30 April 2010

Model Konsesi REDD dan Masyarakat

A. RED –> REDD --> REDD+ –> ?

Hutan sebenarnya sudah masuk dalam strategi penurunan pemanasan global ketika muncul perdebatan soal LULUCF dan menjadi bagian dalam CDM/Clean Development Mechanism atau Mekanisme Pembangunan Bersih dalam kerangka Protokol Kyoto. Tapi banyak negara tropis yang tidak terlalu bahagia dengan peran kecil hutan itu. Dalam CDM, misalnya, peran hutan hanya dipandang dalam segi Aforestasi/Reforestasinya dengan meninggalkan kontribusi hutan yang ada dalam mitigasi perubahan iklim. Mereka melihat bahwa hutan yang ada seharusnya diikutsertakan dalam strategi mitigasi global perubahan iklim; karenanya mempertahankan keberadaan hutan sekarang, baik dari segi luasan maupun kualitasnya, penting untuk diperhatikan.

Di COP 11 di Montreal, usulan itu muncul dalam bentuk term RED atau Reducing Emission from Deforestation yang merupakan penerjemahan dari konsep "avoiding deforestation". Konsep itu terus menerus berubah. Di COP 13 di Bali, peran pencegahan kerusakan hutan mengemuka yang kemudian diakomodir dalam Bali Action Plans dengan nama REDD. Tidak berhenti di sana, REDD berubah menjadi REDD+ ketika disadari bahwa sumbangan hutan dalam mitigasi perubahan iklim tidak berhenti pada perubahan dari sisi negatif [avoiding deforestation dan degradation] tapi juga dari sisi perubahan sisi positif, seperti peningkatan stok karbon, pengelolaan hutan yang berkelanjutan dan konservasi hutan. REDD+ menemui bentuk formalnya ketika dibicarakan di COP 14, Poznan.

Dalam dua tahun ini, kita menyaksikan silih bergantinya berita terkait dengan hutan, REDD dan perubahan iklim. Ratusan literatur telah dibuat untuk membicarakan apa REDD, bagaimana dia diimplemetasikan, dari mana dananya, siapa yang bisa menarik untung, dst. REDD menjadi semakin menarik dibicarakan karena dia diproyeksikan menjadi pengganti komitmen pertama dalam Protokol Kyoto yang berakhir pada tahun 2012 atau menjadi bagiam komplementer dari perjanjian penurunan emisi pasca 2012. Karena itu, sebenarnya, belum ada skema REDD yang didukung dan disepakati oleh masyarakat internasional. Walaupun belum ada kejelasan di dunia internasional, tidak berarti tidak ada usaha di tingkat implemetasi yang saling berkompetisi untuk "meyumbang" pada bentuk skema REDD post-2012 nanti.

B. Pilot Project REDD

Dengan demikian, pengertian REDD dalam tulisan ini adalah skema pilot project atau aktivitas uji coba yang ditujukan untuk mengurangi emisi dari deforestasi dan kerusakan hutan di lokasi tertentu. Secara global tercatat sudah ada 109 aktivitas REDD [Wertz-Kanounnikoff and Kongphan-Apirak, 2009] dengan perincian: 44 buah pilot project yang ditujukan secara langsung untuk mengurangi emisi dari deforestasi dan kerusakan hutan/[”Demonstration activities”] dan 65 proyek untuk “readiness activities” yakni kegiatan yang memang ditujukan untuk membuat kerangka skema REDD.

C. Kategori Pilot Project REDD

Indonesia merupakan Negara yang paling banyak aktivitas pilot proyek REDDnya. Tercatat ada 29 aktivitas REDD yang sekarang ada di Indonesia yang bisa dikategorikan ke dalam 3 versi [Madeira, 2009]:

1. Proyek REDD yang dilakukan dengan cara mengajukan ijin konsesi hutan [“Model Konsesi”], seperti IUPHHK Restorasi Ekosistem atau bentuk ijin konsesi hutan lainnya.

2. Proyek REDD yang dilakukan dengan melakukan kerjasama dengan pemerintah [“Kerjasama Pemerintah”], seperti KFCP atau Skema di bawah payung UN-REDD

3. Proyek REDD yang dilakukan dengan melakukan kerjasama dengan para pemilik ijin/lahan [“Kerjasama Pengguna Lahan”], misalnya pemrakarsa melakukan kerja sama dengan pemilik Ijin HTI, HGU Sawit, Hutan Desa, dst.

Sebenarnya ada satu lagi kategori namun tidak dimasukkan karena mereka tidak mencari karbon kredit, yakni mereka yang melakukan kerjasama dengan pemerintah untuk membangun proyek karbon namun tidak mencari kredit karbon buat mereka sendiri. Kegiatan ini biasanya didukung oleh organisasi bilateral atau NGO.

D. Model Konsesi dan Konsekuensinya bagi Masyarakat

Dari 3 kategori pilot proyek itu, kebanyakan di Indonesia mengikuti model konsesi [Madeira, 2009]. Model konsesi ini bisa dilakukan dengan pemrakarsa mengajukan ijin konsesi baru atau pemilik suatu konsesi merubah atau menambahkan ke ijin awalnya usaha-usaha pengurangan emisi dari deforestasi dan kerusakan hutan.

Banyaknya model konsesi ini bisa dicarikan alasannya, pertama, untuk mencegah terjadinya deforestasi yang direncanakan. Di Indonesia, deforestasi lebih banyak terjadi karena aktivitas yang direncanakan, bisa oleh pemerintah atau oleh mereka yang mendapatkan ijin dari pemerintah [lihat Greenomics, 2009]. Mereka mengajukan ijin di lahan hutan yang sudah rusak, yang kemudian bisa dikonversi jadi perkebunan atau aktivitas pembangunan non-kehutanan lainnya atau di lahan hutan lainnya yang menunggu untuk dikonversi. Kedua, kebijakan kehutanan Indonesia selalu memihak pada perusahaan besar. Ketiga, usaha konservasi yang selama ini dilakukan di Indonesia selalu gagal atau terhambat karena adanya ketidaksesuaian dengan kepentingan aparat pemerintah. Mengajukan ijin konsesi dapat meminimalisir intervensi terlalu jauh dari aparat pemerintah. Keempat, terkait masalah teknis pembiayaan, proyek REDD untuk sampai mendapatkan kredit karbon memerlukan dana awal yang besar. Kelima, model konsesi menjamin kepastian hukum, sesuatu yang sangat penting dalam REDD yang dipergunakan untuk menunjukkan bahwa akses terhadap karbon bisa dipertahankan sesuai dengan perjanjian jual beli kredit karbon.

Tapi umumnya sistem konsesi yang dipakai dalam rencana skema REDD ini sebenarnya memanggil kembali ingatan akan apa yang mereka lakukan di tingkat masyarakat dan lingkungan hidup. Tidak kehitung berapa banyak konflik yang merugikan masyarakat dari adanya sistem konsesi ini.

Dari penemuan awal dari riset yang sedang kami lakukan, tampaknya masyarakat mengkhawatirkan praktek REDD akan sama dengan praktek HPH selama ini. Mereka akan kembali menghadapi ketidakbebasan dalam mengakses hutan atau hanya sekedar menjadi penonton dan mendapatkan remahan rente dari proses itu. Belum lagi masalah ternyata lokasi REDD tersebut berada di dalam kawasan yang diklaim masyarakat sebagai wilayah kelola/adatnya. Pengalaman selama ini menunjukkan, klaim itu akan selalu tersisihkan ketika berhadapan dengan versi lain dari rejim pemerintah.

Tidak hanya berhenti di sana, model konsesi dipakai karena tujuannya adalah mencegah pihak luar mengkonversi hutan untuk keperluan di luar urusan konservasi atau penyimpanan karbon di pohon dan lahan. Pihak luar ini tidak hanya perusahaan sawit, tetapi juga masyarakat sekitar yang dikawatirkan akan melakukan perambahan.

Pihak pemrakarsa proyek REDD bukan tidak menyadari peranan penting masyarakat sekitar hutan [“local shareholder”]. Mereka selalu memasukkan factor keterlibatan masyarakat dalam proposal REDD-nya. Mereka menyadari biarpun, misalnya, secara de jure suatu kawasan yang akan dijadikan pilot proyek REDD itu tidak dikuasai oleh masyarakat, tetapi secara de facto, masyarakat memegang peranan penting dalam keberhasilan proyek itu, misalnya di lihat dari sisi permanence atau leakage.

Namun, dalam pelaksanaannya, sebagaimana yang kami temukan di lapangan, masyarakat masih kesulitan untuk mengetahui “apa sebenarnya” yang sedang dilakukan oleh para pemrakarsa itu. Ada pemrakarsa yang datang ke suatu kampung untuk maksud yang berbeda jauh dengan maksud sebenarnya. Awalnya datang dengan maksud untuk melakukan pendataan serta pembuatan koridor orang utan, tapi setelah lama baru ketahuan bahwa mereka sebenarnya sedang melakukan assessment soal REDD dan lokasi itu cocok untuk dijadikan lokasi REDD. Atau ada pemrakarsa yang menutup diri ketika ada warga yang bertanya soal-soal mendasar yang seharusnya diberitahukan secara terbuka, seperti soal apa itu REDD, bagaimana pelaksanaan konkritnya di lapangan, dst, terlepas dari apakah masyarakat akan mengerti atau tidak.

Melakukan konsultasi dengan lokal shareholder, terutama masyarakat sekitar hutan, merupakan prasyarat penting dalam pelaksanaan REDD. Selanjutnya ada mekanisme Free Prior Informed Consent [FPIC] yang juga harus dilakukan agar masyarakat tahu dan sesadar-sadarnya paham konsekuensi jika menerima atau menolak proyek REDD. Kedua hal ini sudah dimasukkan dalam standar sertifikasi karbon sebagaimana ada di dalam Voluntary Carbon Standard (VCS) dan the Climate, Community and Biodiversity (CCB) Standards.

Kebanyakan yang dilakukan para pemrakarsa dalam menentukan lokasi REDD lebih bersifat “lingkungan”: tipe pohon, tipe tanah, iklim regional, dan topografinya. Faktor masyarakat adalah faktor yan dibicarakan selanjutnya. Ini juga akan memberikan konsekuensi lain.

Mengapa Masyarakat rentan?

Masyarakat diperkirakan akan rentan sebagai dampak jika REDD dilakukan karena ditunjang sedikitnya dua factor: [1] Perbedaan besar pandangan antara masyarakat lokal/Adat dan pemrakarsa REDD dalam melihat hutan dan fungsinya; serta [2] insentif REDD berasal dari luar negeri suatu Negara.

Perbedaan besar pandangan antara masyarakat lokal/Adat dan pemrakarsa REDD dalam melihat hutan dan fungsinya. Pengurangan emisi untuk mencegah dampak yang lebih besar dari perubahan iklim sekarang lebih banyak bergerak di tataran elit dan internasional. Jika dilihat dari sisi siapa yang paling berkepentingan, sebenarnya Negara-negara maju yang terikat dalam Protokol Kyoto-lah sebenarnya yang palig berkepentingan dengan adanya REDD. Selain murah, ia juga menjadi dasar untuk mengajak Negara berkembang dengan perekonomian raksasa seperti China dan India untuk juga memegang beban pengurangan emisi.

Tujuan pemrakarsa REDD tidak lain adalah adanya kredit karbon dari hutan yang bisa diperjualbelikan di tingkat internasional, jika masuk dalam kategori Pasar, atau kredit karbon yang bisa dikompensasikan dengan sejumlah dana, jika masuk dalam kategori Public Fund. Tujuan ini bisa jadi tidak akan sejalan dengan kepentingan masyarakat sekitar hutan di Negara-negara tropis. Jembatan itu harusnya dibangun lewat konsultasi atau program FPIC yang dilakukan secara benar di lapangan.

Bukan berarti bahwa masyarakat harus menyesuaikan diri dengan kepentingan pengurangan emisi itu. Mereka harus tetap dihormati cara hidupnya, keberadaan mereka di lokasi, dst. Hanya saja, usaha untuk membuat jembatan di antara perbedaan tujuan bisa diusahakan. Jangan sampai, demi tujuan pengurangan emisi, masyarakat diarahkan untuk mengganti livelihood-nya atau bahkan dipindahkan ke lokasi lain [biarpun secara tidak langsung meminta, misalnya, dengan mengatakan bahwa daerah itu akan dijadikan taman nasional [plus lokasi REDD], sebenarnya mengindikasikan bahwa penduduk di lokasi itu harus pindah atau makin sengsara karena hidup di dalam kawasan taman nasional].

Diarahkannya masyarakat ke tipe pekerjaan yang tidak lagi bergantung pada hutan menjadi mimpi besar para konservasionis yang nampak dikerjakan dalam program-program Integrated Conservation and Development Program [ICDP]. Tapi, hanya sedikit yang berhasil. Dalam REDD, sebenarnya proses ini hanya membuat masyarakat tidak terlibat dalam skema REDD. Konsekuensinya adalah jika pun berhasil maka masyarakat tidak akan mendapatkan ‘kompensasi” dari skema REDD yang berlangsung disekitarnya dan justru dia akan dibebani dengan “cost” tertentu, tergantung pada bagaimana pemrakarsa memandang hubungan antara proyeknya dengan masyarakat tersebut. [Ini menjadi bantahan bahwa REDD bukanlah skema Payment for Environmental Services [PES]]. Sebaliknya, jika tidak berhasil, maka justru akan akibatnya akan mengganggu keberlanjutan proyek REDD.

Di sisi lain, ada inisiatif yang dikerjakan oleh pemerintah, sebagai pemilik hutan, untuk melibatkan masyarakat dalam skema REDD dengan mengajak mereka untuk masuk dalam proyek HTR atau Hutan Tanaman Rakyat. Sebuah model konsesi tapi lebih diarahkan untuk rakyat dan skala kecil.

Di satu lokasi di Kalteng, semua warga, tidak peduli apakah dia punya kemampuan mengelola pepohonan atau tidak, dimasukkan ke dalam kelompok tani dan terbentuk sekitar 75 kelompok. Masing-masing kelompok terdiri dari 5 – 7 kepala keluarga dan akan mengusahakan lahan seluas 15 hektar/kelompok. Kepala Mantirnya sampai mengatakan bahwa jika HTR ini jalan, maka tidak akan ada lagi nelayan, semuanya akan mengusahakan HTR. Mereka dijanjikan akan mendapatkan bantuan pembiayaan sebesar kurang lebih 8 juta/ha, bantuan bibit, konsultasi penanaman dan perawatan pohon dst.

Namun HTR dalam benak masyarakat adalah jalan legal untuk memotong kayu. Lokasi yang mereka pilih ternyata adalah lokasi yang masih ada pohonnya. Mereka menyatakan bahwa dengan keterlibatan dalam HTR ini, mereka bisa memotong pohon secara legal.

Masalahnya adalah, tidak ada pemberitahuan kepada mereka, dalam skema REDD, pemotongan kayu/pohon mengandung konsekuensi terlepasnya karbon, memberi pupuk terlalu banyak atau peerwatan tanah yang tidak baik aka berkonsekuensi pada terlepasnya karbon dan gas rumah kaca lainnya. Belum ada info bagaimana soal ini diselesaikan. Dalam proses awal, masyarakat mungkin diperbolehkan untuk memotong pohon demi pembersihan lahan, tapi apa nasibnya pohon yang mereka tanam: masih berhakkah mereka atas pohon itu ketika skema REDD dijalankan?

Insentif REDD berasal dari luar negeri suatu Negara. Terlihat bahwa pemerintah seperti berjalan sendiri dalam mengeluarkan kebijakan soal REDD atau perubahan iklim. Hal yang sering terjadi ketika insentif tidak berasal dari dalam negeri suatu negera tetapi berasal dari luar negeri. Insentif REDD tidaklah datang dari dalam negeri, ia merupakan jalan bagi terlaksananya offset emisi Negara-negara maju dengan membeli kredit karbon yang dijual oleh Negara-negara pemilik hutan tropis. Insentif yang datang dari luar negeri ini dapat melemahkan aspek akuntabilitas Negara terhadap rakyatnya. “Proyek lingkungan hidup”, termasuk perubahan iklim dan REDD, yang berjalan di Indonesia umumnya mengalirkan insentif dari luar negeri dan belum bisa menghidupkan insentif dari dalam negeri, sehingga rentan gagal dan kurang mengakomodasi kepentingan lokal shareholder.

Pada titik ini, menjadi sebuah keharusan untuk terus menerus menyuarakan suara masyarakat dalam perencanaan kebijakan yang terkait maupun tidak terkait dengan perubahan iklim atau REDD dan bahkan menjadikan “perspektif masyarakat” bersandingan dengan “perspektif pengurangan emisi”. Menjadikan keterlibatan masyarakat tidak hanya dalam tataran formal, tapi terlibat penuh dalam perencanaan, pelaksanaan dan monitoring pilot proyek REDD.


Daftar Bacaan

Greenomics Indonesia. 2009. “Menguji” Rencana Pemenuhan Target Penurunan Emisi Indonesia 2020 dari Sektor Kehutanan dan Pemanfaatan Lahan Gambut. Kertas Kebijakan. Jakarta, Indonesia: Greenomics Indonesia.

Madeira, Erin Myers. 2009. REDD in Design: Assessment of Planned First-Generation Activities in Indonesia, RFF Discussion Paper 09-49, Washington D.C: Resources for the Future

Wertz-Kanounnikoff, Sheila, and Meta Kongphan-Apirak. 2009. Emerging REDD+: a preliminary survey of emerging demonstration and readiness activities. CIFOR Working Paper No 46. Bogor, Indonesia: Center for International Forestry Research.


[1] Staf Learning Center HuMa. Makalah disajikan dalam acara Seminar “Workshop on Climate Change and REDD”, Grand Nangroe Hotel - Banda Aceh, 26 April 2010. Email: mumu.muhajir@gmail.com


Download di sini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar