26 Juni 2009

Biofuel dari Kayu dan Nasib Hutan

Sebuah perusahaan Pulp/Kertas di Amerika mempelopori pembuatan Biofuel dari kayu. Memang baru 2 tahun yang akan datang, formula yang lebih efesien dan ekonomis akan bisa dinikmati oleh umum. Tentu saja, kabar kayu dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar biofuel atau Bio-butanol ini merupakan "angin surga" bagi pemilik perusahaan Pulp-kertas yang sedang dilanda kelesuan karena kalah bersaing dengan China dan Amerika Latin. Dan mereka akan diuntungkan dengan kebijakan Amerika Serikat yang menginginkan kontribusi signifikan dari Generasi Kedua Biofuel, seperti bio-butanol atau "minyak tanah hijau" di tahun 2022.

Bio-butanol diisukan jauh lebih efesien daripada bio-ethanol yang dibuat dari jagung: lebih mudah dibuat dan dicampur dengan minyak; energinya 30% lebih tinggi dari ethanol dan bisa disalurkan melalui pipa tanpa kawatir pipanya korosif. Selain untuk keperluan bahan bakar, bio-butanol juga bisa dipergunakan untuk kepentingan industri petro-kimia. Klaimnya, bio-butanol ini akan diekstrak dari kayu-kayu buangan yang tidak terpakai oleh perusahaan bubur kertas atau mungkin dari kayu sisa tebangan. Dengan demikian, bio-butanol ini benar-benar bisa mengefesienkan penggunaan kayu dan sekaligus juga menghindarkan dari isu "kompetisi" dengan bahan-bahan lain. chip-timber-for-biofuel

Isu kompetisi dengan makanan adalah hal utama yang membuat posisi bio-ethanol dari jagung tidak lagi diharapkan sebagai rencana besar diversifikasi energi. Bio-butanol bisa keluar dari isu itu. Ia sama sekali tidak berkompetisi dengan bahan-bahan pangan. Namun harus juga dipertanyakan tentang asal bio-butanol yang berasal dari kayu sisa itu. Siapa yang menjamin, ketika ternyata permintaan biofuel semakin meningkat, perusahaan bubur kertas akan mengganti inti usahanya dan tidak lagi mempergunakan kayu sisa untuk membuat bio-butanol sebagaimana diklaim awal. Apakah nantinya perdebatannya akan masuk, sebagaimana nasib biodiesel dari kelapa sawit, ke masalah kelanjutan nasib hutan, sebagai penghasil kayu? [bahkan mungkin melegetimasi perubahan hutan heterogen-alami dengan hutan homogen-industrial, dan kemudian malah dapat insentif dengan REDD?]. Perlu ada studi yang lebih komprehensif, misalnya untuk menjawab komparasi penggunaan kayu untuk kepentingan bubutimber-chip-for-biofuel r kertas dan bio-butanol, oleh siapa dan dengan cara bagaimana supply kayu dilakukan, dst.

Saya kira, kita juga harus belajar dari kasus Jarak Pagar, yang sempat menjadi primadona justru karena "kemudahan perawatan" dan tidak "berkompetisi dengan bahan pangan". Namun, kemudian ternyata jarak pagar tidak "bekerja" sebagaimana yang diharapkan oleh kita semua. Maksudnya, sebuah optimisme yang kelewatan jangan sampai berakhir di kesinisan.

Penemuan energi baru atau terbarukan agar bisa melepaskan diri dari ketergantungan pada energi fosil akan terus berlangsung. Dan pasti tentangan, kritik terhadap penemuan itu akan tetap berlangsung. Kadang saya juga melihat bahwa penentangan terhadap kemajuan penggunaan energi baru/terbarukan tidak hanya dilakukan oleh, misalnya, perusahaan minyak, tetapi juga oleh kaum [yang mengaku] environmentalis. Saya masih ingat dengan tentangan mereka pada ladang pembangkit listrik dari angin yang dianggap tidak estetis dan mengganggu spesies tertentu burung. Maksud saya, perdebatan itu tidak akan selesai, karena sudah sulit untuk membuat sebuah karya tanpa mengorbankan [sedikit atau banyak] dari lingkungan sekitarnya. Perdebatan itu sendiri justru mempertanyakan kapasitas burung dalam beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya dan membuat posisi manusia tetap dominan [sebagai penyelamat, misalnya].

Kemajuan teknologi untuk menemukan bahan yang cocok untuk biofuel saya kira akan terus melaju, seiring dengan dorongan kebijakan pemerintah, pemberian subsidi, kesadaran hijau warga, dll. Reaksi berlebihan seperti itu justru akan membuat kita tetap tergantung pada energi fosil. sayang sekali.

[Semua foto: courtesy of Reuters]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar