Tampilkan postingan dengan label kredit karbon. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label kredit karbon. Tampilkan semua postingan

24 Mei 2011

Newtress-WWF: Karbon offset dan pertanyaan soal greenwashing?

Apakah carbon offset hanya terjadi antara pihak-pihak di Indonesia dengan mereka di dunia internasional? Permenhut P.30/Menhut-II/2009 memberikan kesan demikian, dengan hanya membagi dua aktor dalam pelaksanaan REDD (dan perdagangan karbon) yaitu: entitas nasional (sebagai pelaksana) dan entitas internasional (sebagai penyandang dana; dengan kata lain, pembeli sertifikat karbon). Tetapi ternyata tidaklah demikian. Carbon offset juga dimungkin antara dua pihak di dalam negeri Indonesia sendiri. Setidaknya itu yang diinginkan oleh program Newtrees-nya WWF Indonesia.

Program ini sudah berlangsung sejak tahun 2007, dengan mengajak para perusahaan untuk menanam pohon di suatu kawasan (Taman Nasional atau hutan lindung atau kawasan yang sudah rusak) sebagai cara untuk perusahaan mengimbangi emisi karbon yang dihasilkan dalam kegiatan bisnis. Kawasan yang pertama dipilih adalah Kawasan Taman Nasional Sungai Sebangau di Kalimantan Tengah. Kawasan lain yang dipilih sebagai area penanaman pohon adalah di Papua (Kawasan Cagar Alam Pegunungan Cyclops) dan di Jawa Barat (Sungai Ciliwung). Perusahaan yang terlibat juga semakin banyak antara lain Nokia, Equinox Publishing, PT Garuda dan PT Tess AMM.

Kegiatan penanaman pohon di kawasan Taman Nasional Sungai Sebangau bahkan sudah direncanakan sebagai salah satu proyek percontohan bagi kegiatan REDD. Hanya saja, menurut dokumen WWF sendiri, tidak disebutkan apakah program Newtrees ini masuk di dalam proyek percontohan REDD di Sebangau sebagaimana disebutkan dalam situs REDD Indonesia. Atau bisa jadi di dalam kawasan yang sama, WWF melakukan dua atau mungkin lebih proyek yang kemudian dimasukkan ke dalam proyek percontohan REDD.

Dengan demikian, program newtress ini memang seperti carbon offset karena berkeinginan mewadahi perusahaan yang ingin mengimbangi emisi karbon yang dikeluarkannya akibat roda bisnisnya dengan menanam sejumlah tertentu pohon di kawasan taman nasional atau hutan lindung. Apa yang dilakukan oleh program ini di Taman Nasional WWF menjadi indikasi kuat.

Pertanyaannya pertama adalah apakah sepadan? Sayangnya saya belum tahu berapa emisi karbon yang dikeluarkan oleh PT Garuda atau PT Nokia pertahunnya sehingga harus dioffset dengan berapa ratus ribu buah pohon yang harus ditanam. Di dalam website WWF sendiri tidak ada penjelasan soal hitung-hitungan seperti itu, sehingga misalnya apakah 100ribu pohon di kawasan seluas 250 ha dapat mengimbangi emisi yang dikeluarkan oleh PT Garuda dalam kurun waktu tertentu (yang juga tidak jelas)? Atau apakah 10ribu ponsel bekas dan aksesori bekas memang pas untuk "dihargai" dengan menanam pohon di area seluas 10 ha di hulu Sungai Ciliwung? Tidak jelas. Tentu akan beda sekali keadaanya jika WWF kemudian membuka ke publik hitung-hitungannya sehingga menjadi jelas perbandingan antara emisi karbon "yang diimbangi" dengan jumlah pohon yang ditanam.

Bagaimana dengan soal greenwashing? Sama sekali berbeda dengan kontroversi di Ulu Masen, Aceh, dimana sebuah perusahaan pertambangan (PT East Asia Mineral) membeli saham Carbon Conservation yang terlibat dalam proyek karbon di Ulu Masen, yang lalu pembelian saham ini diindikasikan sebagai praktek greenwashing oleh perusahaan tambang asal Kanada tersebut. Program Newtress ini berjalan diam-diam dan sepi dari kontroversi.

Mungkinkah karena perusahaan yang terlibat di dalam program ini tidak memiliki conflict of Interest, sebagaimana perusahaan tambang Kanada tersebut yang berkepentingan untuk terlibat di dalam proyek karena ada beberapa proyek tambang (emas dan tembaga) di Aceh dan berdekatan dengan proyek Ulu Masen? Mungkin ini karena kita, terutama saya, tidak menemukan apa kepentingan (langsung) perusahaan-perusahaan yang menanam pohon di Sebangau tersebut, selain menunjukkan kepedulian tinggi untuk berpartisipasi dalam menjaga lingkungan. Tapi apakah PT Garuda tidak memiliki kepentingan agar perusahaannya dianggap hijau dengan ikut menanam 100 ribu pohon untuk kawasan seluas 250 hektare di TN Sebangau? Saya kok ragu. Ya, memang bisa jadi tidak ada kepentingan langsung PT Garuda dengan penanaman pohon (tidak ada kontribusi langsung keberhasilan penanaman pohon itu pada kelangsungan bisnis PT Garuda), tapi bagaimana kepentingan tidak langsungnya; ini strategi marketing yang bertujuan menghijaukan kesan akan PT Garuda?.

Di sisi lain, PT Nokia berterus terang bahwa sumbangan mereka terhadap kegiatan Newtrees ini diharapkan dapat menaikkan citra mereka sebagai perusahaan hijau ("Nokia wants to show our customers that Nokia as a green company has commitment to saving the environment and supporting Indonesia government program One Man One Tree"). Jika dilihat dan dibandingkan dengan press release PT East Asia Mineral Corp, yang juga secara berterus terang mengakui bahwa pembelian ini dilakukan agar bisa dianggap "green", sehingga produknya dapat dikategorikan sebagai produk "green mining" sehingga laku dan dihargai tinggi, kenapa tidak ada yang menganggap PT Nokia juga melakukan "greenwashing"? Apakah karena yang PT East Asia Mineral lakukan itu membeli sementara PT Nokia itu memberi? Atau karena memang inheren kegiatan tambang itu tidak mungkin menjadi "hijau", sehingga apapun yang dilakukan sebaliknya akan dicurigai sebagai greenwashing, sementara perusahaan komunikasi seperti PT Nokia tidak memiliki "cacat bawaan" sehingga lebih mudah menjadi (dianggap) "hijau"?

Sama seperti menilai CSR sebuah perusahaan, apakah sebuah perusahaan melakukan greenwashing atau tidak bisa dilihat dari perilaku perusahaan secara keseluruhan. Apakah "nilai-nilai hijau" yang coba ditonjolkan ke luar itu juga diterapkan di dalam kegiatan sehari-hari bisnisnya, yang bisa dilihat antara lain dalam soal penggunaan energi, pemilihan bahan mentah, proses produksinya, bahkan sampai perlakuannya kepada karyawannya dan seterusnya. Jika nilai-nilai itu tidak diterapkan dalam kegiatan bisnis sehari-hari dan perusahaan tersebut menyumbang untuk kegiatan kampanye hijau, maka menurut saya, sudah masuk dalam kategori greenwashing, karena perusahaan tersebut mencoba mengelabui publik atau konsumennya dengan seolah-oleh tampak hijau, padahal sejatinya tidak. Karenanya tinggal kita perhatikan saja, apakah perusahaan yang terlibat dalam program Newtrees ini benar-benar menerapkan prinsip-prinsip hijau di dalam kegiatan bisnis setiap harinya atau tidak atau, kalau berharap jauh, ada efek positif keterlibatan perusahaan tersebut ke dalam bisnisnya. Sebagian kecil "kewajiban" ini, sebenarnya, juga menjadi tanggung jawab WWF, dengan, misalnya, membuka informasi ke publik soal program ini serta alasan perusahaan tersebut dilibatkan.

Dalam horison yang lebih luas, jika memang benar program newtress ini juga akan dijadikan proyek percontohan REDD, maka segala aturan atau norma soal REDD yang sedang hangat digagas dan diperbincangkan, misalnya soal akuntabilitas dan transparansi pemrakarsa, keterlibatan penuh (dengan FPIC) dari masyarakat yang terkena dampak, sensitivitas atas soal tenurial serta pembagian keuntungan yang adil dengan berbagai pihak, seharusnya juga berlaku di dalam program ini. Ini tentu saja, tidak hanya berlaku bagi WWF, tetapi juga pada kegiatan percontohan REDD yang dilakukan oleh pemrakarsa lainnya. Dan tidak hanya menyorot proyek-proyek yang besar (dan kontroversial) saja seperti di Ulu Masen, eks-PLG-nya KFCP atau UN-REDD di Sulteng.

Ini juga menjadi catatan penting bagi siapapun yang akan melaksanakan program offset karbon di tanah air. Saya kira ada persoalan, yang tidak hanya soal hukum/kepatuhan pada aturan, tetapi juga soal etika dalam pelaksanaan karbon offset ini yang seharusnya juga disinggung oleh para pemerhati dan berbagai pihak. Ada potensi besar berupa "fraud" dalam pelaksanaan karbon offset ini serta penyelewengan yang akan menyingkir tujuan awal dilakukannya offset ini, yang indikasi awalnya, saya kira, akan terlihat dari perilaku greenwashing.

13 Mei 2010

Untungnya Australia dengan Skema REDD

Berikut tautan dari REDD-monitor yang bicara soal kepentingan Australia dengan mekanisme REDD. Tulisan di blog ini didasarkan pada sebuah sebuah penelitian yang dilakukan oleh Andrew Macintosh, Associate Director pada Centre for Climate Law and Policy, ANU.

Ternyata penerimaan Australia pada Protokol Kyoto dibarengi dengan kemudahan bagi Australia untuk mengikuti kewajiban penurunan emisinya. Paragrap 3.7 (2) dari Protokol Kyoto memberikan kemudahan kepada negara maju yang masuk dalam annex satu yang pada tahun 1990 emisinya didominasi oleh LUCF [Land Use Change and Forestry] agar penurunan dari emisi deforestasi bisa dimasukkan sebagai usaha penurunan emisi seluruhnya. Pada tahun 1990, 30 persen emisi Australia berasal dari deforestasi dan jumlah ini terus turun sampai sekarang. Masalahnya antara tahun 1990 sampai dengan tahun 2007, Australia malah menaikkan emisinya sebesar 26%. Nah dalam masa komitmen pertama ini, Australia hampir pasti bisa memenuhi target penurunan emisinya karena ada kemudahan dari Protokol Kyoto itu. Australia tinggal menjaga emisi dari deforestasi tidak melewati angka di tahun 1990 yang mencapai 132 juta ton CO2e, tanpa harus menurunkan emisi dari sektor lain yang merupakan sumber utama penghasilan Australia: pertambangan. Atau penurunan emisi dari skema REDD [khas Australia] ini akan akan dipergunakan sebagai offset kenaikan emisi di bidang di luar LUCF.

Dan sepertinya, Australia juga berkepentingan dengan REDD yang dilakukan di luar negeri. Karena tidak semua REDD khas Australia di dalam negerinya bisa mengoffset keseluruhan kenaikan emisinya. Di sini, semua kerja sama, bantuan keuangan dst dari pihak Australia dengan Indonesia sebenarnya – pastinya sudah pasti -  menyimpan maksud tersembunyi. Akhir-akhir ini bahkan bantuan dalam soal REDD ini dikaitkan, kalau tidak mau dikatakan diselinapkan, dalam bantuan untuk keperluan lain seperti pengurangan kemiskinan. Mungkin tidak harus dibaca: Australia sedang memberikan permen manis kepada Indonesia agar melakukan [bukan hanya mendukung] dengan sepenuh hati skema REDD yang sedang diperbicangkan di bawah payung UNFCCC. Tapi bisa juga menunjukkan bahwa Indonesia, terutama pengambil keputusan, sedang menaikkan posisi tawar. Kita akan lihat apakah “transaksi” itu memberikan lebih banyak kemudharatan atau sebaliknya.

Yang pasti adalah Indonesia tidak memiliki kewajiban menurunkan emisi. Australia, sebaliknya, punya kewajiban itu. Dengan posisi itu, Indonesia seharusnya menaikkan posisi tawar setinggi-tingginya. Termasuk didalamnya memastikan sejauh mungkin perlindungan pada hak-hak masyarakat adat/lokal di sekitar wilayah yang akan dijadikan REDD. Sayangnya, REDD+ yang dilakukan di Indonesia, sepertinya, dengan melihat trend DA [demontration activities – pilot project]-REDD-nya, lebih banyak memakai sistem konsesi yang di masa lalu hampir selalu meniadakan hak-hak masyarakat lokal/adat yang hidupnya bergantung pada keberadaan hutan di sekitarnya. Sampai sekarang, sejauh yang saya tahu, belum ada pembicaraan untuk memastikan REDD+ yang akan dijalankan menghormati dan melindungi kepentingan masyarakat lokal/adat.

30 April 2010

Model Konsesi REDD dan Masyarakat

A. RED –> REDD --> REDD+ –> ?

Hutan sebenarnya sudah masuk dalam strategi penurunan pemanasan global ketika muncul perdebatan soal LULUCF dan menjadi bagian dalam CDM/Clean Development Mechanism atau Mekanisme Pembangunan Bersih dalam kerangka Protokol Kyoto. Tapi banyak negara tropis yang tidak terlalu bahagia dengan peran kecil hutan itu. Dalam CDM, misalnya, peran hutan hanya dipandang dalam segi Aforestasi/Reforestasinya dengan meninggalkan kontribusi hutan yang ada dalam mitigasi perubahan iklim. Mereka melihat bahwa hutan yang ada seharusnya diikutsertakan dalam strategi mitigasi global perubahan iklim; karenanya mempertahankan keberadaan hutan sekarang, baik dari segi luasan maupun kualitasnya, penting untuk diperhatikan.

Di COP 11 di Montreal, usulan itu muncul dalam bentuk term RED atau Reducing Emission from Deforestation yang merupakan penerjemahan dari konsep "avoiding deforestation". Konsep itu terus menerus berubah. Di COP 13 di Bali, peran pencegahan kerusakan hutan mengemuka yang kemudian diakomodir dalam Bali Action Plans dengan nama REDD. Tidak berhenti di sana, REDD berubah menjadi REDD+ ketika disadari bahwa sumbangan hutan dalam mitigasi perubahan iklim tidak berhenti pada perubahan dari sisi negatif [avoiding deforestation dan degradation] tapi juga dari sisi perubahan sisi positif, seperti peningkatan stok karbon, pengelolaan hutan yang berkelanjutan dan konservasi hutan. REDD+ menemui bentuk formalnya ketika dibicarakan di COP 14, Poznan.

Dalam dua tahun ini, kita menyaksikan silih bergantinya berita terkait dengan hutan, REDD dan perubahan iklim. Ratusan literatur telah dibuat untuk membicarakan apa REDD, bagaimana dia diimplemetasikan, dari mana dananya, siapa yang bisa menarik untung, dst. REDD menjadi semakin menarik dibicarakan karena dia diproyeksikan menjadi pengganti komitmen pertama dalam Protokol Kyoto yang berakhir pada tahun 2012 atau menjadi bagiam komplementer dari perjanjian penurunan emisi pasca 2012. Karena itu, sebenarnya, belum ada skema REDD yang didukung dan disepakati oleh masyarakat internasional. Walaupun belum ada kejelasan di dunia internasional, tidak berarti tidak ada usaha di tingkat implemetasi yang saling berkompetisi untuk "meyumbang" pada bentuk skema REDD post-2012 nanti.

B. Pilot Project REDD

Dengan demikian, pengertian REDD dalam tulisan ini adalah skema pilot project atau aktivitas uji coba yang ditujukan untuk mengurangi emisi dari deforestasi dan kerusakan hutan di lokasi tertentu. Secara global tercatat sudah ada 109 aktivitas REDD [Wertz-Kanounnikoff and Kongphan-Apirak, 2009] dengan perincian: 44 buah pilot project yang ditujukan secara langsung untuk mengurangi emisi dari deforestasi dan kerusakan hutan/[”Demonstration activities”] dan 65 proyek untuk “readiness activities” yakni kegiatan yang memang ditujukan untuk membuat kerangka skema REDD.

C. Kategori Pilot Project REDD

Indonesia merupakan Negara yang paling banyak aktivitas pilot proyek REDDnya. Tercatat ada 29 aktivitas REDD yang sekarang ada di Indonesia yang bisa dikategorikan ke dalam 3 versi [Madeira, 2009]:

1. Proyek REDD yang dilakukan dengan cara mengajukan ijin konsesi hutan [“Model Konsesi”], seperti IUPHHK Restorasi Ekosistem atau bentuk ijin konsesi hutan lainnya.

2. Proyek REDD yang dilakukan dengan melakukan kerjasama dengan pemerintah [“Kerjasama Pemerintah”], seperti KFCP atau Skema di bawah payung UN-REDD

3. Proyek REDD yang dilakukan dengan melakukan kerjasama dengan para pemilik ijin/lahan [“Kerjasama Pengguna Lahan”], misalnya pemrakarsa melakukan kerja sama dengan pemilik Ijin HTI, HGU Sawit, Hutan Desa, dst.

Sebenarnya ada satu lagi kategori namun tidak dimasukkan karena mereka tidak mencari karbon kredit, yakni mereka yang melakukan kerjasama dengan pemerintah untuk membangun proyek karbon namun tidak mencari kredit karbon buat mereka sendiri. Kegiatan ini biasanya didukung oleh organisasi bilateral atau NGO.

D. Model Konsesi dan Konsekuensinya bagi Masyarakat

Dari 3 kategori pilot proyek itu, kebanyakan di Indonesia mengikuti model konsesi [Madeira, 2009]. Model konsesi ini bisa dilakukan dengan pemrakarsa mengajukan ijin konsesi baru atau pemilik suatu konsesi merubah atau menambahkan ke ijin awalnya usaha-usaha pengurangan emisi dari deforestasi dan kerusakan hutan.

Banyaknya model konsesi ini bisa dicarikan alasannya, pertama, untuk mencegah terjadinya deforestasi yang direncanakan. Di Indonesia, deforestasi lebih banyak terjadi karena aktivitas yang direncanakan, bisa oleh pemerintah atau oleh mereka yang mendapatkan ijin dari pemerintah [lihat Greenomics, 2009]. Mereka mengajukan ijin di lahan hutan yang sudah rusak, yang kemudian bisa dikonversi jadi perkebunan atau aktivitas pembangunan non-kehutanan lainnya atau di lahan hutan lainnya yang menunggu untuk dikonversi. Kedua, kebijakan kehutanan Indonesia selalu memihak pada perusahaan besar. Ketiga, usaha konservasi yang selama ini dilakukan di Indonesia selalu gagal atau terhambat karena adanya ketidaksesuaian dengan kepentingan aparat pemerintah. Mengajukan ijin konsesi dapat meminimalisir intervensi terlalu jauh dari aparat pemerintah. Keempat, terkait masalah teknis pembiayaan, proyek REDD untuk sampai mendapatkan kredit karbon memerlukan dana awal yang besar. Kelima, model konsesi menjamin kepastian hukum, sesuatu yang sangat penting dalam REDD yang dipergunakan untuk menunjukkan bahwa akses terhadap karbon bisa dipertahankan sesuai dengan perjanjian jual beli kredit karbon.

Tapi umumnya sistem konsesi yang dipakai dalam rencana skema REDD ini sebenarnya memanggil kembali ingatan akan apa yang mereka lakukan di tingkat masyarakat dan lingkungan hidup. Tidak kehitung berapa banyak konflik yang merugikan masyarakat dari adanya sistem konsesi ini.

Dari penemuan awal dari riset yang sedang kami lakukan, tampaknya masyarakat mengkhawatirkan praktek REDD akan sama dengan praktek HPH selama ini. Mereka akan kembali menghadapi ketidakbebasan dalam mengakses hutan atau hanya sekedar menjadi penonton dan mendapatkan remahan rente dari proses itu. Belum lagi masalah ternyata lokasi REDD tersebut berada di dalam kawasan yang diklaim masyarakat sebagai wilayah kelola/adatnya. Pengalaman selama ini menunjukkan, klaim itu akan selalu tersisihkan ketika berhadapan dengan versi lain dari rejim pemerintah.

Tidak hanya berhenti di sana, model konsesi dipakai karena tujuannya adalah mencegah pihak luar mengkonversi hutan untuk keperluan di luar urusan konservasi atau penyimpanan karbon di pohon dan lahan. Pihak luar ini tidak hanya perusahaan sawit, tetapi juga masyarakat sekitar yang dikawatirkan akan melakukan perambahan.

Pihak pemrakarsa proyek REDD bukan tidak menyadari peranan penting masyarakat sekitar hutan [“local shareholder”]. Mereka selalu memasukkan factor keterlibatan masyarakat dalam proposal REDD-nya. Mereka menyadari biarpun, misalnya, secara de jure suatu kawasan yang akan dijadikan pilot proyek REDD itu tidak dikuasai oleh masyarakat, tetapi secara de facto, masyarakat memegang peranan penting dalam keberhasilan proyek itu, misalnya di lihat dari sisi permanence atau leakage.

Namun, dalam pelaksanaannya, sebagaimana yang kami temukan di lapangan, masyarakat masih kesulitan untuk mengetahui “apa sebenarnya” yang sedang dilakukan oleh para pemrakarsa itu. Ada pemrakarsa yang datang ke suatu kampung untuk maksud yang berbeda jauh dengan maksud sebenarnya. Awalnya datang dengan maksud untuk melakukan pendataan serta pembuatan koridor orang utan, tapi setelah lama baru ketahuan bahwa mereka sebenarnya sedang melakukan assessment soal REDD dan lokasi itu cocok untuk dijadikan lokasi REDD. Atau ada pemrakarsa yang menutup diri ketika ada warga yang bertanya soal-soal mendasar yang seharusnya diberitahukan secara terbuka, seperti soal apa itu REDD, bagaimana pelaksanaan konkritnya di lapangan, dst, terlepas dari apakah masyarakat akan mengerti atau tidak.

Melakukan konsultasi dengan lokal shareholder, terutama masyarakat sekitar hutan, merupakan prasyarat penting dalam pelaksanaan REDD. Selanjutnya ada mekanisme Free Prior Informed Consent [FPIC] yang juga harus dilakukan agar masyarakat tahu dan sesadar-sadarnya paham konsekuensi jika menerima atau menolak proyek REDD. Kedua hal ini sudah dimasukkan dalam standar sertifikasi karbon sebagaimana ada di dalam Voluntary Carbon Standard (VCS) dan the Climate, Community and Biodiversity (CCB) Standards.

Kebanyakan yang dilakukan para pemrakarsa dalam menentukan lokasi REDD lebih bersifat “lingkungan”: tipe pohon, tipe tanah, iklim regional, dan topografinya. Faktor masyarakat adalah faktor yan dibicarakan selanjutnya. Ini juga akan memberikan konsekuensi lain.

Mengapa Masyarakat rentan?

Masyarakat diperkirakan akan rentan sebagai dampak jika REDD dilakukan karena ditunjang sedikitnya dua factor: [1] Perbedaan besar pandangan antara masyarakat lokal/Adat dan pemrakarsa REDD dalam melihat hutan dan fungsinya; serta [2] insentif REDD berasal dari luar negeri suatu Negara.

Perbedaan besar pandangan antara masyarakat lokal/Adat dan pemrakarsa REDD dalam melihat hutan dan fungsinya. Pengurangan emisi untuk mencegah dampak yang lebih besar dari perubahan iklim sekarang lebih banyak bergerak di tataran elit dan internasional. Jika dilihat dari sisi siapa yang paling berkepentingan, sebenarnya Negara-negara maju yang terikat dalam Protokol Kyoto-lah sebenarnya yang palig berkepentingan dengan adanya REDD. Selain murah, ia juga menjadi dasar untuk mengajak Negara berkembang dengan perekonomian raksasa seperti China dan India untuk juga memegang beban pengurangan emisi.

Tujuan pemrakarsa REDD tidak lain adalah adanya kredit karbon dari hutan yang bisa diperjualbelikan di tingkat internasional, jika masuk dalam kategori Pasar, atau kredit karbon yang bisa dikompensasikan dengan sejumlah dana, jika masuk dalam kategori Public Fund. Tujuan ini bisa jadi tidak akan sejalan dengan kepentingan masyarakat sekitar hutan di Negara-negara tropis. Jembatan itu harusnya dibangun lewat konsultasi atau program FPIC yang dilakukan secara benar di lapangan.

Bukan berarti bahwa masyarakat harus menyesuaikan diri dengan kepentingan pengurangan emisi itu. Mereka harus tetap dihormati cara hidupnya, keberadaan mereka di lokasi, dst. Hanya saja, usaha untuk membuat jembatan di antara perbedaan tujuan bisa diusahakan. Jangan sampai, demi tujuan pengurangan emisi, masyarakat diarahkan untuk mengganti livelihood-nya atau bahkan dipindahkan ke lokasi lain [biarpun secara tidak langsung meminta, misalnya, dengan mengatakan bahwa daerah itu akan dijadikan taman nasional [plus lokasi REDD], sebenarnya mengindikasikan bahwa penduduk di lokasi itu harus pindah atau makin sengsara karena hidup di dalam kawasan taman nasional].

Diarahkannya masyarakat ke tipe pekerjaan yang tidak lagi bergantung pada hutan menjadi mimpi besar para konservasionis yang nampak dikerjakan dalam program-program Integrated Conservation and Development Program [ICDP]. Tapi, hanya sedikit yang berhasil. Dalam REDD, sebenarnya proses ini hanya membuat masyarakat tidak terlibat dalam skema REDD. Konsekuensinya adalah jika pun berhasil maka masyarakat tidak akan mendapatkan ‘kompensasi” dari skema REDD yang berlangsung disekitarnya dan justru dia akan dibebani dengan “cost” tertentu, tergantung pada bagaimana pemrakarsa memandang hubungan antara proyeknya dengan masyarakat tersebut. [Ini menjadi bantahan bahwa REDD bukanlah skema Payment for Environmental Services [PES]]. Sebaliknya, jika tidak berhasil, maka justru akan akibatnya akan mengganggu keberlanjutan proyek REDD.

Di sisi lain, ada inisiatif yang dikerjakan oleh pemerintah, sebagai pemilik hutan, untuk melibatkan masyarakat dalam skema REDD dengan mengajak mereka untuk masuk dalam proyek HTR atau Hutan Tanaman Rakyat. Sebuah model konsesi tapi lebih diarahkan untuk rakyat dan skala kecil.

Di satu lokasi di Kalteng, semua warga, tidak peduli apakah dia punya kemampuan mengelola pepohonan atau tidak, dimasukkan ke dalam kelompok tani dan terbentuk sekitar 75 kelompok. Masing-masing kelompok terdiri dari 5 – 7 kepala keluarga dan akan mengusahakan lahan seluas 15 hektar/kelompok. Kepala Mantirnya sampai mengatakan bahwa jika HTR ini jalan, maka tidak akan ada lagi nelayan, semuanya akan mengusahakan HTR. Mereka dijanjikan akan mendapatkan bantuan pembiayaan sebesar kurang lebih 8 juta/ha, bantuan bibit, konsultasi penanaman dan perawatan pohon dst.

Namun HTR dalam benak masyarakat adalah jalan legal untuk memotong kayu. Lokasi yang mereka pilih ternyata adalah lokasi yang masih ada pohonnya. Mereka menyatakan bahwa dengan keterlibatan dalam HTR ini, mereka bisa memotong pohon secara legal.

Masalahnya adalah, tidak ada pemberitahuan kepada mereka, dalam skema REDD, pemotongan kayu/pohon mengandung konsekuensi terlepasnya karbon, memberi pupuk terlalu banyak atau peerwatan tanah yang tidak baik aka berkonsekuensi pada terlepasnya karbon dan gas rumah kaca lainnya. Belum ada info bagaimana soal ini diselesaikan. Dalam proses awal, masyarakat mungkin diperbolehkan untuk memotong pohon demi pembersihan lahan, tapi apa nasibnya pohon yang mereka tanam: masih berhakkah mereka atas pohon itu ketika skema REDD dijalankan?

Insentif REDD berasal dari luar negeri suatu Negara. Terlihat bahwa pemerintah seperti berjalan sendiri dalam mengeluarkan kebijakan soal REDD atau perubahan iklim. Hal yang sering terjadi ketika insentif tidak berasal dari dalam negeri suatu negera tetapi berasal dari luar negeri. Insentif REDD tidaklah datang dari dalam negeri, ia merupakan jalan bagi terlaksananya offset emisi Negara-negara maju dengan membeli kredit karbon yang dijual oleh Negara-negara pemilik hutan tropis. Insentif yang datang dari luar negeri ini dapat melemahkan aspek akuntabilitas Negara terhadap rakyatnya. “Proyek lingkungan hidup”, termasuk perubahan iklim dan REDD, yang berjalan di Indonesia umumnya mengalirkan insentif dari luar negeri dan belum bisa menghidupkan insentif dari dalam negeri, sehingga rentan gagal dan kurang mengakomodasi kepentingan lokal shareholder.

Pada titik ini, menjadi sebuah keharusan untuk terus menerus menyuarakan suara masyarakat dalam perencanaan kebijakan yang terkait maupun tidak terkait dengan perubahan iklim atau REDD dan bahkan menjadikan “perspektif masyarakat” bersandingan dengan “perspektif pengurangan emisi”. Menjadikan keterlibatan masyarakat tidak hanya dalam tataran formal, tapi terlibat penuh dalam perencanaan, pelaksanaan dan monitoring pilot proyek REDD.


Daftar Bacaan

Greenomics Indonesia. 2009. “Menguji” Rencana Pemenuhan Target Penurunan Emisi Indonesia 2020 dari Sektor Kehutanan dan Pemanfaatan Lahan Gambut. Kertas Kebijakan. Jakarta, Indonesia: Greenomics Indonesia.

Madeira, Erin Myers. 2009. REDD in Design: Assessment of Planned First-Generation Activities in Indonesia, RFF Discussion Paper 09-49, Washington D.C: Resources for the Future

Wertz-Kanounnikoff, Sheila, and Meta Kongphan-Apirak. 2009. Emerging REDD+: a preliminary survey of emerging demonstration and readiness activities. CIFOR Working Paper No 46. Bogor, Indonesia: Center for International Forestry Research.


[1] Staf Learning Center HuMa. Makalah disajikan dalam acara Seminar “Workshop on Climate Change and REDD”, Grand Nangroe Hotel - Banda Aceh, 26 April 2010. Email: mumu.muhajir@gmail.com


Download di sini

07 April 2010

Pemerintah Provinsi, REDD, Safeguard

Tautan di bawah adalah hasil workshop sebuah Tim Kerja yang bernama The Governors’ Climate and Forests Task Force (GCF) yang berjudul Regulatory Design Option for Sub-national REDD Mechanism. Tergabung dalam GCF ini ada empat Provinsi di Indonesia: Aceh, Papua, Kalbar dan Kaltim. GCF sekarang terdiri dari 14 Provinsi dari 5 negara [USA, Meksiko, Brazil, Nigeria dan Indonesia]. GCF ini dibentuk dengan tujuan untuk mengintegrasikan REDD ke dalam skema besar penurunan emisi gas rumah kaca dan memberikan advokasi agar tujuan itu tercapai. GCF ini tidak terlepas dari dibuatkannya skema Cap and Trade serta Tropical Forest Conservation Act di dalam negeri Amerika. Amerika membutuhkan partner dari negara berkembang pemilik hutan tropis untuk dijajagi kemungkinan melakukan offset karbon.

Bersamaan dengan lahirnya Copenhagen Accord pada COP 15 telah disepakati pula dokumen yang berjudul "Methodological guidance for activities relating to reducing emissions from deforestation and forest degradation and the role of conservation, sustainable management of forests and enhancement of forest carbon stocks in developing countries". Dalam dokumen itu dinyatakan " To establish, according to national circumstances and capabilities, robust and transparent national forest monitoring systems and, if appropriate, sub-national systems as part of national monitoring systems. Ini merupakan "karpet merah" bagi organisasi seperti GCF ini dalam perjuangan agar tingkat provinsi/sub-nasional bisa terlibat langsung baik dalam negosiasi maupun pelaksanaan REDD.

Ingat pula, bahwa ada "pertentangan" antara California dengan pemerintah federal Amerika dalam soal strategi mitigasi perubahan iklim. California dianggap "mendahului" pemerintah federal dalam penerapan skema cap and trade dengan lahirnya Global Warming Solution Act. Politik lokal ini membuat apa yang disepakati di COP 15 menguntungkan GCF ini.

Dalam soal REDD, apa yang "ditawarkan" oleh GCF ini merupakan salah satu "proses" dalam lingkup perdebatan REDD secara internasional yang satu sama lain saling bersaing untuk mendapatkan "penguatan" secara legal dan politik dalam fora isu global soal perubahan iklim.

Saya rasa tawaran GCF itu harus diperhatikan, jika ternyata skema sub-nasional ini bisa berlaku seperti nasional, "pertentangannya" dengan kebijakan REDD Indonesia yang "bermadzhab" National approach by sub-national implementation, di mana REDD dihitung referensinya secara nasional yang dalam pelaksanaannya dilakukan secara sub-nasional. Dalam interpretasi saya, konsekuensinya itu berarti satu-satunya "channel" pelaksanaan REDD adalah lewat Pusat/Nasional, termasuk di dalamnya dana/program/proyek yang masuk, lalu kemudian dibagi ke provinsi/kabupaten. Pernah saya dengar keluhan dari salah seorang pejabat di Dephut yang tidak suka dengan inisiatif Aceh dan Papua [waktu itu] yang melakukan kerja sama dengan provinsi lain negara lain.

Lalu apa yang menarik dari tautan itu adalah soal Safeguard. Ada 3 kategori: lingkungan, perlindungan hak dan bagi keuntungan. Ada banyak hal yang bisa dibandingkan [karena ia bicara soal regulatory yang karenanya harus practible] dengan usulan safeguard lainnya.

Dalam soal Lingkungan, GCF ini mengusulkan, salah satunya, bahwa Kredit REDD tidak boleh dipergunakan untuk aktivitas apapun yang mengarah pada konversi hutan alam. Usulan ini menarik karena, misalnya, di Indonesia konversi hutan [alam] masih sering dilakukan untuk kepentingan HPH/HTI atau perkebunan sawit, seperti sawit. Padahal Sawit , HTI dan HPH merupakan aktor yang diusulkan oleh Indonesia dapat menjalankan dan mendapatkan insentif REDD.

Dalam soal Perlindungan Hak/Kepentingan, usulannya sebenarnya "standar", misalnya soal aktivitas REDD sejauh mungkin tidak menciderai kepentingan dan hak-hak masyarakat lokal, Adat atau masyarakat rentan lainnya, di antaranya dengan mencegah aktivitas REDD membuat mereka pindah secara tidak sukarela. Selain itu, soal FPIC harus dilakukan secara benar dan komprehensif, seperti misalnya masyarakat mempunyai akses luas pada segala informasi yang ada hubungannya dengan proyek REDD. Di lapangan, FPIC ini memang lebih enak disebutkan daripada dipraktekkan. Di Kalbar, misalnya, ada proyektor REDD yang ke mana-mana selalu ngomong FPIC dalam menjalankan proyeknya, ternyata di salah satu desa yang akan dijadikan percontohan REDD atau malah REDD, masyarakat sekitar tidak banyak diberitahu soal hal-hal mendasar soal aktivitas REDD, termasuk soal apa sebenarnya isi MoU antara mereka dengan Pemda dalam soal REDD ini.

Tentu saja perjuangan GCF ini masih panjang. Salah satu yang menarik perhatian saya, terutama kasusnya Indonesia adalah bagaimana mereka melakukan koordinasi dengan pemerintah Pusat dan Pemerintah Kabupaten? Jika "debat panas" sudah sering kita dengar antara Pemprov dengan Pusat, bagaimana dengan Pemprov vs Pemkab? Saya ada informasi terkait soal ini yang kejadiannya ada di Kalbar, tapi kayaknya tidak terlalu bijak untuk dibuka di sini karena masih harus cek-rechek lagi.

Ini link-nya: Option Paper

06 April 2010

Melihat Kontribusi CO2 dari Sisi Konsumsi

Perhitungan kontribusi negara pada peningkatan CO2 selama ini hanya memperhitungkan sisi produksinya saja. Padahal, jika melihat sistem perdagangan global, ada sisi yang tidak diperhatikan, yakni sisi konsumsinya. Jika dari sisi produksi, negara dihitung kontribusinya atas peningkatan CO2 hanya berdasarkan produksi lokal saja atau perhitungan setempat. Menurut skema perdagangan global sekarang ternyata ada banyak barang yang dikonsumsi oleh negara maju yang diproduksi di negara berkembang dimana terkandung didalamnya pengeluaran CO2. Perhitungan co2 yang lazim dilakukan, sejumlah tertentu co2 akan dihitung sebagai kontribusi negara berkembang [sebagai negara produsen] dan sejumlah co2 yang sama juga "hilang" dari perhitungan yang seharusnya juga menjadi beban negara maju, sebagai negara konsumen.

Tulisan ini mencoba memperlihatkan bagaimana kontribusi co2 jika dilihat dari sisi konsumsi atau yang melibatkan ekspor-impor barang dan jasa antara negara berkembang dan negara maju. Dengan data dari tahun 2004 terlihat bahwa 23% dari emisi co2 global merupakan barang dan jasa yang ekspor oleh China dan negara berkembang lainnya ke negara maju. 22,5% emisi yang diproduksi oleh China merupakan barang/jasa yang dieksporkan ke negara maju atau negara lainnya.



Yang diinginkan dari tulisan ini sebenarnya adalah bahwa ada bagian tertentu dari produksi co2 dari negara berkembang yang seharusnya dihitung sebagai kontribusi negara maju yang mempergunakan barang/jasa tersebut. Tulisan ini menyarankan agar ada bea tertentu [Bea Karbon] pada barang/jasa yang didagangkan secara internasional.

Tapi apa tidak membuat barang yang diekspor dari negara berkembang menjadi lebih mahal ya dan ujung-ujungnya membuat barang sama yang diproduksi oleh negara maju bisa bersaing?

02 April 2010

Debt-for-Nature Swap: Layak dicoba

Kementrian Kehutanan merencanakan akan membuat National Forest Trust Fund, keluar dari skema ICCTF-nya Bappenas. Trust Fund ini sebenarnya untuk mengelola dana yang masuk karena Indonesia menjalankan REDD atau skema lain yang ada hubungannya dengan perubahan iklim dan hutan.

Menariknya, Trust Fund ini rencananya akan memgunakan lembaga independen sebagai pengelola keuangannya dengan mengikuti "keberhasilan" skema Debt-for Nature Swaps [DNS] antara Indonesia dengan Amerika Serikat. Skema DNS dengan Amerika Serikat itu sendiri berhasil mengalihkan utang Indonesia sebesar 30 juta dollar US [selama 8 tahun, versi Kehati] untuk keperluan konservasi lingkungan di Sumatera. Dalam skema DNS, utang sebesar 30 juta dollar US itu "dibeli" seharga 2 juta dollar oleh dua LSM, Conservation Internasional dan Yayasan Kehati.

Dana pengalihan itu akan dikelola oleh sebuah Trust Fund. Kalau saya tidak salah memahami skema DNS, dana yang akan dikelola olehTrust Fund itu adalah sebesar 30 juta dollar US atau nilai yang setara dalam rupiah [dana DNS, dana yang dikeluarkan harus dalam mata uang debitor]. Atau [karena saya agak ragu dengan nilai sebesar itu] ada perjanjian khusus dimana utang 30 juta dollar US itu ketika dialihkan akan dikenakan diskon tertentu, semisal 10%. Jadi utang itu "dihargai" 2 juta dollar [uang ini masuk ke kantong kreditor], lalu pemerintah Indonesia akan berkomitmen membiayai kegiatan konservasi dengan biaya, bukan sebesar 30 juta dollar, melainkan sejumlah tertentu diskon dari utang yang telah disepakati.

[Tentu, sebagai catatan, DNS juga sudah dilakukan dengan negara lain, semisal dengan Jerman, namun "swaps"-nya untuk bidang kesehatan dan pendidikan].

Jadi ingat skripsi saya dulu yang bicara soal DNS. Jika tertarik anda bisa mengunduhnya di sini

DNS ini, menurut saya layak dicoba, terlepas dari kritikan hutangnya sebenarnya najis dan karenanya gak perlu dibayar. Tapi berhubung pemerintah Indonesia tetap aja memperlakukan kebanyakan hutangnya itu tetap legitimate dan tiap tahun mengangsur dengan mengurangi jatah bagi keperluan pembangunan masyarakatnya, saya kira lebih baik mengalihkan pembayaran itu untuk keperluan Indonesia sendiri.

Jadi, selain mencari uang lewat REDD atau skema yang meghubungkan pentingnya hutan bagi mitigasi perubahan iklim, Indonesia perlu mengembangkan inisiatif lain di bidang lingkungan, termasuk dari DNS ini.


30 Maret 2010

Cloud Computing, Batubara dan Standar Ganda

Sekarang jamannya Cloud Computing, di mana hampir semua perusahaan atau individu melakukan digitalisasi datanya. Semakin banyak data yang tersimpan, semakin butuh tempat penyimpanan yang aman dan stabil. Karena itu dibutuhkanlah data center.

Data center ini membutuhkan energi yang besar untuk menghidupkannya 24 jam. Ia misalnya butuh pendingin agar server data tidak kepanasan dan tidak merusak data. Sayangnya, energi kita lebih banyak disandarkan pada energi fossil.

Amerika, tempat dimana peredaran ekonomi digitalnya paling rame mempunyai data center yang banyak. Karena Amerika masih menyandarkan energinya pada batubara, maka kebanyakan data center itu juga menggunakan energi dari batubara.

Laporan Greenpeace menyebutkan bahwa sudah saatnya pemilik data center melakukan usaha untuk mengganti sumber energi itu ke energi terbarukan yang lebih ramah lingkungan atau setidaknya melakukan efesiensi energi sebagaimana dilakukan oleh Microsoft. Bahkan, Google melakukan offset untuk "menggantikan" emisi dari data centernya.

Apakah dengan demikian saya harus berhenti menggunakan google dan bahkan tidak lagi menggunakan internet karena hampir semuanya digantungkan pada keberadaan data center?

Terlalu naif, pastinya.

Dan terus terang kemungkinan besar saya akan tetap menggunakan internet dan mencari informasi lewat Google. OS saya masih memakai Vista.

Di sini saya yakin saya berstandar ganda.

Saya mungkin akan katakan "tidak" pada perusahaan sawit yang merusak hutan dan, bisa jadi, ikut terlibat dalam memboikot produknya. Walaupun sulit, sudah ada banyak cara dan tips-tipsnya. Karena tidak mempergunakan sawit merupakan hal yang lebih gampang saya "lepaskan".

Tapi listrik dan internet adalah dua hal yang tidak mudah saya lepaskan. Karena dua hal itu sangat dekat dengan keseharian saya. Akhirnya, saya mungkin akan sama dengan Al-Gore dan kawan-kawannya [walau mungkin tidak dengan "hidden agendanya"]: tunjuk orang lain agar tidak melakukan sesuatu sambil tetap mempergunakan sesuatu itu.

Yang penting saya tidak mengambil untung dari perilaku itu.

So, Google, Microsoft, dst, tolong kurangi rasa bersalah saya dengan mengganti atau memperkecil energi fosil anda dengan energi yang lebih ramah lingkungan.

26 Maret 2010

Berebut Dana REDD

Iming-iming akan masuknya uang ke dalam negeri sebagai balasan usaha Indonesia mengurangi laju deforestasi dan menaikkan penyimpanan karbon di hutan, sebagian memang sudah ada, telah menarik tinggi ego masing-masing sektoral [atau tepatnya, ego sektor kehutanan].

Kementerian Kehutanan [dulu, Departemen Kehutanan] berencana membuat lembaga atau yayasan sendiri untuk mengelola dana tersebut dengan nama National Forest Trust Fund. Dengan demikian, ia sudah keluar dari kerangka Indonesian Climate Change Trust Fund, sebuah yayasan khusus yang dibuat oleh Bappenas dan telah diluncurkan pada 14 September 2009. Pada awalnya ICCTF ini dibuat sebagai "pengumpul" semua dana-dana yang berasal dari luar yang berhubungan dengan isu perubahan iklim di Indonesia. Di bawah ICCTF ini ada biro yang khusus mengatur soal kehutanan.

Dalam catatan saya, ini gerakan kedua Kemenhut dalam hiruk pikuk perdebatan hutan dan perubahan iklim. Sebelumnya, Kemenhut telah membuat "perjanjian" dengan Dewan Perubahan Iklim agar membiarkan Kemenhut berjalan sendiri mengurus soal perubahan iklim dan hutan, termasuk soal REDD.

Alasan kenapa Kemenhut harus membuat yayasan sendiri dan keluar dari kerangka ICCTF adalah karena, menurut Kemenhut, ICCTF tidak dipercaya oleh para donor karena pengelolaannya dilakukan oleh negara. Selain itu ICCTF berada di Indonesia, di mana aturan mengenai trust fund-nya belum ada dan dikenakan pajak yang besar [17%].

Karena itu, rencananya Kemenhut akan membuat yayasan itu berada di luar negeri sehingga tidak akan kena pajak dan, karena berada di asing, bisa lebih dipercaya oleh donor.

Orang CCTF membantah kekawatiran Kemenhut itu dengan mengatakan bahwa ICCTF hanya mengatur soal programnya sedangkan uangnnya akan dikelola oleh lembaga independen.

Apapun, dua contoh ini sekali agi memperlihatkan lemahnya koordinasi antar sektor dalam menanggapi isu perubahan iklim ini. Memang, sektor kehutanan merupakan sektor yang lebih maju dalam persoalan perubahan iklim ini; tapi tidak harus "kemajuan" itu dipakai untuk berjalan sendiri. Melakukan koordinasi dengan sektor lain penting untuk melihat sejauh mana program yang akan dilakukan oleh masing-masing sektor tidak saling tumpang tindih.

Gampangnya, REDD pasti akan berhubungan dengan soal penggunaan lahan dan di Indonesia yang punya kepentingan dengan lahan bukan hanya sektor kehutanan. Ada sektor lain yang juga penting diperhatikan: pertanian, energi dan Pekerjaan Umum, untuk mendata beberapa sektor yang mungkin terlibat. Belum lagi bicara soal desentralisasi yang melibatkan pemerinatahn daerah. Jika tidak ada kesepahaman dalam soal penggunaan lahan ini, saya rasa, kinerja REDD juga tidak akan maksimal.

24 Maret 2010

Australia Akan Lebih Panas di 2030

Australia merupakan salah satu negara yang banyak peranannya dalam kebijakan perubahan iklim di Indonesia. Tidak hanya lewat Kalimantan Forest Climate Partnership atau KFCP; tetapi juga merambah ke Sumatera Forest Carbon Partnership. Lengkap dengan berbagai bantuan keuangan, peningkatan kapasitas, dst. Memperhatikan kondisi Australia karenanya menjadi penting.

Dalam laporan dua badan [CSIRO dan BOM] yang memperhatikan iklim di Australian itu, bahwa Australia, dengan laju emisi rumah kaca seperti sekarang, akan lebih panas di tahun 2030 dengan kenaikan suhu mencapai 0,6 s/d 1,5 derajat celcius. Bahkan akan meningkat ke 2.2 to 5.0°C di tahun 2070. Kenaikan suhu yang melebihi perkiraan rata-rata kenaikan suhu bumi.

Lalu apa hubungannya dengan Indonesia? Kita pastinya tahu untuk menurunkan emisi tidak ada jalan lain selain berusaha tidak mengeluarkan emisi rumah kaca dan, walaupun masih harus dijelaskan, dilakukan di tingkat lokal. Tapi ada "inisiatif" [dan dalam banyak hal akal bulus negara-negara atau orang-orang kaya] yang membuat mekanisme offset, dimana emisi yang dikeluarkan di suatu tempat dan negara dapat digantikan [di-offset-kan] dengan penurunan emisi di tempat lain, misalnya, dengan mengurangi deforestasi di Indonesia.

Fakta keras itu, saya rasa, akan membuat Australia berusaha keras untuk mengurangi peningkatan emisinya, entah dengan melakukannya di dalam negeri atau, jika tidak ekonomis - atau membahayakan ekonomi Australia, di luar negeri dengan mekanisme offset itu, dimana salah satu calonnya adalah REDD di Indonesia. Tapi itu memang bukan perkara mudah; ketergantungan Australia pada Pembangkit Listrik dari batubara menjadi salah satu kendala sulitnya penurunan emisi dan, entahlah, menjadi alasan pelancar dilakukannya offset di luar negeri.

Tentu saja, penurunan emisi di tempat lain tidak akan membuat suhu Australia serta merta turun. Tapi, ya itu, dengan menelikung kepentingan ekologi, offset diketengahkan sebagai salah satu solusinya.






08 Maret 2010

Saya Rasa Ada yang Salah dengan Al Gore and Co.?

Ketika di tahun 2007, dia mendapatkan Nobel Perdamaian [bersama dengan IPCC], saya sangat takjub, tapi juga merasa heran. Saya tidak habis mengerti bagaimana mungkin orang yang baru saja membuat film, yang punya rumah besar dengan konsumsi energi yang tinggi [pergi kemana-mana naik pesawat, ngomong di seminar, dibayar mahal pula] ngomong soal hancurnya iklim, naiknya CO2?

Beberapa artikel orang lingkungan memang menyangsikan "niat baik" Al Gore dan kawan-kawannya untuk sesungguhnya menurunkan emisi karbon. Tapi, menurut saya, tentangan itu terlalu "keras" dan "pake kaca mata kuda" sehingga saya menganggapnya sebagai bentuk ketidaksukaan saja; lebih karena "iri" saja karena tidak mendapatkan perhatian publik seperti dirinya.

Tapi waktu berlalu, dia dan kawan-kawannya mulai kelihatan "belangnya" yang katanya Goldstein sebagai:"Bingo! Gore, our would-be carbon billionaire, has a dog in this hunt, dressed in the colour of money — green". Tulisan ini membuat saya ketawa ngakak: saya seperti pengikut sebuah aliran keagamaan penentang seks yang mendapati pemimpinnya mengumbar seks kemana-mana. Saya sangat suka dengan olok-olokan seperti ini, apalagi ketika menyangkut "aktivis lingkungan".

Ah ya, bagaimana mungkin anda berceramah meminta dihentikan penurunan emisi [kepada orang lain], sementara dia sendiri [dan kawan-kawan seidenya] tetap mempertahankan gaya hidup "high-carbon economy"? Idenya tentang Carbon trading ternyata sama sebangun dengan carbon offset: anda bisa "menurunkan emisi" dengan membayar sejumlah tertentu buat proyek penurunan emisi oleh orang lain sehingga carbon footprint anda jadi nol. nihil. Dengan kata lain, silahkan anda-anda semua menurunkan emisi, tapi saya tidak. Dan jika dalam hingar bingar REDD, itu sama dengan: menyuruh orang lain menurunkan emisi dengan harga murah pula. Dan bagaimana pula menurunkan emisi [yang real] dengan cara perhitungan "akuntansi"?

Dan saya tahu, di Indonesia ini, banyak yang mengagumi dirinya [saya jadi ingat status FB salah seorang "aktivis Lingkungan" yang takjub mendengarkan ceramahnya]. Entah, apa yang akan dirasakannya sekarang jika mereka membaca tulisan ini.

Betul, jika anda hanya ngomong saja, jawabannya juga ngomong saja. Entahlah, dalam jagad "per-lingkungan hidup-an" contoh seperti ini banyak sekali;bahkan sudah masuk dalam kategori "munafik".

Anda ingin menurunkan emisi? Ya jangan mengeluarkan emisi.

Bringing Al Gore back to Earth: Goldstein | Lorrie Goldstein | Columnists | Comment | Toronto Sun

06 Februari 2010

Antara Pengelolaan Dana Reboisasi dan REDD

Membandingkan sesuatu sering kali malah menyesatkan. Terjadi karena adanya "frame" yang membuat reduksi besar pada apa yang dibandingkan. Tapi perbadingan adalah kerjanya pikiran, begitu kata Jiddu Khrisnamurti. Hal biasa dilakukan. Karena baru di sanalah perjalanan evolusi kita. Jiddu menginginkan proses perbandingan itu berhenti. Bukan dihentikan. Karena jika "dihentikan" tetap ada "yang ingin" menghentikan. Dalam hal ini pikiran. Jadi pikiran menelikung: seperti membunuh pikiran, padahal pikiran itu sendiri yang berpura-pura membunuh. Ia tetap sehat wal afiat.

Tapi, bukan ke sana maksud tulisan ini. Perbandingan memang sering kali menyesatkan tapi ia juga bisa memberikan garis arah. Memberikan perkiraan. Apalagi jika perbandingan itu antara yang sudah terjadi dan diperkirakan terjadi.Dan perkiraan itu yang ditampilkan dalam tulisan ini.

Tulisan ini membandingkan praktek Indonesia dalam mengelola dana besar dalam sektor kehutanan berupa Dana Reboisasi dalam masa sebelum dan sesudah Soeharto berkuasa. DR, sampai saat ini, menduduki peringkat pertama penerimaan negara dari sektor komersial kehutanan. Selama 20 tahun pelaksanaan DR, negara sudah menerima pendapatan kurang lebih US 5,8 milliar dollar.

Peringkat itu akan segera bisa disusul jika REDD+ bisa terealisasikan di Indonesia. Diperkirakan dengan hanya pengurangan 5% saja dari rata-rata deforestasi Indonesia bisa mendapatkan pemasukan sekitar US $765 juta/tahun dan jika 30% akan masuk dana sebesar US 4,5 milliar/tahun.

Masalahnya, uang itu akan dikelola oleh institusi yang sama: Kementrian Kehutanan [DR pernah dikelola oleh Departemen Keuangan, tapi kemudian dikembalikan kembali ke Kemenhut dan sekarang dikelola oleh sebuah BLU]. Kita sama-sama tahu bagaimana DR tersebut diselewengkan [dibuat menambal dana IPTN], dikemplang oleh pengurusnya [Bob Hasan masuk penjara gara-gara pengemplangan DR ini], ketidakberhasilan proyek-proyek yang dibiayai oleh DR [Penanaman HTI, rehabilitasi lahan dan hutan]. Bahkan sampai sekarang tidak ada perubahan pada manajemen keuangan DR tersebut.

Nah, wajar kiranya, tulisan itu mempertanyakan bagaimana badan yang sama harus mengelola uang yang per tahunnya sekitar US $765 juta/tahun?

Tulisan ini sempat ramai diperbincangkan di lembaga yang mau mengeluarkannya, karena biarpun tidak secara terang-terangan menyatakan bahwa Indonesia tidak punya kemampuan untuk mengelola uang, tapi tulisan ini berhasil menempelkan keraguan di benak pembacanya. Sebagaimana juga saya.

Tapi, saya kira, ada pelajaran yang bisa diambil dari acakudutnya manajemen DR dan tulisan ini memberikan petunjuknya. Yang manarik, tulisan ini tidak hanya menyoal REDD sebagai persoalan keuangan semata. Ia menghubungkan dengan praktek-praktek pengawasan dari luar dan menurut mereka, ada harapan perbaikan. BPK sudah mulai bergigi sekarang, begitu pula keberadaan KPK dan Pengadilan korupsinya yang bisa dijadikan benteng agar pengelola dana [REDD+] bisa baik bekerja.

13 Januari 2010

Taman Nasional Yasuni, Ekuador: Antara Minyak dan Perubahan Iklim [3]

Proyek Yasuni Initiative di Ekuador ini nampaknya mulai masuk ke ranah politik. Ekuador, sebagai salah satu anggota OPEC, telah merelakan sebuah wilayah tambang minyak tidak ditambang dengan harapan [akan] mendapatkan bantuan internasional. Ekuador melakukan ini demi perubahan iklim serta perlindungan masyarakat adat. Keuntungan yang dilewatkan oleh Ekuador adalah sekitar 6 miliar dollar.

Nah, Presiden Correa baru saja menerima pengunduran diri Menteri Luar Negeri-nya Fander Falconi. Menlu ini memang berhasil mewartakan "kebaikan" Ekuador ini ke dunia internasional. Namun Presiden Correa mengkritik cara-cara negosiasi yang dilakukan oleh Menlunya ketika mencari bantuan internasional itu. Ia mencontohkan dengan leluasanya Jerman dan Belgia - yang akan berperan sebagai donor - menentukan syarat-syarat perjanjian yang menunjukkan terlalu lembeknya negosiasi yang dilakukan oleh Falconi.

Bisa dipahami kenapa Jerman dan Belgia ingin ikut menentukan syarat-syarat perjanjian. Bukan hanya ini masalah uang publik atau geopolitik, tetapi juga karena mitigasi perubahan lewat hutan ini masih belum mendapatkan bentuknya. Masalah yang menghadang selain perhitungan adalah soal permanance, serta leakage. Karena itu pula dalam masalah perdagangan karbon, isu hutan ini masih "kontroversial" dan bahkan The Gold Standard, standar yang paling dihormati terkait perdagangan karbon, secara eksplisit tidak memasukkan kredit karbon hasil mitigasi perubahan iklim lewat hutan [reforestasi].

[Tapi di sisi yang lain, standar ganda negara maju terlihat terang dalam masalah ini].

Inilah yang kemudian dikawatirkan beberapa pihak dengan keberanian Ekuador mengajukan inisiatif mitigasi perubahan iklim lewat keberadaan hutannya, apalagi kemudian Ekuador secara implisit menyandarkan bantuan internasionalnya lewat perdagangan karbon yang dalam implementasinya selalu menyinggung carbon offset. Jadi bukan hanya masalah Carbon Offsetnya, tetapi juga standard mengenai perdagangan karbon untuk mitigasi perubahan iklim lewat hutan masih belum jelas.

28 Desember 2009

Taman Nasional Yasuni, Ekuador: Antara Minyak dan Perubahan Iklim [2]

Sepertinya para environmentalis tidak perlu menyalak. Pada Desember 2009 ini, UNDP dan Ekuador bekerja sama membangun inisiatif berupa pendirian trust fund bagi perlindungan keanekragaman hayati di Taman Nasional Yasuni dengan cara tidak mengeksploitasi cadangan minyak yang ada di bawahnya. Trust fund itu akan dikoordinir oleh UNDP. Dengan cara demikian akan ada sekitar 407 juta ton CO2 yang berhasil dicegah keluar dari perut bumi.

Tentu saja, Ekuador akan mendapatkan kompensasinya berupa [harapan] dana bermilyar dollar yang berasal dari donasi negara-negara maju [saya kurang tahu pasti apa pengertian "donasi" di sini; hibah? hutang? dari mana asalnya dana itu?]. Mekanisme offset menjadi salah satu caranya. Dana dari trust fund itu kemudian akan dipakai untuk investasi di energi bersih dan pembangunan berkelanjutan, termasuk didalamnya perlindungan masyarakat adat serta pengurangan kemiskinan.

Bagi James Hansen, mekanisme offset seperti itu palsu. Bukan hanya tetap membuka kemungkinan terusnya negara-negara maju menggelapkan bumi dengan polusinya; tetapi juga salah obat untuk mengobati perubahan iklim. Bagi dia, selama harga bahan bakar fosil tetap murah seperti ini [yang sebenarnya ilusi, karena tidak memperhitungkan biaya sosial dan lingkungan] maka usaha untuk mengurangi pemanasan global akan menghadapi benteng beton kuat. Misalkan saja, sebuah negara berhasil mengurangi tingkat konsumsi bahan bakar fosilnya, tetapi tetap bisa mempertahankan gaya hidupnya selama ini karena mereka memindahkan proses produksi yang memakai bahan bakar fosil ke negara lain, lalu, produknya dikirimkan kembali ke negara tersebut. Dengan demikian, tidak ada penurunan emisi karena bahan bakar fosil dikonsumsi di tempat lain. Mengapa itu terjadi? karena bahan bakar fosilnya terlalu murah.

Diingatkan juga bahwa dana yang diberikan oleh negara-negara maju dalam mekanisme offset ke negara-negara berkembang itu sebenarnya jauh lebih kecil daripada dana yang dibutuhkan bagi pelaksanaan proyek pengurangan emisi di masing-masing negara maju. Dan pelaksanaan proyek itu sebenarnya adalah "kewajiban" mereka agar bumi tidak cepat panas. Dengan tidak dilakukannya proyek itu di dalam negeri sebenarnya negara maju itu menanggung hutang. Amerika, misalnya, menanggung hutang sebesar 27 milyar dollar/tahun, sementara Inggris 6 milyar dollar, Jerman 7 milyar dollar, dst. Hutang ini sebenarnya harus ditagih. Tapi siapa dan bagaimana?


04 November 2009

Angka Emisi ERK dari Deforestasi Terbaru: 12 Persen

Selajur dengan laporan IPCC tahun 2007 dan berbagai laporan lainnya, misalkan dari WRI, angka emisi deforestasi terhadap emisi global berjumlah kurang lebih 18,5 persen atau 20 persen. Angka yang cukup besar yang berpengaruh besar pada naiknya posisi negara-negara berhutan tropis yang menghadapi masalah deforestasi. Indonesia, misalnya, yang dulunya posisinya selalu di luar 20 besar, tiba-tiba dengan memperhitungkan angka deforestasi naik posisinya ke tingkat ketiga tepat di belakang China dan USA. Sebuah kampanye jelek bagi sebuah negeri tidak beruntung seperti Indonesia.

Angka 20 persen atau seperlima dari jumlah emisi global sekarang, merupakan angka yang besar dan juga “politis”. Indonesia dan negara berkembang pemilik hutan tropis seperti Brazil menghadapi tekanan, bukan hanya untuk mengurangi tingkat deforestasinya tapi juga digiring untuk mendapatkan kewajiban “pengurangan emisi”, sebuah kewajiban yang sampai saat ini hanya dilekatkan pada negera-negara Annex I Konvensi Perubahan Iklim.

Namun, sebuah penelitian dari G. R. van der Werf, et.all, yang diterbitkan oleh majalah Nature Geoscience menyodorkan angka baru sumbangan emisi deforestasi pada emisi global. Para peneliti itu melakukan penelitian berdasarkan indikator yang dibuat oleh IPCC, namun dengan memakai data-data terbaru dari deforestasi. Hasilnya adalah angka deforestasi turun ke angka 12 persen; namun, mengingat data yang tidak stabil, angka yang aman adalah 6 – 17 persen. Namun angka 12 persen itu akan naik ke angka 15 persen jika sumbangan pengeringan lahan gambut dimasukkan.

Turunnya angka deforestasi ke 12 persen itu mungkin saja atau bisa jadi tidak pada menurunnya dana yang akan disediakan untuk membiayai mekanisme REDD. Tapi, tetap saja angka 12 persen adalah angka yang besar. Tidaklah bijaksana jika angka baru ini menurunkan perhatian pada penyelesaian masalah masih tingginya deforestasi di beberapa negara. Perlindungan hutan tidak hanya demi kepentingan penyerapan karbon atau pencegahan lepasnya karbon, tetapi juga perlindungan pada kekayaan keanekaragaman hayati dan penghidupan masyarakat yang menggantungkan diri pada lestarinya hutan.

Pesan penting dari tulisan itu justru menegaskan bahwa emisi energi tetap mayoritas dan angkanya terus naik. Emisi dari energi inilah – yang kebanyakan berasal dari negara-negara maju – yang harus diturunkan dengan segera. Dan sepertinya tidak boleh diundur lebih lama lagi.

03 November 2009

Taman Nasional Yasuni, Ekuador: Antara Minyak dan Perubahan Iklim

Seorang aktivis lingkungan hebat Indonesia pernah dengan agak mengumpat memberikan pendapat akan masih adanya pertentangan antara pembangunan dan kelestarian lingkungan di kalangan pemerintah dengan menyatakan kira-kira: “kemana aja lu, dah basi itu…” Menurutnya, pertentangan itu sudah berakhir; slash [ / ] itu sudah sewajarnya dicoret [mungkin dia murid Derrida yang patuh] dan yakin bahwa sudah ada solusi terhadap itu. Saya, si pandir itu, mencoba mencari tahu dalam jejalan informasi di alam maya, di mana saja dan hanya menemukan satu “solusi”: pembangunan berkelanjutan. Tapi saya tak yakin, ‘solusi” itu adalah solusinya. apalagi istilah itu hanya enak dijadikan bahan pidato di tengah pendengar yang tidur.

Sampai kemudian saya membaca laporan tentang Taman Nasional Yasuni di Ekuador serta Yasuni-ITT initiative-nya ini dan semakin menyakini, sehebat apapun usahamu mencoretnya, pertentangan itu masih ada. Bayangkan sebuah taman nasional yang kaya dengan keanekaragaman hayati dan dihuni serta dihidupi oleh setidaknya tiga suku Waorani. Tapi tepat di bawahnya, ada cadangan terbukti [proven!] minyak sebesar lebih satu miliar barel minyak mentah. Bukan hanya itu, minyak adalah andalan ekspor Negara Ekuador.

Sejak tahun 1900, konflik antara perusahaan minyak dan atau perusahaan kayu dengan suku Waorani sudah sering terjadi. Blok-blok minyak berulang kali berganti kepemilikan meninggalkan berbagai konflik, salah satunya antara pertarungan hukum antara Chevron dengan beberapa penduduk lokal dan masyarakat adat, termasuk Suku Waorani. Konflik itu bermula dari dugaan adanya pencemaran lingkungan yang dilakukan oleh Texaco [perusahaan yang kemudian dibeli oleh Chevron] dengan cara membuang kurang lebih 16 miliar galon limbah cairnya ke saluran sungai di areal taman nasional selama masa operasi mereka dari tahun 1964 - 1990. Tuduhan diajukan pada tahun 1993 di pengadilan federal Amerika Serikat, namun pada tahun 2003 pertarungan dipindahkan ke Ekuador dengan memakai sistem hukum Ekuador.   

Di sisi lain, terjadi perubahan kebijakan di pemerintahan Ekuador yang membuka jalan bagi munculnya Presiden Correa. Namun, tekanan terhadap Taman Nasional Yasuni sekarang tidak lagi masalah konflik antara masyarakat dengan perusahaan minyak atau perusahaan kayu atau perambah haram, namun juga ada tuntutan dari kalangan “pencinta lingkungan” atau environmentalist agar pemerintah Ekuador mempertahankan keberadaan Taman Nasional Yasuni. Dengan kata lain, pemerintah Ekuador diminta untuk tidak mempedulikan keberadaan minyak mentah dibawahnya.

Mereka sepertinya menang. Pada tahun 2007 bersamaan dengan pelaksanaan COP 13 di Bali, Presiden Correa mengumumkan Yusani-ITT Initiative, proyek perlindungan wilayah ITT [blok minyak kedua terbesar di dalam Taman Nasional Yusani, dengan cadangan minyak terbukti 850 juta barel minyak mentah]. Ekuador menantang dunia internasional dengan menyatakan bahwa Ekuador akan melepaskan kesempatan mengeksploitasi wilayah kaya minyak itu demi untuk memenuhi 3 tujuan masyarakat internasional: melindungi keanekaragaman hayati, menghormati hak-hak masyarakat adat dan mengendalikan perubahan iklim. Sebagai imbalannya, Ekuador meminta dunia internasional menyediakan kompensasi sebesar $350 juta/tahun atau hanya separuh jika wilayah itu dieksploitasi demi minyak. Berkali-kali usaha dilakukan, tenggat waktu diperpanjang, dan sebagainya, tetapi hasilnya hanya ngomong saja atau janji kosong saja seperti Pemerintah Jerman yang berjanji akan memberikan sejumlah dana namun sampai saat ini tidak ada realisasinya.

Tapi Ekuador atau supporter naifnya belum kehilangan asa. Tahun ini mereka melirik perdagangan karbon. Mereka berencana membuat “Yasuni Guarantee Certificates” dan akan menjualnya di pasar bebas atau, kalau sudah ada, pasar wajib karbon. Tapi jelas, pilihan menerbitkan “Yasuni Guarantee Certificates” di pasar karbon tidak akan memenuhi salah satu tujuan mengapa Yasuni-ITT dibuat, yakni pengendalian perubahan iklim. Karena dengan sistem offset, mereka yang seharusnya mengurangi emisinya dapat terus melanjutkan kegiatannya setelah membeli “Yasuni Guarantee Certificates” itu. Tapi apakah para pecinta lingkungan memberikan alternatif lain? Mana sumbangan itu?

Kasus ini secara telanjang mengatakan pertentangan itu tetap ada, trade off antara pembangunan dengan kelestarian lingkungan tetap hadir; bahkan negara Indonesia secara tanpa malu-malu, walaupun tersirat, menyatakan bahwa hambatan terbesar pembangunan adalah kelestarian lingkungan, lalu - dalam otak saya, tentu saja - apa maksudnya “kemana aja lu,..dah basi” tadi itu?

Ekuador telah mengambil jalan yang sangat berani, yang sayangnya tidak ditanggapi dengan semestinya. Ia memberikan sebuah contoh pada apa yang disebut dengan “tanggung jawab global” yang seharusnya juga dijawab dengan “kewajiban global”. Saya tidak membayangkan apa jadinya jika kemudian Ekuador menyerah dengan janji-janji manis tapi palsu environmentalist atau para pecinta lingkungan itu dan kemudian memilih untuk membuka kawasan ITT itu untuk minyak. Yang pasti yang pertama akan menyalak adalah para pecinta lingkungan itu.

01 September 2009

Australia, Indonesia dan REDD

Kepentingan sebuah bangsa atas bangsa lain tidak bisa dilepaskan dari pergolakan domestik negara tersebut. Australia menjadi salah satu negara yang sangat mendukung pelaksanaan REDD di Indonesia. Australia tidak kurang memberikan Aus$ 200juta untuk membiayai beberapa proyek awal atau demontration activities REDD di Indonesia [dan di PNG]. Di samping niat baik untuk mengurangi laju pemanasan global lewat penghentian deforestasi, sebaiknya kita juga melihat bagaimana pergolakan dalam negeri Australia sendiri dalam masalah perubahan iklim ini.

Awalnya Australia menjadi kawan Amerika Serikat dalam menolak Kyoto Protokol. Namun dengan bergantinya pucuk pimpinan pemerintahan ke tangan Kevin Rudd, Australia berbalik ingin menjadi salah satu negara pioner dalam isu perubahan iklim ini. Setelah menegaskan komitmen untuk terlibat dalam Kyoto Protokol dan dalam semua perundingan internasional tentang perubahan iklim di bawah naungan UNFCCC, di dalam negeri sendiri, Kevin Rudd menelorkan sebuah usulan undang-undang tentang pengurangan emisi. Di dalam Undang-undang tersebut mengatur mengenai cap and trade yang berlaku bagi kurang lebih 1000 perusahaan penghasil emisi terbesar. Sistem cap and trade itu sendiri memungkinkan sebuah perusahaan yang tidak bisa memenuhi batas jumlah emisi yang boleh dikeluarkan dalam tahun tertentu dapat membeli kelebihannya itu pada pihak lain yang dapat mengurangi emisi di bawah batas yang diberikan. Pihak lain ini bisa perusahaan domestik, proyek "hijau" maupun pihak dari negeri lain.

Dalam usulan UU itu [Carbon Pollution Reduction Scheme Bill 2009], Ia memberikan sejumlah kompensasi kepada perusahaan manufaktur seperti baja; namun tidak memberikan keringanan yang sama pada perusahaan batu bara dan pembangkit listrik dari batu bara. Tidak diberikannya keringanan pada perusahaan batubara dan PLTU batu bara ternyata menjadi sandungan utama usulan UU tersebut bisa disahkan menjadi UU. Perusahaan batu bara mengeluarkan laporan yang mewartakan jika ETS [Emissions Trading Scheme] itu diterapkan sekarang maka Australia akan kehilangan ratusan ribu pekerja, pelambatan ekonomi dst. Selain itu tentangan juga keluar dari pihak oposisi yang - ini menariknya - lahir dua alasan yang berbeda. Pihak Oposisi dari kalangan konservatif melihat pelaksanaan ETS itu akan berdampak pada pelambatan ekonomi karena pelaku usaha menghadapi dua tembok secara bersamaan: krisis global dan ETS itu. Sementara pihak oposisi dari pihak Partai Hijau melihat usulan itu sudah terlalu berbau kepentingan perusahaan, dengan implementasi yang terlalu lunak dan tidak jelas.

Dan memang, pada tanggal 13 Agustus 2009 ini, usulan UU versi pemerintah itu ditolak oleh senat Australia. Dengan demikian komitmen Australia dalam usaha pengurangan laju pemanasan global kembali ke titik misteri. Walaupun pihak pemerintah menyatakan bahwa usulan itu akan kembali diperdebatkan di senat tahun ini dan di sisi yang lain, pihak oposisi juga sudah siap dengan amandemen. Penolakan sekali lagi dari Senat dapat berujung pada pemilu yang dipercepat.

Di tengah panasnya politik dalam negeri itu, Australia tetap memandang penting kerja sama internasional dalam isu  perubahan iklim ini. Dan Indonesia dijadikan salah satu partner penting dalam usaha itu. REDD adalah mainan baru itu. Di Bonn, pemerintah Australia dan Indonesia bersepakat untuk lebih bekerja sama dalam masalah REDD ini. Bagi Australia, Indonesia dan REDD adalah "...given Indonesia’s impact on worldwide atmospheric carbon concentrations and its close proximity, Australia has a unique opportunity to lead the world in developing REDD offsets and linking this market to the [scheme]’.

Tetapi sebenarnya sikap pemerintah Australia dalam hal emisi dari deforestasi ini adalah memilih untuk tidak dimasukan dalam rencana penggurangan emisi Australia. Salah satu atau dua alasannya adalah emisi dari deforestasi sulit diprediksi dan memasukkan skema emisi dari deforestasi akan melahirkan insentif untuk "...pre-emptive land clearing if coverage was in prospect (where allowed under state and territory regulations) in order to avoid a future obligation. This could have a range of negative environmental consequences, as well as increasing emissions in the Kyoto Protocol period...." Alasan lainnya adalah pengurangan emisi dari deforestasi bukanlah mekanisme yang diakui dalam Protokol Kyoto, sehingga jika ia dimasukkan dalam strategi pengurangan emisi Australia dalam masa sekarang, justru akan merugikan Australia karena biayanya jadi lebih besar karena mengerjakan sesuatu yang tidak akan berkontribusi positif pada usaha Australia memenuhi kewajiban yang ditetapkan Protokol Kyoto.

Walaupun demikian, Pemerintah Australia menyadari murahnya harga pengurangan emisi dari deforestasi ini, sehingga ia akan mencari alternatif insentif bagi emisi dari deforestasi ini. Karena itu, ia membuka kerja sama dengan negara Indonesia [dan juga PNG] dalam REDD untuk melihat sejauh mana pengurangan emisi dari deforestasi dan insentif yang diberikan dapat menjadi alasan dimasukkan atau tidak emisi dari deforestasi dalam skema pengurangan emisi Australia. Dan jika itu mungkin, maka mekanisme offset akan diberlakukan juga pada mekanisme pengurangan emisi dari deforestasi ini.

Dalam usulan UU yang telah dikalahkan oleh Senat Australia itu, projek offset dalam kehutanan adalah proyek pertama yang akan berjalan [1 Juli 2010]. Tetapi tidak jelas berapa persen yang harus dilakukan di domestik dan berapa yang bisa dioffsetkan dengan proyek hutan di luar negeri [sikap pemerintah Australia dalam hal offset ini terbagi dua, ada yang menolak jika sumber emisinya berasal dari sektor yang diatur dalam usulan UU dan ada yang memperperbolehkan jika emisinya berasal dari luar sektor yang diatur. Hutan dan pertanian diberi keleluasaan untuk dilakukan offset].

Australia jelas akan sangat berkepentingan proyek-proyek awal REDD itu dapat ditindaklanjuti dengan kepastian hukum di tingkat internasional. Hal ini bisa dipahami, karena penolakan [sementara] bagi mekanisme pengurangan emisi dari deforestasi itu hanya jika mekanisme itu dilakukan di dalam negeri [karena dikawatirkan akan menaikkan emisi Australia pada masa periode Protokol Kyoto [2008 - 2012]. Tetapi, jika mekanisme itu dilakukan di luar negeri dan terjadi ketika protokol Kyoto berakhir masa berlakunya, [lihat White Paper] saya rasa, sikap pemerintah Australia akan berbeda karena melihat kalkulasi ini: harganya murah dan bisa dioffset.

Bagi Indonesia, masuknya uang dipandang sebagai keuntungan dan memang jika REDD dikerjakan dengan baik lewat sistem distribusi keuntungan yang adil dan penghargaan pada tenur masyarakat, keuntungan itu sangat besar [akan berbeda jika pelaksanaannya berbeda] - walaupun jelas jangan terlalu naif dengan memperlakukannya sebagai silver bullet yang bisa menyelesaikan semua persoalan kehutanan di Indonesia. Tetapi, yang jelas, jika dilihat dari peta politik perubahan iklim, Indonesia dan negara berkembang berada di pihak yang dirugikan karena ia kemudian diharuskan untuk menjadi pihak aktif dalam pengurangan emisi dan dengan harga yang terlalu murah. Yang untung adalah negara-negara maju yang telah merusak dan mendapatkan kemajuan ekonomi akibat itu dan sekarang difasilitasi untuk membuang "kotorannya" itu bahkan dengan harga yang kelewat murah.

26 Juni 2009

Biofuel dari Kayu dan Nasib Hutan

Sebuah perusahaan Pulp/Kertas di Amerika mempelopori pembuatan Biofuel dari kayu. Memang baru 2 tahun yang akan datang, formula yang lebih efesien dan ekonomis akan bisa dinikmati oleh umum. Tentu saja, kabar kayu dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar biofuel atau Bio-butanol ini merupakan "angin surga" bagi pemilik perusahaan Pulp-kertas yang sedang dilanda kelesuan karena kalah bersaing dengan China dan Amerika Latin. Dan mereka akan diuntungkan dengan kebijakan Amerika Serikat yang menginginkan kontribusi signifikan dari Generasi Kedua Biofuel, seperti bio-butanol atau "minyak tanah hijau" di tahun 2022.

Bio-butanol diisukan jauh lebih efesien daripada bio-ethanol yang dibuat dari jagung: lebih mudah dibuat dan dicampur dengan minyak; energinya 30% lebih tinggi dari ethanol dan bisa disalurkan melalui pipa tanpa kawatir pipanya korosif. Selain untuk keperluan bahan bakar, bio-butanol juga bisa dipergunakan untuk kepentingan industri petro-kimia. Klaimnya, bio-butanol ini akan diekstrak dari kayu-kayu buangan yang tidak terpakai oleh perusahaan bubur kertas atau mungkin dari kayu sisa tebangan. Dengan demikian, bio-butanol ini benar-benar bisa mengefesienkan penggunaan kayu dan sekaligus juga menghindarkan dari isu "kompetisi" dengan bahan-bahan lain. chip-timber-for-biofuel

Isu kompetisi dengan makanan adalah hal utama yang membuat posisi bio-ethanol dari jagung tidak lagi diharapkan sebagai rencana besar diversifikasi energi. Bio-butanol bisa keluar dari isu itu. Ia sama sekali tidak berkompetisi dengan bahan-bahan pangan. Namun harus juga dipertanyakan tentang asal bio-butanol yang berasal dari kayu sisa itu. Siapa yang menjamin, ketika ternyata permintaan biofuel semakin meningkat, perusahaan bubur kertas akan mengganti inti usahanya dan tidak lagi mempergunakan kayu sisa untuk membuat bio-butanol sebagaimana diklaim awal. Apakah nantinya perdebatannya akan masuk, sebagaimana nasib biodiesel dari kelapa sawit, ke masalah kelanjutan nasib hutan, sebagai penghasil kayu? [bahkan mungkin melegetimasi perubahan hutan heterogen-alami dengan hutan homogen-industrial, dan kemudian malah dapat insentif dengan REDD?]. Perlu ada studi yang lebih komprehensif, misalnya untuk menjawab komparasi penggunaan kayu untuk kepentingan bubutimber-chip-for-biofuel r kertas dan bio-butanol, oleh siapa dan dengan cara bagaimana supply kayu dilakukan, dst.

Saya kira, kita juga harus belajar dari kasus Jarak Pagar, yang sempat menjadi primadona justru karena "kemudahan perawatan" dan tidak "berkompetisi dengan bahan pangan". Namun, kemudian ternyata jarak pagar tidak "bekerja" sebagaimana yang diharapkan oleh kita semua. Maksudnya, sebuah optimisme yang kelewatan jangan sampai berakhir di kesinisan.

Penemuan energi baru atau terbarukan agar bisa melepaskan diri dari ketergantungan pada energi fosil akan terus berlangsung. Dan pasti tentangan, kritik terhadap penemuan itu akan tetap berlangsung. Kadang saya juga melihat bahwa penentangan terhadap kemajuan penggunaan energi baru/terbarukan tidak hanya dilakukan oleh, misalnya, perusahaan minyak, tetapi juga oleh kaum [yang mengaku] environmentalis. Saya masih ingat dengan tentangan mereka pada ladang pembangkit listrik dari angin yang dianggap tidak estetis dan mengganggu spesies tertentu burung. Maksud saya, perdebatan itu tidak akan selesai, karena sudah sulit untuk membuat sebuah karya tanpa mengorbankan [sedikit atau banyak] dari lingkungan sekitarnya. Perdebatan itu sendiri justru mempertanyakan kapasitas burung dalam beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya dan membuat posisi manusia tetap dominan [sebagai penyelamat, misalnya].

Kemajuan teknologi untuk menemukan bahan yang cocok untuk biofuel saya kira akan terus melaju, seiring dengan dorongan kebijakan pemerintah, pemberian subsidi, kesadaran hijau warga, dll. Reaksi berlebihan seperti itu justru akan membuat kita tetap tergantung pada energi fosil. sayang sekali.

[Semua foto: courtesy of Reuters]

31 Maret 2009

REDD Baru Berhasil Jika Tidak [hanya] Dijual di Pasar Sukarela?

REDD, sepanjang yang saya tahu, akan berhubungan dengan masalah [kebijakan] penggunaan lahan [mungkin kita masih ingat istilah LULUCF dalam perdebatan di UNFCCC]. Karena lahan terbatas, maka penggunaan lahan macam apa yang cocok dan pas serta menguntungkan biasanya akan diprioritaskan. Untuk fungsi apa lahan itu dipergunakan biasanya tidak hanya dihitung nilai intrinsik fungsi atas lahan itu, tetapi juga dikomparasikan dengan alternatif penggunaan lahan lainnya.

Hutan semakin hari semakin kuat posisinya dalam perdebatan perubahan iklim. Hutan sekaligus berfungsi penyimpan dan penghasil karbon. Karena deforestasi dari hutan disinyalir menyumbang 20% dari emisi yang keluar, kiranya mencegah deforestasi/degradasi menjadi penting.

Tetapi [lahan] hutan ternyata, bagi beberapa negara, tidak hanya dipandang sebagai kumpulan pohon dan ekosistemnya yang harus dijaga. Hutan bisa dialihfungsikan menjadi penggunaan lain, entah untuk pertanian, transmigrasi, atau penggunaan non-kehutanan lainnya. Pembangunan adalah mantranya sebab pembangunan tidak dibentuk dari sesuatu yang dirawat apa adanya. Ia hadir karena ada perubahan, menemukan, membentuk hal baru. Pembangunan yang dimaksud di sini direduksi menjadi pembangunan ekonomi. Apapun itu, ketika ia menghasilkan nilai ekonomi, ia harus didukung.

Maka- dengan asumsi lahan terbatas - hutan kemudian dihitung benefitnya dalam kacamata ekonomi: berapa harganya jika hutan tetap dilestarikan dan berapa harganya jika ia dirubah menjadi fungsi lain. Nah, celakanya, karena tema besarnya adalah hutan untuk perubahan iklim, maka fungsi hutan juga [hanya] dihitung kontribusinya pada perubahan iklim itu. Di tengah itu REDD berdiri menjadi kandidat penting untuk menghitung berapa kontribusi hutan bagi [pengurangan] perubahan iklim.[Greenpeace punya metode lain yang sejenis dengan 'avoided deforestation" itu: forest for climate initiative]

Di negara seperti Indonesia, fungsi lain itu - yang selalu dikomparasikan dengan fungsi-hutan-bagi-perubahan-iklim dan sekarang selalu jadi bahan pembicaraan - adalah kelapa sawit. Berapa sebenarnya keuntungan/kerugian ekonomi jika hutan dibiarkan sebagai bagian dari transaksi REDD dibandingkan jika ia dirubah menjadi kawasan perkebunan kepala sawit?

Jangan tanya saya, karena saya tidak paham ekonomi.

Sebuah tulisan terbaru mengajukan hasil yang cukup signifikan untuk dibicarakan. Tulisan ini dibuat oleh Lian Pin Koh, Jaboury Ghazoul dan Rhett A. Butler yang menyatakan REDD sebaiknya tidak dibatasi berjalan di jalur pasar sukarela, karena ia akan berharga murah. Sebaiknya ia dipasarkan di jalur pasar non-sukarela seperti European Union's Emission Trading System.

Menurut mereka [[dengan berbasiskan pada hipotesa 10.000 ha hutan di Sumatera Indonesia] harga NPV jika hutan dirubah fungsinya menjadi perkebunan kelapa sawit berkisar antara $3835 sampai $9630 per hektar selama 30 tahun. Sedangkan jika REDD dipasarkan di pasar sukarela hanya akan memberikan keuntungan sebesar $614-$994 per hektar selama 30 tahun. Keuntungan bagi hutan untuk REDD akan meningkat jika ia dipasarkan di pasar non-sukarela dengan estimasi keuntungan antara $1571-$6605 per hektar, dan bahkan keuntungan akan mencapai kurang lebih $11.784 per hektar jika pembayaran karbon dilakukan di muka.

Keuntungan dari hutan untuk REDD akan semakin meningkat dan barangkali bisa berkompetisi dengan penggunaan lahan hutan bagi kegiatan ekonomi [tidak hanya perkebunan sawit] jika mekanisme REDD ini menjadi pengganti dari komitmen global pengurangan emisi pasca 2012. Hanya saja, menurut saya, itu juga menjadi pintu pembuka bagi negara-negara berkembang untuk ikut menanggung tanggung jawab yang sama dengan negara maju dalam masalah perubahan iklim ini. Padahal selama ini hanya negara-negara maju yang dikenai tanggung jawab lebih dalam masalah perubahan iklim ini.

Untuk lebih jelasnya bisa dibaca di sini: REDD in the red: palm oil could undermine carbon payment schemes yang dimuat di Jurnal Conservation Letter.

Model dalam format xls bisa diunduh di sini [lewat Mongabay.com]

Jika menemui kesulitan untuk dapat tulisan itu [saya kurang tahu apakah conservation Letter jurnal berbayar atau tidak], boleh menghubungi email saya.



03 Februari 2009

Industri Pulp/Kertas [Masih] Boleh Gunakan Kayu dari Hutan Alam

Sudah jadi rahasia umum, konsistensi dan implementasi kebijakan adalah titik lemah dari sistem pemerintahan kita. Itulah kenapa bagi para pengusaha, Indonesia tetap dianggap punya daya kompetisi lemah karena, salah satunya, faktor ketidakpastian hukum itu. Departemen Kehutanan, saya kira, adalah Departemen Teknis yang kebijakannya sering kali berubah dalam masa yang sangat pendek [coba perhatikan perubahan kebijakan pemberian ijin IUPHHK - dari permohonan ke pelelangan lalu balik lagi ke pemohonan dalam masa kurang dari 1 dekade]. Salah satu contohnya adalah dalam soal penggunaan hutan alam bagi kepentingan industri pulp dan kertas.

Jika banyak perusahaan yang melihat ketidakpastian hukum sebagai kerugian, sepertinya industri pulp/kertas malah mendapatkan berkah dari ketidakpastian hukum itu. Tahun 2009 ini sebenarnya tahun terakhir bagi mereka untuk menggunakan bahan baku kayu yang berasal dari hutan alam. Setelah tahun ini, seharusnya mereka sudah bisa menggantungkan kebutuhan bahan baku kayunya dari areal Hutan Tanaman yang dimilikinya atau terafiliasi dengannya. Keharusan ini merupakan perintah pemerintah c.q. Dephut melalui SK No. 101/Menhut-II/2004 [versi Inggris] yang dikeluarkan pada 24 Maret 2004 semasa Menhut dijabat oleh Muhammad Prakosa. Tujuannya dari kebijakan percepatan pembangunan hutan tanaman bagi kepentingan industri pulp dan kertas itu adalah "...untuk memberikan ruang kepada pemegang HPHT [Hak Pengusahaan Hutan Tanaman - sekarang dinamakan IUPHHK-HT] yang pembuatan tanamannya ditujukan sebagai bahan baku industri pulp dan kertas, untuk menyelesaikan pembangunan hutan tanamannya pada areal yang telah ditetapkan secara lebih intensif dalam rangka memenuhi kebutuhan bahan baku industri pulp dan kertas secara lestari." Hal ini dilakukan karena adanya ketimpangan antara kapasitas produksi industri pulp/kertas dengan pasokan bahan baku dari hutan, yang malah menekan keberadaan hutan alam yang keadaannya juga tidak terlalu baik. Kebijakan ini lahir sebagai upaya untuk mengurangi tekanan terhadap hutan alam sekaligus juga memberikan kepastian kelanjutan usaha industri pulp/kertas.

Tetapi, awal Januari 2009 ini, Menhut memberikan sinyalemen bahwa deadline bagi industri pulp/kertas untuk membangun HT demi pasokan bahan bakunya itu kemungkinan diundur ke tahun 2014. Alasannya adalah dalam dua tahun terkahir ini..."muncul kasus dugaan pembalakan liar yang dituduhkan kepada sejumlah perusahaan HTI. Dampaknya, banyak perusahaan HTI yang khawatir dikenakan tuduhan yang sama dan membuat realisasi tanaman dan pembangunan HTI terganggu".

Alasan itu sungguh masuk akal namun di sisi lain juga seperti melempar kesalahan ke pihak lain. Apalagi pihak industri pulp/kertas sedang berada di atas angin dengan dikeluarkannya SP3 oleh Polda Riau atas dugaan pembalakan liar pada 13 perusahaan kayu di Riau yang terafiliasi dengan dua perusahaan raksasa pulp/kertas di sana.

Alasan itu tampak pula akan melemah dengan melihat fakta bahwa pada sekitar September 2006, Dephut sendiri sudah mengeluarkan ultimatum pada 6 perusahaan pulp/kertas agar secepatnya merealisasikan penanaman HTI yang ijinnya sudah mereka pegang sejak tahun 2003 [Bisnis indonesia, 20 September 2006]. Luas HTI yang diberikan pada tahun 2003 itu adalah 4,4 juta hektar dan diberikan pada 7 perusahaan. Hanya PT Tanjung Enim Lestari yang bisa merealisasikan 100% pembangunan HTI; sementara 6 perusahaan yang terkena ultimatum itu baru mencapai 42% dan masih mengambil kayu dari hutan alam untuk pasokan bahan bakunya. Ke-6 perusahaan yang kena ultimatum itu adalah PT Kertas Kraft Aceh, PT Toba Pulp Lestari, PT Riau Andalan Pulp & Papper, PT Indah Kiat, PT Lontar Papyrus, dan PT Kiani Kertas.

Dengan demikian, sebenarnya Dephut sendiri sudah mengetahui keengganan industri pulp/kertas untuk membangun HTI dan lebih senang menggunakan kayu dari hutan alam. ITTO bahkan menyebutkan bahwa pengunduran deadline itu terjadi karena adanya masalah defisit supply kayu dari HT yang disebabkan karena, salah satunya, banyak perusahaan pulp/kertas yang menunda awal proyek penanaman di hutan tanaman [alasan satunya lagi: pemanenan prematur]. Yang berarti alasan sebenarnya terjadi jauh sebelum rame-rame operasi pemberantasan pembalakan liar.

Untung saja ada falsafah karet sehingga kebijakan itu melentur dan membebaskan industri pulp/kertas dari tuduhan pembalak liar jika mengambil kayu dari hutan alam setelah tahun 2009.

Dan apakah tahun 2014 benar-benar menjadi awal tahun terkurangnya tekanan pada hutan alam? Ketika ultimatum tahun 2006 diberikan, para pengusaha pulp/kertas yakin tahun 2009 target 100% bisa terlampui. Namun sekarang hasilnya jauh dari janji itu.

Saya melihat bahwa ada masalah keberadaan industri kayu yang tidak menarik bagi bank untuk memberikan kredit sehingga menyulitkan industri kayu untuk membagi beban dengan pihak lain. Sementara bantuan pemerintah berupa Dana Reboisasi sudah tidak lagi mereka terima. Harapan mereka adalah dana dari mekanisme REDD pasca tahun 2012 nanti yang bisa menggantikan "kerugian' mereka menanam [terlebih dulu] pohon [dibandingkan memotong langsung dari hutan alam] sebelum dimanfaatkan sebagai bahan baku. Dan jika dana dari REDD itu tidak seberapa atau tidak ada atau bahkan jika REDD itu tidak jadi dilakukan, sepertinya tahun 2014 pun akan melentur menjadi tahun entah.

catatan:

Saya tidak menemukan SK Menhut no.101/menhut-II/2004 ini di website Dephut, sebagaimana juga Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 162/Kpts-II/2003 yang digantikannya.

26 November 2008

Apa Fungsi Samudera Terkait Pemanasan Global?


Saya betul-betul lupa kapan dan dari siapa saya dapat informasi bahwa alat pendingin bumi itu yang paling utama adalah laut dan samudera. Dalam kesempatan yang lain, ketika orang sedang sibutk bicara REDD, ada yang menanyakan: bagaimana kita membayar "kerja" yang dilakukan oleh Laut dan Samudera dalam menyerap CO2?

Suatu penelitian di Samudera Selatan - antara Australia dan Antartika menyebutkan bahwa samudera ini menjadi 'pengisap karbon" terbesar dari semua samudera yang ada di bumi. Sekarang ini kondisinya memang sedikit hangat sehingga pelepasan karbonnya juga meningkat, tetapi tetap: pengisapannya jauh lebih besar daripada pelepasannya. Proses pengisapan itu terjadi karena adanya perputaran arus yang bernama
Antarctic Circumpolar Current yang bergerak dari barat ke timur di samudera tersebut. Selain itu beberapa organisme, seperti phytoplankton menjadi aktor dalam pengisapan karbon.

Perhatian terhadap pemanasan global menjelang COP 14 di Polandia ini lebih berkutat dalam masalah energi dan hutan. Laut dan Samudera hanya sedikit saja yang menyimaknya. sayang sekali...