19 September 2008

Berkaca Pada Tengku Azmun Jaafar

Oleh: Mumu Muhajir

A. Pendahuluan

Sebuah keputusan pengadilan Tipikor kembali membawa akhir segar bagi pihak-pihak yang sudah lelah dengan makin rumitnya penyelesaian kejahatan kehutanan. Dalam catatan penulis, ini merupakan keputusan pengadilan ketiga yang berpihak pada penyelamatan hutan sekaligus uang negara dimana kejahatannya didekati atau dihukum dengan penegakan hukum korupsi [dua lainnya, adalah kasusnya Suwarna dkk - termasuk didalamnya adalah Martias - serta kasus Adelin Lis]. Jika dilihat dari nilai kerugian negara, kasus Tengku Azmun Jaafar ini merupakan kasus korupsi dengan nilai kerugian negara terbesar, yakni sebesar 1, 208 trilliun.

Putusan ini bukan hanya harus diapresiasi, tetapi juga harus digarisbawahi dengan tinta merah tebal dan kemudian di-advokasi-kan pada semua jajaran penegak hukum bahwa: penyelesaian kejahatan kehutanan tidak lagi bisa hanya menumpukan diri pada peraturan kehutanan [dan mungkin Lingkungan hidup] tetapi juga bisa mempergunakan peraturan tentang pemberantasan korupsi dan bahkan jika memungkinkan: pemberantasan pencucian uang.

Sudah diduga oleh banyak pihak, tata kelola kehutanan yang buruk pastinya akan menarik atau menjadi arena subur tindakan-tindakan ilegal dilakukan, yang bukan hanya beraspek pelanggaran administrasi, tetapi juga perdata dan pidana.

B. Sekilas Kasus Tengku Azmun Jaafar: modus “baru” kejahatan hutan?

Ketika Tengku Tengku Azmun Jaafar Jaafar ditangkap oleh KPK akhir tahun 2007, kedudukan beliau masih menjabat sebagai Bupati Pelalawan, Riau. Setelah ada kepastian status tersangka, jabatan bupatinya dihentikan.

Tengku Azmun Jaafar didakwa oleh Jaksa KPK telah mengeluarkan ijin IUPHHK-HT kepada 15 perusahaan yang tidak kompeten menurut Kepmenhut no. 10.1/kpts-II/2000 tentang Pedoman Pemberian Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Tanaman dan Kepmenhut No. 21/Kpts-II/2001 tentang kriteria dan standar ijin Usaha Pemanfaataan Hasil Hutan Kayu-Hutan Tanaman pada Hutan Produksi. Ijin itu dikeluarkan pada tahun 2002 dan 2002. Sementara luas kawasan hutan yang diberikan ijin seluas 120.000 ha.

Pada tahun 2002, PP no 6 tahun 1999 diganti dengan PP No 34 tahun 2002. Pasal 30 PP No. 34/2002 ini menentukan bahwa Usaha pemanfaatan hasil hutan pada hutan tanaman, dilaksanakan pada lahan kosong, padang alang-alang dan atau semak belukar di hutan produksi. Dalam kenyataannya, pemberian IUPHHK-HT yang dilakukan Tengku Azmun Jaafar itu ternyata lokasi usahanya tidak berada di areal Hutan Tanaman, tetapi malah di Hutan Alam. Bahkan ada lokasi IUPHHK-HT-nya berhimpitan dengan areal HPH lain [yakni, PT Yos Raya Timber]. Lucunya adalah departemen Kehutanan tidak berkeberatan dengan adanya tumpang tindih lahan IUPHHK- HT dengan HPH tersebut, setelah ada surat resmi tidak keberatan dari PT Yos Raya Timber.

Dengan ijin yang dikeluarkannya itu, Tengku Azmun Jaafar diduga telah memperkaya orang lain dan perusahaan, termasuk sanak saudaranya dan selain itu juga menerima gratifikasi.

Pasal yang didakwakan adalah Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 3 UU no 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke -1 dan Pasal 64 KUHP.

Dalam persidangan terungkap bahwa pemberian IUPHHK-HT itu ternyata hanya akal-akalan saja. Selain tidak kompeten, 6 perusahaan diantaranya sengaja dibuat dan diberikan ijin untuk selanjutnya dijual kepada PT Persada Karya Sejati, anak perusahaan RAPP [keterangan berbeda dikeluarkan oleh PT PKS, buka enam perusahaan, melainkan 5 perusahaan yang diambil alih oleh PT PKS].

Keterlibatan RAPP bukan hanya itu, karena PT PKS juga menjalin Kerjasama operasi dengan dua perusahaan yang juga didalamnya ada keterlibatan Tengku Azmun Jaafar yakni PT Madukoro dan CV Harapan Jaya.

Dalam putusan hakim, Tengku Azmun Jaafar terbukti secara sah melakukan tindakan korupsi [memperkaya diri sendiri dan orang lain] dan menghukum Tengku Azmun Jaafar selama 11 tahun 5 bulan dan diharuskan membayar denda sebesar 500 juta. Selain itu Tengku Azmun Jaafar diwajibkan membayar uang pengganti sebesar 12, 367 miliar subsider 4 tahun penjara. Putusan ini setahun lebih rendah dari tuntutan jaksa yang meminta hakim menghukum tengku Azmun Jaafar selama 12 tahun penjara dan denda 500 juta subsider 5 bulan penjara serta membayar uang pengganti sebesar 19, 83 miliiar.

C. Buah Otonomi Daerah?

Menurut keterangan saksi, Bambang Pudji Suroto, salah satu dasar pemberian ijin adalah kebijakan otonomi daerah terutama dalam bagian bahwa pemerintah daerah berperan dalam membuat perencanaan kehutanan sesuai dengan wilayah kewenangannya. Kewenangan itu diberikan berdasarkan UU 41/1999 jo PP no 6 thn 1999 serta UU 22/1999 jo. PP no 25 tahun 2000. Kewenangan itu kemudian dijabarkan dalam Kepmenhut No. 10.1/Kpts-II/2000 dan Kepmenhut No 21/Kpts-II/2001 Kriteria dan Standar Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman pada
Hutan Produksi [lihat lampirannya; membagi kewenangan pemberian IUPHHK-HT antara Bupati, Gubernur dan Manteri Kehutanan - aturan ini dikeluarkan pada 31 Januari 2001].

Tapi - karena keterbatasan data mana perusahaan yang dikeluarkan pada tahun 2002 dan 2003 - kewenangan bupati untuk mengeluarkan IUPHHK-HT sudah dicabut dengan PP no 34 tahun 2002 [dikeluarkan pada 8 Juni 2002]. Sehingga IUPHHK-HT yang dikeluarkan pada tahun 2003 dengan sendirinya batal demi hukum. Karena yang berwenang memberikan IUPHHK-HT adalah Menteri Kehutanan; sedangkan fungsi dari Bupati/walikota atau gubernur sebatas memberikan rekomendasi [Pasal 42]. Bahkan tata cara pemberian IUPHHK-HT tidaklah dengan cara permohonan, sebagaimana diberikan oleh Bupati Tengku Azmun Jaafar, tetapi diganti dengan cara penawaran dalam pelelangan [Pasal 43].

Bisakah Bupati Tengku Azmun Jaafar berlindung dengan ketentuan peralihan PP No. 34/2002? Ketentuan peralihan PP 34/2002 menyebutkan:

c. terhadap permohonan HPH kayu pada hutan alam dan hutan tanaman baik untuk perpanjangan maupun permohonan baru, yang sudah sampai pada tingkat persetujuan prinsip, proses penyelesaiannya dengan cara pengajuan permohonan.
d. Terhadap permohonan HPH kayu pada hutan alam dan hutan tanaman baik untuk perpanjangan maupun permohonan baru yang belum sampai tingkat persetujuan prinsip, proses penyelesaiannya dilakukan dengan cara pelelangan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah ini.

Kapan persetujuan prinsip itu diberikan? Menurut Kepmenhut No. 21/Kpts-II/2001, persetujuan prinsip dikeluarkan oleh Bupati berupa persetujuan pada prinsipnya disetujui areal hutan seluas tertentu yang setelahnya ada kewajiban untuk menyusun AMDAL atau UKL/UPL. Lagi-lagi penulis tidak mengetahui IUPHHK-HT mana dari 15 perusahaan itu yang sudah mendapatkan persetujuan prinsip sehingga tata cara pemberiannya harus dilakukan dengan pemohonan.

Tapi apakah dengan sendirinya Kepmenhut 10.1/Kpts-II/2000 serta Kepmenhut No. 21/Kpts-II/2001 tidak lagi berlaku karena bertentangan dengan PP no 34/2002 sementara jelas-jelas peraturan pelaksana dari PP no 34/2002 terkait pemberian ijin IUPHHK-HT dengan pelelangan belum dibuat? Ini memang membingungkan. Secara de yure, kedua Kepmenhut itu memang tidak lagi berlaku karena isinya bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Namun secara de facto, dua kepmenhut itu masih terus berlaku, sepanjang materi yang tidak bertentangan dengan isi PP no 34/2002.

Kedua Kepmenhut itu sendiri memang pada akhirnya dicabut dengan kepmenhut no 32/Kpts-II/2003 pada tanggal 5 Februari 2003.

Dengan demikian kewenangan Bupati/walikota serta Gubernur memberikan ijin IUPHHK-HT berlaku antara 6 November 2000 sampai dengan 7 Juni 2002; tetapi pengaturan selanjutnya akibat pemberian ijin itu tetap mengikuti dua kepmenhut itu sampai pada tanggal 5 Februari 2003. Bisa dikatakan pada masa antara itulah seharusnya pemberian ijin IUPHHK-HT dikatakan sah secara hukum.

Sepertinya persoalan legalitas pemberian kewenangan selesai sampai di sana. Sejatinya tidak. Karena pemberian kewenangan Bupati/Walikota dan gubernur dalam urusan kehutanan sebenarnya berpijak pada aturan Otonomi daerah, yakni UU no 22/1999 serta PP No 25/2000. Sehingga alasan ini bisa jadi dipakai oleh Bupati Tengku Azmun Jaafar ketika mengeluarkan IUPHHK-HT tahun 2003.

Tetapi dalam pandangan penulis, kewenangan otonomi daerah itu bersifat umum, sementara dalam hal kehutanan, sifatnya lebih khusus, sehingga idealnya adalah ada koordinasi yang lebih bagus antara kebijakan otda dengan kehutanan. Jika tidak ada kondisi ideal itu, maka aturan tentang kehutanan seharusnya dibicarakan terlebih dahulu atau dijadikan dasar ketika membicarakan soal desentralisasi dalam kehutanan.

Pengadilan Tipikor sendiri sepertinya tidak mempermasalahkan apakah ada dari 15 IUPHHK-HT itu yang batal demi hukum karena bukan [lagi] bupati yang berwenang mengeluarkan ijin IUPHHK-HT. Sebaliknya Pengadilan Tipikor hanya mempermasalahkan pemberian ijin diberikan pada perusahaan yang tidak kompeten untuk melaksanakan usaha pemanfaatan kayu. Jika saja pengadilan Tipikor mempertimbangkan masalah barusan maka unsur melawan hukum dari tindakan Azmun tambah kelihatan lagi.

D. Apakah hanya Tengku Azmun Jaafar yang bersalah?

Dalam persidangan, Tengku Azmun Jaafar memang selalu merasa didholimi, karena hanya dirinya saja yang berada di kursi pesakitan. Pemberian ijin IUPHHK-HT sebenarnya berbentuk proses; pastinya ada pejabat lain, bisa di bawah atau bahkan di atas Tengku Azmun Jaafar yang terlibat atau setidaknya mengetahui duduk perkara pemberian ijin itu.

Salah satu masalah yang tengku Azmun Jaafar sorot adalah dikeluarkannya RKT atau Rencana Kerja Tahunan serta BKT-UPHHK-HT pada 10 dari 15 perusahaan tersebut oleh Gubernur Riau, Rusli Zainal, pada awal tahun 2004.

Pemberian RKT dan BKT memang dilakukan setelah ijin IUPHHK-HT diberikan. Ada dua Kepmenhut yang menurut penulis berlaku ketika IUPHHK-HT Tengku Azmun Jaafar diberikan dan RKT-BKT dikeluarkan oleh Gubernur Riau, yakni Kepmenhutbun No. 314/Kpts-II/1999 dan penggantinya, Kepmenhut No. 151/Kpts-II/2003.

Menurut Kepmenhutbun 314/Kpts-II/1999, RKT baru bisa dikeluarkan setelah Rencana karya Pengusahaan Hutan [RKPH] dan Rencana Karya Lima Tahun Pengusahaan Hutan [RKL-PH] disahkan oleh pejabat berwenang. RKPH sendiri disahkan oleh Dirjen Pengusahaan Hutan Produksi sementara RKL-PH disahkan oleh Direktur Pengembangan Kelembagaan Usaha - Dirjen Pengusahaan Hutan Produksi. Sementara BKT baru diberikan kepada pemegang IUPHHK-HT/HPH yang RKT-nya belum disetujui atau belum mengusulkan RKT. Pemberi ijin dari BKT ini adalah Kakanwil Dephutbun Provinsi.

Begitu juga menurut Kepmenhut No 151/Kpts-II/2003, RKT baru bisa dberikan setelah permohonan Rencana Kerja Usaha Pemanfataan Hasil hutan Kayu-Hutan Tanaman [RKUPHHK_HT] dan Rencana Kerja Lima Tahun Pemanfaatan Hasil Hutan kayu-Hutan Tanaman [RKLPHHK-HT] disahkan oleh pejabat berwenang, yakni Dirjen BPK atas nama Menteri. Sementara BKU baru diberikan jika RKUPHHK-HT dan/atau RKLPHHK-HT-nya belum disahkan. BKU itu sendiri dberikan oleh Kadishut provinsi.

Dari dua Kepmenhut itu terlihat bahwa Gubernur Riau sama sekali tidak mempunyai kewenangan untuk memberikan RKT atau BKT kepada 10 Perusahaan tersebut. Padahal dengan RKT/BKU-lah sebuah perusahaan pemegang IUPHHK-HTbisa secara aktual melakukan usaha pemanfaatan kayu, termasuk penebangan kayu sebagaimana dilakukan oleh ke-15 perusahaan tersebut. Dilihat dari segi ini, Rusli Zainal secara sangat fatal melakukan pelanggaran hukum karena dia tidak mempunyai kewenangan memberikan RKT-BKU.

Selain mempertanyakan bagaimana status Gubernur Riau, Rusli Zainal, pertanyaan lebih lanjut muncul: dari ke-15 perusahaan itu siapa saja yang sudah mengantongi RKUPH/RKLPH atau RKUPHHK-HT/RKLPHHK-HT? Siapakah pejabat kehutanan yang memberikan keempat jenis ijin tersebut? Dari uraian di atas terlihat bahwa pejabat di Departemen Kehutanan [Pemerintah pusat] juga diduga terlibat dalam masalah ini atau setidaknya mengetahui permasalahan tersebut.

Keterlibatan pemerintah pusat juga terlihat karena pada tahun 2005 melakukan verifikasi pada sejumlah IUPHHK-HT yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah baik gubernur maupun bupati. Verifikasi itu dimaksudkan memberikan kepastian hukum atas IUPHHK yang diterbitkan oleh Gubernur atau Bupati/Walikota dengan tujuan agar pemanfaatan hutan dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dasar verifikasi bagi IUPHHK-HT adalah Permenhut P.3/Menhut-II/2005.

Hasil dari verifikasi itu yang ada hubungannya dengan kasus Tengku Azmun Jaafar ini adalah adanya 7 dari 15 perusahaan yang lolos verifikasi dari Dephut. Salah satunya adalah CV Tuah Negeri dengan SK Bupati Pelalawan No. 522.21/IUPHHKHT/I/2003/006 tertanggal 25 Januari 2003. CV Tuah Negeri ini mendapatkan pembaruan ijin dari Menteri Kehutanan dengan SK No. 215/Menhut-II/2007 tanggal 28 Mei 2007.

Menariknya adalah dasar dari diloloskan atau tidaknya dari verifikasi ini adalah Kepemenhut No. 10.1/kpts-II/2000 dan Kepmenhut No. 21/Kpts-II/2001. Dalam kedua Kepmenhut itu disebutkan bahwa Peta dan citra satelit menjadi syarat dalam permohonan IUPHHK-HT yang sayangnya tidak diberikan/tidak disediakan oleh perusahaan yang lolos verifikasi. Sehingga verifikasi tidak berjalan sebagaimana seharusnya sebagaimana diminta Permenhut P.03/Menhut-II/2005. Akibatnya adalah ketidaktahuan tim verifikasi bahwa kawasan yang diberikan IUPHHK-HT adalah kawasan hutan alam dan bukannya kawasan yang keadaan vegetasinya sudah tidak berupa hutan alam atau areal bekas tebangan.

Tetapi Tim verifikasi tokh tetap menyerahkan hasil verifikasinya ke Menteri Kehutanan untuk diperbaharui ijinnya. Alasannya adalah adanya Kepmenhut No 162/Kpts-II/2003 yang menegaskan diharuskannya penanaman Hutan Tanaman untuk memenuhi keperluan industri pulp dan kertas.

Pada titik ini hubungan antara kasus ini dengan perusahaan besar pulp dan kertas di Riau mendapatkan jalannya. 7 perusahaan yang diloloskan verifikasi itu diduga ada afiliasinya dengan perusahaan RAPP lewat pengambilalihan oleh PT PKS [Anak Perusahaan RAPP] atau dari kerja sama Operasi. Belum lagi jika dihubungkan dengan gratifikasi yang didapatkan oleh Bupati Azmun. Sementara UU Korupsi sendiri menentukan bahwa pemberi dan penerima suap sama-sama dapat dihukum.

Mencari pertanggung jawaban dari RAPP memang perlu tenaga ekstra. Hal ini disebkan adanya penegasan bahwa PT PKS secara struktural tidak ada kaitannya dengan RAPP [walaupun pernyataan ini dibantah oleh saksi Rumansa, komisaris PT PKS].

RAPP, misalnya, tidak dapat diminta pertanggungjawaban dari 7 perusahaan yang ijinnya tidak benar yang diambilalih olehnya. Apalagi kemudian ke 7 perusahaan itu mendapatkan pembaharuan ijin dari Dephut; yang bisa dikatakan menganulir cacat kelahiran IUPHHK-HT perusahaan tersebut. Posisi RAPP sebagai pihak “pembeli” atau pihak kedua dalam kerja sama operasi memang menguntungkan posisinya. Jika ada yang cacat, maka pihak “penjual-lah” yang bisa dimintai pertanggung jawaban. Tampak bahwa RAPP berposisi sebagai “korban”.

Tetapi walaupun demikian, RAPP jelas telah diuntungkan dengan adanya IUPHHK-HT cacat yang diambil alih olehnya itu. Setidaknya, sudah jelas ada kayu yang ditebang dan diangkat dari areal IUPHHK-HT itu untuk keperluan RAPP. Sejumlah itulah, dalam pandangan penulis, yang bisa dimintakan pertanggung jawaban kepada RAPP.

Atau jika memang sudah jelas faktanya, misalnya secara nyata RAPP mengetahui bahwa perusahaan yang akan diambilalih olehnya itu cacat dan tidak kompeten untuk mendapatkan IUPHHK-HT, maka RAPP bisa diposisikan sebagai “penadah” jika diasosiasikan dengan tindak pencurian.

Yurispendensi atas hal di atas sudah ada, yakni pada kasus Martias dimana Martias diharuskan mengembalikan ke Negara sejumlah uang dari hasil penebangan kayu dari 10 perusahannya yang bekerja tidak sesuai dengan ijinnya. Tetapi status perusahaannya itu tetap tidak dianggap sebagai pelaku korupsi. Begitu juga dengan Kasus Adelin Lis, di mana aka nada upaya sita terhadap harta kekayaan Adelin Lis untuk mengganti kerugian Negara yang diakibatkan tindakan korupsinya.

Untuk lebih gampangnya, siapa yang harus mengembalikan kerugian Negara sebesar 1, 208 trilliun sebagai akibat lahirnya ijin IUPHHK-HT itu yang dimanfaatkan RAPP?

Tantangannya bagi aparat penegak hukum adalah mendudukkan perusahaan sebagai salah satu pihak yang bisa dimintai pertanggung jawaban dalam kasus korupsi [misalnya, pemberian suap atau gratifikasi] dan tidak hanya bertumpu pada pertanggung jawaban individu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar