04 September 2012
"Pengadilan hanya untuk orang miskin": Thailand
Berita tentang cucu anak konglomerat pemilik merek Red Bull yang menabrak dan menyeret sejauh 200 meter mayat polisi itu sedang menjadi perbincangan hangat di media dan media sosial Thailand. Tidak ada yang bersimpati pada si cucu itu; semuanya ingin melihat keadilan ditegakkan, di pengadilan. Namun melihat tabiat pengadilan Thailand sendiri yang secara terang-terangan bersikap lunak pada para koruptor, tukang tipu pajak, penabrak mati 10 orang karena dia seorang kaya dan ningrat, mengembalikan kepesimisan dalam berita-berita dan gerundelan yang tertangkap di media sosial.
Pengadilan yang kotor, sistem pemerintahan yang tidak melihat "konflik kepentingan" sebagai sebuah masalah adalah dua hal dari selain hal kotor, abu-abu lainnya yang juga tumbuh subur di sini. Tidak ada aturan perundang-undangan yang mengatur soal konflik kepentingan pejabat di sini. Anda bisa temui seorang pejabat di sebuah departemen menjadi direktur atau direktur bayangan di sebuah perusahaan yang melakukan tender di departemennya dan dia bisa mengakuinya dengan tertawa. Dia dan juga kita diam-diam malah mengagumi kelicikannya itu. "Tidak penting lagi apa yang kamu tahu dan kamu usahakan; yang penting adalah siapa yang kamu kenal. Semua orang Thailand merasa jijik dengan hal itu, tapi kita tetap menerimanya." kata komentator politik di berita itu. Benar. Kita juga di sini, diam-diam atau terus terang, menerima hal itu sebagai "norma-norma sosial". Menyedihkan memang, tapi kita akan membawa dalam hidup kita sebagai kewajaran.
29 April 2011
Menhut VS Bupati Penajam Paser Utara di Mahkamah Konstitusi: Ijin Pinjam Pakai Kawasan Hutan
Dari mana sebenarnya akar permasalahannya? Disinyalir berasal dari perbedaan cara pandang dalam melihat pengurusan hutan: ada yang melihatnya dari sisi hutannya (ini posisinya pemerintah) dan ada yang melihatnya dari sisi otonomi daerah (ini posisi pemohon). Dan hal tersebut didasari oleh teori hukum: peraturan yang khusus mengalahkan peraturan yang umum. apa yang khusus di antara peraturan perundang-undangan dalam bidang otonomi daerah dengan peraturan di bidang kehutanan?
Saldi Isra (saksi ahli dari pemohon) berpendapat sebenarnya tidak ada yang khusus di antara aturan otda dan kehutanan tersebut. Hanya saja jika dilihat dari posisi UU mana yang harus dibuat sebagai perintah UUD 1945, Saldi menyebut UU Otda-lah yang mempunyai posisi kuat sebagai "Undang-undang Pokok".
Pendapat pemerintah dalam menaggapi permohonan ini adalah dengan mencoba ke luar dari polemik UU Kehutanan vs UU Otda, dengan menyatakan bahwa Pasal 38 dan Pasal 50 harus dibaca secara senapas dengan Pasal 66 yang mengatur soal penyerahan kewenangan ke daerah. Jadi kedua pasal itu tidak bertentangan dengan otonomi daerah karena esensinya adalah dalam rangka pengendalian pemanfaatan hutan lewat pemberian ijin. Jadi tidak ada kewenangan daerah yang diambil alih, sehingga tidak ada "kerugian konstitutional" yang diderita oleh pemohon.
Saya kira, di balik pendapat pemerintah itu, sebenarnya ada meta-pikirnya, mungkin paradigma, yang melekat di benak pemerintah pusat dalam melihat pengurusan hutan ini. Pemerintah pusat melihat bahwa ketika pemerintah daerah diberikan kewenangan luas dalam mengurus hutan, maka hutan akan rusak karena daerah ternyata hanya melihat hutan sebagai aset untuk kepentingan pemasukan PAD saja. Ini sebenarnya agak bersisian dengan pendapat pemohon sendiri, yang melihat posisi penting kehutanan dalam peningkatan kesejahteraan daerahnya.
Kekawatiran makin rusaknya hutan jika pengurusannya diberikan sepenuhnya kepada daerah ternyata juga diamini oleh beberapa aktivis lingkungan hidup yang sempat saya tangkap pendiriannya. Inisiatif Bupati PPU untuk mengajukan judicial review ke MK memang bisa dilihat dari usaha daerah untuk "mempertanyakan" kekuasaan "absolut" Kemenhut dalam mengurus kawasan hutan. Ini penting, karena salah satu ciri negara hukum adalah adalah penyebaran kekuasaan, baik horizontal maupun vertikal (pusat-daerah).
Tapi, bercermin dari praktek pengelolaan SDA yang dilakukan oleh Pemda serta niatan pemohon sendiri, daerah hanya akan melihat hutan sebagai aset ekonomi semata. Permohonan ini dilihat dengan penuh curiga sebagai usaha pemerintah daerah memaksimalkan keuntungan dari adanya hutan di daerahnya. Apalagi konflik antara kehutanan dengan pertambangan akhir-akhirnya ini mengemuka terus. Posisi kehutanan (dalam term "konservasi"-nya, saya kira) dianggap sebagai "penghalang" kemajuan daerah.
Para aktivis itu cenderung untuk berpendapat biarlah IPPKH ini dipegang oleh pemerintah pusat. Meta-pikirnya adalah dalam hal pemberian ijin pemakaian kawasan hutan sebaiknya terkontrol di tingkat pusat saja. Ini lebih memudahkan pengawasan, daripada diserahkan di tingkat daerah yang membuka peluang dihambur-hamburkannya IPPKH atau bentuk IPPKH yang berbeda-beda antar kabupaten.
Tapi apakah benar pengawasan menjadi lebih mudah jika IPPKH itu hanya ada di tangan Menhut? Saya tidak sepenuhnya yakin. Praktek selama ini, informasi soal IPPKH yang sudah jalan tidak dibuka ke publik. Informasi yang ada hanya dalam bentuk statistik yang lebih berupa penyederhanaan. Sudah adakah tindakan Menhut pada pemilik IPPKH yang tidak menaati aturan? Lalu apa tindakan Menhut terhadap pemilik usaha yang tidak memiliki IPPKH?
Kekawatiran itu sendiri sebenarnya, secara teori, bisa ditepis dengan mengetengahkan bahwa dalam aturan otonomi daerah pun, ada pengawasan bersama antara pemerintah pusat dan daerah. Gampangnya, jika sekarang ini dianggap pengurusan hutan oleh daerah tidak betul sebetulnya membuka ruang tanya juga: lalu apa kerja pemerintah pusat? Bukankah di dalam UU Otda sendiri sudah dijelaskan pembagian kewenangannya: pusat buat aturan, norma; daerah eksekusi; pusat-daerah mengawasi. Hancurnya hutan tidak hanya karena ada euforia daerah, tapi juga karena adanya pengawasan yang lemah, bahkan pembiaran, dari pemerintah pusat.
Untuk itu, menarik untuk dinanti apa putusan MK soal masalah ini. Mungkin saja Mahkamah Konstitusi dapat memberikan jalan tengah dari konflik peraturan perundang-undangan ini dan mengajarkan kepada kita bagaimana seharusnya kawasan hutan/hutan itu diurus?
25 Oktober 2009
Tuntutan Penduduk Kivalina Ditolak Pengadilan
Tuntutan penduduk Kivalina, Alaska terhadap 24 perusahaan minyak, listrik atas terjadinya kerusakan lingkungan di sekitar kota mereka akhirnya ditolak oleh pengadilan tingkat pertama di California. Penolakan ini didasarkan pada dua hal: pertama, karena tuntutan itu menerbitkan “non-justiciable political question” dan kedua, penuntut tidak mempunyai dasar hukum untuk menuntut.
Dalam sistem peradilan Amerika sana ternyata ada yang namanya Doktrin Masalah Politik, dimana doktrin ini lahir sebagai konsekuensi adanya doktrin pemisahan kekuasaaan [legislatif, eksekutif, yudikatif] dimana ada masalah publik yang merupakan masalah politik dan bukan masalah hukum, sehingga masalah politik itu seharusnya diselesaikan oleh institusi politik, seperti legislatif dan eksekutif. Dalam masalah seperti itu, pengadilan tidak mempunyai wewenang untuk memeriksa perkara.
Hakim di pengadilan pertama itu berpendapat bahwa masalah siapa yang bertanggung jawab, bersalah dan diharuskan menanggung biaya atas terjadinya pemanasan global merupakan masalah yang harus diselesaikan terlebih dahulu di tingkat politik. Dalam kasus Kivalina ini, misalkan dalam hal mencari hubungan antara aktivitas 24 perusahaan, perubahan iklim dan dampaknya pada penduduk Kivalina, penuntut menyederhanakan hal itu terjadi karena aktivitas yang dilakukan oleh pihak tertuntut [dengan menghasilkan Emisi Rumah Kaca] dan untuk menjawab pertanyaan mengapa hanya ke-24 perusahaan yang dituntut? karena merekalah aktor utama terjadinya perubahan iklim. Penuntut tidak bisa membuktikan adanya Emisi Rumah Kaca tertentu yang dihasilkan oleh aktor tertentu yang kemudian memberikan dampak tertentu pada penduduk Kivalina, sesuatu yang dalam dalam doktrin pengadilan Amerika sebagai “judicially discoverable and manageable standards”.
Ketiadaan “judicially discoverable and manageable standards” itu telah menyebabkan kasus ini memenuhi kriteria Doktrin Masalah Politik di atas. Dengan kata lain, penuntut meminta kepada pengadilan untuk memberikan putusan politik yang menyebutkan bahwa ke 24 perusahaan itulah yang menanggung biaya atas terjadinya perubahan iklim. Padahal patut dipercaya bahwa yang menghasilkan emisi rumah kaca bukan hanya ke-24 perusahaan itu, namun terdapat di hampir penjuru dunia dan berdampak pada planet bumi secara keseluruhan. Pengadilan merasa bahwa untuk masalah pembagian kesalahan dan juga biaya atas terjadinya perubahan iklim lebih baik diserahkan pada keputusan politik di legislatif atau di eksekutif.
Hal kedua yang menyebabkan tuntutan Kivalina itu ditolak adalah masalah legal standing penuntut. Menurut hakim, tidak bisa dibuktikan adanya tindakan ke-24 perusahaan itu pada kerugian yang diderita oleh penuntut menjadi salah satu faktor ditolaknya tuntutan itu.
Kasus Kivalina ini seperti akan terus berlanjut, karena penuntut melakukan banding ke pengadilan lebih tinggi.
14 Agustus 2009
Burung yang Mengalahkan Exxon
Sudah banyak pihak yang menduga, kasus lingkungan akan terus mendesak pelaku usaha agar menjalankan praktek bisnis yang lebih "berkelanjutan" dengan memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup.
Reuters: "Exxon agrees to pay $600,000 in bird killings case"
30 Juli 2009
Klimak Kasus Pembalakan Liar di Ketapang, Kalimantan Barat [3]
Diakhir bulan Juli ini, Koran Tempo menurunkan berita pendek yang menyebutkan telah turunnya surat keputusan penahanan dari Mahkamah Agung yang membuat ketiga oknum polisi itu akan segera masuk ke Lembaga Pemasyarakatan Kelas II Ketapang. Tidak jelas apakah penahanan tersebut lahir sebagai akibat telah turunnya vonis kasasi dari Mahkamah Agung atau merupakan pengabulan dari permintaan Kajati Kalbar dalam proses kasasi ini?
Dari hasil penelusuran saya di website Mahkamah Agung pada hari ini, 30 Juli 2009, ditemukan berita lain. Untuk kasus kasasi yang menyangkut terdakwa Ahmad Sun'an, posisi perkaranya masih dalam pemeriksaan hakim; sementara menyangkut terdakwa Dr.Kadhapy Marpaung, Sik dan Agus Luthfiardi posisi perkaranya sudah diputus, masing-masing pada tanggal 15 Juni 2009 dan 22 Juni 2009 dengan amar putusan menolak permohonan kasasi Kejaksaan. Sehingga dua terdakwa ini terkena vonis dari PT Kalimantan Barat yakni penjara selama 2 tahun dengan denda 5 juta subsider 1 bulan kurungan.
Dari website itu juga diketahui bahwa terdakwa lain dari unsur Dishut ketapang yakni Nur fadli, ternyata telah mengajukan permohonan kasasi ke MA dan posisinya sekarang masih dalam proses pemeriksaan hakim. Untuk kasus Nurfadli ini, tidak hanya terdakwa sendiri yang mengajukan kasasi, tetapi kejaksaan pun mengajukan permohonan serupa.
Berikut berita terkait di Koran Tempo:
Dua Perwira Kasus Pembalakan Ditahan
PONTIANAK - Dua mantan perwira Kepolisian Resor Ketapang, Kalimantan Barat, Ajun Komisaris KM dan Ajun Komisaris AL, yang sempat bebas karena terlibat kasus illegal logging pada 2008, kemarin kembali dijebloskan ke Lembaga Pemasyarakatan Kelas II Ketapang.
Langkah tersebut dilakukan setelah turunnya surat keputusan penahanan dari Mahkamah Agung. "Mereka berdua masuk lapas pagi tadi," kata Supriatna, pegawai Lembaga Pemasyarakatan Kelas II Ketapang, kemarin. "Kalau Pak S, mantan Kepala Polres Ketapang, kabarnya mungkin tidak lama lagi menyusul," ujarnya. HARRI DAYA
Saya masih mencari info putusan MA terkait Dr.Kadhapy Marpaung, Sik dan Agus Luthfiardi. Namun intinya, penegakan hukum yang menyangkut pembalakan liar masih jauh dari apa yang diharapkan oleh masyarakat banyak. Putusan pengadilan yang sangat ringan tentu tidak akan memberikan efek jera kepada pelaku atau calon pelaku. Barangkali dibutuhkan model lain penegakan hukum maupun pencegahan yang lebih efektif dalam menahan laju kerusakan hutan akibat pembalakan liar ini.19 Juni 2009
Ganti Rugi Kerusakan Lingkungan Dalam Kasus Exxon-Valdez Dibatasi
Kasus tumpahnya minyak dari Supertanker milik Exxon di lepas pantai Alaska pada 23 Maret 1989 telah menjadi perhatian pemerhati lingkungan. Sampai saat ini, tumpahnya minyak ke laut yang dilakukan oleh Kapal Exxon itu adalah yang terbesar: lebih dari 12 juta gallon minyak mentah. Berbagai tuntutan telah dialamatkan ke Exxon, terutama oleh para pihak yang menggantungkan hidupnya dari laut Prince Willian Sound, Alaska. Exxon sendiri telah menghabiskan dana lebih dari $ 2,1 miliar untuk membersihkan lingkungan laut dari tumpahan minyak. Ia juga harus berhadapan dengan pemerintah Amerika dan Alaska yang mengejar Exxon terlibat dalam perbuatan pidana yang bertentangan dengan Clean Water Act, the Refuse Act, dan Migratory Bird Treaty Act. Exxon mengaku bersalah dan membayar denda $ 150juta [kemudian direvisi menjadi $ 25juta dan restitusi $100juta].
Tak berhenti di sana, Pemerintah Amerika dan Alaska kemudian mengajukan tuntutan perdata atas dasar terjadinya kerusakan lingkungan, yang hasilnya membuat Exxon harus merogoh kocek sebesar $ 900juta sebagai biaya perbaikan lingkungan. Selain itu, ia juga harus membayar restitusi kepada nelayan dan pihak lainnya sebesar $ 303juta.
Satu kasus lain dikonsolidasikan [yang kebanyakan penuntutnya adalah para pihak yang dirugikan secara langsung oleh tumpahan minyak itu: nelayan, penduduk asli Alaska dan pemilik lahan; yang jumlahnya mencapai 32ribu orang] dan diajukan untuk meminta kompensasi kepada Exxon. Di pengadilan pertama di Alaska, Exxon terbukti bersalah melakukan kelalaian yang menyebabkan terjadinya kerugian di pihak lain. Kelalaian ini sebenarnya dilakukan oleh Kapten Kapal Supertanker itu, Joseph Hazelwood, yang pada saat kapal melakukan manuver malah meninggalkan kabin dan terbukti sedang mabuk. Namun, karena Joseph Hazelwood sedang bekerja berdasarkan kontrak yang disetujui dengan Exxon, maka Exxon juga kena getahnya sebagai bentuk tanggung jawab perusahaan. Exxon karenanya diharuskan membayar lebih dari $287juta sebagai kompensasi [ganti rugi] bagi para nelayan, $20juta bagi penduduk alaska dan lebih dari $200juta bagi pemilik lahan; atau keseluruhannya mencapai $507.2juta.Selain itu, karena terbukti lalai, Exxon juga terkena hukuman bayar ganti rugi kerusakan [punitive damage] sebesar $ 5 miliar sedangkan Joseph Hazelwood dikenakan $ 5000.
Keputusan bahwa Exxon terbukti melakukan kelalaian diperkuat oleh Pengadilan Banding, namun besarnya ganti rugi kerusakan itu diturunkan menjadi setengahnya [$ 2,5 miliar]. Exxon kemudian mengambil langkah "kasasi" ke MA-USA untuk mempertanyakan apakah ganti rugi itu melewati batas yang seharusnya diberikan dalam hukum kelautan, apakah biaya ganti rugi dibatasi oleh hukum federal [Clean Water Act] dan apakah pemilik kapal bertanggung jawab atas kerugian yang terjadi di luar persetujuannya [yang dilakukan oleh bawahannya].
Dalam hal besarnya ganti rugi itu, Exxon merasa bahwa besarnya ganti rugi yang harus dibayarkannya telah melewati tujuan yang diinginkan dengan adanya ganti rugi kerusakan itu, yakni menghalangi terjadinya perbuatan tidak baik atau akibat meningkatnya ancaman kerusakan.
Keputusan para hakim MA pada 25 Juni 2008 tentang apakah pemilik kapal bertanggung jawab atas perbuatan bawahannya ternyata sama kuat sehingga MA-USA tidak mengambil keputusan dalam masalah ini, sehingga keputusan di pengadilan di bawahnya tetap sebagaimana adanya. Dalam keputusan lain, MA -USA menegaskan tidak adanya pembatasan berapa ganti rugi kerusakan yang harus dibayarkan. Namun, dalam kasus ini, yang berhubungan dengan hukum kelautan, MA-USA menyatakan bahwa pembatasan harus dilakukan dengan perbandingan 1:1, dimana biaya ganti rugi harus seimbang dengan biaya kompensasi yang telah dibayarkan. Dengan kata lain, Exxon hanya wajib membayar ganti rugi kerugian sebesar $507.2juta; yang kemudian ditetapkan sebagai putusan hakim pengadilan banding pada 15 Juni 2009. Pada putusan banding itu pula ditetapkan bahwa bunga atas punitive damage itu ditetapkan sejak tahun 1996.
Setelah perdebatan tentang apakah biaya punitive damage yang diberikan kepada Exxon terlalu besar dilihat dari usaha yang sudah dilakukan oleh Exxon untuk mengurangi dampak kerusakan lingkungan serta biaya2 lainnya, putusan MA-AS itu juga menimbulkan polemik. Walaupun ada pihak yang berpendapat keputusan itu hanya berlaku bagi hukum kelautan saja, tetapi tetap saja keputusan itu [di negara yang menganut judge-made law] dapat memberikan arahan pada hakim ketika menghadapi kasus serupa, berurusan dengan tuntutan punitive damage yang sangat besar. Ketika pemberian kompensasi sudah bisa menafsirkan adanya "ganti rugi" dari penuntut, maka punitive damage, yang berfungsi untuk mencegah kejadian serupa terjadi kembali, memang tidak seharusnya melewati biaya kompensasi itu.
Tapi, apakah harga-harga itu memang dapat merefleksikan hancurnya ekosistem Prince William Sound? Tepatnya, apakah biaya yang dikeluarkan oleh Exxon layak untuk menggantikan kerusakan lingkungan di wilayah perairan tersebut yang kemudian menghancurkan pula keadaan sosial masyarakat sekitarnya, yang kesemuanya itu celakanya diawali oleh kecerobohan Exxon sendiri? Apakah $507.2juta sebagai punitive damage pada Exxon benar-benar akan mencegah Exxon untuk tidak mengulang kejadian serupa di masa depan?
Kapal Valdez itu sendiri tidak mengalami kerusakan berarti, ia bisa diperbaiki dan diberi nama berkali-kali untuk akhirnya berhenti di nama "SeaRiver Mediteranian". Kemudian selama kurang lebih 12 tahun, ia bekerja mengantar minyak Exxon untuk rute Teluk Persia - Jepang, Singapura, Australia. Pada tahun 2002, Exxon memesiunkannya, namun banyak pihak yang percaya bahwa kapal Valdez itu tetap beroperasi dengan bendera negara asing.
25 Maret 2009
Nama Jalan Kami, Nama Seorang Narapidana
Tempo Interaktif [yang kemudian diperkuat oleh Koran Tempo, Senin, 21 Maret 2009] dalam beritanya mengatakan:
"...Peresmian DL Sitorus menjadi nama jalan terpanjang di Toba Samosir yang meliputi dua kecamatan, Lumbanjulu dan Ajibata, Sabtu (21/3), dilakukan Bupati dan Ketua DPRD Toba Samosir.
"Dasar pemberian penghargaan karena DL Sitorus dinilai masyarakat Toba Samosir sebagai pahlawan pembangunan di kabupaten pemekaran Tapanuli Utara ini," kata Bupati Monang Sitorus...."
Padahal,..."Darianus Lungguk Sitorus, terpidana perkara perambahan hutan Register 40 Padang Lawas, Sumatera Utara"
Pemberian nama jalan itu sendiri sudah ditentang oleh kalangan masyarakat Kabupaten Tapanuli Selatan dan kalangan pemerhati lingkungan.
DL Sitorus?
DL Sitorus adalah terpidana kasus perambahan kawasan hutan register 40 Padang Lawas yang berada di Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumut, untuk dijadikan perkebunan sawit. DL Sitorus sendiri dalam kasus ini berposisi sebagai Direktur Utama PT Torganda dan PT Torus Ganda yang berlaku sebagai bapak angkat bagi Koperasi Perkebunan Kelapa Sawit [KPKS] Bukit Harapan.
Kasus DL Sitorus ini menarik dalam beberapa hal, yang menunjukkan kacau balaunya hukum serta sengkarutnya kebijakan kehutanan kita:
Pertama, DL Sitorus memanfaatkan adanya ketidakjelasan kawasan antara pihak pemerintah yang mengklaim kawasan hutan register 40 sebagai kawasan hutan negara yang masih dalam status penunjukkan kawasan, dengan pihak masyarakat yang mengklaim kawasan itu sebagai kawasan hutan adat [ulayat]. Ia berhasil "membeli" kawasan hutan itu dari dua masyarakat adat yang setelahnya ia mendirikan KPKS Bukit Harapan untuk mengelola kawasan hutan itu. Hebatnya, ia sendiri seperti menghindari masalah dengan mengangkat dirinya sebagai "bapak angkat" dari KPKS Bukit Harapan. Pada perkembangan selanjutnya, BPN [Badan Pertanahan Nasional] mengeluarkan 1820 buku tanah sertifikat hak milik atas areal tanah perkebunan tersebut.
Dalam putusan PK [Peninjauan kembali], majelis hakim menolak klaim masyarakat adat dan tetap melihat kawasan itu sebagai kawasan hutan negara. Terkait terbitnya sertifikat hak milik di kawasan tersebut, Majelis Hakim di tingkat Peninjauan kembali malah menyalahkan DL Sitorus dan kawan-kawan karena telah memberikan informasi yang menyesatkan kepada pejabat BPN sehingga terbitlah sertifikat hak milik tersebut. Padahal Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Tapanuli Selatan, Irwan Nasution, juga terkena kasus ini dengan dianggap turut serta melakukan tindak pidana korupsi.
Kedua, perbuatan perambahan kawasan hutan telah dilakukan oleh DL Sitorus dkk pada tahun 1998 dan berlanjut pada tahun 1999 dengan mulai melakukan penanaman kelapa sawit. Perbuatan ini tidak terhentikan, walaupun sudah ada puluhan surat protes padanya. Tidak tanggung-tanggung, surat protes itu dikirimkan oleh mereka yang berkuasa dari Menteri Kehutanan, Gubernur, Bupati, Kakanwil Provinsi, Kadishut provinsi, dsb. DL Sitorus tetap bergeming, melanjutkan usaha kepala sawitnya.
Bahkan pada tahun 2002, atas permintaan KPKS Bukit Harapan, Menteri Kehutanan menerbitkan SK No. 1680/Menhut-III/2002 tanggal 26 September 2002 yang isinya memberikan izin prinsip untuk mengelola perkebunan kelapa sawit di dalam kawasan hutan Register 40 Padang Lawas seluas ± 23.000 HA dengan beberapa ketentuan, antara lain, bahwa izin itu diberikan selama 25 tahun.
Namun pada tahun 2004, Menhut sendiri membatalkan SK No. 1680/Menhut-II/2002 di atas dengan S.419/Menhut-II/2004 tertanggal 13 Oktober 2004. Tentu saja DL Sitorus meradang dan mengajukan gugatan ke PTUN. Setelah putusan banding yang menganulir putusan tingkat pertama TUN yang membatalkan SK S.419/Menhut-II/2004, akhirnya di tangan Majelis Kasasi MA, pada tahun 2007, DL Sitorus menang sehingga pembatalan Menhut atas SK No 1680/menhut-II/2002 tidak lagi berlaku.
Putusan Kasasi MA yang memberikan ijin PT Torganda dan KPKS Bukit Harapan untuk melanjutkan penanaman sawit di kawasan register 40 itu sendiri nantinya dipergunakan DL Sitorus sbagai novum baru ketika mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali ke MA. Tetapi dalam persidangan PK MA itu, ia malah kalah.
Ketiga, sampai sekarang eksekusi terhadap tanah atau kawasan hutan negara itu belum berhasil juga. Tentangan masyarakat yang menyakini bahwa tanah itu tanah ulayat mereka sangat kuat. Yang muncul ke permukaan adalah pemerintah vis a vis masyarakat; sementara sang pengambil untung tengah tetirah di Penjara Cirebon.
21 Maret 2009
Kejar Uangnya, Penjarakan Orangnya; Belajar dari Kasus Pembalakan Liar
Tambahkan kekecewaan itu dengan fakta: vonis bagi pemilik kayu jauh lebih ringan dari pelaku pembantunya dengan tidak ada hukuman penjara yang lebih dari 2 tahun dengan denda umumnya 5 juta dan hanya satu terdakwa yang didenda dengan 15 juta. Jumlah semua denda bagi 24 terdakwa kasus ini kurang dari 90 juta! Padahal negara dirugikan Rp 216 miliar.
Pola penegakkan hukum dalam pembalakan liar itu serupa: kejar dan tangkap pelakunya [biasanya pelaku lapangan; kasus Ketapang ini termasuk pengecualian karena berhasil menyiduk cukongnya], penjarakan dan bukti kejahatan berupa kayunya atau peralatan disita bagi negara dan kemudian dilelang. Uang hasil lelang ini sepertinya dianggap sebagai "pengganti rugi" dari hilangnya aset negara.[Uang yang masuk ke negara atas pelelangan 12 Kapal yang terlibat pembalakan liar di Ketapang adalah sebesar Rp 1.618.100.000 ].
Pola demikian hanya akan membuat penjara penuh dengan pelaku pembalakan liar [sayangnya kebanyakan adalah pelaku lapangan yang biasanya orang kecil dan suruhan]; sementara negara dirugikan setidaknya oleh dua hal: pertama, hilangnya tegakkan kayu di hutan [tidak perlu dululah menghitung "kerugian ekologis" akibat hilangnya kayu] yang nilainya komersial kayunya akan bertambah kecil karena penjualannya melalui mekanisme pelelangan [yang dalam banyak kasus juga melibatkan pelaku pembalakan liar [kelas kakap] yang menyamar] dan kedua, sumber daya negara juga habis untuk memastikan pelaku di penjara dengan perlakuan yang wajar. Tidak hanya ketika pelaku masih di penjara, sumber daya negara juga habis untuk mengejarnya, menangkapnya [satu kasus pembalakan liar dibiayai 24 juta di Polda Riau], menuntutnya, dan mengadilinya [dari PN sampai MA].
Hasilnya adalah kasus pembalakan liar masih banyak, deforestasi/degradasi hutan masih saja tinggi. Yang menang adalah ego penegak hukum yang berhasil memenjarakan orang dan akhirnya puas diri dengan itu. Yang benar-benar menang adalah bandar besar pembalak liar. selain itu, korupsi dalam bidang kehutanan ini berjalan terus dan makin melemahkan posisi negara.
Paradigma lain: utamakan pengejaran asetnya, bukan orangnya
Pola penegakkan hukum sebagaimana disebutkan di atas lazim dilakukan di hampir seluruh bagian dunia ini, di negara berkembang maupun negara maju. Polanya adalah dengan mengejar dan memenjarakan pelakunya dan kemudian melupakan aset yang membuat tindak kejahatannya menjadi mungkin. Pola ini terlihat gagal ketika dihubungkan dengan kejahatan terorganisir, seperti judi, narkotika, korupsi, pencucian uang, penyelundupan orang, dll.
Menghadapi kejahatan terorganisir seperti itu, bukan hanya gagal menghentikan kejahatannya, tetapi negara mengalami dua kerugian sekaligus: habisnya sumber daya dan, ini yang mengejutkan, makin menyuburkan korupsi aparat negara sehingga melemahkan posisi negara.
Mengapa demikian? Sebuah laporan studi yang ditulis oleh Edgardo Buscaglia, mmperlihatkan bahwa tanpa disertai/ada penyitaan aset, penangkapan fisik penjahat menjadi seolah tidak berguna. Operasi-operasi untuk menyergap pelaku kejahatan akan membuat para penjahat semakin mengintesifkan usahanya untuk mempengaruhi kebijakan negara atau menyuap para aparat negara yang hal ini mungkin terjadi karena uang/aset kejahatannya masih berkeliaran di luar. Usaha mempengaruhi kebijakan negara [misal lewat lobi, pembajakan ekonomi] serta penyuapan ini makin intensif sebagai trade off dari semakin banyaknya pelaku yang ditangkapi dan dimasukkan dalam penjara. Seolah berapapun pelaku masuk penjara, tetap tidak menghentikan tindak kejahatannya, karena masih ada aset yang bisa dipergunakan untuk menggerakkan kejahatannya.
Studi itu sangat luar biasa karena dilakukan selama 14 tahun dan meneliti kurang lebih 107 negara yang menandatangani Palermo Convention yang bermaksud memerangi kejahatan terorganisir.
Italia menghadapi persoalan ini ketika menghadapi kejahatan mafia dimana semakin banyak anggotanya dipenjara, kejahatannya terus saja mengakar dan pola mempengaruhi politik hukum negara serta penyuapannya juga semakin canggih dan semakin berani. Karena itu di dekade 80-an dan 90-an pola penghancuran mafia disertakan penyitaan aset dan hasil sudah membuat mafia makin mengecil. Amerika serikat juga mulai menerapkan pola ini dalam memerangi kejahatan narkotika. Penerapan penyitaan aset dan rezim pencucian uang juga dilakukan dalam menghadapi kejahatan sejenis lainnya.
Pola ini mensyaratkan aparat penegak hukum memahami kerja lembaga keuangan disamping tetap melakukan penahanan fisik kepada pelakunya.
Indonesia di bawah bayang-bayang mafia pembalakan liar?
Entah berapa ratus/ribu pelaku kejahatan kehutanan berupa pembalakan liar yang sedang dan sudah merasakan sempitnya ruang penjara di Indonesia ini. Namun, kejahatan kehutanan tetap saja berjalan dan bertransformasi menjadi wujud yang beraneka ragam; tidak lagi hanya sekedar memotong kayu di bukan tanahnya. Desentralisasi dipandang oleh kalangan tertentu membiakkan pola pembalakan liar ini. Bahkan bisa bersembunyi dibalik legalitas perijinan sah.
Muak akan suasana itu, pemerintah Indonesia mengintensifkan berbagai upaya untuk memeranginya. Tetap dengan pola kejar dan penjarakan orangnya. Hasilnya belum begitu menggembirakan di luar banyaknya kasus yang masuk ke pengadilan.
Saya juga mulai menyadari kebenaran yang ditemukan dalam studi Buscaglia di atas: ketika penegakkan hukum makin intensif dengan memenjarakan banyak pelaku kejahatan; pola-pola penyuapan atau mempengaruhi kebijakan negara yang membuka lebar terjadinya pembalakan liar samar-samar terkuak. Mulai dari menahan terjadinya kesepakatan tata ruang di dua provinsi besar, permintaan pelepasan kawasan hutan [misal, 2 juta ha di suatu provinsi], penyuapan anggota dewan, pemakzulan aparat penegak hukum, sampai membiayai kelompok yang menginginkan provinsi baru atau kampanye menjadi anggota dewan atau pucuk pimpinan daerah. Dan mungkin masih banyak pola lain yang di luar kemampuan saya membayangkannya yang semuanya mungkin karena ada uang maha-besar yang menggerakkannya. Semua itu terjadi di bawah pemerintahan yang menyakini pembalakan liar sebagai kejahatan luar biasa dan terorganisir.
Dominasi pola "kejar dan penjara orangnya" ini mulai coba ditantang dengan pola yang dilakukan oleh KPK terkait korupsi dalam sektor kehutanan. KPK menerapkan pola penyitaan aset dalam setiap perkara yang diajukannya ke pengadilan. Kasus yang menjadi landmark adalah Kasus Martias dkk, yang divonis bersalah melakukan korupsi dan diharuskan mengembalikan aset negara sebesar Rp 346,8 miliar; yang kemudian diikuti dengan kasus Tengku Azmun Jaafar yang dalam putusan banding Pengadilan Tinggi Jakarta mengharuskan 15 perusahaan yang terkait dengannya secara bersama-sama mengembalikan aset sebesar Rp 1,2 triliun kepada negara. Dalam kasus Adelin Lis, Kejaksaan juga mencoba menerapkan pola yang sama, sayangnya adalah bukan hanya asetnya sulit didapat, Adelin Lis-nya sendiri menghilang entah kemana.
Keberhasilan upaya di atas membuat banyak pihak menginginkan kejahatan kehutanan didekati dengan pendekatan korupsi. Padahal menurut saya, pola penindakannya saja yang dirubah sehingga memungkinkan terjadinya penyitaan aset kejahatan dan saya rasa tidak harus melulu dipergunakan pasal-pasal korupsi.
Rezim pencucian uang merupakan wilayah yang perlu dicoba dipakai dalam memerangi pembalakan liar, semata karena rezim ini menginginkan adanya proses pembekuan aset pada saat seseorang ditetapkan sebagai tersangka.
Penyitaan aset juga bukanlah hal asing dalam sistem hukum kita, hanya saja pelaksanaannya kadang tidak efektif, seperti yang terjadi dalam kasus Adelin Lis dimana penelusuran dan penyitaan aset dilakukan ketika Adelin Lis sudah jadi terpidana. Berbeda misalnya dengan yang dilakukan oleh KPK dalam Kasus Martias dimana penelusuran, pembekuan aset dilakukan ketika Martias ditetapkan sebagai tersangka, sehingga ketika vonis sudah berkekuatan hukum tetap, KPK tinggal menyita aset tersebut. Pembekuan aset ini penting agar pelaku tidak mempergunakan aset tersebut untuk mempengaruhi jalannya persidangan atau menyembunyikan dengan cara entah dan di tempat entah
Tantangannya adalah, selain beberapa hambatan hukum, aparat penegak hukum perlu ditingkatkan kapasitasnya dalam memahami keuangan yang memudahkannya dalam membaca pergerakan kejahatannya. Tantangan lainnya adalah ketika menyangkut aset di luar negeri; halangan diplomatik atau belum adanya perjanjian MLA [Mutual Legal Assistance] akan menghambat terjadinya penyitaan aset. Tetapi sekarang ini sudah dikembangkan pola penyitaan aset yang tidak didasarkan pada hukum pidana, melainkan pada hukum perdata [walaupun sangat mahal].
Intinya adalah penyitaan aset kejahatan dalam sektor kehutanan perlu dilakukan sebagai komplemen dari pendekatan penegakkan hukum sekarang ini yang lebih menekankan pada dipenjarakannya pelaku kejahatan. Dengan harapan bisa dibekukannya 'darah kejahatan', barangkali kita bisa melihat proses penegakkan hukum yang jauh lebih efektif dan [semoga] lebih adil.
20 Maret 2009
Klimak Kasus Pembalakan Liar di Ketapang, Kalimantan Barat [2]
Kompas [Sabtu, 21 Maret 2009] melaporkan, vonis dari PT kalbar bagi pelaku dari kepolisian lebih ringan satu tahun dari vonis PN Ketapang: yakni dari 3 tahun menjadi 2 tahun saja, walaupun hukuman tambahannya sama: denda 5 juta subsider 1 bulan penjara. Alasan jatuhnya vonis bagi Ahmad sun'an dan Khadafi Marpaung belum diketahui, sedangkan pengurangan hukuman penjara bagi Agus lutfiadi karena yang bersangkutan hanyalah pembantu dan bukan pelaku utama.
Bagi Nurfadli, staf Dishut ketapang, vonis bandingnya ternyata lebih berat 1 bulan 15 hari saja dari vonis PN Ketapang, yakni dari 10 bulan penjara menjadi 11 bulan 15 hari penjara dengan hukuman tambahan yang sama [denda 5 juta-subsider 1 bulan penjara], sementara vonis bagi Syaiful, Kadishut Ketapang, masih dimusyawarahkan hakim.
Vonis ini memang seperti tidak masuk akal untuk suatu jumlah kerugian negara yang mencapai Rp 216 miliar. Pelaku pembalakan liar di Ketapang ini bahu membahu memotong kayu, menggelapkannya dengan SKSHH/DAKO fiktif dan [akan] mengekspornya ke Malaysia.
Lebih tidak masuk akal lagi adalah vonis Pengadilan negeri bagi para pemilik kayu yang hukumannya tidak ada yang lebih dari 2 tahun. Jika pelaku dari kepolisian dan dishut adalah pelaku pembantu; pemilik kayu ini adalah pelaku utama dari proses pembalakan kayu ini. Sangat aneh, bukan, jika hukumannya jauh lebih rendah dari pelaku pembantunya? [Bahwa masih ada [dua] cukong kayu lain yang masih diburu untuk kasus ini]
Kejari Ketapang sendiri akan menunggu instruksi dari Kejagung apakah akan mengajukan kasasi atau tidak.
Ternyata, Kajati Kalimantan Barat memutuskan mengajukan kasasi atas putusan banding itu ke Mahkamah Agung.
28 Desember 2008
Klimak Kasus Pembalakan Liar di Ketapang, Kalimantan Barat

Dalam sidang, JPU mempergunakan KUHP dan UU No 41/99 dan menuntut rata-rata penjara di atas 5 tahun. Dalam vonisnya pun, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Ketapang menyatakan bahwa semua terdakwa terbukti secara sah dan menyakinkan melakukan tindakan pidana berupa 'pembalakan liar'. Tetapi hanya kepada kelompok pelaku dari kepolisian saja yang hukuman penjaranya 3 tahunan, sisanya 1 tahun, bahkan ada yang dihukum percobaan [yakni, Kadishut Ketapang, Syaiful H. Iskandar, yang bahkan hukumannya jauh lebih rendah dari hukuman buat anak buahnya, Nurfadli].
19 September 2008
Berkaca Pada Tengku Azmun Jaafar
A. Pendahuluan
Sebuah keputusan pengadilan Tipikor kembali membawa akhir segar bagi pihak-pihak yang sudah lelah dengan makin rumitnya penyelesaian kejahatan kehutanan. Dalam catatan penulis, ini merupakan keputusan pengadilan ketiga yang berpihak pada penyelamatan hutan sekaligus uang negara dimana kejahatannya didekati atau dihukum dengan penegakan hukum korupsi [dua lainnya, adalah kasusnya Suwarna dkk - termasuk didalamnya adalah Martias - serta kasus Adelin Lis]. Jika dilihat dari nilai kerugian negara, kasus Tengku Azmun Jaafar ini merupakan kasus korupsi dengan nilai kerugian negara terbesar, yakni sebesar 1, 208 trilliun.
Putusan ini bukan hanya harus diapresiasi, tetapi juga harus digarisbawahi dengan tinta merah tebal dan kemudian di-advokasi-kan pada semua jajaran penegak hukum bahwa: penyelesaian kejahatan kehutanan tidak lagi bisa hanya menumpukan diri pada peraturan kehutanan [dan mungkin Lingkungan hidup] tetapi juga bisa mempergunakan peraturan tentang pemberantasan korupsi dan bahkan jika memungkinkan: pemberantasan pencucian uang.
Sudah diduga oleh banyak pihak, tata kelola kehutanan yang buruk pastinya akan menarik atau menjadi arena subur tindakan-tindakan ilegal dilakukan, yang bukan hanya beraspek pelanggaran administrasi, tetapi juga perdata dan pidana.
B. Sekilas Kasus Tengku Azmun Jaafar: modus “baru” kejahatan hutan?
Ketika Tengku Tengku Azmun Jaafar Jaafar ditangkap oleh KPK akhir tahun 2007, kedudukan beliau masih menjabat sebagai Bupati Pelalawan, Riau. Setelah ada kepastian status tersangka, jabatan bupatinya dihentikan.
Tengku Azmun Jaafar didakwa oleh Jaksa KPK telah mengeluarkan ijin IUPHHK-HT kepada 15 perusahaan yang tidak kompeten menurut Kepmenhut no. 10.1/kpts-II/2000 tentang Pedoman Pemberian Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Tanaman dan Kepmenhut No. 21/Kpts-II/2001 tentang kriteria dan standar ijin Usaha Pemanfaataan Hasil Hutan Kayu-Hutan Tanaman pada Hutan Produksi. Ijin itu dikeluarkan pada tahun 2002 dan 2002. Sementara luas kawasan hutan yang diberikan ijin seluas 120.000 ha.
Pada tahun 2002, PP no 6 tahun 1999 diganti dengan PP No 34 tahun 2002. Pasal 30 PP No. 34/2002 ini menentukan bahwa Usaha pemanfaatan hasil hutan pada hutan tanaman, dilaksanakan pada lahan kosong, padang alang-alang dan atau semak belukar di hutan produksi. Dalam kenyataannya, pemberian IUPHHK-HT yang dilakukan Tengku Azmun Jaafar itu ternyata lokasi usahanya tidak berada di areal Hutan Tanaman, tetapi malah di Hutan Alam. Bahkan ada lokasi IUPHHK-HT-nya berhimpitan dengan areal HPH lain [yakni, PT Yos Raya Timber]. Lucunya adalah departemen Kehutanan tidak berkeberatan dengan adanya tumpang tindih lahan IUPHHK- HT dengan HPH tersebut, setelah ada surat resmi tidak keberatan dari PT Yos Raya Timber.
Dengan ijin yang dikeluarkannya itu, Tengku Azmun Jaafar diduga telah memperkaya orang lain dan perusahaan, termasuk sanak saudaranya dan selain itu juga menerima gratifikasi.
Pasal yang didakwakan adalah Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 3 UU no 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke -1 dan Pasal 64 KUHP.
Dalam persidangan terungkap bahwa pemberian IUPHHK-HT itu ternyata hanya akal-akalan saja. Selain tidak kompeten, 6 perusahaan diantaranya sengaja dibuat dan diberikan ijin untuk selanjutnya dijual kepada PT Persada Karya Sejati, anak perusahaan RAPP [keterangan berbeda dikeluarkan oleh PT PKS, buka enam perusahaan, melainkan 5 perusahaan yang diambil alih oleh PT PKS].
Keterlibatan RAPP bukan hanya itu, karena PT PKS juga menjalin Kerjasama operasi dengan dua perusahaan yang juga didalamnya ada keterlibatan Tengku Azmun Jaafar yakni PT Madukoro dan CV Harapan Jaya.
Dalam putusan hakim, Tengku Azmun Jaafar terbukti secara sah melakukan tindakan korupsi [memperkaya diri sendiri dan orang lain] dan menghukum Tengku Azmun Jaafar selama 11 tahun 5 bulan dan diharuskan membayar denda sebesar 500 juta. Selain itu Tengku Azmun Jaafar diwajibkan membayar uang pengganti sebesar 12, 367 miliar subsider 4 tahun penjara. Putusan ini setahun lebih rendah dari tuntutan jaksa yang meminta hakim menghukum tengku Azmun Jaafar selama 12 tahun penjara dan denda 500 juta subsider 5 bulan penjara serta membayar uang pengganti sebesar 19, 83 miliiar.
C. Buah Otonomi Daerah?
Menurut keterangan saksi, Bambang Pudji Suroto, salah satu dasar pemberian ijin adalah kebijakan otonomi daerah terutama dalam bagian bahwa pemerintah daerah berperan dalam membuat perencanaan kehutanan sesuai dengan wilayah kewenangannya. Kewenangan itu diberikan berdasarkan UU 41/1999 jo PP no 6 thn 1999 serta UU 22/1999 jo. PP no 25 tahun 2000. Kewenangan itu kemudian dijabarkan dalam Kepmenhut No. 10.1/Kpts-II/2000 dan Kepmenhut No 21/Kpts-II/2001 Kriteria dan Standar Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman pada
Hutan Produksi [lihat lampirannya; membagi kewenangan pemberian IUPHHK-HT antara Bupati, Gubernur dan Manteri Kehutanan - aturan ini dikeluarkan pada 31 Januari 2001].
Tapi - karena keterbatasan data mana perusahaan yang dikeluarkan pada tahun 2002 dan 2003 - kewenangan bupati untuk mengeluarkan IUPHHK-HT sudah dicabut dengan PP no 34 tahun 2002 [dikeluarkan pada 8 Juni 2002]. Sehingga IUPHHK-HT yang dikeluarkan pada tahun 2003 dengan sendirinya batal demi hukum. Karena yang berwenang memberikan IUPHHK-HT adalah Menteri Kehutanan; sedangkan fungsi dari Bupati/walikota atau gubernur sebatas memberikan rekomendasi [Pasal 42]. Bahkan tata cara pemberian IUPHHK-HT tidaklah dengan cara permohonan, sebagaimana diberikan oleh Bupati Tengku Azmun Jaafar, tetapi diganti dengan cara penawaran dalam pelelangan [Pasal 43].
Bisakah Bupati Tengku Azmun Jaafar berlindung dengan ketentuan peralihan PP No. 34/2002? Ketentuan peralihan PP 34/2002 menyebutkan:
c. terhadap permohonan HPH kayu pada hutan alam dan hutan tanaman baik untuk perpanjangan maupun permohonan baru, yang sudah sampai pada tingkat persetujuan prinsip, proses penyelesaiannya dengan cara pengajuan permohonan.
d. Terhadap permohonan HPH kayu pada hutan alam dan hutan tanaman baik untuk perpanjangan maupun permohonan baru yang belum sampai tingkat persetujuan prinsip, proses penyelesaiannya dilakukan dengan cara pelelangan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah ini.
Kapan persetujuan prinsip itu diberikan? Menurut Kepmenhut No. 21/Kpts-II/2001, persetujuan prinsip dikeluarkan oleh Bupati berupa persetujuan pada prinsipnya disetujui areal hutan seluas tertentu yang setelahnya ada kewajiban untuk menyusun AMDAL atau UKL/UPL. Lagi-lagi penulis tidak mengetahui IUPHHK-HT mana dari 15 perusahaan itu yang sudah mendapatkan persetujuan prinsip sehingga tata cara pemberiannya harus dilakukan dengan pemohonan.
Tapi apakah dengan sendirinya Kepmenhut 10.1/Kpts-II/2000 serta Kepmenhut No. 21/Kpts-II/2001 tidak lagi berlaku karena bertentangan dengan PP no 34/2002 sementara jelas-jelas peraturan pelaksana dari PP no 34/2002 terkait pemberian ijin IUPHHK-HT dengan pelelangan belum dibuat? Ini memang membingungkan. Secara de yure, kedua Kepmenhut itu memang tidak lagi berlaku karena isinya bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Namun secara de facto, dua kepmenhut itu masih terus berlaku, sepanjang materi yang tidak bertentangan dengan isi PP no 34/2002.
Kedua Kepmenhut itu sendiri memang pada akhirnya dicabut dengan kepmenhut no 32/Kpts-II/2003 pada tanggal 5 Februari 2003.
Dengan demikian kewenangan Bupati/walikota serta Gubernur memberikan ijin IUPHHK-HT berlaku antara 6 November 2000 sampai dengan 7 Juni 2002; tetapi pengaturan selanjutnya akibat pemberian ijin itu tetap mengikuti dua kepmenhut itu sampai pada tanggal 5 Februari 2003. Bisa dikatakan pada masa antara itulah seharusnya pemberian ijin IUPHHK-HT dikatakan sah secara hukum.
Sepertinya persoalan legalitas pemberian kewenangan selesai sampai di sana. Sejatinya tidak. Karena pemberian kewenangan Bupati/Walikota dan gubernur dalam urusan kehutanan sebenarnya berpijak pada aturan Otonomi daerah, yakni UU no 22/1999 serta PP No 25/2000. Sehingga alasan ini bisa jadi dipakai oleh Bupati Tengku Azmun Jaafar ketika mengeluarkan IUPHHK-HT tahun 2003.
Tetapi dalam pandangan penulis, kewenangan otonomi daerah itu bersifat umum, sementara dalam hal kehutanan, sifatnya lebih khusus, sehingga idealnya adalah ada koordinasi yang lebih bagus antara kebijakan otda dengan kehutanan. Jika tidak ada kondisi ideal itu, maka aturan tentang kehutanan seharusnya dibicarakan terlebih dahulu atau dijadikan dasar ketika membicarakan soal desentralisasi dalam kehutanan.
Pengadilan Tipikor sendiri sepertinya tidak mempermasalahkan apakah ada dari 15 IUPHHK-HT itu yang batal demi hukum karena bukan [lagi] bupati yang berwenang mengeluarkan ijin IUPHHK-HT. Sebaliknya Pengadilan Tipikor hanya mempermasalahkan pemberian ijin diberikan pada perusahaan yang tidak kompeten untuk melaksanakan usaha pemanfaatan kayu. Jika saja pengadilan Tipikor mempertimbangkan masalah barusan maka unsur melawan hukum dari tindakan Azmun tambah kelihatan lagi.
D. Apakah hanya Tengku Azmun Jaafar yang bersalah?
Dalam persidangan, Tengku Azmun Jaafar memang selalu merasa didholimi, karena hanya dirinya saja yang berada di kursi pesakitan. Pemberian ijin IUPHHK-HT sebenarnya berbentuk proses; pastinya ada pejabat lain, bisa di bawah atau bahkan di atas Tengku Azmun Jaafar yang terlibat atau setidaknya mengetahui duduk perkara pemberian ijin itu.
Salah satu masalah yang tengku Azmun Jaafar sorot adalah dikeluarkannya RKT atau Rencana Kerja Tahunan serta BKT-UPHHK-HT pada 10 dari 15 perusahaan tersebut oleh Gubernur Riau, Rusli Zainal, pada awal tahun 2004.
Pemberian RKT dan BKT memang dilakukan setelah ijin IUPHHK-HT diberikan. Ada dua Kepmenhut yang menurut penulis berlaku ketika IUPHHK-HT Tengku Azmun Jaafar diberikan dan RKT-BKT dikeluarkan oleh Gubernur Riau, yakni Kepmenhutbun No. 314/Kpts-II/1999 dan penggantinya, Kepmenhut No. 151/Kpts-II/2003.
Menurut Kepmenhutbun 314/Kpts-II/1999, RKT baru bisa dikeluarkan setelah Rencana karya Pengusahaan Hutan [RKPH] dan Rencana Karya Lima Tahun Pengusahaan Hutan [RKL-PH] disahkan oleh pejabat berwenang. RKPH sendiri disahkan oleh Dirjen Pengusahaan Hutan Produksi sementara RKL-PH disahkan oleh Direktur Pengembangan Kelembagaan Usaha - Dirjen Pengusahaan Hutan Produksi. Sementara BKT baru diberikan kepada pemegang IUPHHK-HT/HPH yang RKT-nya belum disetujui atau belum mengusulkan RKT. Pemberi ijin dari BKT ini adalah Kakanwil Dephutbun Provinsi.
Begitu juga menurut Kepmenhut No 151/Kpts-II/2003, RKT baru bisa dberikan setelah permohonan Rencana Kerja Usaha Pemanfataan Hasil hutan Kayu-Hutan Tanaman [RKUPHHK_HT] dan Rencana Kerja Lima Tahun Pemanfaatan Hasil Hutan kayu-Hutan Tanaman [RKLPHHK-HT] disahkan oleh pejabat berwenang, yakni Dirjen BPK atas nama Menteri. Sementara BKU baru diberikan jika RKUPHHK-HT dan/atau RKLPHHK-HT-nya belum disahkan. BKU itu sendiri dberikan oleh Kadishut provinsi.
Dari dua Kepmenhut itu terlihat bahwa Gubernur Riau sama sekali tidak mempunyai kewenangan untuk memberikan RKT atau BKT kepada 10 Perusahaan tersebut. Padahal dengan RKT/BKU-lah sebuah perusahaan pemegang IUPHHK-HTbisa secara aktual melakukan usaha pemanfaatan kayu, termasuk penebangan kayu sebagaimana dilakukan oleh ke-15 perusahaan tersebut. Dilihat dari segi ini, Rusli Zainal secara sangat fatal melakukan pelanggaran hukum karena dia tidak mempunyai kewenangan memberikan RKT-BKU.
Selain mempertanyakan bagaimana status Gubernur Riau, Rusli Zainal, pertanyaan lebih lanjut muncul: dari ke-15 perusahaan itu siapa saja yang sudah mengantongi RKUPH/RKLPH atau RKUPHHK-HT/RKLPHHK-HT? Siapakah pejabat kehutanan yang memberikan keempat jenis ijin tersebut? Dari uraian di atas terlihat bahwa pejabat di Departemen Kehutanan [Pemerintah pusat] juga diduga terlibat dalam masalah ini atau setidaknya mengetahui permasalahan tersebut.
Keterlibatan pemerintah pusat juga terlihat karena pada tahun 2005 melakukan verifikasi pada sejumlah IUPHHK-HT yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah baik gubernur maupun bupati. Verifikasi itu dimaksudkan memberikan kepastian hukum atas IUPHHK yang diterbitkan oleh Gubernur atau Bupati/Walikota dengan tujuan agar pemanfaatan hutan dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dasar verifikasi bagi IUPHHK-HT adalah Permenhut P.3/Menhut-II/2005.
Hasil dari verifikasi itu yang ada hubungannya dengan kasus Tengku Azmun Jaafar ini adalah adanya 7 dari 15 perusahaan yang lolos verifikasi dari Dephut. Salah satunya adalah CV Tuah Negeri dengan SK Bupati Pelalawan No. 522.21/IUPHHKHT/I/2003/006 tertanggal 25 Januari 2003. CV Tuah Negeri ini mendapatkan pembaruan ijin dari Menteri Kehutanan dengan SK No. 215/Menhut-II/2007 tanggal 28 Mei 2007.
Menariknya adalah dasar dari diloloskan atau tidaknya dari verifikasi ini adalah Kepemenhut No. 10.1/kpts-II/2000 dan Kepmenhut No. 21/Kpts-II/2001. Dalam kedua Kepmenhut itu disebutkan bahwa Peta dan citra satelit menjadi syarat dalam permohonan IUPHHK-HT yang sayangnya tidak diberikan/tidak disediakan oleh perusahaan yang lolos verifikasi. Sehingga verifikasi tidak berjalan sebagaimana seharusnya sebagaimana diminta Permenhut P.03/Menhut-II/2005. Akibatnya adalah ketidaktahuan tim verifikasi bahwa kawasan yang diberikan IUPHHK-HT adalah kawasan hutan alam dan bukannya kawasan yang keadaan vegetasinya sudah tidak berupa hutan alam atau areal bekas tebangan.
Tetapi Tim verifikasi tokh tetap menyerahkan hasil verifikasinya ke Menteri Kehutanan untuk diperbaharui ijinnya. Alasannya adalah adanya Kepmenhut No 162/Kpts-II/2003 yang menegaskan diharuskannya penanaman Hutan Tanaman untuk memenuhi keperluan industri pulp dan kertas.
Pada titik ini hubungan antara kasus ini dengan perusahaan besar pulp dan kertas di Riau mendapatkan jalannya. 7 perusahaan yang diloloskan verifikasi itu diduga ada afiliasinya dengan perusahaan RAPP lewat pengambilalihan oleh PT PKS [Anak Perusahaan RAPP] atau dari kerja sama Operasi. Belum lagi jika dihubungkan dengan gratifikasi yang didapatkan oleh Bupati Azmun. Sementara UU Korupsi sendiri menentukan bahwa pemberi dan penerima suap sama-sama dapat dihukum.
Mencari pertanggung jawaban dari RAPP memang perlu tenaga ekstra. Hal ini disebkan adanya penegasan bahwa PT PKS secara struktural tidak ada kaitannya dengan RAPP [walaupun pernyataan ini dibantah oleh saksi Rumansa, komisaris PT PKS].
RAPP, misalnya, tidak dapat diminta pertanggungjawaban dari 7 perusahaan yang ijinnya tidak benar yang diambilalih olehnya. Apalagi kemudian ke 7 perusahaan itu mendapatkan pembaharuan ijin dari Dephut; yang bisa dikatakan menganulir cacat kelahiran IUPHHK-HT perusahaan tersebut. Posisi RAPP sebagai pihak “pembeli” atau pihak kedua dalam kerja sama operasi memang menguntungkan posisinya. Jika ada yang cacat, maka pihak “penjual-lah” yang bisa dimintai pertanggung jawaban. Tampak bahwa RAPP berposisi sebagai “korban”.
Tetapi walaupun demikian, RAPP jelas telah diuntungkan dengan adanya IUPHHK-HT cacat yang diambil alih olehnya itu. Setidaknya, sudah jelas ada kayu yang ditebang dan diangkat dari areal IUPHHK-HT itu untuk keperluan RAPP. Sejumlah itulah, dalam pandangan penulis, yang bisa dimintakan pertanggung jawaban kepada RAPP.
Atau jika memang sudah jelas faktanya, misalnya secara nyata RAPP mengetahui bahwa perusahaan yang akan diambilalih olehnya itu cacat dan tidak kompeten untuk mendapatkan IUPHHK-HT, maka RAPP bisa diposisikan sebagai “penadah” jika diasosiasikan dengan tindak pencurian.
Yurispendensi atas hal di atas sudah ada, yakni pada kasus Martias dimana Martias diharuskan mengembalikan ke Negara sejumlah uang dari hasil penebangan kayu dari 10 perusahannya yang bekerja tidak sesuai dengan ijinnya. Tetapi status perusahaannya itu tetap tidak dianggap sebagai pelaku korupsi. Begitu juga dengan Kasus Adelin Lis, di mana aka nada upaya sita terhadap harta kekayaan Adelin Lis untuk mengganti kerugian Negara yang diakibatkan tindakan korupsinya.
Untuk lebih gampangnya, siapa yang harus mengembalikan kerugian Negara sebesar 1, 208 trilliun sebagai akibat lahirnya ijin IUPHHK-HT itu yang dimanfaatkan RAPP?
Tantangannya bagi aparat penegak hukum adalah mendudukkan perusahaan sebagai salah satu pihak yang bisa dimintai pertanggung jawaban dalam kasus korupsi [misalnya, pemberian suap atau gratifikasi] dan tidak hanya bertumpu pada pertanggung jawaban individu.
24 Januari 2008
Pengawasan DPR pada KKS Migas di Indonesia
Ini hanya monitoring dari jauh saja sebuah kasus Judicial Review yang dimohonkan oleh delapan anggota DPR atas UU No 22 tahun 2001 tentang Migas kepada Mahkamah Konstitusi. No perkaranyanya adalah 20/PUU-V/2007. Judicial Review ini merupakan Judicial Review yang kedua atas UU yang sama.
Kasus ini menarik karena pemohon adalah anggota DPR yang merasa hak konstitusionalnya terugikan dengan Pasal 11 Ayat 2 UU Migas yang menyatakan bahwa KKS hanya perlu diberitahukan secara tertulis kepada DPR dan bukannya disetujui oleh DPR. Pemohon berpendapat bahwa KKS adalah salah satu jenis dari Perjanjian Internasional lainnya [Pasal 11 Ayat 2 UUD 1945] yang karenanya memerlukan persetujuan dari DPR.
Selain itu Pasal 11 Ayat 2 UU Migas bertentangan pula dengan Pasal 20A Ayat 1, Pasal 33 Ayat 3 dan Pasal 33 Ayat 4 UUD 1945. Singkatnya Pasal dalam UU Migas itu tidak menghormati fungsi pengawasan DPR, tidak sesuai dengan konsep "hak menguasai negara" atas SDA dan dengan prinsip perekonomian nasional yang dijalankan dengan prinsip kebersaman, efesiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, dan serta menjaga keseimbangan antara kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional
Jalannya Persidangan
Diawali dengan permohonan dari pemohon [Zainal Arifin, Sonny Keraf, Alvin Lie, Ismayatun, Hendarso Hadiparnomo, Bambang Wuyanto, Dradjat Wibowo, Tjatur Sapto Edi] pada tanggal 9 Juli 2007. Sidang dimulai pada 1 Agustus 2007 dan pembacaan keputusan pada tanggal 17 Desember 2007. Keterangan yang didengarkan adalah dari Pemerintah, dari DPR, serta masing-masing dua ahli dari pemerintah [Hikmahanto Juwana dan Zen Purba] dan pemohon [Ryad Chairil dan Muhammad Sair Nisar].
Duduk Soal
Bagi 8 anggota DPR:
1. Anggota DPR punya legal standing dan karenanya bisa mengajukan JR.
2. KKS telah bertentangan dengan UUD 1945 karena tidak disetujui terlebih dahulu oleh DPR. Hal itu disebabkan karena KKS adalah salah satu contoh dari "perjanjian internasional lainnya" sebagaimana diatur dalam Pasal 11 Ayat 2 UUD 1945 yang karenanya harus terlebih dahulu mendapatkan persetujuan dari DPR. Sementara berdasarkan Pasal 11 Ayat 2 UU Migas, KKS hanya perlu diberitahukan secara tertulis kepada DPR.
3. Ketiadaan pengawasan dari DPR itu telah menyebabkan pihak pemohon mengalami kerugian konstitusional yang spesifik dan aktual atau potensial mengalami kerugian.
Bagi Pemerintah
1. KKS adalah masalah Bisnis; bukan masalah publik karenanya KKS tidaklah diatur dengan hukum internasional sehingga tidak masuk dalam pengertian "perjanjian internasional" lainnya.
2.Posisi sebagai anggota DPR dipertanyakan legal standingnya. Contohnya karena mereka juga terlibat dalam pembuatan UU Migas - thus seharusnya bukan JR, tetapi amandemen UU Migas atau legislatif review.
Putusan MK No. 20/PUU-V/2007
Keputusan MK adalah Tidak Menerima Permohonan - lebih karena tidak adanya legal standing bagi anggota DPR yang mengajukan permohonan itu. Pokok Masalah itu sendiri karenanya tidak diperiksa.
Tetapi ada dua keputusan berbeda [Dissenting opinion] dari Hakim Harjono dan Maruarar Siahaan, yang keduanya berpendapat bahwa pemohon yang anggota DPR mempunyai legal standing mengingat bahwa UUD 1945 telah memberikan hak konstitusional baik kepada anggota DPR maupun kepada DPR-nya sendiri. Hak konstitusional itu harus dijaga dan dihormati. Selain itu UUD 1945 adalah hukum materiil dan hukum formil atau acaranya adalah UU MK; dengan demikian, jika ada subjek hukum yang diberikan hak oleh konstitusi, maka UU MK harus memberikan jalan pada subjek hukum itu untuk mempertahankan atau mengajukan gugatan.
DPR telah diberikan Hak oleh konstitusi berupa fungsi untuk mengawasi jalannya eksekutif. Hak mengawasi itu baru akan jalan jika dijalankan oleh anggota DPR. Dalam UU Susduk DPR disebutkan bahwa salah satu hak anggota DPR adalah mengajukan pendapat. Dengan demikian, Hak mengawasi DPR baru bisa jalan jika hak mengajukan pendapat anggota DPR dijalankan. Pada posisi inilah Anggota DPR bisa memohonkan dan berhak mendapatkan Legal Standing untuk mengajukan Judicial Review.
Alasan lainnya adalah sama dengan keputusan MK dalam perkara JR UU Praktek Kedokteran dimana MK menerima legal standing dari anggota warga negara dalam kedudukannya sebagai dokter [karena UU itu mengatur mengenai dokter] dan menolak legal standing warga negara lain karena kedudukannya sebagai pasien.
Dalam memeriksa pokok perkaranya, keputusan berbeda ini [dissenting opinion] sejalan dengan pendapat Pemerintah yang berpendapat bahwa KKS adalah masalah hukum perdata sehingga dia tidak termasuk dalam pengertian "perjanjian Internasional" sebagaimana ditentukan dalam Pasal 11 ayat 2 UUD 1945 atau sebagaimana disebutkan dalam konvensi Wina. Dengan demikian menolak permohonan pemohon bahwa Pasal 11 Ayat 2 UU Migas bertentangan dengan Pasal 11 Ayat 2 UUD 1945.
Tetapi, keputusan berbeda ini mengabulkan keberatan pemohon dalam masalah tidak adanya kewenangan pengawasan dari DPR dalam pengurusan KKS yang berupa pemberian persetujuan DPR kepada kontrak KKS. Karena selama ini, berbeda dengan permohonan bagi KK/PKP2B yang diharuskan adanya konsultasi terlebih dahulu dengan DPR, dalam hal KKS hanya perlu dengan pemberitahuan secara tertulis kepada DPR. Padahal semua kontrak dimaksud mengatur persoalan yang sama yakni SDA yang dalam konstitusi pengurusannya didasarkan pada pasal 33 ayat 3 UUD 1945. Sehingga Pasal 11 ayat 2 UU Migas bertentangan dengan UUD 1945 dalam hal ketiadaan pengawasan dari DPR atau bertentangan dengan Pasal 20A UUD 1945 tentang Hak pengawasan DPR. Selain itu Pasal 11 Ayat 2 UU Migas juga bertentangan dengan mekanisme standar pengurusan kekayaan sumberdaya alam yang dikuasai negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat atau bertentangan dengan Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945.
Komentar
Sangat disayangkan sebenarnya kasus ini tidak diterima karena hanya masalah ketiadaan legal standing dari pihak pemohon. Padahal jika bisa diteruskan pemeriksaan pada pokok perkaranya, barangkali akan sangat menarik. Karena setidaknya akan memperjelas pengaturan/pengelolaan SDA bahan galian strategis yang dimiliki Indonesia. Memang, agak terlalu memaksakan jika KKS dimasukkan sebagai contoh dari Perjanjian internasional lainnya sebagaimana diinginkan oleh pemohon karena sepertinya ada perbedaan subjek hukum yang kentara antara subjek hukum internasional dengan subjek hukum perdata.
Tetapi apakah KKS perlu terlebih dahulu disetujui DPR? Ini tergantung bagaimana negara ini memandang arti penting dan strategis migas. Dan sangat kentara bahwa migas ini sangat penting dan strategis, sehingga keterlibatan DPR seharusnya ada. Ini juga untuk mengharmonisasikan dengan kontrak-kontrak dalam wilayah kekayaan mineral strategis seperti KK/PKP2B dimana kontraknya harus terlebih dahulu dikonsutasikan dengan DPR. Keterlibatan DPR ini harus sedari awal, bukan setelah KKS itu jadi, dimana jika ada keberatan akan lebih sulit lagi dirubah karena adanya term tentang penyelesaian sengketa yang walaupun secara keseluruhan KKS ini tunduk pada hukum Indonesia tetapi biasanya penyelesaian perkara selalu di tingkat arbitrase internasional. Nah yang mungkin harus dipikirkan adalah keterlibatan sedari awal DPR itu bagaimana: apakah memberikan persetujuan atau memberikan rekomendasi?
Keterlibatan di awal DPR ini penting karena selama ini KKS/PSC yang disetujui sudah berada di luar yang diinginkan bahkan oleh pemerintah sendiri. KKS belum memenuhi semua amanat Pasal 11 Ayat 3 UU Migas mengenai ketentuan-ketentuan pokok yang harus diatur lebih detil dalam KKS. Misalnya saja UU Migas menginginkan pengutamaan pamanfaatan barang dan jasa dalam negeri sebagai ketentuan pokoknya; tetapi KKS hanya mengaturnya sebagai salah satu sub pasal dari bab tentang Hak dan Kewajiban para pihak. Termasuk juga masalah pengelolaan lingkungan hidup. Padahal dalam KK dan PKP2B ketentuan pngelolaan lingkungan hidup disebutkan secara detail dalam Bab tersendiri.
Jika memang "setan ada di dalam detil" maka KKS terlihat terlalu umum dan tidak detail sehingga banyak lubang kosong. Padahal kontrak ini punya kedudukan yang penting dalam kerjasama antara pemerintah dengan kontraktor. Contoh lain adalah masalah Kahar yang tidak diatur dengan detail dalam KKS tetapi dalam KK diatur dengan detail termasuk detail apa dan siapa yang harus di[-me]lakukan ketika kahar terjadi. Kejelasan dan detailnya kontrak ini bisa menghindari perselisihan penafsiran atas ketentuan dalam kontrak.
Nah karena JR ini tidak diterima yang dengan demikian DPR hanya akan diberitahukan secara tertulis KKS yang sudah ditandatangani pemerintah c.q. BP Migas, sementara tampak jelas bahwa ada "tuntutan rakyat" yang tidak diakomodasi dalam KPS, maka sewajarnya:
1. pengawasan DPR terhadap pemerintah dalam soal KKS dan, dalam hal lebih luas migas ini harus diperkuat lagi, misalnya meminta pemerintah untuk melakukan amandemen KKS sehingga sesuai dengan amanat UU Migas.
2. Pemerintah harus segera membuat PP tentang pedoman, tata cara dan syarat-syarat KKS sebagaimana diamanatkan dalam pasal 18 UU migas [sudah masuk dalam draft kerangka regulasi migas-nya ESDM versi Februari 2007, tetapi nampaknya tidak ada kemajuan]. PP Ini dimaksudkan untuk mengganti PP No 35 Tahun 1994 tentang pedoman PSC yang sudah isinya sudah banyak yang harus diamandemen. Salah satu yang harus masuk adalah memperjelas definisi Cost Recovery termasuk apa apa yang dimasukkan sebagai CR dan apa yang bukan [Barangkali terlalu tinggi kalau diatur dalam PP, tetapi bisa saja uraian detailnya diatur kemudian dengan Keppres atau Kepmen].
3. Harus ada transparansi [terutama dari departemen sektoral energi dan mineral, hehehe, sulit bener dapat KKS atau kontrak2 pertambangan lainnya]. Ini memudahkan pengawasan dari luar "jalur formal" kayak dari masyarakat.