24 Mei 2011

Newtress-WWF: Karbon offset dan pertanyaan soal greenwashing?

Apakah carbon offset hanya terjadi antara pihak-pihak di Indonesia dengan mereka di dunia internasional? Permenhut P.30/Menhut-II/2009 memberikan kesan demikian, dengan hanya membagi dua aktor dalam pelaksanaan REDD (dan perdagangan karbon) yaitu: entitas nasional (sebagai pelaksana) dan entitas internasional (sebagai penyandang dana; dengan kata lain, pembeli sertifikat karbon). Tetapi ternyata tidaklah demikian. Carbon offset juga dimungkin antara dua pihak di dalam negeri Indonesia sendiri. Setidaknya itu yang diinginkan oleh program Newtrees-nya WWF Indonesia.

Program ini sudah berlangsung sejak tahun 2007, dengan mengajak para perusahaan untuk menanam pohon di suatu kawasan (Taman Nasional atau hutan lindung atau kawasan yang sudah rusak) sebagai cara untuk perusahaan mengimbangi emisi karbon yang dihasilkan dalam kegiatan bisnis. Kawasan yang pertama dipilih adalah Kawasan Taman Nasional Sungai Sebangau di Kalimantan Tengah. Kawasan lain yang dipilih sebagai area penanaman pohon adalah di Papua (Kawasan Cagar Alam Pegunungan Cyclops) dan di Jawa Barat (Sungai Ciliwung). Perusahaan yang terlibat juga semakin banyak antara lain Nokia, Equinox Publishing, PT Garuda dan PT Tess AMM.

Kegiatan penanaman pohon di kawasan Taman Nasional Sungai Sebangau bahkan sudah direncanakan sebagai salah satu proyek percontohan bagi kegiatan REDD. Hanya saja, menurut dokumen WWF sendiri, tidak disebutkan apakah program Newtrees ini masuk di dalam proyek percontohan REDD di Sebangau sebagaimana disebutkan dalam situs REDD Indonesia. Atau bisa jadi di dalam kawasan yang sama, WWF melakukan dua atau mungkin lebih proyek yang kemudian dimasukkan ke dalam proyek percontohan REDD.

Dengan demikian, program newtress ini memang seperti carbon offset karena berkeinginan mewadahi perusahaan yang ingin mengimbangi emisi karbon yang dikeluarkannya akibat roda bisnisnya dengan menanam sejumlah tertentu pohon di kawasan taman nasional atau hutan lindung. Apa yang dilakukan oleh program ini di Taman Nasional WWF menjadi indikasi kuat.

Pertanyaannya pertama adalah apakah sepadan? Sayangnya saya belum tahu berapa emisi karbon yang dikeluarkan oleh PT Garuda atau PT Nokia pertahunnya sehingga harus dioffset dengan berapa ratus ribu buah pohon yang harus ditanam. Di dalam website WWF sendiri tidak ada penjelasan soal hitung-hitungan seperti itu, sehingga misalnya apakah 100ribu pohon di kawasan seluas 250 ha dapat mengimbangi emisi yang dikeluarkan oleh PT Garuda dalam kurun waktu tertentu (yang juga tidak jelas)? Atau apakah 10ribu ponsel bekas dan aksesori bekas memang pas untuk "dihargai" dengan menanam pohon di area seluas 10 ha di hulu Sungai Ciliwung? Tidak jelas. Tentu akan beda sekali keadaanya jika WWF kemudian membuka ke publik hitung-hitungannya sehingga menjadi jelas perbandingan antara emisi karbon "yang diimbangi" dengan jumlah pohon yang ditanam.

Bagaimana dengan soal greenwashing? Sama sekali berbeda dengan kontroversi di Ulu Masen, Aceh, dimana sebuah perusahaan pertambangan (PT East Asia Mineral) membeli saham Carbon Conservation yang terlibat dalam proyek karbon di Ulu Masen, yang lalu pembelian saham ini diindikasikan sebagai praktek greenwashing oleh perusahaan tambang asal Kanada tersebut. Program Newtress ini berjalan diam-diam dan sepi dari kontroversi.

Mungkinkah karena perusahaan yang terlibat di dalam program ini tidak memiliki conflict of Interest, sebagaimana perusahaan tambang Kanada tersebut yang berkepentingan untuk terlibat di dalam proyek karena ada beberapa proyek tambang (emas dan tembaga) di Aceh dan berdekatan dengan proyek Ulu Masen? Mungkin ini karena kita, terutama saya, tidak menemukan apa kepentingan (langsung) perusahaan-perusahaan yang menanam pohon di Sebangau tersebut, selain menunjukkan kepedulian tinggi untuk berpartisipasi dalam menjaga lingkungan. Tapi apakah PT Garuda tidak memiliki kepentingan agar perusahaannya dianggap hijau dengan ikut menanam 100 ribu pohon untuk kawasan seluas 250 hektare di TN Sebangau? Saya kok ragu. Ya, memang bisa jadi tidak ada kepentingan langsung PT Garuda dengan penanaman pohon (tidak ada kontribusi langsung keberhasilan penanaman pohon itu pada kelangsungan bisnis PT Garuda), tapi bagaimana kepentingan tidak langsungnya; ini strategi marketing yang bertujuan menghijaukan kesan akan PT Garuda?.

Di sisi lain, PT Nokia berterus terang bahwa sumbangan mereka terhadap kegiatan Newtrees ini diharapkan dapat menaikkan citra mereka sebagai perusahaan hijau ("Nokia wants to show our customers that Nokia as a green company has commitment to saving the environment and supporting Indonesia government program One Man One Tree"). Jika dilihat dan dibandingkan dengan press release PT East Asia Mineral Corp, yang juga secara berterus terang mengakui bahwa pembelian ini dilakukan agar bisa dianggap "green", sehingga produknya dapat dikategorikan sebagai produk "green mining" sehingga laku dan dihargai tinggi, kenapa tidak ada yang menganggap PT Nokia juga melakukan "greenwashing"? Apakah karena yang PT East Asia Mineral lakukan itu membeli sementara PT Nokia itu memberi? Atau karena memang inheren kegiatan tambang itu tidak mungkin menjadi "hijau", sehingga apapun yang dilakukan sebaliknya akan dicurigai sebagai greenwashing, sementara perusahaan komunikasi seperti PT Nokia tidak memiliki "cacat bawaan" sehingga lebih mudah menjadi (dianggap) "hijau"?

Sama seperti menilai CSR sebuah perusahaan, apakah sebuah perusahaan melakukan greenwashing atau tidak bisa dilihat dari perilaku perusahaan secara keseluruhan. Apakah "nilai-nilai hijau" yang coba ditonjolkan ke luar itu juga diterapkan di dalam kegiatan sehari-hari bisnisnya, yang bisa dilihat antara lain dalam soal penggunaan energi, pemilihan bahan mentah, proses produksinya, bahkan sampai perlakuannya kepada karyawannya dan seterusnya. Jika nilai-nilai itu tidak diterapkan dalam kegiatan bisnis sehari-hari dan perusahaan tersebut menyumbang untuk kegiatan kampanye hijau, maka menurut saya, sudah masuk dalam kategori greenwashing, karena perusahaan tersebut mencoba mengelabui publik atau konsumennya dengan seolah-oleh tampak hijau, padahal sejatinya tidak. Karenanya tinggal kita perhatikan saja, apakah perusahaan yang terlibat dalam program Newtrees ini benar-benar menerapkan prinsip-prinsip hijau di dalam kegiatan bisnis setiap harinya atau tidak atau, kalau berharap jauh, ada efek positif keterlibatan perusahaan tersebut ke dalam bisnisnya. Sebagian kecil "kewajiban" ini, sebenarnya, juga menjadi tanggung jawab WWF, dengan, misalnya, membuka informasi ke publik soal program ini serta alasan perusahaan tersebut dilibatkan.

Dalam horison yang lebih luas, jika memang benar program newtress ini juga akan dijadikan proyek percontohan REDD, maka segala aturan atau norma soal REDD yang sedang hangat digagas dan diperbincangkan, misalnya soal akuntabilitas dan transparansi pemrakarsa, keterlibatan penuh (dengan FPIC) dari masyarakat yang terkena dampak, sensitivitas atas soal tenurial serta pembagian keuntungan yang adil dengan berbagai pihak, seharusnya juga berlaku di dalam program ini. Ini tentu saja, tidak hanya berlaku bagi WWF, tetapi juga pada kegiatan percontohan REDD yang dilakukan oleh pemrakarsa lainnya. Dan tidak hanya menyorot proyek-proyek yang besar (dan kontroversial) saja seperti di Ulu Masen, eks-PLG-nya KFCP atau UN-REDD di Sulteng.

Ini juga menjadi catatan penting bagi siapapun yang akan melaksanakan program offset karbon di tanah air. Saya kira ada persoalan, yang tidak hanya soal hukum/kepatuhan pada aturan, tetapi juga soal etika dalam pelaksanaan karbon offset ini yang seharusnya juga disinggung oleh para pemerhati dan berbagai pihak. Ada potensi besar berupa "fraud" dalam pelaksanaan karbon offset ini serta penyelewengan yang akan menyingkir tujuan awal dilakukannya offset ini, yang indikasi awalnya, saya kira, akan terlihat dari perilaku greenwashing.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar