Tampilkan postingan dengan label minyak. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label minyak. Tampilkan semua postingan

06 Agustus 2012

Masalah pengeboran minyak, lain Brazil, lain Indonesia

Pengadilan federal Brazil memutuskan Chevron dan Transocean untuk menghentikan operasi pengeboran di lepas pantai Rio de Jenairo karena adanya kebocoran minyak dari rekahan di dasar laut di dekat operasi pengeboran mereka dalam jangka waktu 30 hari. Pengadilan bahkan menghukum Chevron dan Transocean untuk membayar denda setiap kali keterlambatan penutupan operasi. Chevron sendiri memutuskan akan banding pada keputusan ini. Dia merasa - peristiwa ini bukan yang pertama kali - bahwa dia pernah secara sukarela menghentikan operasi dan menutup rekahan tersebut. Da merasa punya kemampuan untuk menutup kebocoran itu.

Minyak memang makin sulit didapatkan di daratan atau di laut dangkal. Cadangan-cadangan besar minyak diperkirakan ada di laut-laut dalam. Untuk mengambilnya, bukan perkara yang mudah. Perlu teknologi tinggi dan investasi yang tidak murah. diperkirakan hasilnya juga besar, tapi memang resikonya juga besar. Dalam kondisi seperti itu, aspek lingkungan biasanya dianggap angin lalu, setidaknya hanya dibicarakan dalam PR atau iklan perusahaan.

Brazil mengambil langkah lain: bahwa keselamatan bumi dan manusia tetap harus menjadi prioritas dalam bisnis kaya perminyakan. Sebuah langkah yang punya potensi membawa keburukan, jika Chevron dapat membawanya ke tingkat arbitrase atau pengadilan (tergantung kontrak di awal dan perjanjian lainnya) dan menang; karena berhubungan dengan penghentian operasi sebuah proyek raksasa.

Tidak perlu membuka data lama, satu peristiwa hampir sama dengan respon pemerintah yang jauh berbeda ditunjuk di republik kita tercinta ini. Lapindo mengebor minyak di daratan, di tengah pemukiman dan "krak" pengeborannya mengenai patahan bumi yang membuatnya menyemburkan lumpur sampai sekarang. Ribuan orang kehilangan rumahnya, rasa amannya, Sungai Porong mati, lumpur menggenangi delta laut. Dan sampai sekarang ganti rugi menjadi hantu: dibicarakan tapi tidak ada buktinya. Untuk mengejar itu, beberapa pihak kehilangan harga dirinya (baca cerita Suwandi). Dan, bisa dipastikan, pelakunya lenggang kangkung, tanpa ada hukuman sama sekali. Perusahaan yang sama malah masih memiliki kontrak perminyakan di daerah sebelah Porong.

Dalam hukum lingkungan, ada yang namanya precautionary principle, prinsip kehati-hatian. Bukan dimaknai bahwa ini untuk melindungi lingkungan. Buat apa. Lingkungan tidak perlu dilindungi; yang perlu dilindungi adalah keselamatan manusia dan mahluk lain (heheh, melingkar yak) yang bergantung pada lingkungan. Ekosistem bisa berubah dengan cepat, hutan dibabat, sungai dikotori, bumi disedot isinya terus-menerus, tapi Bumi/lingkungan akan menemui keseimbangan lainnya (hutan jadi tidak ada pohon, sungai jadi penuh polusi, dst); dia akan tetap ada di sana. Manusialah yang akan kena batunya, apalagi jika kesulitan mengadaptasinya.
Saya harap di titik inilah pengadilan federal Brazil mengambil tindakan berani di atas, karena siapa yang bisa menahan ketika semburan itu tidak bisa dihentikan? Berapa ratus ribu barel minyak akan terus keluar dari bumi dan mengotori laut Rio de Jenairo? dan apa dampaknya bagi manusia yang tinggal di tepi pantai? apa dampaknya juga pada pertumbuhan phytoplankton, satu dari dua ekosistem yang dapat mendaurulang gas-gas rumah kaca(satunya lagi hutan tropis), yang semakin hari semakin runyam keadaannya?

12 Mei 2011

Target Norwegia turunkan emisi

Tidak hanya Indonesia, ternyata, yang berkeinginan menurunkan tingkat emisinya. Negara Norwegia - negara yang hendak memberikan 1 milliar dollar Amerika ke Indonesia dalam rangka REDD+ - juga punya targetnya sendiri. Menurut laporan National Communication kelima Norwegia ke UNFCCC, target itu dinyatakan di dalam White Paper No. 34, 2007. Norwegia berjanji akan menurunkan emisi global sebanyak 30 persen di bawah level tahun 1990 pada tahun 2020. Sebagian besar, 2/3, penurunan emisi itu akan dilakukan di dalam negeri. Lalu sisanya? Berasal dari luar negeri dan dilakukan dengan cara offset. Tidak berlebihan kiranya jika komitmen penurunan emisi global itu dibuktikan dengan dorongan Norwegia pada REDD di negara-negara berkembang.

Norwegia memang bisa percaya diri di hadapan negara-negara lain dalam mendorong REDD agar bisa diterapkan dalam skema UNFCCC. Pengelolaan hutannya, terutama penanaman pohon setelah perang (Dunia kedua ?) telah membuat hutan di Norwegia menjadi "carbon sink" (sehingga jadi pengurang dari emisinya). Emisi Norwegia pada tahun 2008 adalah 53.71 Tg CO2 eq jika tidak memperhitungkan emisi sink dari kehutanan (dan perubahan lahan). Namun jika emisi sink dari kehutanan (dan perubahan lahan) dimasukkan maka angka emisinya menjadi 25.15 Tg CO2 eq. Ini berarti sektor kehutanan Norwegia menyumbang pada pengurangan emisi sebesar 28.56 Tg CO2 eq.

Dengan memasukkan sektor kehutanan (dan perubahan lahan) pulalah, target penurunan emisi sebagaimana diminta oleh Protokol Kyoto dapat dilalui Norwegia. Dari tahun 1990 - 2008, Norwegia berhasil menurunkan emisi sebesar 34,6% (Target komitmen pertama Protokol Kyoto sendiri (untuk negara Annex 1) adalah pengurangan emisi sebesar 1% dari level emisi di1990 dan target Norwegia di bawah Protokol Kyoto adalah harus menurunkan emisi sebesar 10 persen di bawah level 1990).

Menurut saya, dengan melihat struktur perekonomiannya, wajar saja. sektor kehutanan menjadi carbon sink di negara Norwegia. Perekonomian mereka sudah "lepas landas", tidak lagi bertumpu pada sumber daya mentah seperti kayu. (selain tentu, harus diakui, pengelolaan hutannya yang memang bagus; kalau tidak bagus bagaimana mungkin muncul IKEA?hehe). Di negara-negara maju juga rata-rata sudah dan sedang terjadi proses penghutanan kembali. Kondisi ini berbeda halnya dengan negara tropis seperti Indonesia yang masih melihat hutan (dan isi didalamnya) sebagai modal pembangunan, sehingga sedang mengalami deforestasi. Perubahan lahan dan kehutanan menjadi penyumbang emisi terbesar negara Indonesia.

Justru ketika sektor kehutanan (perubahan lahan) dikurung tutup dalam melihat struktur perekonomian (dan sumbangan emisinya) Norwegia, kondisinya sebenarnya tidak menggembirakan. Norwegia adalah salah satu pengekspor minyak mentah terbesar di dunia. Hal ini tampak di dalam sumbangan emisi persektornya, bahwa sektor energi menjadi penyumbang emisi terbesar (ini berkebalikan dengan Indonesia, bukan?). Dan bahkan, sumbangan emisinya terus menurus naik sejak tahun 1990 hingga tahun 2008 (dari 29.56 ke angka 39.03). Begitu juga halnya dalam sektor transport. Dan dalam hal penurunan emisi berdasarkan Protokol Kyoto pun tampaknya Norwegia juga keteteran, bukannya menurunkan, sebaliknya emisinya naik 8% dari level di tahun 1990. Karena itu pula, pengurangan emisi tidak hanya dilakukan di dalam negeri (karena kemungkinan tidak akan berhasil, kecuali ada perubahan penting dalam kebijakan energi/transportasi di dalam negerinya), tapi akan mencari "bantuan" dari luar negeri, salah satunya lewat skema REDD.



03 November 2010

20 Juni 2010

Tumpahan Minyak BP dan Deep Ecology


Naomi Klein berbicara mengenai gagalnya usaha BP dalam menggali minyak di perut bumi, yang menyebabkan tumpahnya minyak di Teluk Meksiko. Ia menyebutkan kurangnya prinsip kehati-hatian diterapkan di dalam praktek eksploitasi minyak tersebut, yang ternyata dasarnya berawal dari berubahnya perlakuan manusia pada Bumi. Pra-1600, Bumi masih dianggap sebagai benda hidup, sebagai Ibu; tetapi perkembangan ilmu pengetahuan dan penemuan teknologi, telah membuat Bumi diperlakukan sebagai benda mati yang bisa diatur, ditundukkan dan dieksploitasi. Kecanggihan teknologi telah membuat manusia jumawa dalam memperlakukan Bumi. Terbukti, ketika pengeboran di perut bumi itu gagal, BP sama sekali tidak memiliki rencana/strategi untuk menghentikan "pendarahan" itu; hanya karena BP yakin, usaha pengeboran itu PASTI akan berhasil. Dalam skala yang lebih luas, perusahaan minyak memang sudah demikian jauh meninggalkan prinsip kehati-hatian ini [yang nantinya terwujud di dalam teknologi keselamatan, strategy exit, dst] yang terbukti dalam jomplangnya investasi untuk eksploitasi yang mencapai $39 milliar per tiga tahun, dengan hanya $20juta/tahun untuk riset di dalam keselamatan, pencegahan terkait pengeboran minyak. 

15 Mei 2010

Antara Laut Timor dan Teluk Meksiko

Baru saja nambahin widget dari EPA Amerika Serikat [Badan Perlindungan Lingkungan Amerika Serikat] mengenai peristiwa bocornya pengeboran minyak milik BP di Teluk Meksiko. Informasi mengenai kebocoran minyak ini ramai dibicarakan di media sana. Beragam bentuk informasi: berita, dokumen rahasia, lobi poltik, riset, teknis pengeboran, dampak pada lingkungan dan sosial, begitu mudah didapat.




Kalau dilihat dari jumlah minyak yang bocor, yang diperkirakan sekitar 70.000 barel/hari, memang lebih banyak daripada kebocoran minyak minyak PTTEP di lepas pantai utara Australia yang diperkirakan sebesar 300-400 barel/hari.  Dan jika dihitung antara waktu bocornya - 21 Agustus 2009 dengan ditutupnya kebocoran, 3 November 2009, maka diperkirakan minyak yang tumpah mencapai 75 X 300 - 400 barel = 22.000 - 30.000 barel/hari. Menurut Department of Resources, Energy Australia memperkirakan jumlah minyak yang bocor mencapai 2000 barel/hari, atau mencapai 150.000 barel minyak tumpah di lepas pantai utara Australia.


Saya sangat sulit mendapatkan info mengenai kejadian itu dan setelahnya, termasuk respon pemerintah Indonesia karena bocoran minyak mentah itu masuk ke wilayah teritorinya lewat Laut Timor. Hanya berita kecil-kecil saja, baikdari Australia mauapun Indonesia. Kita bisa tahu berapa jumlah uang yang dipersiapkan oleh BP untuk mengatasi kebocoran itu, yang setidaknya menunjukkan tanggung jawab mereka. BP mungkin target yang gampang untuk diserang karena kebesaran perusahaannya, yang karena itu tanggapannya sangat cepat dan efesien. Dan itu berbeda jauh dengan PTTEP, sebuah perusahaan minyak yang dimiliki oleh Thaksin Sinawatra, mantan PM Thailand, yang sekarang malah memberikan dukungan bagi "kaos merah" untuk menggoyang pemerintahan Thailand.


Apa yang terjadi di Amerika menunjukkan betapa berperannya internet dan "alat bawaanya" berupa social media, sebagaimana tampak dalam wiget yang dibuat EPA itu.



Kapan kita bisa ke arah sana?


------
foto: courtesy of bnet



17 April 2010

Ijin Pinjam Pakai dan Pemenuhan Target Lifting Minyak

Sebuah berita dari Kompas mengurai peranan Ijin Pinjam Pakai dari Departemen Kehutanan dalam memenuhi target pemerintah dalam soal “lifting” minyak. Berita itu secara tidak tersirat pandangan sektor lain pada sektor kehutanan yang dianggap sebagai batu panghalang “pembangunan”. Dalam catatan BP Migas, ada potensi minyak sekitar 100 juta barel yang “terkunci” karena tidak ada ijin dari Departemen Kehutanan. Diperkirakan, jika Ijin Pinjam Pakai itu dipercepat, maka dalam tahun 2014, target lifting pemerintah bisa tercapai. Saat ini Indonesia defisit minyak bumi lebih dari 300ribu barel per hari dimana defisit itu dipenuhi dengan impor.

Departemen Kehutanan sendiri akan berusaha memenuhi kepentingan itu. BP Migas sendiri menyatakan bahwa untuk lahan yang dipergunakan kepentingan perminyakan tidaklah luas dan dilakukan di dalam tanah.

Dalam banyak hal, saya selalu menghadapi dilema, antara kepentingan energi dan perlindungan lingkungan hidup. Saya tentu akan mendukung usaha pemerintah untuk mengurangi kemiskinan lewat peningkatan akses energi bagi setiap warga negara. Itu Hak Asasi yang harus dipenuhi. Tapi kok kenapa kita masih terus bergantung pada sumber energi yang tidak terbarukan seperti minyak bumi? Dan kesadaran ini tidak lahir kemarin sore, tetapi sudah disadari bahkan ketika Indonesia mengalami bom minyak di pertengahan tahun 1980-an.

Seingat saya sudah ada kebijakan dan peraturan yang dibuat untuk mendukung peningkatan energi terbarukan dalam bauran energi kita. Tetapi akselerasinya selalu lambat, dan dalam pandangan saya itu terjadi bukan karena tidak ada kemauan dan usaha dari para stakeholder energi terbarukan, tetapi karena surplus/rente yang didapat dari perminyakan itu luar biasa banyak. Belum lagi soal infrastruktur perminyakan yang sudah mapan dan didukung penuh oleh pemerintah, misalnya dengan memberikan subsidi BBM atau juga subsidi pajak lainnya. Alokasi subsidi pajak dalam APBN-P 2010 bisa dijadikan contoh. Subsidi pajak bagi kegiatan eksplorasi minyak mencapai 2,5 trilliun rupiah sementara subsidi pajak bagi energi terbarukan [panas bumi dan BBN] sekitar 724,3 miliar rupiah. Itu hanya untuk kegiatan eksplorasi minyak saja. Belum lagi pemberian insentif keringanan pajak bagi peralatan perminyakan yang diciptakan untuk mengejar target lifting minyak, serta berbagai keringanan lainnya.

Percepatan perijinan dalam ijin pinjam pakai juga tidak bisa dilepaskan dari usaha pemerintah untuk mengejar target lifting minyak yang ditahun 2009 target itu tidak tercapai [padahal sudah ada banyak keringanan dan insentif] dan diharapkan tahun 2010 target itu [0,965 juta barel/hari] bisa tercapai dengan tambahan lifting dari lapangan PT Chevron Pasifik Indonesia dan dari Pertamina dan mitranya. Dan sudah ada kekawatiran target itu tidak tercapai karena ada masalah di lapangannya Chevron.

Di sisi lain, hutan memegang peranan penting dalam ekosistem dan juga penghidupan puluhan juta warga negara. Dalam isu perubahan iklim, hutan memegang peranan paling besar dalam soal target penurunan emisi Indonesia di tahun 2020. Hutan memegang peran lebih dari separuh usaha untuk mitigasi itu. Dengan adanya REDD, hutan bahkan bisa mendatangkan uang yang juga bisa dipergunakan sebagai dana pembangunan. Dalam soal ini, saya rasa, mempercepat proses perijinan ijin pinjam pakai itu menikung usaha itu.

Bukan, bukan dalam soal luasan yang sedikit atau dikerjakan di dalam tanahnya, tetapi masalahnya adalah ketergantungan pada energi fosil seperti minyak yang terus dipertahankan di tengah limpahan sumber energi lain yang terbarukan dan juga bisa dihasilkan dari kehutanan, semisal BBN dari Nyamplung dan Jarak Pagar dan ketergantungan ini berharga mahal, tidak hanya dari sisi ekonomi, tetapi juga dari segi politik dan harga diri bangsa.

Pembukaan lahan hutan untuk kepentingan perminyakan memang tidak akan banyak dan kerusakan lingkungannya, mungkin, juga bisa diminimalisir, tetapi emisi yang  dihasilkan dari minyak itu justru bisa mengurangi usaha penurunan emisi dari sektor kehutanan. Peningkatan emisi [lokal] ini jelas akan mempengaruhi kapasitas lingkungan kita yang di beberapa kota memang sudah tidak seimbang dengan harga yang juga tidak sedikit [misalnya, biaya kesehatan akibat polusi]. Belum lagi masalah “klasik” akibat perubahan iklim: peningkatan permukaan air laut, perubahan musim tanam, dst yang biaya penanganannya tidaklah sedikit.

Jika alasan di atas terdengar terlalu “negara maju”, “bullshit environment”, kita mungkin bisa menghitung berapa subsidi yang bisa disimpan dengan pengurangan ketergantungan pada minyak? Akan sangat banyak. Dari sisi politik, apakah kehadiran minyak membuat kita menjadi negara yang kuat dan mandiri? Ya, mungkin dalam hal tertentu, tapi bagaimana dengan moral hazard yang terbentuk di lingkungan per-rente-an minyak [korupsi, misalnya]? Dan apakah kita masih punya harga diri, ketika lebih dari 80% minyak yang dihasilkan itu tidak dihasilkan oleh perusahaan nasional, melainkan oleh perusahaan asing? Contoh kecilnya, ketika PT Exxon terlambat berproduksi di lapangan Cepu, sehingga target lifting pun tidak terpenuhi, berapa trilliun yang harus dipakai untuk menambal subsidi BBM dengan mengorbankan banyak kegiatan pembangunan yang lebih penting tinimbang “membakar” bahan bakar? Dan bahkan, pemerintah tidak bisa memaksa PT Exxon untuk mempercepat proses eksploitasinya?

Selain itu, siapa yang menjamin bahwa pemberian ijin itu tidak membuka katup bagi sektor lain untuk juga meminta “jatah” yang sama kepada Departemen Kehutanan dengan alasan untuk pembangunan?

Dalam alur pikir seperti itu pula, saya akan sangat sepakat jika ijin pinjam pakai itu dipergunakan untuk eksplorasi/eksploitasi Panas Bumi. Karena ia tidak hanya mengikuti usaha pemerintah Indonesia mencapai Low Carbon Economy, tetapi juga ia bisa sedikit demi sedikit mengurangi ketergantungan pada minyak dan energi fosil lainnya. Nah, jika situasinya seperti ini, saya juga akan ikut “boooo’ pada mereka yang masih ngomong “konservasi” hutan.

03 Februari 2010

Pencemaran Laut Timor: Titik Terang itu....

Akhirnya saya membaca berita untuk mengkonfirmasikan kebingungan saya di tulisan kemarin. Tim Posko Penanggulangan Pencemaran Minyak di Laut Timor ternyata bisa dikatakan tim lain yang dibentuk oleh pihak Indonesia untuk menanggapi terjadinya pencemaran minyak di Laut Timor. Tim ini berbeda dengan Tim Nasional Penanggulangan Keadaan Darurat Tumpahan Minyak di Laut Timor [PKDTML] yang dibentuk oleh pemerintah pusat.

Selain terang yang itu, ada juga terang yang lain. Pemerintah melalui PKDTML dan dengan dukungan Tim Posko Penanggulangan Pencemaran Minyak di Laut Timor serta Pemerintah Daerah setempat, berhasil membangun kesamaan persepsi dan menelurkan tiga tindak lanjut:

[1] Mengkaji dampak lingkungan dan sosek akibat tumpahan minyak di Laut Timor melalui survei lanjutan,
[2] Menghitung seluruh biaya operasional penanggulangan kerugian lingkungan dan sosek akibat tumpahan minyak,
[3] Memformulasikan hasil analisis dan dukungan data lainnya guna penyusunan tuntutan ganti rugi kepada pihak yang bertanggung jawab, yakni perusahaan pengebor [PTTEP] yang akan dikoordinasikan oleh tim nasional.

Dengan demikian, jelas sudah bahwa tuntutan kerugian belum dilakukan dan entah kapan hal itu akan diformulasikan. Tapi bahwa sebuah koordinasi dan kesamaan persepsi sudah mulai terbangun dalam menghadapi masalah ini.

Di lain pihak, menurut saya, yang masih kurang dari tindak lanjut ini adalah bagaimana melakukan usaha untuk mengurangi dampak pencemaran itu. Misalkna siapa yang akan melakukannya? Dari mana anggarannya diambil? Apa fungsi dan bantuan yang dimintakan kepada pihak Australia atau PTTEP? Membaca point [2] di atas seperti terkesan bahwa sudah ada proses penanggulangan itu sehingga yang dilakukan tinggal penghitungan biaya operasional. Tapi di lapangan sepertinya tindakan itu masih minim.


22 Januari 2010

Pencemaran Laut Timor: Menuntut Ganti Rugi Pada Australia?

Sebuah tim yang bernama Tim Posko Penanggulangan Pencemaran Minyak di Laut Timor menyatakan bahwa Laut Timor terbukti sudah terkena tumpahan minyak mentah yang sumbernya berasal dari Wilayah Pengeboran Montara di Australia. Dan bahkan menyebutkan Indonesia sedang mempersiapkan tuntutan ganti rugi kepada pihak Australia. Tim ini sendiri diketuai oleh Kepala Administrator (Adpel) Pelabuhan Tenau Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT, bernama Pieter Fina.

Sempat juga asa ini melambung melihat "terobosan" [walau terlambat] ini dari Indonesia sebelum kemudian saya disibukkan dengan kebingungan: sebenarnya Tim ini bentukan siapa dan/atau sedang mengatasnamakan siapa? Apakah Tim ini sama dengan Tim Nasional Penanggulangan Keadaan Darurat Tumpahan Minyak di Laut Timor [PKDTML], yang dibentuk oleh Deplu, Akhir November 2009 lalu, yang diketuai oleh Departemen Perhubungan dimana wakilnya adalah Kementerian Lingkungan Hidup? [Penunjukan Departemen Perhubungan sebagai ketua tim didasari karena menurut Mou antara Indonesia dan Australia pada tahun 1996 mengenai "Cooperation on oil Response Preparedness", Dephub-lah yang menjadi focal point dari MoU itu]

Hal ini disebabkan karena Deplu ternyata masih belum bersikap secara tegas apakah akan menuntut ganti rugi atau tidak karena KemenLH - yang menjadi salah satu tim yang dibentuknya November itu - masih kesulitan mengumpulkan barang bukti adanya tumpahan minyak dari Montara. Berita ini dikeluarkan 19 Januari 2010, persis satu hari sebelum pernyataan Indonesia sedang menyusun tuntutan ganti rugi karena kejelasan bukti tumpahan minyak Montara di Laut Timor.

Tuntutan ganti rugi sebenarnya sudah dilontarkan oleh Deplu sendiri serta Kementerian Lingkungan Hidup. Bedanya, jika yang disasar oleh KemenLH adalah pemerintah Australia, maka Deplu akan meminta ganti rugi pada pihak perusahaan eksplorasi minyak. Itu pun dengan syarat bahwa minyak mentah yang ada di Laut Timor itu merupakan minyak mentah yang sama yang bocor dari wilayah pengeboran Montara.

Tidak hanya itu, Deplu bahkan pernah "agak menyalahkan" Dephub karena Dephub belum menyerahkan laporan tentang dugaan pencemaran minyak di Laut Timor tersebut. Padahal berdasar laporan itulah Deplu bisa menyusun nota diplomatik ke Australia.

Tentu saja saya tetap berharap, berita yang dinyatakan di paragraf pertama tulisan inilah yang benar. Jika tidak, saya sekali lagi melihat bagaimana "kacaunya" internal pemerintah dalam berkoordinasi, yang juga diperparah dengan sistem birokrasi dalam internal badan-badan pemerintah sendiri [info yang sepotong disampaikan ke Menteri, internal politik departemen, politik pencitraan bahwa "kami sudah bekerja!", dst]. Semuanya itu merugikan warga negaranya sendiri. Dan pada saat seperti ini, saat di mana peran pemerintah menghilang [atau menghilangkan diri?], masyarakat yang terkena dampak harus bergerak sendirian.


13 Januari 2010

Taman Nasional Yasuni, Ekuador: Antara Minyak dan Perubahan Iklim [3]

Proyek Yasuni Initiative di Ekuador ini nampaknya mulai masuk ke ranah politik. Ekuador, sebagai salah satu anggota OPEC, telah merelakan sebuah wilayah tambang minyak tidak ditambang dengan harapan [akan] mendapatkan bantuan internasional. Ekuador melakukan ini demi perubahan iklim serta perlindungan masyarakat adat. Keuntungan yang dilewatkan oleh Ekuador adalah sekitar 6 miliar dollar.

Nah, Presiden Correa baru saja menerima pengunduran diri Menteri Luar Negeri-nya Fander Falconi. Menlu ini memang berhasil mewartakan "kebaikan" Ekuador ini ke dunia internasional. Namun Presiden Correa mengkritik cara-cara negosiasi yang dilakukan oleh Menlunya ketika mencari bantuan internasional itu. Ia mencontohkan dengan leluasanya Jerman dan Belgia - yang akan berperan sebagai donor - menentukan syarat-syarat perjanjian yang menunjukkan terlalu lembeknya negosiasi yang dilakukan oleh Falconi.

Bisa dipahami kenapa Jerman dan Belgia ingin ikut menentukan syarat-syarat perjanjian. Bukan hanya ini masalah uang publik atau geopolitik, tetapi juga karena mitigasi perubahan lewat hutan ini masih belum mendapatkan bentuknya. Masalah yang menghadang selain perhitungan adalah soal permanance, serta leakage. Karena itu pula dalam masalah perdagangan karbon, isu hutan ini masih "kontroversial" dan bahkan The Gold Standard, standar yang paling dihormati terkait perdagangan karbon, secara eksplisit tidak memasukkan kredit karbon hasil mitigasi perubahan iklim lewat hutan [reforestasi].

[Tapi di sisi yang lain, standar ganda negara maju terlihat terang dalam masalah ini].

Inilah yang kemudian dikawatirkan beberapa pihak dengan keberanian Ekuador mengajukan inisiatif mitigasi perubahan iklim lewat keberadaan hutannya, apalagi kemudian Ekuador secara implisit menyandarkan bantuan internasionalnya lewat perdagangan karbon yang dalam implementasinya selalu menyinggung carbon offset. Jadi bukan hanya masalah Carbon Offsetnya, tetapi juga standard mengenai perdagangan karbon untuk mitigasi perubahan iklim lewat hutan masih belum jelas.

11 Januari 2010

Pencemaran Laut Timor: Pemerintah Indonesia Jangan Hanya Diam

Tak terasa sudah enam bulam sejak insiden kebocoran minyak dari wilayah eksploitasi Montara, Australia yang menyebabkan pencemaran sampai ke Laut Timor, Indonesia. Sepertinya keadaan makin bertambah buruk: laut berubah warna, kemunculan ikan Paus berkurang, beberapa biota laut menghilang [mis, Sarden] yang berdampak besar pada nelayan yang menggantungkan hidupnya dari keberadaan Laut Timor. Tapi pemerintah Indonesia menghadapinya dengan santai.

Pemerintah Indonesia memang membentuk badan ad-hoc [sebuah "penyakit" negara ini, yang gampang membentuk badan baru, lembaga baru, dengan kerja yang tidak jauh beda dengan badan resmi yang coba digantikan/dibantu perannya] bernama Tim Nasional Penanggulangan Keadaan Darurat Tumpahan Minyak di Laut Timor yang dibentuk oleh Deplu sekitar 3 bulan yang lalu. Namun Tim ini seperti belum efektif bekerja; karena sampai sekarang belum menyampaikan hasil penelitian mereka atas dugaan pencemaran itu. Nantinya, hasil laporan tim itu akan menjadi dasar bagi Deplu untuk bergerak. Atas alasan belum diterimanya laporan penelitian dari tim itu, Deplu terkesan diam saja dihadapan Pemerintah Australia ataukah karena ada alasan lain yang berhubungan dengan hubungan politik dua negara tetangga ini?

Berikut adalah siaran pers dari YPTB:

Siaran Pers:
*Laut Timor Tercemar Sangat Dahsyat Masyarakat Indonesia di Timor Barat Diabaikan *

Fakta demi fakta pencemaran Laut Timor yang diupayakan dan dikumpulkan oleh Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB) dengan membangun aliansi bersama masyarakat dan organisasi serta pakar lingkungan di Timor Barat-Rote Ndao-Sabu-Alor-Sumba,Jakarta termasuk Timor Leste dan Australia telah membuktikan dengan sangat signifikan dan meyakinkan bahwa Laut Timor telah tercemar sangat dahsyat akibat dari ledakan ladang minyak Montara pada 21 Agustus lalu,dan telah mengakibatkan kerugian ekonomis yang sangat besar bagi masyakat pesisir Laut Timor khususnya dan masyarakat umumnya serta
kerusakan ekologis di Laut Timor. Akan tetapi Pemerintah Republik Indonesia hanya menanggapinya dengan sangat santai bahkan terkesan mengabaikan saja pencemeran ini seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Bahkan, lebih celaka lagi ada oknum aparat Pemerintah Indonesia yang berbicara seolah-olah menjadi juru bicaranya Australia dalam soal pencemaran laut Timor ini.

Penegasan ini disampaikan Ketua Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB),kepada pers di Kupang,Minggu (10/01). Buktinya, kata mantan agen Imigrasi Kedutaan Besar Australia ini bahwa Tim Nasional Penanggulangan Pencemaran Laut Timor yang sejak diumumkan pembentukannya oleh Departemen Luar Negeri Indonesia yang sudah hampir tiga bulan lalu itu hanyalah sebagai sebuah slogan belaka karena tidak berani secara terbuka mengumumkan secara tegas dan resmi bahwa laut Timor telah tercemar dan mengambil langkah-langkah untuk menuntut ganti rugi dari Australia.

Departemen Luar Negeri Indonesia dinilainya hanya mencuci tangannya saja dengan alasan,belum bisa mengambil tindakan diplomasi lanjutan terhadap Australia dikarenakan belum menerima hasil penelitian dari Tim Nasional Pencemaran Laut Timor. Bagaimana bisa ada hasil penelitian sementara tim nasional yang dibentuk tersebut hanya ongkang-ongkan saja di Jakarta. “Tindakan aparat Pemerintah Pusat Ini sebagai sebuah pelecehan dan pengabaian terhadap eksistensi masyarakat dan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia”.

Ironisnya,kata penulis Buku Skandal Laut Timor,Sebuah Barter Politik Ekonomi Canberra Jakarta ini bahwa apakah oknum aparat Pemerintah Pusat dan daerah mengetahui dan paham tentang masalah lingkungan adalah merupakan masalah universal sehingga tidak memiliki batas dan ruang wilayah khusus bagi kelompok masayarakat,suku bangsa dan Pemerintahan tertentu di dunia ini akan tetapi merupakan kewajiban bersama seluruh umat manusia di dunia ini untuk menjaga dan melestarikannya.

Tindakan oknum aparat Pemerintah ini sangat kontradiktif dengan komitmen Pemerintah Republik Indonesia tentang pelestarian lingkungan yang diperjuangkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono belum lama ini di Copenhagen dalam Konferensi Perubahan Iklim,katanya. Kepada pers di Kupang,Tanoni menyampaikan juga ringkasan hasil survei yang dilakukan oleh Richard Mounsey ahli manajemen Perikanan dan mantan Kepala Urusan
Perikanan,Kelautan dan Lingkungan Hidup tahun 2000-2002 Pemerintahan Transisi Timor Timur- UNTAET (United Nations Transitional Administration On East Timor) dengan bantuan dari staf dari kantor Sekretaris Negara Timor Timur Wilayah Oecusse dan Departemen Perikanan di Oecusse.

Atas permintaan YPTB dan Sekretaris Negara Timor Leste Wilayah Oecusse. Kegiatan memancing selama beberapa tahun terakhir di Oecusse sampai bulan September 2009 relatif stabil, dapat diandalkan dan dapat diramalkan. Namun pada minggu kedua bulan September 20'09 hasil tangkapan menurun tajam sekurang-kurangnya 50%, dan di beberapa lokasi mencapai 70% dan umumnya memburuk menjadi 80% sampai akhir Desember 2009.

Sementara pendapatan dan protein bagi masyarakat di Oecusse selama bulan berjalan berkurang, menyebabkan kekurangan gizi pada anak-anak. Bangkai ikan yang diamati di bulan September/ Oktober di daerah barat dan tengah, termasuk, cumi-cumi,hiu dan lumba-lumba ditemukan pertama kali oleh seorang nelayan tua dan pernah menyaksikan ikan lumba-lumba mati di pantai. Ikan lumba-lumba di sepanjang pantai seluruh Oecusse telah lenyap. Penampakan migrasi ikan paus untuk Oktober sampai Desember 2009 kurang dari 10% dibandingkan pada 3 tahun sebelumnya. Sebagian besar jenis ikan sarden,telah lenyap.

Kejernihan air pada pertengahan September hingga Oktober 2009 sangat buruk.
Masyarakat menggambarkannya air laut telah berubah menjadi warna putih menyerupai susu. Sebagian besar pemimpin masyarakat di Oecusse berpikir bahwa mungkin salah satu dewa mereka telah menghukum mereka dengan mengambil ikan itu sehingga mereka malu untuk melaporkan situasi atau untuk berbagi informasi dengan masyarakat lain dan Pemerintah.

Dalam ringkasan survey tersebut, lanjut Tanoni bahwa pada pertengahan bulan September hingga Nopember 2009, arus di laut Timor bergerak sangat kuat sekali dan berputar dari arah Selatan menuju Utara mulai dari Pulau Rote ke Oecusse, melewati Atapupu kemudian ke Alor dan Pulau Sumba dan Pulau Sabu jelas tercemar karena berada persis ditengah serta ada kemungkinan besar pencemaran tersebut menjangkau perairan Laut Flores di Kabupaten Ende. Hasil survey yang dilakukan secara independen oleh saudara Richard Mounsey seorang ahli manajemen perikanan berkebangsaan Australia ini, kata Tanoni tidak perlu diragukan lagi karena apa yang dikemukakan ini sama persis seperti yang dirasakan dan dialami oleh seluruh masyarakat yang mendiami Timor
Barat, Rote Ndao,Sabu, Alor dan Sumba selama ini. Akan tetapi, anehnya Pemerintah Indonesia tetap hanya berdiam diri seolah sedang menunggu sesuatu yang tidak pernah diungkapkan, ujarnya

Kupang, Minggu, 10 Januari 2010

Kontak:

Ferdi Tanoni
081 3391 23532

Yayasan Peduli Timor Barat,
(West Timor Care Foundation)
Jalan Perwira 33
Kupang-Timor Barat
Phone/Fax :+62380830191
Email:westtimorcarefoundation@yahoo.com
westtimorcarefoundation@gmail.com




11 November 2009

Next: Politisasi Pencemaran Laut Timor?

Lambatnya pemerintah pusat Indonesia dalam merespon terjadinya pencemaran lingkungan di Laut Timor akibat bocornya minyak PTTEP Australasia di rig Montara mulai menuai kecaman. Bukan hanya dari kalangan LSM di NTT, tetapi juga politisi. Walaupun politisi yang baru secara serius menekan pemerintah Indonesia hanya politisi dari Partai Amanat Nasional. Intinya: pemerintah Indonesia belum melakukan apa-apa untuk menekan pemerintah Australia dalam kasus pencemaran lintas batas ini.

Kasus ini bisa membuka banyak masalah, baik dalam maupun luar negeri Indonesia: kecilnya perhatian pemerintah pada masalah lingkungan hidup, Koordinasi antar departemen dalam masalah laut, laut yang selalu dianggap “empty space”, perlakuan pemerintah pada pulau-pulau terluar, pencemaran lingkungan lintas negara, hubungan politik dua negara, perjanjian batas dua negara, kehidupan ekonomi masyarakat di Indonesia Timur.

Lemahnya koordinasi antar lembaga di pemerintah pusat terlihat dari belum adanya laporan yang diterima Departemen Luar Negeri dari tim yang diundang pemerintah Australia yang berasal dari Departemen Perhubungan. Kita juga tidak melihat apa yang dilakukan oleh Kementrian Negara Lingkungan Hidup.

Pemerintah pusat sepertinya harus bertindak segera untuk mencegah kasus ini berlanjut ke berbagai arah. Pembentukan tim nasional yang memonitor sudah sejauh mana tumpahan minyak itu masuk ke wilayah Indonesia serta dampaknya pada kehidupan masyarakat dan biodata dan ekosistem sepertinya merupakan langkah awal yang penting tapi terlambat. Indonesia harus memiliki data sendiri, yang berasal dari penelitian sendiri atas kasus ini dan tidak menggantungkan pada data-data yang disodorkan oleh pihak Pemerintah Federal Australia maupun operator minyak Montara, PTTEP Australasia. Data itu sangat penting ketika melakukan perundingan dengan pemerintah Australia untuk meminta tanggung jawab mereka.

Namun, sebelum sampai ke sana, sebelum kita membuka borok-lamban-[kadang] tidak kompeten pemerintah Indonesia [sesuatu yang masih laten], pemerintah Indonesia harus bisa menekan Pemerintah Australia agar melakukan berbagai upaya untuk mencegah meluasnya tumpahan minyak itu di wilayah Indonesia dan Pemerintah Australia harus melakukan itu. Dan itu tidak harus disertai dengan bukti dampak dan besarnya ganti rugi. Prinsip hukum lingkungan internasional menjamin permintaan Indonesia itu legitimate. Ini saya kira harus terlebih dahulu dilakukan oleh Pemerintah Indonesia sebelum menyusun nota keberatan, penelitian dampak, dll. Tindakan Australia itu harus berada di bawah koordinasi pemerintah Indonesia. Dan saya belum mendengar sikap itu dari pemerintah Indonesia.

Lalu setelah ada tindakan nyata Pemerintah Australia, baru kita boleh ngomong soal liability, ganti rugi, dst. Masuknya suara politisi ke dalam kasus ini semoga tidak hanya menambah bising dan melupakan esensi penting dari apa yang harus dilakukan terlebih dahulu oleh pemerintah Indonesia dan pemerintah Australia : Hentikan Meluasnya Minyak di Laut Timor, Segera!.

03 November 2009

Taman Nasional Yasuni, Ekuador: Antara Minyak dan Perubahan Iklim

Seorang aktivis lingkungan hebat Indonesia pernah dengan agak mengumpat memberikan pendapat akan masih adanya pertentangan antara pembangunan dan kelestarian lingkungan di kalangan pemerintah dengan menyatakan kira-kira: “kemana aja lu, dah basi itu…” Menurutnya, pertentangan itu sudah berakhir; slash [ / ] itu sudah sewajarnya dicoret [mungkin dia murid Derrida yang patuh] dan yakin bahwa sudah ada solusi terhadap itu. Saya, si pandir itu, mencoba mencari tahu dalam jejalan informasi di alam maya, di mana saja dan hanya menemukan satu “solusi”: pembangunan berkelanjutan. Tapi saya tak yakin, ‘solusi” itu adalah solusinya. apalagi istilah itu hanya enak dijadikan bahan pidato di tengah pendengar yang tidur.

Sampai kemudian saya membaca laporan tentang Taman Nasional Yasuni di Ekuador serta Yasuni-ITT initiative-nya ini dan semakin menyakini, sehebat apapun usahamu mencoretnya, pertentangan itu masih ada. Bayangkan sebuah taman nasional yang kaya dengan keanekaragaman hayati dan dihuni serta dihidupi oleh setidaknya tiga suku Waorani. Tapi tepat di bawahnya, ada cadangan terbukti [proven!] minyak sebesar lebih satu miliar barel minyak mentah. Bukan hanya itu, minyak adalah andalan ekspor Negara Ekuador.

Sejak tahun 1900, konflik antara perusahaan minyak dan atau perusahaan kayu dengan suku Waorani sudah sering terjadi. Blok-blok minyak berulang kali berganti kepemilikan meninggalkan berbagai konflik, salah satunya antara pertarungan hukum antara Chevron dengan beberapa penduduk lokal dan masyarakat adat, termasuk Suku Waorani. Konflik itu bermula dari dugaan adanya pencemaran lingkungan yang dilakukan oleh Texaco [perusahaan yang kemudian dibeli oleh Chevron] dengan cara membuang kurang lebih 16 miliar galon limbah cairnya ke saluran sungai di areal taman nasional selama masa operasi mereka dari tahun 1964 - 1990. Tuduhan diajukan pada tahun 1993 di pengadilan federal Amerika Serikat, namun pada tahun 2003 pertarungan dipindahkan ke Ekuador dengan memakai sistem hukum Ekuador.   

Di sisi lain, terjadi perubahan kebijakan di pemerintahan Ekuador yang membuka jalan bagi munculnya Presiden Correa. Namun, tekanan terhadap Taman Nasional Yasuni sekarang tidak lagi masalah konflik antara masyarakat dengan perusahaan minyak atau perusahaan kayu atau perambah haram, namun juga ada tuntutan dari kalangan “pencinta lingkungan” atau environmentalist agar pemerintah Ekuador mempertahankan keberadaan Taman Nasional Yasuni. Dengan kata lain, pemerintah Ekuador diminta untuk tidak mempedulikan keberadaan minyak mentah dibawahnya.

Mereka sepertinya menang. Pada tahun 2007 bersamaan dengan pelaksanaan COP 13 di Bali, Presiden Correa mengumumkan Yusani-ITT Initiative, proyek perlindungan wilayah ITT [blok minyak kedua terbesar di dalam Taman Nasional Yusani, dengan cadangan minyak terbukti 850 juta barel minyak mentah]. Ekuador menantang dunia internasional dengan menyatakan bahwa Ekuador akan melepaskan kesempatan mengeksploitasi wilayah kaya minyak itu demi untuk memenuhi 3 tujuan masyarakat internasional: melindungi keanekaragaman hayati, menghormati hak-hak masyarakat adat dan mengendalikan perubahan iklim. Sebagai imbalannya, Ekuador meminta dunia internasional menyediakan kompensasi sebesar $350 juta/tahun atau hanya separuh jika wilayah itu dieksploitasi demi minyak. Berkali-kali usaha dilakukan, tenggat waktu diperpanjang, dan sebagainya, tetapi hasilnya hanya ngomong saja atau janji kosong saja seperti Pemerintah Jerman yang berjanji akan memberikan sejumlah dana namun sampai saat ini tidak ada realisasinya.

Tapi Ekuador atau supporter naifnya belum kehilangan asa. Tahun ini mereka melirik perdagangan karbon. Mereka berencana membuat “Yasuni Guarantee Certificates” dan akan menjualnya di pasar bebas atau, kalau sudah ada, pasar wajib karbon. Tapi jelas, pilihan menerbitkan “Yasuni Guarantee Certificates” di pasar karbon tidak akan memenuhi salah satu tujuan mengapa Yasuni-ITT dibuat, yakni pengendalian perubahan iklim. Karena dengan sistem offset, mereka yang seharusnya mengurangi emisinya dapat terus melanjutkan kegiatannya setelah membeli “Yasuni Guarantee Certificates” itu. Tapi apakah para pecinta lingkungan memberikan alternatif lain? Mana sumbangan itu?

Kasus ini secara telanjang mengatakan pertentangan itu tetap ada, trade off antara pembangunan dengan kelestarian lingkungan tetap hadir; bahkan negara Indonesia secara tanpa malu-malu, walaupun tersirat, menyatakan bahwa hambatan terbesar pembangunan adalah kelestarian lingkungan, lalu - dalam otak saya, tentu saja - apa maksudnya “kemana aja lu,..dah basi” tadi itu?

Ekuador telah mengambil jalan yang sangat berani, yang sayangnya tidak ditanggapi dengan semestinya. Ia memberikan sebuah contoh pada apa yang disebut dengan “tanggung jawab global” yang seharusnya juga dijawab dengan “kewajiban global”. Saya tidak membayangkan apa jadinya jika kemudian Ekuador menyerah dengan janji-janji manis tapi palsu environmentalist atau para pecinta lingkungan itu dan kemudian memilih untuk membuka kawasan ITT itu untuk minyak. Yang pasti yang pertama akan menyalak adalah para pecinta lingkungan itu.

25 Oktober 2009

Tuntutan Penduduk Kivalina Ditolak Pengadilan

Tuntutan penduduk Kivalina, Alaska terhadap 24 perusahaan minyak, listrik atas terjadinya kerusakan lingkungan di sekitar kota mereka akhirnya ditolak oleh pengadilan tingkat pertama di California. Penolakan ini didasarkan pada dua hal: pertama, karena tuntutan itu menerbitkan “non-justiciable political question” dan kedua, penuntut tidak mempunyai dasar hukum untuk menuntut.

Dalam sistem peradilan Amerika sana ternyata ada yang namanya Doktrin Masalah Politik, dimana doktrin ini lahir sebagai konsekuensi adanya doktrin pemisahan kekuasaaan [legislatif, eksekutif, yudikatif] dimana ada masalah publik yang merupakan masalah politik dan bukan masalah hukum, sehingga masalah politik itu seharusnya diselesaikan oleh institusi politik, seperti legislatif dan eksekutif. Dalam masalah seperti itu, pengadilan tidak mempunyai wewenang untuk memeriksa perkara.

Hakim di pengadilan pertama itu berpendapat bahwa masalah siapa yang bertanggung jawab, bersalah dan diharuskan menanggung biaya atas terjadinya pemanasan global merupakan masalah yang harus diselesaikan terlebih dahulu di tingkat politik. Dalam kasus Kivalina ini, misalkan dalam hal mencari hubungan antara aktivitas 24 perusahaan, perubahan iklim dan dampaknya pada penduduk Kivalina, penuntut menyederhanakan hal itu terjadi karena aktivitas yang dilakukan oleh pihak tertuntut [dengan menghasilkan Emisi Rumah Kaca] dan untuk menjawab pertanyaan mengapa hanya ke-24 perusahaan yang dituntut? karena merekalah aktor utama terjadinya perubahan iklim. Penuntut tidak bisa membuktikan adanya Emisi Rumah Kaca tertentu yang dihasilkan oleh aktor tertentu yang kemudian memberikan dampak tertentu pada penduduk Kivalina, sesuatu yang dalam dalam doktrin pengadilan Amerika sebagai “judicially discoverable and manageable standards”.

Ketiadaan “judicially discoverable and manageable standards” itu telah menyebabkan kasus ini memenuhi kriteria Doktrin Masalah Politik di atas. Dengan kata lain, penuntut meminta kepada pengadilan untuk memberikan putusan politik yang menyebutkan bahwa ke 24 perusahaan itulah yang menanggung biaya atas terjadinya perubahan iklim. Padahal patut dipercaya bahwa yang menghasilkan emisi rumah kaca bukan hanya ke-24 perusahaan itu, namun terdapat di hampir penjuru dunia dan berdampak pada planet bumi secara keseluruhan. Pengadilan merasa bahwa untuk masalah pembagian kesalahan dan juga biaya atas terjadinya perubahan iklim lebih baik diserahkan pada keputusan politik di legislatif atau di eksekutif.

Hal kedua yang menyebabkan tuntutan Kivalina itu ditolak adalah masalah legal standing penuntut. Menurut hakim, tidak bisa dibuktikan adanya tindakan ke-24 perusahaan itu pada kerugian yang diderita oleh penuntut menjadi salah satu faktor ditolaknya tuntutan itu.

Kasus Kivalina ini seperti akan terus berlanjut, karena penuntut melakukan banding ke pengadilan lebih tinggi.

24 Oktober 2009

Tumpahan Minyak Montara dan Perlunya Kesepakatan Regional di Laut Timor

Kejadiannya di mulai di jurisdiksi negara tetangga, Australia. Pada 21 Agustus 2009, sebuah rig minyak dalam proyek eksplorasi minyak lepas pantai terbesar kedua di Australia bernama Montara gagal dalam melakukan pengeboran sehingga minyak dari dasar laut sedalam kurang lebih 2,6 kilometer itu menyembur keluar dan mengotori Laut Timor. Rig minyak bernama The West Atlas itu dioperasikan oleh PTTEP Australasia, anak perusahaan PTTEP Thailand – dimiliki oleh mantan PM Thailand, Thaksin Sinawatra, dan berada di 690 kilometer dari Kota Darwin, Australia. Tumpahan minyak itu menggenangi areal seluas 2500 mil persegi pada 30 Agustus 2009; kemudian pada 3 September 2009 mulai 3951854968_b3ddea6dd0_bmemasuki wilayah Indonesia dengan posisi pada tanggal 29 September 2009 berada sejauh sekitar 50 mil dari batas wilayah perairan laut antara Indonesia-Australia. PTTEP sendiri sejauh ini sudah melakukan tiga kali usaha untuk menutup kebocoran itu, tetapi semuanya gagal.

Tumpahan minyak di daerah “Coral Triangle” itu jelas telah menerbitkan protes dari banyak pihak, baik dari Australia maupun Indonesia. Protes dari kalangan environmentalis berdasarkan pada potensi mati dan hilangnya keanekaragaman hayati di tempat itu. Wilayah itu merupakan koridor bagi migrasi paus dan penyu, berbagai jenis ikan dan terumbu karang. Protes juga terbit dari kalangan nelayan Indonesia yang menggantungkan hidup dari keberadaan ikan di wilayah Laut Timur yang menghasilkan komoditas kurang lebih 130.000 ton/tahun. Jika tumpahan minyak itu terus masuk ke wilayah Indonesia, dikawatirkan ia akan masuk ke kawasan perlindungan laut terbesar di Indonesia, Kawasan Konservasi Perairan Nasional Laut Sawu. Protes kalangan masyarakat sipil di Australia juga mempertanyakan kebenaran jumlah minyak yang tertumpah yang diklaim oleh Pemerintah Federal Australia dan PTTEP sebesar 500.000 liter per hari.

Dengan demikian, permasalahan yang bisa dilingkupi adalah adanya rig minyak yang dimiliki oleh operator swasta yang berada di jurisdiksi Australia yang mengalami kebocoran [berarti bukan di wilayah ZEE], yang tumpahan minyaknya memasuki wilayah negara lain, Indonesia, dimana tumpahan minyak itu berada di kawasan kaya keanekaragaman hayati laut. Jadi ada beberapa “wilayah” hukum atau aturan yang saling berkaitan: aturan tentang laut dan kelautan,aturan tentang pengeboran minyak lepas pantai dengan aturan lingkungan hidup, baik nasional maupun internasional.

Aturan Internasional tentang laut dan Polusi

Sedikit penjelasan tentang aturan yang mengatur mengenai polusi di suatu negara yang berakibat pada negara lain sudah saya tuliskan di sini.

Tumpahnya minyak Montara itu jika disederhanakan merupakan kejadian yang melanggar aturan tentang lingkungan hidup di wilayah laut. Hal ini terjadi karena aturan internasional yang langsung mengatur mengenai polusi dari aktivitas seperti ini masih dalam tahap perkembangan.

Dalam UNCLOS, aktivitas polusi akibat pengeboran minyak di lepas pantai di dasar laut itu dimasukkan dalam Pasal 208 UNCLOS yang mengatur mengenai Polusi Akibat Aktivitas Bawah Laut di Jurisdiksi suatu Negara. Dalam pasal itu tertera jelas bahwa negara pantai berkewajiban membuat aturan dan hukum yang mencegah, mengurangi dan mengontrol polusi dari aktivitas di bawah laut, dimana aturan dan hukum itu tidak boleh lebih lemah daripada aturan internasional, standar dan prosedur serta best-practice yang mengatur aktivitas tersebut. Negara-negara juga diharuskan melakukan harmonisasi kebijakan dengan negara lain di wilayah regional yang sama. Dalam hal terjadi polusi, maka negara yang masuk dalam Pasal 208 ini harus melakukan usaha untuk mencegah, mengurangi dan mengontrol polusi tersebut. Dari apa yang dimaksud dengan aktivitas di dasar laut, maka aktivitas pengeboran minyak lepas pantai dimasukkan dalam kriteria aktivitas di dasar laut.

UCLOS juga mengatur mengenai polusi yang dikibatkan aktivitas di dasar yang berada di luar jurisdiksi suatu negara Pasal 209]. Dalam kasus ini, aturan ini tidak akan saya singgung, karena Montara berada di wilyah jurisdiksi Australia.

Aturan Internasional lain yang juga bisa diberlakukan adalah 1972 London Convention, 1976 Mediteranian Convention, kemudian di tahun 1982, UNEP mengeluarkan pedoman tentang penambangan dan pengeboran lepas pantai.

Sampai sekarang, belum ada aturan internasional yang menerjemahkan secara detail Pasal 208 ini, terutama dalam masalah polusi dari aktivitas perminyakan. Karenanya negara-negara hanya melakukan harmonisasi kebijakan yang pemberlakuannya bersifat regional. Aturan itu adalah:

1. 1989 The Kuwait Protocol concerning Marine Pollution Resulting from Exploration and Exploitation of the Continental Shelf

2. 1994 THE PROTOCOL FOR THE PROTECTION OF THE MEDITERRANEAN SEA AGAINST POLLUTION RESULTING FROM EXPLORATION AND EXPLOITATION OF THE CONTINENTAL SHELF AND THE SEABED AND ITS SUBSOIL [1994 Madrid Offshore Protokol; berlaku di Laut Mediterania; belum berlaku]

3. 1992 The Black Sea Convention

4. 1992 The Baltic Sea Convention

Tampak bahwa belum ada aturan yang sifatnya regional yang mencandra terjadinya tumpahan di Laut Timor itu. Maka nampaknya ia akan disandarkan pada aturan nasional negara Australia.

Kewajiban Negara Australia

Australia ternyata membagi wilayah kewenangan laut antara negara bagian dengan negara federal hampir sama dengan bagaimana Indonesia membagi kewenangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah provinsi. Wilayah laut seluas sampai 3 mil dalam laut teritorial menjadi tanggung jawab negara bagian [“state”] sementara wilayah lebih dari 3 mil laut menjadi kewenangan negara federal. Dalam hal terjadinya polusi di wilayah suatu negara dan berdampak pada wilayah negara lain, maka sudah menjadi prinsip internasional, negara “pembuat” polusi menjadi negara yang bertanggung jawab untuk menjaga dan menghentikan polusi tersebut. Tapi dalam implementasinya digantungkan pada hukum nasional dan kalau bisa aturan bilateral atau regional wilayah negara tersebut. Bagaimana dengan polusi yang dihasilkan dari aktivitas pengeboran minyak lepas pantai yang berdampak pada wilayah negara lain?

Untuk masalah lingkungan dalam pengeboran lepas pantai, Australia memiliki beberapa aturan, yakni: Petroleum (Submerged Lands) Act 1967 dan Environment Protection and Biodiversity Conservation Act 1999. Karena tumpahan minyak juga masuk ke dalam kawasan laut negara bagian, maka aturan lingkungan di negara bagian tersebut juga wajib dilihat. Harus dilihat juga Persetujuan antara APPEA dan Departemen Lingkungan Australia, yang merupakan kesepakatan bersifat voluntary dalam hal pelaksanaan best practice dalam pengelolaan lingkungan dalam aktivitas perminyakan.

Tampak bahwa sebenarnya aturan hukum di Australia juga bersifat Command and control, dalam arti peran pemerintah sangat berarti dalam menjaga lingkungan dengan cara membuat standar, memberikan perijinan dan mengawasi perijinan serta menindak jika ada pelanggaran. Menurut kedua aturan di atas, perusahaan diharuskan melakukan aktivitas yang mengacu pada aktivitas terbaik dalam sektor perminyakan. Perusahaa minyak yang hendak melakukan eksploitasi di laut lepas diharuskan juga membuat “Environmental Plan” [diharuskan oleh PSLA 1967], “Assessment on preliminary documentation”, “Public environment report”, “An environment impact statement”, “Public enquiry dan atau “An accredited process” [5 terakhir diminta oleh EPBC 1999]. Perijinan macam inilah yang nantinya akan dijadikan bahan bagi pemerintah Australia untuk melakukan pengawasan.

Dalam hal terjadi kerusakan lingkungan maka, seperti juga di negara lain, pemerintah memberikan peringatan, denda, penundaan proyek dan bahkan pembatalan proyek.

Intinya, pemerintah Australia mempunyai aturan lingkungan yang langsung terkait dengan aktivitas pengeboran minyak di lepas pantai serta aturan tidak langsung lainnya [seperti, Aboriginal and Torres Strait Islander Heritage Protection Act 1984, Fisheries Management Act 1991 dan Industrial Chemicals (Notification and Assessment) Act 1989] serta best practice yang disusun oleh APPEA dan persetujuan APPEA dengan departemen lingkungan Australia. Kesemuanya aturan tersebut menjadi dasar bagi Australia untuk bertanggung jawab atas terjadinya kebocoran minyak tersebut. Dan memang, Pemerintah Australia sudah melakukan upaya dengan mengharuskan PTTEP Australasia untuk mengurangi dan menghentikan dampak kebocoran itu dan memonitor kondisi perairan laut Timor. Dalam hal masuknya kebocoran minyak ke wilayah Indonesia, sudah ada kapal yang sedang memonitor dampak pada lingkungan dan kehidupan nelayan di wilayah NTT.

Perlukah Perjanjian Regional dalam Pengeboran Minyak Lepas Pantai di Perairan Perbatasan dengan Australia?

Namun, kebocoran minyak di lepas pantai Darwin ini sebenarnya membuka masalah lama yang sepertinya sudah lama hendak dilupakan oleh Indonesia. Harus lepasnya Timor-Timur dari Indonesia dan menjadi negara merdeka merupakan aib yang hendak ditutupi terus oleh Indonesia, termasuk segala tuntutan HAM kepada Indonesia. Muncul juga sinyalemen bahwa Australia – yang awalnya mendukung aksi Indonesia di Timor-Timur – kemudian berbalik menjadi pihak yang mengambil untung banyak akibat lepasnya Timor-Timur itu; yang jika di-kuantifikasi-kan terlihat dalam perjanjian kerjasama Australia-Timur-Timor dalam pembagian keuntungan pengeboran minyak di kedua perbatasan kedua negara.

Sampai sekarang, perundingan perbatasan antara tiga negara masih terus dilakukan, terutama dalam mengatur pengelolaan ZEE. Indonesia dan Australia hingga saat ini belum menyetujui batas ZEE kedua negara; yang kemudian sangat merugikan posisi nelayan Indonesia. Perbatasan itu masih didasarkan ketika Timor-Timur masih sebagai wilayah Indonesia; dengan lepasnya Timor-Timur seharusnya ada perundingan lagi untuk membicarakan masalah itu.

Nah, dalam hal kebocoran minyak ini, posisis Indonesia adalah korban yang hanya bisa meminta Pemerintah Australia melaksanakan kewajiban internasionalnya dengan tidak bisa melakukan ‘intervensi” dalam bentuk apa seharusnya kewajiban Australia itu dilakukan dengan memperhitungkan kepentingan bangsa Indonesia. Hal yang sama mungkin dirasakan oleh Singapura dan Malaysia yang saban tahun kebagian asap akibat kebakaran hutan di Indonesia. Yang mereka lakukan adalah melakukan proteksi dalam wilayah yurisdiksi mereka sambil meminta “pengertian” Indonesia untuk menghentikan kebakaran hutannya. Tapi siapa yang bisa mengarahkan arah angin? Malaysia dan Singapura telah membantu Indonesia dalam mengatasi kebakaran hutannya itu; namun kerja sama itu bersifat ad-hoc dan doktrin kedaulatan negara menjadi faktor yang menghalangi tindakan lebih jauh dalam kerja sama menghentikan kerusakan lingkungan itu. Apalagi dengan kenyataan Indonesia, secara geopolitik, jauh lebih kuat daripada kedua negara itu.

Bangsa Indonesia jelas tidak bisa berdiam diri ketika melihat bocoran minyak itu memasuki halaman rumahnya dan merusak keanekaragaman hayati yang penting bagi kelangsungan hidup bagi penduduk di sekitar Laut Timor. Dia harus melakukan sesuatu. Tidak adil jika Indonesia menjadi korban sekaligus harus menyelesaikan kerusakan lingkungan yang dilakukan oleh pihak lain tanpa adanya “pengetahuan” dari negara lain.

Saluran diplomatik jelas menjadi satu-satunya jalan yang dimungkin sekarang ini. Indonesia sewajarnya meminta Australia agar juga bertanggung jawab dalam terjadinya kebocoran itu. Dan kemudian menunggu…, sampai kemudian hal lebih buruk terjadi. Bisa jadi kunjungan PM Australia kemarin tidak hanya membicarakan masalah pelintas batas illegal dari negara-negara Asia Selatan, tetapi juga membicarakan masalah ini.

Pada titik ini saya kira, keberadaan sebuah perjanjian regional dengan Australia dan juga Timor-Timur perlu dilakukan. Mungkin tidak langsung menyangkut hal yang lebih “substansial” dan “sensitif” seperti pengurangan/penambahan wilayah negara, namun dalam hal yang bisa memberikan keuntungan bersama, seperti kerja sama ekonomi di wilayah yang diklaim sebagai wilayah ZEE.

Dalam hal pengeboran minyak, sewaktu Timor-Timur masih sebagai wilayah Indonesia, sudah ada kesepakatan kerja sama di area perbatasan Timor-Timur dengan Northern Australia yang terkenal dengan Timor Gap Treaty. Ketika imor-Timur merdeka, kesepakatan itu direvisi menjadi kesepakatan antara Australia dengan Negara Timor-Timur. Dengan adanya kejadian kebocoran minyak ini, tidak ada salahnya diadakan perjanjian regional tentang perlindungan laut akibat aktivitas pengeboran minyak dengan mengambil pelajaran dari wilayah kelautan lain, seperti Mediterania dan Baltik atau, yang lebih maju, seperti di Timur Tengah. Sebuah treaty atau traktak ini sifatnya mengikat bisa memperjelas apa yang harus dilakukan oleh masing-masing negara ketika ada operator minyak yang hendak membuka pengeboran di wilayah teritorial sebuah negara, bentuk pemberitahuan macam apa yang harus dibuka ke negara lain, kewajiban dan hak masing-masing negara, dst, sehingga ketika kejadian seperti ini berulang sudah ada tindakan segera yang tidak menggantungkan diri pada baik-buruknya atau cepat-tidaknya hubungan diplomatik antar negara. Tidak ada pihak yang menunggu, melempar tanggung jawab, pun tidak ada pihak yang merasa tidak harus peduli atau pura-pura peduli karena itu bukan wilayah negaranya sambil mengetahui bahwa di lapangan dampaknya telah nyata merusak lingkungan dan masyarakat sekitar.

15 September 2009

Minyak Pertamina Tumpah Di Taman Nasional Kutai

Di Indonesia, penunjukan sebuah kawasan hutan sebagai kawasan Taman Nasional tidak menjamin kawasan itu bebas dari kepentingan selain kepentingan konservasi. Taman Nasional Kutai [TNK] di Kalimantan Timur adalah contoh terbaik untuk melihat itu. Ratusan kepala keluarga merambah masuk ke dalam kawasan TNK, membuka hutan untuk kebun dan pemukiman; mereka bahkan sudah punya RT/RW/desa sendiri dan karenanya punya hak pilih dalam pemilihan umum. Bukan hanya itu, di tahun 1997, sekitar 25 ha lahan dilepaskan untuk keperluan pengembangan fasilitas pemerintah daerah Bontang. Rongrongan sampai sekarang juga datang dari dua-tiga pemerintahan daerah, yang menginginkan adanya pelepasan atau mungkin zona kawasan khusus di dalam kawasan TNK untuk keperluan macam-macam [pembangunan jalan trans kalimantan, salah satunya; jangan lupa ada potensi besar pertambangan di kawasan TNK] yang menjadikannya kawasan yang rentan.

Pertamina, ternyata mempunyai konsesi di dalam kawasan TNK itu. Dengan Ijin Pinjam Pakai, Pertamina dihalalkan menyedot minyak di dalam kawasan TNK. Dan baru-baru ini, setelah sebelumnya tersembunyi, Pertamina mengakui peristiwa "kebocoran kecil ini": sekitar 5000 barel minyak mentah pertamina tumpah di bulan Agustus kemarin. Tumpahan minyak itu merusak lahan hutan dan lahan perkebunan masyarakat yang berada di dalam kawasan TNK, tepatnya Desa Sangkima, Sangatta. Selain itu, tumpahan juga masuk ke Sungai Sangatta dan membunuh banyak biodata ikan dan hewan.

Berdasarkan UU PLH, pelaku usaha yang melakukan pencemaran/perusakan lingkungan hidup wajib melakukan usaha penanggulangan dan pemulihan serta memberikan kompensasi pada pihak yang terkena dampak. Dalam kasus ini, Pertamina akan memberikan ganti rugi bagi dua entitas: hutan dan kebun. Bagi lahan hutan, Pertamina akan melakukan rehabilitasi pada lahan hutan yang diharapkan dalam waktu 2-3 bulan ke depan kondisi tanah sudah kembali normal. Nah untuk tanah kebun yang tercemar minyak, Pertamina hanya akan memberikan ganti rugi kepada masyarakat berdasarkan pepohonan yang mati dan tidak akan mengganti atau memberikan ganti rugi berdasarkan tanah yang tercemar [dengan "bonus": tidak boleh mewartakan peristiwa tumpahnya minyak ke orang asing!]. Dengan kata lain, Pertamina mengetahui bahwa keberadaan masyarakat sekitar kawasan pengeborannya itu illegal, dimana diyakini tanah itu bukan tanah masyarakat, melainkan lahan hutan TNK. Dan karenanya, Pertamina hanya akan mengganti pada entitas yang benar-benar dimiliki oleh masyarakat sekitar: pepohonan.

Pertanyaan yang mengemuka dari kasus tumpahnya minyak ini adalah: Apakah "illegalitas" atas tanah membuat masyarakat sekitar terkurangi haknya atas perlindungan lingkungan, karena kemudian Pertamina sepertinya tidak akan melakukan rehabilitasi pada lahan perkebunan warga - setidaknya tampak dari pernyataan PR mereka ["...
As for the affected farms, we will offer compensation for every lost tree. We won’t compensate for land because it belongs to the park....”]? Tapi bukankah Pertamina sendiri tahu bahwa "tanah" kebun itu sebenarnya adalah lahan hutan TNK, mengapa lalu dibedakan perlakuannya?

Kesampingkan dulu kekaburan hak atas tanah masyarakat itu [perlu tulisan tersendiri yang komprehensif mengenai hal itu], perlu kiranya diperhatikan: bukankah mereka sudah melakukan usaha tertentu, memelihara, memberikan pupuk, dst atas tanah "illegal" itu, dan bukankah usaha ini layak juga untuk diganti, bukan hanya tegakan pohon yang mati? Dan sudahkan ada jaminan tanah itu benar-benar akan pulih kembali sehingga dapat ditanami kembali oleh masyarakat?

Masyarakat terkena dampak tumpahan minyak di Desa Sangkima itu sepertinya akan tetap berusaha meminta ganti rugi ke Pertamina dengan tidak hanya berdasarkan pada jumlah pepohonan yang mati, tetapi juga berdasarkan luas tanah yang terkena tumpahan. Alasannya masuk akal: ada banyak tanah kebun yang tidak ada pohonnya. Jelas, jika ganti rugi hanya didasarkan pada pepohonan, maka "pemilik" tanah itu tidak akan mendapatkan ganti rugi apapun.

Lalu bagaimana dengan pemulihan Pertamina atas tercemarnya Sungai Sangatta? Belum jelas, bahkan sama sekali tidak disinggung oleh PR Pertamina.

Peristiwa pencemaran lingkungan di kawasan konservasi seharusnya penanganannya dilakukan dengan tidak biasa-biasa saja. Pelaku usaha yang mendapat ijin melakukan usaha di kawasan konservasi seharusnya mengetahui kekhasan dan kekayaan lingkungan tempat usahanya sehingga dalam melakukan usahanya perlu dipagari dengan standar lingkungan yang tinggi.

Siapa saja yang Illegal?

Tapi, sebentar, mengapa Pertamina mendapatkan Ijin Pinjam Pakai di Kawasan Taman Nasional? Bukankah Ijin Pinjam Pakai, apalagi untuk kepentingan pertambangan, dibatasi hanya di Hutan Produksi dan hutan lindung?

Sepanjang pengetahuan saya, Ijin Pinjam Pakai Pertamina di kawasan Sangkima itu pertama kali didapatkan pada tahun 1995. Waktu itu perjanjian pinjam pakai dilakukan antara Kantor Wilayah Dephut Provinsi Kaltim dengan Pertamina Operasi Produksi EP Sangatta dan dicantumkan dalam SK Nomor 016/KWL/PTGH-3/1995 tanggal 16 Maret 1995 seluas 8,75 ha dengan jangka waktu 5 tahun. Perjanjian Pinjam Pakai ini untuk keperluan pemboran satu sumur di wilayah TNK di dalam wilayah administratif Kabupaten Kutai.

Pada tahun 1996, Pertamina Operasi Produksi EP Sangatta kembali melakukan perjanjian pinjam pakai kawasan TNK untuk keperluan eksploitasi 4 sumur minyak dengan luas 11,5697 ha. Jangka waktunya 5 tahun dimulai pada 12 Desember 1996 sampai dengan 12 Desember 2001. Perjanjian Pinjam Pakai selanjutnya setelah tahun 2001, saya tidak menemukannya. Bahkan untuk perjanjian pinjam pakai tahun 1996 belum jelas SK-nya nomor berapa.

Dua perjanjian pinjam pakai itu mengikuti Aturan Pinjam Pakai yang diatur oleh Kepmenhut 55/Kpts-II/1994 serta Kepmenhut No. 41/Kpts-II/1996. Masalahnya dalam dua aturan ini Taman Nasional berada di luar kawasan hutan yang bisa dipinjam-pakaikan. Lahan hutan yang bisa dipinjam-pakaikan terbatas pada hutan produksi.

Tapi, bisa jadi kemudian Pertamina berlindung di balik Pasal 8 Kepmenhut 55/Kpts-II/1994 yang menyatakan bagi kegiatan pertambangan dan energi diatur dalam peraturan tersendiri. Sejauh yang saya tahu peraturan yang mengatur mengenai penggunaan hutan untuk keperluan pertambangan dan energi ada dalam Keputusan Bersama Menteri Pertambangan dan Energi dan Menteri Kehutanan No.969.k/05/M.PE/1989 – No. 429/Kpts-II/1989 tentang Pengaturan Pelaksanaan Usaha Pertambangan dan Energi dalam Kawasan Hutan.

Di dalam SKB dua menteri di atas itu pun ternyata disebutkan bahwa di dalam Taman Nasional, Taman Wisata dan Hutan dengan fungsi khusus tidak dapat dilakukan kegiatan:
    1. penyelidikan umum, eksplorasi, eksploitasi, pengolahan dan pemurnian pertambangan umum;

    2. eksplorasi, eksploitasi, pemurnian dan pengolahan minyak dan gas bumi;

    3. eksplorasi dan eksploitasi sumberdaya panas bumi;

    4. eksplorasi pada pembangunan proyek ketenagalistrikan, konstruksi dan eksploitasi ketenagalistrikan.

Bagaimana dengan status kawasan itu sebelum Pertamina melakukan perjanjian pinjam pakai, yang setidaknya bisa memberikan justifikasi keberadaan Pertamina di dalam kawasan TNK? Ternyata kawasan itu sejak tahun 1950-an sudah ditetapkan sebagai Taman Margasatwa yang kemudian di tahun 1982 direncanakan dijadikan taman nasional; selanjutnya pada tahun 1995 ditunjuk sebagai kawasan taman nasional Kutai. Sehingga jelas ketika Pertamina melakukan perjanjian pinjam pakai, kawasan itu sudah masuk di dalam kawasan TNK yang menurut berbagai aturan yang ada sebenarnya tidak bisa dipinjam-pakaikan.

Tapi hukum kita memang berjalan dengan ajaib. Pasal 2 Ayat 3 SKB tersebut menyebutkan jika pada saat penetapan atau perluasan Taman Nasional, Taman Wisata atau Hutan dengan fungsi Khusus telah ada 4 kegiatan di atas, maka kawasan itu harus dikeluarkan dari Taman Nasional, Taman Wisata atau Hutan dengan fungsi Khusus. Sehingga seharusnya kawasan yang sekarang ditumpahi minyak itu dikeluarkan [di-enclave] dari TNK. Tetapi kenyataannya, kawasan itu masih berada di dalam kawasan TNK dan Pertamina mengakuinya sendiri.

Dan, terus terang, itu membuat saya bingung: bukankah lebih bagus jika kawasan Pertamina itu dikeluarkan dari kawasan TNK daripada tetap sebagai kawasan TNK dengan peruntukan yang tidak dibenarkan oleh aturan yang ada. Secara yuridis juga lebih menguntungkan kedua pihak jika kawasan itu tidak berada di dalam kawasan TNK.

Apakah itu terjadi karena status kawasan TNK sekarang "hanya" berupa penunjukan dan bukan penetapan? Tapi bukankah dalam "status" penunjukan kawasan ini memungkinkan adanya perubahan luas dan batas kawasan hutan sehingga proses pengenclavan bisa dilakukan dengan lebih baik? Mengapa sepertinya ada kesan mempertahankan kawasan itu sebagai kawasan TNK dengan konsekuensi menginjak aturan yang dibuat sendiri, atau bahkan kawasan itu malah tambah rusak? Jika ingin mempertahankan luas kurang lebih 12ribu sebagai kawasan TNK, kenapa tidak mengusir Pertamina; bukannya malah memberikan ijin pinjam pakai yang terlarang?

Penunjukan dan penetapan kawasan hutan merupakan awal dan ujung dari proses pengukuhan kawasan hutan. Di tengah dua proses itu ada proses penataan dan pemetaan batas hutan. Proses pengukuhan merupakan usaha untuk memberikan kepastian hukum atas status, fungsi, letak, batas dan luas suatu kawasan hutan. Tapi janganlah salah, hanya karena statusnya penunjukan, seolah kawasan itu kepastian hukumnya kurang kuat. Ia memberikan kepastian bahwa suatu kawasan tertentu "akan" ditetapkan sebagai kawasan hutan dengan fungsi dan status tertentu. Yang berubah adalah luas dan batasnya, tetapi status dan fungsinya tetap mengikuti alasan kenapa kawasan itu ditunjuk. Jika kawasan itu ditunjuk sebagai kawasan taman nasional, maka yang mungkin berubah adalah luas dan batas kawasannya, bukan status taman nasionalnya. Dalam proses penataan dan pemetaan batas kawasan hutan itulah, negosiasi dimungkinkan dengan pihak "luar" yang berbatasan dengan kawasan hutan: mungkin saja menyempit [dienclave], tetap [misal, jika dienclave dan ada kompensasi wilayah] atau malah melebar.

Dalam hal TNK, penunjukan statusnya sebagai kawasan TNK membuat semua aturan yang berhubungan langsung atau tidak langsung dengan kawasan taman nasional melekat pula kepadanya. Termasuk didalamnya adalah aturan tentang tidak diperbolehkannya taman nasional sebagai wilayah yang bisa dipinjam-pakaikan.

Jadi, sejauh yang dapat saya katakan dalam tulisan ini, keberadaan Pertamina di dalam kawasan TNK dengan Ijin/Perjanjian Pinjam Pakai itu sebenarnya dapat dipertanyakan legalitasnya karena menyalahi aturan yang ada. Tapi saya kira, jelas Pertamina tidak berdiri sendiri.

Intinya: kedua belah pihak, masyarakat dan Pertamina berada dalam posisi yang sama: pendatang illegal di TNK.

Lalu dimanakan peran pemerintah dalam kasus ini? Bukankah, untuk entitas hutan dan sungai sangatta, pemerintah bisa berdiri sebagai pihak yang terugikan dan menuntut adanya berbagai bentuk kompensasi? Bukankah ada "kelalaian" yang menyebabkan kerusakan lingkungan, hilangnya biodiversitas, dan masyarakat yang dirugikan?

Yang juga penting, apa yang akan dan seharusnya dilakukan oleh pemerintah, Bapedalda, Dinas Pertambangan dan Balai Taman Nasional Kutai agar setidaknya peristiwa ini tidak terulang di masa depan? Jangan sampai dengan alasan tidak tahu, di luar wewenang, pihak "pengawas", "pengurus" TNK tersebut diam seribu bahasa dan menutup mata.

----
Photo: Jakarta Globe


26 Agustus 2009

Indikasi State Capture Dalam Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Alam?

Institusi anti korupsi [organisasi plus seperangkat peraturan anti korupsi] yang berjalan dalam jalur tradisional pendekatan pengurangan korupsi dengan basis pada pembangunan good governance dan good government, kerap kali hanya efektif ketika menghadapi kejahatan korupsi yang bentuknya administratif [administrative corruption], seperti penyuapan. Namun ketika menghadapi bentuk korupsi politik atau state capture kebanyakan ia menjadi lumpuh. Kasus Thailand menunjukan contoh yang terang di mana pembangunan institusi anti korupsi di dekade tahun 1990-an yang terutama didorong oleh IMF yang percaya bahwa korupsi bisa diberantas dengan penciptaan good governance, menjadi tiba-tiba kehilangan arah dan impoten ketika Thaksin Sinawatra naik ke kursi Perdana Menteri untuk dua periode.

Thailand dekade 1990-an jauh meninggalkan sesama anggota asia tenggara dalam usaha memerangi korupsi: amandemen konstitusi menambahkan pemberantasan korupsi sebagai basis pembangunan, mereka punya komisi pemberantasan korupsi, punya UU yang membatasi perilaku PNS-nya, punya UU perlindungan saksi, dst yang jika dilihat dalam perangkat untuk perang melawan korupsi sudah dikatakan cukup. Dari suasana kondusif untuk peperangan melawan korupsi itu lahirnya benih seorang pemimpin yang korup, tentu menjadi sebuah pertanyaan besar. Bagaimana mungkin dia bisa keluar dari jeratan institusi anti korupsi itu?

Masalahnya terletak pada keterbatasan semangat pemberantasan korupsi di Thailand yang tidak mencoba menjangkau lebih jauh ke belantara kejam: peta-dinamika politik, hubungan pengusaha-politisi. Ketika Thaksin yang seorang konglomerat membentuk Partai Thai Rak Thai dan kemudian memenangi pemilu dengan suara mutlak [lewat money politik gila-gilaan], semangat pemberantasan korupsi di Thailand meredup. Anggota Partai Thai Rak Thai ini banyak diisi oleh pengusaha kolega Thaksin. Ketika menang, banyak di antara mereka diangkat jadi menteri atau pejabat untuk lembaga-lembaga independen yang ada diantaranya dibuat untuk memberantas korupsi, mengawasi hakim dst.

Kemenangan mayoritas itu, telah memberi keleluasan pada Thaksin untuk menyetir pemerintahan dan juga lembaga legislatif. Dengan kekuatan politik dan uangnya, ia juga bisa membuat tuduhan korup pada dirinya dapat dimentahkan di tingkat MA-nya Thailand. Ia memblok banyak aturan yang dianggapnya akan mengekang keleluasaannya mengeruk kekayaan negara. Ia membelokkan perjuangan pemberantasan korupsi hanya agar tidak kena pada dirinya, kolega pengusahanya dan mereka yang mendekatkan pada dirinya. Pada masa itu, para pengusaha yang dekat Thaksin mendapatkan keistimewaan. Sumber daya alam dibagi-bagi, kontrak-kontrak pemerintah hanya beredar di antara mereka.

Lalu kenapa rakyat Thailand tetap mendukung Thaksin? Ada pergeseran budaya politik di kalangan rakyat Thailand dan ada banyak program populis dari Thaksin yang memang ditujukan buat peningkatan kalangan petani, orang desa yang masih mayoritas di sana.

Indonesia?

Dua SP3 yang berhubungan dengan kejahatan yang melibatkan pengelolaan sumber daya alam, satu hutan di Riau dan satu lagi minyak di Jawa Timur, telah mengingatkan saya pada adanya indikasi state capture itu di Indonesia. Ia bukan barang baru, tentu saja. Sejarah hubungan antara pengusaha dan politisi di negeri ini sangat kaya. Kita pernah diperintah oleh pemerintahan leviathan selama lebih kurang 32 tahun. Tapi nampaknya hubungan antara pengusaha dengan politisi - dinamika, pengaruh - selama masa reformasi ini luput dilihat dan dijadikan bahan diskusi publik. Padahal ada dua faktor yang membuat mereka justru tumbuh lebih besar: otonomi daerah dan pemilihan langsung.

Saya melihat dan menduga, lewat berita, rumor, ada banyak peraturan yang dibuat yang dibuat dengan prosedur yang legal namun isinya memberi privilage ke jaringan pengusaha-politisi tertentu. Saya juga mendengar, desakan dari "pusat" telah menyebabkan terbitnya SP3 13 perusahaan kayu di Riau yang sebagai besar di antaranya terhubung dengan dua konglomerasi kayu besar di Riau. Dan dalam kasus SP3 Lumpur Lapindo? Tak ada yang lebih jelas lagi, bukan?

Kewenangan KPK terlalu jauh dan lemah ketika harus menjangkau permasalahan turunnya SP3 dua kasus itu. Kalau pun bisa ia hanya akan menjangkau mereka yang terlibat di lapangan; yang jika pun ia lakukan, pelaku state capture akan terlebih dahulu membangun dinding yang tampak legal membuatnya samar, atau menghilang, atau membunuh langkah KPK dengan perubahan satu pasal atau seluruh isi sebuah peraturan atau apapun...,apapun.

State Capture merupakan jenis korupsi yang paling samar-samar namun memberikan dampak negatif besar perjalanan sebuah negara. Ia bergerak dalam wilayah yang semua orang pintar mengatakan legal namun sebenarnya berindikasi korupsi. Pelaku membuat aturan main yang tampak legal tetapi hanya menguntungkan dirinya.

Di Kasus Thailand, dua faktor yang menyebabkan Thaksin bisa membunuh habitat semangat anti korupsi: hubungan pengusaha-politik yang dianggap ada dan kuat yang karenanya seolah wajar dan biasa serta kecenderungan authoritarian Thaksin dengan menang mutlak di pemilihan umum. Indonesia? Ring a bell?

Bacaan:
Alex M. Mutebi, “Explaining the Failure of Thailand’s Anti-Corruption Regime”, Development and Change 39(1): 147-171 (2008)

Hellman, Joel S., Jones, Geraint and Kaufmann, Daniel, Seize the State, Seize the Day: State Capture, Corruption and Influence in Transition(September 2000). World Bank Policy Research Working Paper No. 2444.

19 Juni 2009

Ganti Rugi Kerusakan Lingkungan Dalam Kasus Exxon-Valdez Dibatasi

Kasus tumpahnya minyak dari Supertanker milik Exxon di lepas pantai Alaska pada 23 Maret 1989 telah menjadi perhatian pemerhati lingkungan. Sampai saat ini, tumpahnya minyak ke laut yang dilakukan oleh Kapal Exxon itu adalah yang terbesar: lebih dari 12 juta gallon minyak mentah. Berbagai tuntutan telah dialamatkan ke Exxon, terutama oleh para pihak yang menggantungkan hidupnya dari laut Prince Willian Sound, Alaska. Exxon sendiri telah menghabiskan dana lebih dari $ 2,1 miliar untuk membersihkan lingkungan laut dari tumpahan minyak. Ia juga harus berhadapan dengan pemerintah Amerika dan Alaska yang mengejar Exxon terlibat dalam perbuatan pidana yang bertentangan dengan Clean Water Act, the Refuse Act, dan Migratory Bird Treaty Act. Exxon mengaku bersalah dan membayar denda $ 150juta [kemudian direvisi menjadi $ 25juta dan restitusi $100juta].

Tak berhenti di sana, Pemerintah Amerika dan Alaska kemudian mengajukan tuntutan perdata atas dasar terjadinya kerusakan lingkungan, yang hasilnya membuat Exxon harus merogoh kocek sebesar $ 900juta sebagai biaya perbaikan lingkungan. Selain itu, ia juga harus membayar restitusi kepada nelayan dan pihak lainnya sebesar $ 303juta.

Satu kasus lain dikonsolidasikan [yang kebanyakan penuntutnya adalah para pihak yang dirugikan secara langsung oleh tumpahan minyak itu: nelayan, penduduk asli Alaska dan pemilik lahan; yang jumlahnya mencapai 32ribu orang] dan diajukan untuk meminta kompensasi kepada Exxon. Di pengadilan pertama di Alaska, Exxon terbukti bersalah melakukan kelalaian yang menyebabkan terjadinya kerugian di pihak lain. Kelalaian ini sebenarnya dilakukan oleh Kapten Kapal Supertanker itu, Joseph Hazelwood, yang pada saat kapal melakukan manuver malah meninggalkan kabin dan terbukti sedang mabuk. Namun, karena Joseph Hazelwood sedang bekerja berdasarkan kontrak yang disetujui dengan Exxon, maka Exxon juga kena getahnya sebagai bentuk tanggung jawab perusahaan. Exxon karenanya diharuskan membayar lebih dari $287juta sebagai kompensasi [ganti rugi] bagi para nelayan, $20juta bagi penduduk alaska dan lebih dari $200juta bagi pemilik lahan; atau keseluruhannya mencapai $507.2juta.Selain itu, karena terbukti lalai, Exxon juga terkena hukuman bayar ganti rugi kerusakan [punitive damage] sebesar $ 5 miliar sedangkan Joseph Hazelwood dikenakan $ 5000.

Keputusan bahwa Exxon terbukti melakukan kelalaian diperkuat oleh Pengadilan Banding, namun besarnya ganti rugi kerusakan itu diturunkan menjadi setengahnya [$ 2,5 miliar]. Exxon kemudian mengambil langkah "kasasi" ke MA-USA untuk mempertanyakan apakah ganti rugi itu melewati batas yang seharusnya diberikan dalam hukum kelautan, apakah biaya ganti rugi  dibatasi oleh hukum federal [Clean Water Act] dan apakah pemilik kapal bertanggung jawab atas kerugian yang terjadi di luar persetujuannya [yang dilakukan oleh bawahannya].

Dalam hal besarnya ganti rugi itu, Exxon merasa bahwa besarnya ganti rugi yang harus dibayarkannya telah melewati tujuan yang diinginkan dengan adanya ganti rugi kerusakan itu, yakni menghalangi terjadinya perbuatan tidak baik atau akibat meningkatnya ancaman kerusakan.

Keputusan para hakim MA pada 25 Juni 2008 tentang apakah pemilik kapal bertanggung jawab atas perbuatan bawahannya ternyata sama kuat sehingga MA-USA tidak mengambil keputusan dalam masalah ini, sehingga keputusan di pengadilan di bawahnya tetap sebagaimana adanya. Dalam keputusan lain, MA -USA menegaskan tidak adanya pembatasan berapa ganti rugi kerusakan yang harus dibayarkan. Namun, dalam kasus ini, yang berhubungan dengan hukum kelautan, MA-USA menyatakan bahwa pembatasan harus dilakukan dengan perbandingan 1:1, dimana biaya ganti rugi harus seimbang dengan biaya kompensasi yang telah dibayarkan. Dengan kata lain, Exxon hanya wajib membayar ganti rugi kerugian sebesar $507.2juta; yang kemudian ditetapkan sebagai putusan hakim pengadilan banding pada 15 Juni 2009. Pada putusan banding itu pula ditetapkan bahwa bunga atas punitive damage itu ditetapkan sejak tahun 1996.

Setelah perdebatan tentang apakah biaya punitive damage yang diberikan kepada Exxon terlalu besar dilihat dari usaha yang sudah dilakukan oleh Exxon untuk mengurangi dampak kerusakan lingkungan serta biaya2 lainnya, putusan MA-AS itu juga menimbulkan polemik. Walaupun ada pihak yang berpendapat keputusan itu hanya berlaku bagi hukum kelautan saja, tetapi tetap saja keputusan itu [di negara yang menganut judge-made law] dapat memberikan arahan pada hakim ketika menghadapi kasus serupa, berurusan dengan tuntutan punitive damage yang sangat besar. Ketika pemberian kompensasi sudah bisa menafsirkan adanya "ganti rugi" dari penuntut, maka punitive damage, yang berfungsi untuk mencegah kejadian serupa terjadi kembali, memang tidak seharusnya melewati biaya kompensasi itu.

Tapi, apakah harga-harga itu memang dapat merefleksikan hancurnya ekosistem Prince William Sound? Tepatnya, apakah biaya yang dikeluarkan oleh Exxon layak untuk menggantikan kerusakan lingkungan di wilayah perairan tersebut yang kemudian menghancurkan pula keadaan sosial masyarakat sekitarnya, yang kesemuanya itu celakanya diawali oleh kecerobohan Exxon sendiri? Apakah $507.2juta sebagai punitive damage pada Exxon benar-benar akan mencegah Exxon untuk tidak mengulang kejadian serupa di masa depan?

Kapal Valdez itu sendiri tidak mengalami kerusakan berarti, ia bisa diperbaiki dan diberi nama berkali-kali untuk akhirnya berhenti di nama "SeaRiver Mediteranian". Kemudian selama kurang lebih 12 tahun, ia bekerja mengantar minyak Exxon untuk rute Teluk Persia - Jepang, Singapura, Australia. Pada tahun 2002, Exxon memesiunkannya, namun banyak pihak yang percaya bahwa kapal Valdez itu tetap beroperasi dengan bendera negara asing.

04 Maret 2009

Biofuel itu Haram!?

Seorang Ahli Fiqih dan anggota Islamic Fiqh Academy, Arab Saudi, Sheikh Mohamed Al-Najimi, baru-baru ini mengeluarkan opini tentang haramnya penggunaan Biofuel.Adanya unsur alkohol dalam biofuel [ia merujuk pada bioethanol] sebagai salah satu bukti haramnya penggunaan Biofuel itu. Menurutnya, pembuatan, penyaluran dan penggunaan alkohol atau yang mengandung alkohol itu terlarang menurut Hukum Islam.

Biarpun pendapat pribadi, tetapi opini itu, bisa ditafsirkan, menunjukkan sikap khawatir Arab Saudi pada naiknya pamor energi terbarukan yang akan mengancam pendapatan terbesar negaranya [90% dari pendapatan negara dan 40% dari GDP], minyak. Posisinya sebagai anggota Islamic Fiqh Academy, membuka kemungkinan besar jalan pernyataan pribadi itu menjadi Fatwa.

Bukan sekali ini saja pernyataan yang meragukan penggunaan energi terbarukan dari para pejabat Arab Saudi atau eksekutif ARAMCO; dalam banyak hal mereka juga tidak percaya perubahan iklim disebabkan oleh tindakan manusia [baca: memakai energi fosil]. Baru-baru ini, Menteri Perminyakan Arab Saudi memperingatkan transisi yang terlalu cepat dari energi fosil ke energi terbarukan akan berdampak buruk pada perekonomian. Kekawatiran atau mungkin keraguan akan energi terbarukan tidak hanya datang dari Arab Saudi, tetapi juga OPEC dan terutama, tentu saja, perusahaan minyak.

Kesampingkan dulu dampak biofuel bagi lingkungan dan terutama, hutan, senyatanya biofuel memang energi terbarukan dan ia mengandung alkohol. Tetapi apakah penggunaan alkohol sama sekali dilarang dalam hukum islam?

Tentu saja akan ada banyak perdebatan; tetapi bagi banyak ulama, alkohol tidaklah seluruhnya dilarang. Penggunaan tertentu dari Alkohol justru diperbolehkan, misalnya saja untuk penggunaan pengobatan.

Tentangan lain justru akan datang dari negara-negara yang gencar mengembangkan biofuel yang juga berpenduduk mayoritas Islam, seperti Indonesia dan Malaysia. Di kedua negara itu, biofuel bahkan sudah diproduksi dan penggunaannya - di Indonesia, bersifat mandatory bagi sektor transportasi, dan, yang penting, tidak ada hukum agama yang dipakai untuk menghalalkan atau mengharamkan penggunaan biofuel. Keberatan lahir lebih karena kebijakan biofuel yang maju mundur, masalah keberlanjutan atau penentuan harga, semuanya di luar alasan agama.

Menarik untuk dilihat sejauh mana kondisi sosia-politik-budaya-ekonomi mempengaruhi ketentuan-ketentuan agama. Dan sejauh yang saya tahu, inilah pertama kali hukum agama tertentu masuk dalam pembicaraan masalah energi.

Dan mungkin kita akan melihat - jika isu ini membesar - tanggapan dari para ulama Islam yang ada di Indonesia dan Malaysia tentang posisi biofuel ini. Apakah dia halal atau haram? Apakah proses pembuatan biofuel juga mempengaruhi kehalalan/keharamannya; misalnya apakah dengan cara merugikan masyarakat [adat atau masyarakat sekitar] atau merusak hutan tropis ada pengaruh bagi kehalalan atau tidaknya biofuel?

23 Oktober 2008

Harga minyak turun lagi: tetap kuatkah kebijakan energi terbarukan? [2]

Turunnya harga minyak dan pengaruhnya pada tertatih-tatih-nya [kembali] implementasi kebijakan energi alternatif, ternyata punya sejarah nyatanya. Ini terjadi di Amerika Serikat pada tahun 1980-an. Pada waktu itu, harga minyak yang tinggi akibat krisis minyak 1972-1973 dan 1979, telah menyebabkan Amerika Serikat menoleh pada energi alternatif seperti angin. Tetapi kebijakan yang menyokong energi alternatif itu tiba-tiba langsung ambruk ketika harga minyak, terutama di awal tahun 1983-an dst, terus turun.

Sekarang juga kejadiannya hampir sama. Kebijakan energi alternatif mulai menghadapi musuh sebenarnya: harga fosil fuel yang rendah.

Dalam pandangan saya, ini merupakan hal yang wajar karena, sepertinya kebijakan energi alternatif terlalu digantungkan pada naik-turunnya harga energi fosil; yang sebenarnya, secara ekonomi, masuk akal. Tetapi itu juga menunjukkan tidak 'merdeka'-nya kebijakan energi alternatif itu.

Nah di Indonesia, kebijakan energi alternatif, tidak hanya digantungkan pada volatilitas harga bahan bakar fosil, tetapi juga sebagai sarana untuk mengurangi kemiskinan. Sehingga seharusnya, kebijakan energi alternatif, terutama yang padat karya, seperti biofuel, bisa terus dilanjutkan tanpa harus tergantung pada naik-turunnya harga bahan bakar fosil.

20 Oktober 2008

Harga minyak turun lagi: tetap kuatkah kebijakan energi terbarukan? [1]

Tanggal 16 Oktober kemarin, harga minyak menyentuh 70 dollar/barel. Banyak yang menduga harga trend ini hanya sesaat karena OPEC dan perusahaan minyak sudah pada panic; karenanya mereka mulai menerapkan kebijakan untuk mengurangi produksi dengan harapan bisa mengerek harga emas hitam kembali ke level yang memberikan keuntungan segede gajah. Sebuah pengakuan yang aneh dari CEO Shell ketika Hearing dengan Kongres Amerika mengatakan bahwa harga minyak antara 35 dollar s/d 65 dollar sudah memberikan keuntungan banyak bagi perusahaan minyak.

Tapi saya akan coba masuk ke masalah lain. Bagi pemerhati lingkungan, harga minyak memang selalu membawa dilemma. Harga minyak rendah dikawatirkan akan mendorong konsumsi yang berlebihan; sementara jika harganya mahal, maka akibatnya adalah seperti yang kita rasakan sekarang : resesi ekonomi dimana lagilagi kaum papa yang menanggung paling banyak beban.

Masalah lain yang cukup penting adalah turunnya harga minyak akan menghambat berjalannya kebijakan energi terbarukan. Tentu saja orang akan cenderung menggunakan bahan bakar minyak yang secara infrastruktur dari hulu ke hilir sudah menyatu dengan roda hidup orang modern. Ini berbeda, misalnya, dengan penggunaan energi baru dan terbarukan yang masih memerlukan banyak tahap penyatuan.

Hanya Brazil yang sampai saat ini penyatuan dan penyesuian kebijakan energy terbarukannya sejalan dengan kebijakan energy fosilnya. Di Negara mereka, ketika harga bahan bakar minyak naik, seluruh infrastruktur energy akan menyediakan energy terbarukan. Pabrik gula dengan cepat mengganti sistemnya dengan kembali memproduksi gula dan tidak lagi memproduksi bioetanol.

Sementara di negeri kita ini, kebijakan energy terbarukan berjalan tertatih-tatih dengan kebijakan yang berakar pendek: cepat berubah, tidak konsisten. Coba perhatikan kebijakan BBN. Awalnya yang didorong adalah penggunaan CPO dan biji jarak pagar. Tetapi dengan makin meningkatnya harga CPO di luar negeri membuat kebijakan BBN hilang arah; sementara biji jarak pagar memang benar-benar hanya “penutup” [karena sebenarnya yang didorong adalah CPO] dan jadi buah pemanis bibir. Jangan lagi bicara koordinasi antara departemen hulu [yang menyediakan bahan mentah sekaligus lahan] dengan departemen tengah dan hilir, semacam Departemen ESDM.

Coba lihat bagaimana bekerjanya kebijakan bioethanol di Amerika, dimana proyek tersebut dikerjakan oleh sebuah badan yang merupakan bentukan dua departemen: Pertanian dan Energi.

Kebijakan angin-anginan ini akan terus dilihat karena departemen sektoral sepertinya punya agenda masing-masing. Departemen Kehutanan, misalnya, setelah merasa emoh untuk mengembangkan jarak pagar, tiba-tiba mengajukan usulan untuk mengembangkan nyamplung! Belum lagi gerakan yang mungkin akan dilakukan oleh departemen pertanian.

Dalam suasana demikian, hal positif sebenarnya sudah ada. Pertama, sekarang ini sudah lahir Permen ESDM yang mewajibkan para pengguna dan industry untuk memakai BBN [Permen ESDM No 32 Tahun 2008]. Ada tahapan yang dicapai sebelum BBN mencukupi 5% dari bauran energy nasional. Kedua, turunnya harga CPO di pasar internasional. Ini menjadi kesempatan bagi pemerintah untuk serius menerapkan DMO sawit dan bahkan mendorong industry BBN berbahan sawit.