13 Mei 2010

Untungnya Australia dengan Skema REDD

Berikut tautan dari REDD-monitor yang bicara soal kepentingan Australia dengan mekanisme REDD. Tulisan di blog ini didasarkan pada sebuah sebuah penelitian yang dilakukan oleh Andrew Macintosh, Associate Director pada Centre for Climate Law and Policy, ANU.

Ternyata penerimaan Australia pada Protokol Kyoto dibarengi dengan kemudahan bagi Australia untuk mengikuti kewajiban penurunan emisinya. Paragrap 3.7 (2) dari Protokol Kyoto memberikan kemudahan kepada negara maju yang masuk dalam annex satu yang pada tahun 1990 emisinya didominasi oleh LUCF [Land Use Change and Forestry] agar penurunan dari emisi deforestasi bisa dimasukkan sebagai usaha penurunan emisi seluruhnya. Pada tahun 1990, 30 persen emisi Australia berasal dari deforestasi dan jumlah ini terus turun sampai sekarang. Masalahnya antara tahun 1990 sampai dengan tahun 2007, Australia malah menaikkan emisinya sebesar 26%. Nah dalam masa komitmen pertama ini, Australia hampir pasti bisa memenuhi target penurunan emisinya karena ada kemudahan dari Protokol Kyoto itu. Australia tinggal menjaga emisi dari deforestasi tidak melewati angka di tahun 1990 yang mencapai 132 juta ton CO2e, tanpa harus menurunkan emisi dari sektor lain yang merupakan sumber utama penghasilan Australia: pertambangan. Atau penurunan emisi dari skema REDD [khas Australia] ini akan akan dipergunakan sebagai offset kenaikan emisi di bidang di luar LUCF.

Dan sepertinya, Australia juga berkepentingan dengan REDD yang dilakukan di luar negeri. Karena tidak semua REDD khas Australia di dalam negerinya bisa mengoffset keseluruhan kenaikan emisinya. Di sini, semua kerja sama, bantuan keuangan dst dari pihak Australia dengan Indonesia sebenarnya – pastinya sudah pasti -  menyimpan maksud tersembunyi. Akhir-akhir ini bahkan bantuan dalam soal REDD ini dikaitkan, kalau tidak mau dikatakan diselinapkan, dalam bantuan untuk keperluan lain seperti pengurangan kemiskinan. Mungkin tidak harus dibaca: Australia sedang memberikan permen manis kepada Indonesia agar melakukan [bukan hanya mendukung] dengan sepenuh hati skema REDD yang sedang diperbicangkan di bawah payung UNFCCC. Tapi bisa juga menunjukkan bahwa Indonesia, terutama pengambil keputusan, sedang menaikkan posisi tawar. Kita akan lihat apakah “transaksi” itu memberikan lebih banyak kemudharatan atau sebaliknya.

Yang pasti adalah Indonesia tidak memiliki kewajiban menurunkan emisi. Australia, sebaliknya, punya kewajiban itu. Dengan posisi itu, Indonesia seharusnya menaikkan posisi tawar setinggi-tingginya. Termasuk didalamnya memastikan sejauh mungkin perlindungan pada hak-hak masyarakat adat/lokal di sekitar wilayah yang akan dijadikan REDD. Sayangnya, REDD+ yang dilakukan di Indonesia, sepertinya, dengan melihat trend DA [demontration activities – pilot project]-REDD-nya, lebih banyak memakai sistem konsesi yang di masa lalu hampir selalu meniadakan hak-hak masyarakat lokal/adat yang hidupnya bergantung pada keberadaan hutan di sekitarnya. Sampai sekarang, sejauh yang saya tahu, belum ada pembicaraan untuk memastikan REDD+ yang akan dijalankan menghormati dan melindungi kepentingan masyarakat lokal/adat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar