emisi itu berasal dari kontribusi sektor kehutanan. Hal ini terjadi karena sektor kehutanan dan konversi lahan gambut merupakan sektor penyumbang terbesar emisi Indonesia. Data tahun 2005 menyebutkan dari 2,8 miliar ton setara CO2 emisi, 2,4 miliar ton-nya [85%-nya] berasal dari dua sektor itu. Dengan demikian, tidak aneh kalau sektor kehutanan mendapatkan jatah target lebih besar dibanding sektor lain. Ini juga menunjukkan ada yang keliru dalam pengelolaan hutan kita.
13 Mei 2010
Untungnya Australia dengan Skema REDD
Berikut tautan dari REDD-monitor yang bicara soal kepentingan Australia dengan mekanisme REDD. Tulisan di blog ini didasarkan pada sebuah sebuah penelitian yang dilakukan oleh Andrew Macintosh, Associate Director pada Centre for Climate Law and Policy, ANU.
Ternyata penerimaan Australia pada Protokol Kyoto dibarengi dengan kemudahan bagi Australia untuk mengikuti kewajiban penurunan emisinya. Paragrap 3.7 (2) dari Protokol Kyoto memberikan kemudahan kepada negara maju yang masuk dalam annex satu yang pada tahun 1990 emisinya didominasi oleh LUCF [Land Use Change and Forestry] agar penurunan dari emisi deforestasi bisa dimasukkan sebagai usaha penurunan emisi seluruhnya. Pada tahun 1990, 30 persen emisi Australia berasal dari deforestasi dan jumlah ini terus turun sampai sekarang. Masalahnya antara tahun 1990 sampai dengan tahun 2007, Australia malah menaikkan emisinya sebesar 26%. Nah dalam masa komitmen pertama ini, Australia hampir pasti bisa memenuhi target penurunan emisinya karena ada kemudahan dari Protokol Kyoto itu. Australia tinggal menjaga emisi dari deforestasi tidak melewati angka di tahun 1990 yang mencapai 132 juta ton CO2e, tanpa harus menurunkan emisi dari sektor lain yang merupakan sumber utama penghasilan Australia: pertambangan. Atau penurunan emisi dari skema REDD [khas Australia] ini akan akan dipergunakan sebagai offset kenaikan emisi di bidang di luar LUCF.
Dan sepertinya, Australia juga berkepentingan dengan REDD yang dilakukan di luar negeri. Karena tidak semua REDD khas Australia di dalam negerinya bisa mengoffset keseluruhan kenaikan emisinya. Di sini, semua kerja sama, bantuan keuangan dst dari pihak Australia dengan Indonesia sebenarnya – pastinya sudah pasti - menyimpan maksud tersembunyi. Akhir-akhir ini bahkan bantuan dalam soal REDD ini dikaitkan, kalau tidak mau dikatakan diselinapkan, dalam bantuan untuk keperluan lain seperti pengurangan kemiskinan. Mungkin tidak harus dibaca: Australia sedang memberikan permen manis kepada Indonesia agar melakukan [bukan hanya mendukung] dengan sepenuh hati skema REDD yang sedang diperbicangkan di bawah payung UNFCCC. Tapi bisa juga menunjukkan bahwa Indonesia, terutama pengambil keputusan, sedang menaikkan posisi tawar. Kita akan lihat apakah “transaksi” itu memberikan lebih banyak kemudharatan atau sebaliknya.
Yang pasti adalah Indonesia tidak memiliki kewajiban menurunkan emisi. Australia, sebaliknya, punya kewajiban itu. Dengan posisi itu, Indonesia seharusnya menaikkan posisi tawar setinggi-tingginya. Termasuk didalamnya memastikan sejauh mungkin perlindungan pada hak-hak masyarakat adat/lokal di sekitar wilayah yang akan dijadikan REDD. Sayangnya, REDD+ yang dilakukan di Indonesia, sepertinya, dengan melihat trend DA [demontration activities – pilot project]-REDD-nya, lebih banyak memakai sistem konsesi yang di masa lalu hampir selalu meniadakan hak-hak masyarakat lokal/adat yang hidupnya bergantung pada keberadaan hutan di sekitarnya. Sampai sekarang, sejauh yang saya tahu, belum ada pembicaraan untuk memastikan REDD+ yang akan dijalankan menghormati dan melindungi kepentingan masyarakat lokal/adat.
30 April 2010
Model Konsesi REDD dan Masyarakat
A. RED –> REDD --> REDD+ –> ?
Hutan sebenarnya sudah masuk dalam strategi penurunan pemanasan global ketika muncul perdebatan soal LULUCF dan menjadi bagian dalam CDM/Clean Development Mechanism atau Mekanisme Pembangunan Bersih dalam kerangka Protokol Kyoto. Tapi banyak negara tropis yang tidak terlalu bahagia dengan peran kecil hutan itu. Dalam CDM, misalnya, peran hutan hanya dipandang dalam segi Aforestasi/Reforestasinya dengan meninggalkan kontribusi hutan yang ada dalam mitigasi perubahan iklim. Mereka melihat bahwa hutan yang ada seharusnya diikutsertakan dalam strategi mitigasi global perubahan iklim; karenanya mempertahankan keberadaan hutan sekarang, baik dari segi luasan maupun kualitasnya, penting untuk diperhatikan.
Di COP 11 di Montreal, usulan itu muncul dalam bentuk term RED atau Reducing Emission from Deforestation yang merupakan penerjemahan dari konsep "avoiding deforestation". Konsep itu terus menerus berubah. Di COP 13 di Bali, peran pencegahan kerusakan hutan mengemuka yang kemudian diakomodir dalam Bali Action Plans dengan nama REDD. Tidak berhenti di sana, REDD berubah menjadi REDD+ ketika disadari bahwa sumbangan hutan dalam mitigasi perubahan iklim tidak berhenti pada perubahan dari sisi negatif [avoiding deforestation dan degradation] tapi juga dari sisi perubahan sisi positif, seperti peningkatan stok karbon, pengelolaan hutan yang berkelanjutan dan konservasi hutan. REDD+ menemui bentuk formalnya ketika dibicarakan di COP 14, Poznan.
Dalam dua tahun ini, kita menyaksikan silih bergantinya berita terkait dengan hutan, REDD dan perubahan iklim. Ratusan literatur telah dibuat untuk membicarakan apa REDD, bagaimana dia diimplemetasikan, dari mana dananya, siapa yang bisa menarik untung, dst. REDD menjadi semakin menarik dibicarakan karena dia diproyeksikan menjadi pengganti komitmen pertama dalam Protokol Kyoto yang berakhir pada tahun 2012 atau menjadi bagiam komplementer dari perjanjian penurunan emisi pasca 2012. Karena itu, sebenarnya, belum ada skema REDD yang didukung dan disepakati oleh masyarakat internasional. Walaupun belum ada kejelasan di dunia internasional, tidak berarti tidak ada usaha di tingkat implemetasi yang saling berkompetisi untuk "meyumbang" pada bentuk skema REDD post-2012 nanti.
B. Pilot Project REDD
Dengan demikian, pengertian REDD dalam tulisan ini adalah skema pilot project atau aktivitas uji coba yang ditujukan untuk mengurangi emisi dari deforestasi dan kerusakan hutan di lokasi tertentu. Secara global tercatat sudah ada 109 aktivitas REDD [Wertz-Kanounnikoff and Kongphan-Apirak, 2009] dengan perincian: 44 buah pilot project yang ditujukan secara langsung untuk mengurangi emisi dari deforestasi dan kerusakan hutan/[”Demonstration activities”] dan 65 proyek untuk “readiness activities” yakni kegiatan yang memang ditujukan untuk membuat kerangka skema REDD.
C. Kategori Pilot Project REDD
Indonesia merupakan Negara yang paling banyak aktivitas pilot proyek REDDnya. Tercatat ada 29 aktivitas REDD yang sekarang ada di Indonesia yang bisa dikategorikan ke dalam 3 versi [Madeira, 2009]:
1. Proyek REDD yang dilakukan dengan cara mengajukan ijin konsesi hutan [“Model Konsesi”], seperti IUPHHK Restorasi Ekosistem atau bentuk ijin konsesi hutan lainnya.
2. Proyek REDD yang dilakukan dengan melakukan kerjasama dengan pemerintah [“Kerjasama Pemerintah”], seperti KFCP atau Skema di bawah payung UN-REDD
3. Proyek REDD yang dilakukan dengan melakukan kerjasama dengan para pemilik ijin/lahan [“Kerjasama Pengguna Lahan”], misalnya pemrakarsa melakukan kerja sama dengan pemilik Ijin HTI, HGU Sawit, Hutan Desa, dst.
Sebenarnya ada satu lagi kategori namun tidak dimasukkan karena mereka tidak mencari karbon kredit, yakni mereka yang melakukan kerjasama dengan pemerintah untuk membangun proyek karbon namun tidak mencari kredit karbon buat mereka sendiri. Kegiatan ini biasanya didukung oleh organisasi bilateral atau NGO.
D. Model Konsesi dan Konsekuensinya bagi Masyarakat
Dari 3 kategori pilot proyek itu, kebanyakan di Indonesia mengikuti model konsesi [Madeira, 2009]. Model konsesi ini bisa dilakukan dengan pemrakarsa mengajukan ijin konsesi baru atau pemilik suatu konsesi merubah atau menambahkan ke ijin awalnya usaha-usaha pengurangan emisi dari deforestasi dan kerusakan hutan.
Banyaknya model konsesi ini bisa dicarikan alasannya, pertama, untuk mencegah terjadinya deforestasi yang direncanakan. Di Indonesia, deforestasi lebih banyak terjadi karena aktivitas yang direncanakan, bisa oleh pemerintah atau oleh mereka yang mendapatkan ijin dari pemerintah [lihat Greenomics, 2009]. Mereka mengajukan ijin di lahan hutan yang sudah rusak, yang kemudian bisa dikonversi jadi perkebunan atau aktivitas pembangunan non-kehutanan lainnya atau di lahan hutan lainnya yang menunggu untuk dikonversi. Kedua, kebijakan kehutanan Indonesia selalu memihak pada perusahaan besar. Ketiga, usaha konservasi yang selama ini dilakukan di Indonesia selalu gagal atau terhambat karena adanya ketidaksesuaian dengan kepentingan aparat pemerintah. Mengajukan ijin konsesi dapat meminimalisir intervensi terlalu jauh dari aparat pemerintah. Keempat, terkait masalah teknis pembiayaan, proyek REDD untuk sampai mendapatkan kredit karbon memerlukan dana awal yang besar. Kelima, model konsesi menjamin kepastian hukum, sesuatu yang sangat penting dalam REDD yang dipergunakan untuk menunjukkan bahwa akses terhadap karbon bisa dipertahankan sesuai dengan perjanjian jual beli kredit karbon.
Tapi umumnya sistem konsesi yang dipakai dalam rencana skema REDD ini sebenarnya memanggil kembali ingatan akan apa yang mereka lakukan di tingkat masyarakat dan lingkungan hidup. Tidak kehitung berapa banyak konflik yang merugikan masyarakat dari adanya sistem konsesi ini.
Dari penemuan awal dari riset yang sedang kami lakukan, tampaknya masyarakat mengkhawatirkan praktek REDD akan sama dengan praktek HPH selama ini. Mereka akan kembali menghadapi ketidakbebasan dalam mengakses hutan atau hanya sekedar menjadi penonton dan mendapatkan remahan rente dari proses itu. Belum lagi masalah ternyata lokasi REDD tersebut berada di dalam kawasan yang diklaim masyarakat sebagai wilayah kelola/adatnya. Pengalaman selama ini menunjukkan, klaim itu akan selalu tersisihkan ketika berhadapan dengan versi lain dari rejim pemerintah.
Tidak hanya berhenti di sana, model konsesi dipakai karena tujuannya adalah mencegah pihak luar mengkonversi hutan untuk keperluan di luar urusan konservasi atau penyimpanan karbon di pohon dan lahan. Pihak luar ini tidak hanya perusahaan sawit, tetapi juga masyarakat sekitar yang dikawatirkan akan melakukan perambahan.
Pihak pemrakarsa proyek REDD bukan tidak menyadari peranan penting masyarakat sekitar hutan [“local shareholder”]. Mereka selalu memasukkan factor keterlibatan masyarakat dalam proposal REDD-nya. Mereka menyadari biarpun, misalnya, secara de jure suatu kawasan yang akan dijadikan pilot proyek REDD itu tidak dikuasai oleh masyarakat, tetapi secara de facto, masyarakat memegang peranan penting dalam keberhasilan proyek itu, misalnya di lihat dari sisi permanence atau leakage.
Namun, dalam pelaksanaannya, sebagaimana yang kami temukan di lapangan, masyarakat masih kesulitan untuk mengetahui “apa sebenarnya” yang sedang dilakukan oleh para pemrakarsa itu. Ada pemrakarsa yang datang ke suatu kampung untuk maksud yang berbeda jauh dengan maksud sebenarnya. Awalnya datang dengan maksud untuk melakukan pendataan serta pembuatan koridor orang utan, tapi setelah lama baru ketahuan bahwa mereka sebenarnya sedang melakukan assessment soal REDD dan lokasi itu cocok untuk dijadikan lokasi REDD. Atau ada pemrakarsa yang menutup diri ketika ada warga yang bertanya soal-soal mendasar yang seharusnya diberitahukan secara terbuka, seperti soal apa itu REDD, bagaimana pelaksanaan konkritnya di lapangan, dst, terlepas dari apakah masyarakat akan mengerti atau tidak.
Melakukan konsultasi dengan lokal shareholder, terutama masyarakat sekitar hutan, merupakan prasyarat penting dalam pelaksanaan REDD. Selanjutnya ada mekanisme Free Prior Informed Consent [FPIC] yang juga harus dilakukan agar masyarakat tahu dan sesadar-sadarnya paham konsekuensi jika menerima atau menolak proyek REDD. Kedua hal ini sudah dimasukkan dalam standar sertifikasi karbon sebagaimana ada di dalam Voluntary Carbon Standard (VCS) dan the Climate, Community and Biodiversity (CCB) Standards.
Kebanyakan yang dilakukan para pemrakarsa dalam menentukan lokasi REDD lebih bersifat “lingkungan”: tipe pohon, tipe tanah, iklim regional, dan topografinya. Faktor masyarakat adalah faktor yan dibicarakan selanjutnya. Ini juga akan memberikan konsekuensi lain.
Mengapa Masyarakat rentan?
Masyarakat diperkirakan akan rentan sebagai dampak jika REDD dilakukan karena ditunjang sedikitnya dua factor: [1] Perbedaan besar pandangan antara masyarakat lokal/Adat dan pemrakarsa REDD dalam melihat hutan dan fungsinya; serta [2] insentif REDD berasal dari luar negeri suatu Negara.
Perbedaan besar pandangan antara masyarakat lokal/Adat dan pemrakarsa REDD dalam melihat hutan dan fungsinya. Pengurangan emisi untuk mencegah dampak yang lebih besar dari perubahan iklim sekarang lebih banyak bergerak di tataran elit dan internasional. Jika dilihat dari sisi siapa yang paling berkepentingan, sebenarnya Negara-negara maju yang terikat dalam Protokol Kyoto-lah sebenarnya yang palig berkepentingan dengan adanya REDD. Selain murah, ia juga menjadi dasar untuk mengajak Negara berkembang dengan perekonomian raksasa seperti China dan India untuk juga memegang beban pengurangan emisi.
Tujuan pemrakarsa REDD tidak lain adalah adanya kredit karbon dari hutan yang bisa diperjualbelikan di tingkat internasional, jika masuk dalam kategori Pasar, atau kredit karbon yang bisa dikompensasikan dengan sejumlah dana, jika masuk dalam kategori Public Fund. Tujuan ini bisa jadi tidak akan sejalan dengan kepentingan masyarakat sekitar hutan di Negara-negara tropis. Jembatan itu harusnya dibangun lewat konsultasi atau program FPIC yang dilakukan secara benar di lapangan.
Bukan berarti bahwa masyarakat harus menyesuaikan diri dengan kepentingan pengurangan emisi itu. Mereka harus tetap dihormati cara hidupnya, keberadaan mereka di lokasi, dst. Hanya saja, usaha untuk membuat jembatan di antara perbedaan tujuan bisa diusahakan. Jangan sampai, demi tujuan pengurangan emisi, masyarakat diarahkan untuk mengganti livelihood-nya atau bahkan dipindahkan ke lokasi lain [biarpun secara tidak langsung meminta, misalnya, dengan mengatakan bahwa daerah itu akan dijadikan taman nasional [plus lokasi REDD], sebenarnya mengindikasikan bahwa penduduk di lokasi itu harus pindah atau makin sengsara karena hidup di dalam kawasan taman nasional].
Diarahkannya masyarakat ke tipe pekerjaan yang tidak lagi bergantung pada hutan menjadi mimpi besar para konservasionis yang nampak dikerjakan dalam program-program Integrated Conservation and Development Program [ICDP]. Tapi, hanya sedikit yang berhasil. Dalam REDD, sebenarnya proses ini hanya membuat masyarakat tidak terlibat dalam skema REDD. Konsekuensinya adalah jika pun berhasil maka masyarakat tidak akan mendapatkan ‘kompensasi” dari skema REDD yang berlangsung disekitarnya dan justru dia akan dibebani dengan “cost” tertentu, tergantung pada bagaimana pemrakarsa memandang hubungan antara proyeknya dengan masyarakat tersebut. [Ini menjadi bantahan bahwa REDD bukanlah skema Payment for Environmental Services [PES]]. Sebaliknya, jika tidak berhasil, maka justru akan akibatnya akan mengganggu keberlanjutan proyek REDD.
Di sisi lain, ada inisiatif yang dikerjakan oleh pemerintah, sebagai pemilik hutan, untuk melibatkan masyarakat dalam skema REDD dengan mengajak mereka untuk masuk dalam proyek HTR atau Hutan Tanaman Rakyat. Sebuah model konsesi tapi lebih diarahkan untuk rakyat dan skala kecil.
Di satu lokasi di Kalteng, semua warga, tidak peduli apakah dia punya kemampuan mengelola pepohonan atau tidak, dimasukkan ke dalam kelompok tani dan terbentuk sekitar 75 kelompok. Masing-masing kelompok terdiri dari 5 – 7 kepala keluarga dan akan mengusahakan lahan seluas 15 hektar/kelompok. Kepala Mantirnya sampai mengatakan bahwa jika HTR ini jalan, maka tidak akan ada lagi nelayan, semuanya akan mengusahakan HTR. Mereka dijanjikan akan mendapatkan bantuan pembiayaan sebesar kurang lebih 8 juta/ha, bantuan bibit, konsultasi penanaman dan perawatan pohon dst.
Namun HTR dalam benak masyarakat adalah jalan legal untuk memotong kayu. Lokasi yang mereka pilih ternyata adalah lokasi yang masih ada pohonnya. Mereka menyatakan bahwa dengan keterlibatan dalam HTR ini, mereka bisa memotong pohon secara legal.
Masalahnya adalah, tidak ada pemberitahuan kepada mereka, dalam skema REDD, pemotongan kayu/pohon mengandung konsekuensi terlepasnya karbon, memberi pupuk terlalu banyak atau peerwatan tanah yang tidak baik aka berkonsekuensi pada terlepasnya karbon dan gas rumah kaca lainnya. Belum ada info bagaimana soal ini diselesaikan. Dalam proses awal, masyarakat mungkin diperbolehkan untuk memotong pohon demi pembersihan lahan, tapi apa nasibnya pohon yang mereka tanam: masih berhakkah mereka atas pohon itu ketika skema REDD dijalankan?
Insentif REDD berasal dari luar negeri suatu Negara. Terlihat bahwa pemerintah seperti berjalan sendiri dalam mengeluarkan kebijakan soal REDD atau perubahan iklim. Hal yang sering terjadi ketika insentif tidak berasal dari dalam negeri suatu negera tetapi berasal dari luar negeri. Insentif REDD tidaklah datang dari dalam negeri, ia merupakan jalan bagi terlaksananya offset emisi Negara-negara maju dengan membeli kredit karbon yang dijual oleh Negara-negara pemilik hutan tropis. Insentif yang datang dari luar negeri ini dapat melemahkan aspek akuntabilitas Negara terhadap rakyatnya. “Proyek lingkungan hidup”, termasuk perubahan iklim dan REDD, yang berjalan di Indonesia umumnya mengalirkan insentif dari luar negeri dan belum bisa menghidupkan insentif dari dalam negeri, sehingga rentan gagal dan kurang mengakomodasi kepentingan lokal shareholder.
Pada titik ini, menjadi sebuah keharusan untuk terus menerus menyuarakan suara masyarakat dalam perencanaan kebijakan yang terkait maupun tidak terkait dengan perubahan iklim atau REDD dan bahkan menjadikan “perspektif masyarakat” bersandingan dengan “perspektif pengurangan emisi”. Menjadikan keterlibatan masyarakat tidak hanya dalam tataran formal, tapi terlibat penuh dalam perencanaan, pelaksanaan dan monitoring pilot proyek REDD.
Daftar Bacaan
Greenomics Indonesia. 2009. “Menguji” Rencana Pemenuhan Target Penurunan Emisi Indonesia 2020 dari Sektor Kehutanan dan Pemanfaatan Lahan Gambut. Kertas Kebijakan. Jakarta, Indonesia: Greenomics Indonesia.
Madeira, Erin Myers. 2009. REDD in Design: Assessment of Planned First-Generation Activities in Indonesia, RFF Discussion Paper 09-49, Washington D.C: Resources for the Future
Wertz-Kanounnikoff, Sheila, and Meta Kongphan-Apirak. 2009. Emerging REDD+: a preliminary survey of emerging demonstration and readiness activities. CIFOR Working Paper No 46. Bogor, Indonesia: Center for International Forestry Research.
[1] Staf Learning Center HuMa. Makalah disajikan dalam acara Seminar “Workshop on Climate Change and REDD”, Grand Nangroe Hotel - Banda Aceh, 26 April 2010. Email: mumu.muhajir@gmail.com
Download di sini
02 April 2010
Debt-for-Nature Swap: Layak dicoba
Menariknya, Trust Fund ini rencananya akan memgunakan lembaga independen sebagai pengelola keuangannya dengan mengikuti "keberhasilan" skema Debt-for Nature Swaps [DNS] antara Indonesia dengan Amerika Serikat. Skema DNS dengan Amerika Serikat itu sendiri berhasil mengalihkan utang Indonesia sebesar 30 juta dollar US [selama 8 tahun, versi Kehati] untuk keperluan konservasi lingkungan di Sumatera. Dalam skema DNS, utang sebesar 30 juta dollar US itu "dibeli" seharga 2 juta dollar oleh dua LSM, Conservation Internasional dan Yayasan Kehati.
[Tentu, sebagai catatan, DNS juga sudah dilakukan dengan negara lain, semisal dengan Jerman, namun "swaps"-nya untuk bidang kesehatan dan pendidikan].
Jadi ingat skripsi saya dulu yang bicara soal DNS. Jika tertarik anda bisa mengunduhnya di sini
DNS ini, menurut saya layak dicoba, terlepas dari kritikan hutangnya sebenarnya najis dan karenanya gak perlu dibayar. Tapi berhubung pemerintah Indonesia tetap aja memperlakukan kebanyakan hutangnya itu tetap legitimate dan tiap tahun mengangsur dengan mengurangi jatah bagi keperluan pembangunan masyarakatnya, saya kira lebih baik mengalihkan pembayaran itu untuk keperluan Indonesia sendiri.
Jadi, selain mencari uang lewat REDD atau skema yang meghubungkan pentingnya hutan bagi mitigasi perubahan iklim, Indonesia perlu mengembangkan inisiatif lain di bidang lingkungan, termasuk dari DNS ini.
26 Maret 2010
Berebut Dana REDD
Kementerian Kehutanan [dulu, Departemen Kehutanan] berencana membuat lembaga atau yayasan sendiri untuk mengelola dana tersebut dengan nama National Forest Trust Fund. Dengan demikian, ia sudah keluar dari kerangka Indonesian Climate Change Trust Fund, sebuah yayasan khusus yang dibuat oleh Bappenas dan telah diluncurkan pada 14 September 2009. Pada awalnya ICCTF ini dibuat sebagai "pengumpul" semua dana-dana yang berasal dari luar yang berhubungan dengan isu perubahan iklim di Indonesia. Di bawah ICCTF ini ada biro yang khusus mengatur soal kehutanan.
Dalam catatan saya, ini gerakan kedua Kemenhut dalam hiruk pikuk perdebatan hutan dan perubahan iklim. Sebelumnya, Kemenhut telah membuat "perjanjian" dengan Dewan Perubahan Iklim agar membiarkan Kemenhut berjalan sendiri mengurus soal perubahan iklim dan hutan, termasuk soal REDD.
Alasan kenapa Kemenhut harus membuat yayasan sendiri dan keluar dari kerangka ICCTF adalah karena, menurut Kemenhut, ICCTF tidak dipercaya oleh para donor karena pengelolaannya dilakukan oleh negara. Selain itu ICCTF berada di Indonesia, di mana aturan mengenai trust fund-nya belum ada dan dikenakan pajak yang besar [17%].
Karena itu, rencananya Kemenhut akan membuat yayasan itu berada di luar negeri sehingga tidak akan kena pajak dan, karena berada di asing, bisa lebih dipercaya oleh donor.
Orang CCTF membantah kekawatiran Kemenhut itu dengan mengatakan bahwa ICCTF hanya mengatur soal programnya sedangkan uangnnya akan dikelola oleh lembaga independen.
Apapun, dua contoh ini sekali agi memperlihatkan lemahnya koordinasi antar sektor dalam menanggapi isu perubahan iklim ini. Memang, sektor kehutanan merupakan sektor yang lebih maju dalam persoalan perubahan iklim ini; tapi tidak harus "kemajuan" itu dipakai untuk berjalan sendiri. Melakukan koordinasi dengan sektor lain penting untuk melihat sejauh mana program yang akan dilakukan oleh masing-masing sektor tidak saling tumpang tindih.
Gampangnya, REDD pasti akan berhubungan dengan soal penggunaan lahan dan di Indonesia yang punya kepentingan dengan lahan bukan hanya sektor kehutanan. Ada sektor lain yang juga penting diperhatikan: pertanian, energi dan Pekerjaan Umum, untuk mendata beberapa sektor yang mungkin terlibat. Belum lagi bicara soal desentralisasi yang melibatkan pemerinatahn daerah. Jika tidak ada kesepahaman dalam soal penggunaan lahan ini, saya rasa, kinerja REDD juga tidak akan maksimal.
24 Maret 2010
Australia Akan Lebih Panas di 2030
05 Maret 2010
Bukan Ganti definisi Hutan
Pertama, referensi dimasukkannya sebuah tanaman agar bisa ditanam di hutan sudah ada. Karet adalah salah satunya. Karet dulunya selalu dianggap bukan tanaman hutan. Namun sekarang karet bisa di tanam di hutan produksi. Peraturannya ada di dalam Permenhut No 35 Tahun 2007 tentang Hasil Hutan Bukan Kayu. Dalam Permenhut ini ada daftar tanaman apa saja yang bisa ditanam di hutan. Sawit tinggal ditambahkan didalamnya.
Kedua, gampangnya, dengan memperbolehkan menanam sawit di lahan hutan produksi adakah aturan yang secara tegas menolaknya? Saya kurang tahu, karena harus buka-buka lagi berbagai aturan [dan saya sedang malas], tapi seingat saya aturan tentang apa itu tanaman yang mesti di tanam di hutan atau katakanlah tanaman apa yang disebut "tanaman hutan" dan tanaman kebun, itu tidak jelas. Hanya ada di dalam Ilmu Kehutanan saja.
Coba saja buka Permenhut P. 10/2007 tentang Perbenihan Tanaman Hutan, tidak ada kriteria pohon a adalah tanaman hutan dan pohon b bukan tanaman hutan atau setidaknya membuat definisi apa itu tanaman hutan.
Kawan saya yang orang Kehutanan jelas keberatan dengan hal itu. Memasukkan sawit ke dalam tanaman hutan akan membuat kabur definisi hutan dan lebih jauh, pengelolaan hutan akan tambah rumit dan kacau.
Saya tidak menolak keberatan itu. Ada banyak benarnya. Saya hanya ingin menunjukkan sebenarnya mudah saja bagi yang punya kepentingan dengan sawit untuk memasukkan agendanya ke dalam isu kehutanan. Dan sekaligus menunjukkan bahwa masih banyak bolong dalam kebijakan kehutanan yang sebenarnya sudah lama disadari oleh banyak pihak tapi tidak ada tindakan nyata; bahkan ada pembiaran.
03 Maret 2010
Indonesia's Protected Forests Now Open to Development - The Jakarta Globe
05 Februari 2010
EU: Kebun Sawit Juga Hutan
13 Januari 2010
Taman Nasional Yasuni, Ekuador: Antara Minyak dan Perubahan Iklim [3]
Nah, Presiden Correa baru saja menerima pengunduran diri Menteri Luar Negeri-nya Fander Falconi. Menlu ini memang berhasil mewartakan "kebaikan" Ekuador ini ke dunia internasional. Namun Presiden Correa mengkritik cara-cara negosiasi yang dilakukan oleh Menlunya ketika mencari bantuan internasional itu. Ia mencontohkan dengan leluasanya Jerman dan Belgia - yang akan berperan sebagai donor - menentukan syarat-syarat perjanjian yang menunjukkan terlalu lembeknya negosiasi yang dilakukan oleh Falconi.
Bisa dipahami kenapa Jerman dan Belgia ingin ikut menentukan syarat-syarat perjanjian. Bukan hanya ini masalah uang publik atau geopolitik, tetapi juga karena mitigasi perubahan lewat hutan ini masih belum mendapatkan bentuknya. Masalah yang menghadang selain perhitungan adalah soal permanance, serta leakage. Karena itu pula dalam masalah perdagangan karbon, isu hutan ini masih "kontroversial" dan bahkan The Gold Standard, standar yang paling dihormati terkait perdagangan karbon, secara eksplisit tidak memasukkan kredit karbon hasil mitigasi perubahan iklim lewat hutan [reforestasi].
[Tapi di sisi yang lain, standar ganda negara maju terlihat terang dalam masalah ini].
Inilah yang kemudian dikawatirkan beberapa pihak dengan keberanian Ekuador mengajukan inisiatif mitigasi perubahan iklim lewat keberadaan hutannya, apalagi kemudian Ekuador secara implisit menyandarkan bantuan internasionalnya lewat perdagangan karbon yang dalam implementasinya selalu menyinggung carbon offset. Jadi bukan hanya masalah Carbon Offsetnya, tetapi juga standard mengenai perdagangan karbon untuk mitigasi perubahan iklim lewat hutan masih belum jelas.
28 Desember 2009
Taman Nasional Yasuni, Ekuador: Antara Minyak dan Perubahan Iklim [2]
Tentu saja, Ekuador akan mendapatkan kompensasinya berupa [harapan] dana bermilyar dollar yang berasal dari donasi negara-negara maju [saya kurang tahu pasti apa pengertian "donasi" di sini; hibah? hutang? dari mana asalnya dana itu?]. Mekanisme offset menjadi salah satu caranya. Dana dari trust fund itu kemudian akan dipakai untuk investasi di energi bersih dan pembangunan berkelanjutan, termasuk didalamnya perlindungan masyarakat adat serta pengurangan kemiskinan.
Bagi James Hansen, mekanisme offset seperti itu palsu. Bukan hanya tetap membuka kemungkinan terusnya negara-negara maju menggelapkan bumi dengan polusinya; tetapi juga salah obat untuk mengobati perubahan iklim. Bagi dia, selama harga bahan bakar fosil tetap murah seperti ini [yang sebenarnya ilusi, karena tidak memperhitungkan biaya sosial dan lingkungan] maka usaha untuk mengurangi pemanasan global akan menghadapi benteng beton kuat. Misalkan saja, sebuah negara berhasil mengurangi tingkat konsumsi bahan bakar fosilnya, tetapi tetap bisa mempertahankan gaya hidupnya selama ini karena mereka memindahkan proses produksi yang memakai bahan bakar fosil ke negara lain, lalu, produknya dikirimkan kembali ke negara tersebut. Dengan demikian, tidak ada penurunan emisi karena bahan bakar fosil dikonsumsi di tempat lain. Mengapa itu terjadi? karena bahan bakar fosilnya terlalu murah.
Diingatkan juga bahwa dana yang diberikan oleh negara-negara maju dalam mekanisme offset ke negara-negara berkembang itu sebenarnya jauh lebih kecil daripada dana yang dibutuhkan bagi pelaksanaan proyek pengurangan emisi di masing-masing negara maju. Dan pelaksanaan proyek itu sebenarnya adalah "kewajiban" mereka agar bumi tidak cepat panas. Dengan tidak dilakukannya proyek itu di dalam negeri sebenarnya negara maju itu menanggung hutang. Amerika, misalnya, menanggung hutang sebesar 27 milyar dollar/tahun, sementara Inggris 6 milyar dollar, Jerman 7 milyar dollar, dst. Hutang ini sebenarnya harus ditagih. Tapi siapa dan bagaimana?
23 Desember 2009
REDD dan Kepentingan Pemilik IUPHHK
Sebuah laporan dari Global witness yang mengkritisi dimasukkannya kata Sustainable Forest Management atau SFM dalam Bali Action Plan, 2007. Di saat belum ada kesepakatan apa yang dimaksud dengan SFM, sepertinya, kalimat ini dimasukan untuk memberi jalan bagi para perusahaan kayu untuk mendapatkan manfaat dari mekanisme REDD. Laporan ini tidak menyepakati istilah HWP, yang diusulkan oleh perusahaan kayu sebagai satu jalan bagi mereka agar berhak mendapatkan manfaat dari dagang karbon.
Tapi, entahlah, skema REDD sebenarnya skema yang salah satu prinsipnya adalah “paying polluter for not to pollute” di mana semakin banyak kerusakan atau potensi ancaman kerusakannya, semakin besar pula insentif yang mungkin didapat. Perusahaan yang mati-matian menerapkan SFM sepertinya akan mendapatkan insentif lebih sedikit daripada perusahaan yang dulunya melakukan kerusakan dan berjanji akan memperbaiki. Jadi selama “moral hazard” tersebut belum didekati secara efektif, maka REDD tetap akan membawa cacat bawaan.
09 Desember 2009
Hutan yang Dikelola Masyarakat dan Perubahan Iklim
Tulisan ini membandingkan antara luasan, otonomi [derajat masyarakat mengelola hutannya – tinggi-rendah] dan kepemilikan [Negara-masyarakat] hutan dengan ketersedian karbon atau penghidupan bagi masyarakat sekitar. Datanya berasal dari koleksi data yang dimiliki oleh program IFRI [International Forestry Resources and Institutions] yang dianggap sebagai koleksi data terbaik mengenai soal Hutan masyarakat yang ada di negara-negara berkembang.[Data ini nantinya akan dibuka secara terbuka]
Penemuannya yang bisa saya saya ketengahkan adalah: masyarakat yang terlibat secara aktif dalam mengelola hutan [otonominya tinggi], ternyata tinggi juga kemungkinan hutan itu menyediakan penghidupan bagi mereka dan juga tinggi ketersediaan karbonnya atau masuk dalam term "Sustainable Common". Dengan otonomi yang tinggi, termasuk dalam proses pengambilam keputusan, membuat masyarakat dapat mengakses hutan untuk kepentingan penghidupannya dan juga menjaga hutannya, dalam arti mengkonservasinya.
Di sisi lain, semakin tinggi derajat kepemilikan masyarakat maka semakin tinggi ketersediaan karbonnya namun rendah tingkat penghidupannya. Ini terjadi karena masyarakat cenderung untuk tidak melakukan proses eksploitasi. Selain itu kondisinya berbeda dengan jika pemerintah memiliki hutan itu dimana kecenderungannya adalah tinggi tingkat penghidupan namun rendah tingkat ketersediaan karbonnya.
Ada hal yang menjadi penentu kesimpulan itu, yakni seberapa jauh masyarakat merasa aman dengan tenure-nya. Jika masyarakat tidak aman dengan tenure-nya, ada kemungkinan dia akan mengeksploitasi hutannya; jika sebaliknya, maka hutan akan kemungkinan besar akan dikelola secara berkelanjutan. Ini untuk menjelaskan kenapa semakin tinggi tingkat kepemilikan masyarakat cenderung meningkatkan karbon namun mengurangi tingkat penghidupannya jika masyarakat merasa tidak aman dengan tenurenya.
Karena ada kata "karbon" jelas bahwa tulisan ini menginginkan adanya “recognize” dari siapapun yang sedang mendiskusikan REDD bahwa masyarakat adat/lokal yang mengelola hutan layak dijadikan calon penerima manfaat dari dana yang mungkin akan mengucur dari REDD atau sebangsanya.
Saya rasa, ini tulisan pertama [sebagaimana ditegaskan oleh penulisnya] yang menguantifikasikan “kelebihan” hutan yang dikelola oleh masyarakat dibandingkan oleh pemerintah dalam hal ketersediaan karbonnya. Menariknya juga mereka mendasarkan data penelitiannya dari data hutan yang dimiliki oleh orang lain [IFRI].
Trade-offs and synergies between carbon storage and livelihood benefits from forest commons
03 November 2009
Taman Nasional Yasuni, Ekuador: Antara Minyak dan Perubahan Iklim
Seorang aktivis lingkungan hebat Indonesia pernah dengan agak mengumpat memberikan pendapat akan masih adanya pertentangan antara pembangunan dan kelestarian lingkungan di kalangan pemerintah dengan menyatakan kira-kira: “kemana aja lu, dah basi itu…” Menurutnya, pertentangan itu sudah berakhir; slash [ / ] itu sudah sewajarnya dicoret [mungkin dia murid Derrida yang patuh] dan yakin bahwa sudah ada solusi terhadap itu. Saya, si pandir itu, mencoba mencari tahu dalam jejalan informasi di alam maya, di mana saja dan hanya menemukan satu “solusi”: pembangunan berkelanjutan. Tapi saya tak yakin, ‘solusi” itu adalah solusinya. apalagi istilah itu hanya enak dijadikan bahan pidato di tengah pendengar yang tidur.
Sampai kemudian saya membaca laporan tentang Taman Nasional Yasuni di Ekuador serta Yasuni-ITT initiative-nya ini dan semakin menyakini, sehebat apapun usahamu mencoretnya, pertentangan itu masih ada. Bayangkan sebuah taman nasional yang kaya dengan keanekaragaman hayati dan dihuni serta dihidupi oleh setidaknya tiga suku Waorani. Tapi tepat di bawahnya, ada cadangan terbukti [proven!] minyak sebesar lebih satu miliar barel minyak mentah. Bukan hanya itu, minyak adalah andalan ekspor Negara Ekuador.
Sejak tahun 1900, konflik antara perusahaan minyak dan atau perusahaan kayu dengan suku Waorani sudah sering terjadi. Blok-blok minyak berulang kali berganti kepemilikan meninggalkan berbagai konflik, salah satunya antara pertarungan hukum antara Chevron dengan beberapa penduduk lokal dan masyarakat adat, termasuk Suku Waorani. Konflik itu bermula dari dugaan adanya pencemaran lingkungan yang dilakukan oleh Texaco [perusahaan yang kemudian dibeli oleh Chevron] dengan cara membuang kurang lebih 16 miliar galon limbah cairnya ke saluran sungai di areal taman nasional selama masa operasi mereka dari tahun 1964 - 1990. Tuduhan diajukan pada tahun 1993 di pengadilan federal Amerika Serikat, namun pada tahun 2003 pertarungan dipindahkan ke Ekuador dengan memakai sistem hukum Ekuador.
Di sisi lain, terjadi perubahan kebijakan di pemerintahan Ekuador yang membuka jalan bagi munculnya Presiden Correa. Namun, tekanan terhadap Taman Nasional Yasuni sekarang tidak lagi masalah konflik antara masyarakat dengan perusahaan minyak atau perusahaan kayu atau perambah haram, namun juga ada tuntutan dari kalangan “pencinta lingkungan” atau environmentalist agar pemerintah Ekuador mempertahankan keberadaan Taman Nasional Yasuni. Dengan kata lain, pemerintah Ekuador diminta untuk tidak mempedulikan keberadaan minyak mentah dibawahnya.
Mereka sepertinya menang. Pada tahun 2007 bersamaan dengan pelaksanaan COP 13 di Bali, Presiden Correa mengumumkan Yusani-ITT Initiative, proyek perlindungan wilayah ITT [blok minyak kedua terbesar di dalam Taman Nasional Yusani, dengan cadangan minyak terbukti 850 juta barel minyak mentah]. Ekuador menantang dunia internasional dengan menyatakan bahwa Ekuador akan melepaskan kesempatan mengeksploitasi wilayah kaya minyak itu demi untuk memenuhi 3 tujuan masyarakat internasional: melindungi keanekaragaman hayati, menghormati hak-hak masyarakat adat dan mengendalikan perubahan iklim. Sebagai imbalannya, Ekuador meminta dunia internasional menyediakan kompensasi sebesar $350 juta/tahun atau hanya separuh jika wilayah itu dieksploitasi demi minyak. Berkali-kali usaha dilakukan, tenggat waktu diperpanjang, dan sebagainya, tetapi hasilnya hanya ngomong saja atau janji kosong saja seperti Pemerintah Jerman yang berjanji akan memberikan sejumlah dana namun sampai saat ini tidak ada realisasinya.
Tapi Ekuador atau supporter naifnya belum kehilangan asa. Tahun ini mereka melirik perdagangan karbon. Mereka berencana membuat “Yasuni Guarantee Certificates” dan akan menjualnya di pasar bebas atau, kalau sudah ada, pasar wajib karbon. Tapi jelas, pilihan menerbitkan “Yasuni Guarantee Certificates” di pasar karbon tidak akan memenuhi salah satu tujuan mengapa Yasuni-ITT dibuat, yakni pengendalian perubahan iklim. Karena dengan sistem offset, mereka yang seharusnya mengurangi emisinya dapat terus melanjutkan kegiatannya setelah membeli “Yasuni Guarantee Certificates” itu. Tapi apakah para pecinta lingkungan memberikan alternatif lain? Mana sumbangan itu?
Kasus ini secara telanjang mengatakan pertentangan itu tetap ada, trade off antara pembangunan dengan kelestarian lingkungan tetap hadir; bahkan negara Indonesia secara tanpa malu-malu, walaupun tersirat, menyatakan bahwa hambatan terbesar pembangunan adalah kelestarian lingkungan, lalu - dalam otak saya, tentu saja - apa maksudnya “kemana aja lu,..dah basi” tadi itu?
Ekuador telah mengambil jalan yang sangat berani, yang sayangnya tidak ditanggapi dengan semestinya. Ia memberikan sebuah contoh pada apa yang disebut dengan “tanggung jawab global” yang seharusnya juga dijawab dengan “kewajiban global”. Saya tidak membayangkan apa jadinya jika kemudian Ekuador menyerah dengan janji-janji manis tapi palsu environmentalist atau para pecinta lingkungan itu dan kemudian memilih untuk membuka kawasan ITT itu untuk minyak. Yang pasti yang pertama akan menyalak adalah para pecinta lingkungan itu.