13 Juni 2012

Prinsip Clear and Clear dalam Penyediaan tanah bagi kepentingan transmigrasi

Kemarin, saya mengikuti satu diskusi yang menarik di Gedung Kemenakertrans soal penerapan prinsip clean and clear dalam penyediaan tanah bagi kawasan transmigrasi. Diskusinya berupa pemaparan riset yang dikerjakan oleh Yayasan Merah Putih dengan dukungan pendanaan dari FPP dan HuMa. Risetnya sendiri berlokasi di lima lokasi transmigrasi di Sulawesi Tengah dan bersifat deskriptif, disertai dengan berbagai foto-foto survey (yang kadang tidak berhubungan langsung dengan yang sedang dibicarakan; tetapi justru memperlihatkan belum maksimalnya kinerja pemerintah dalam soal transmigrasi dan masalah ikutan lainnya. Misalnya, foto fasilitas umum yang terbengkalai).

Penemuan riset ini sebenarnya tidak mengagetkan, karena halangan terbesarnya merupakan masalah laten dalam birokrasi kita: koordinasi lemah dan tidak simetrisnya informasi serta konflik kepentingan. Koordinasi lemah tidak hanya di internal Departemen Kemenakertrans sendiri, tetapi juga antar lembaga pemerintah, terutama dengan pemerintah daerah (merasa dilewati, dst). Informasi tidak simetris ini mungkin berhubungan dengan kapasitas dan kapabilitas aparat birokrasi. Lucunya, banyak aparat di daerah yang belum tahu prinsip clean and clear (2C) sebagaimana diatur dalam Permen no. 15 Tahun 2007. Konflik kepentingan? ada tarik menarik kepentingan dalam mendapatkan suara bagi pilkada atau pemekaran daerah. Apalagi yang dimaksud transmigrasi sekarang tidak lagi memindahkan orang dari luar daerah (biasanya Jawa/Bali), tapi juga ada transmigran lokal, yakni penduduk lokal yang ikut dalam program transmigrasi.

Dalam suasana seperti itu memang sulit menerapkan prinsip clean and clear. Perbedaan data nyata hadir karena memang koordinasi lemah/info tidak simetris. Menurut satu data, ada sebagian wilayah pemukiman transmigrasi yang masuk dalam kawasan hutan, tapi data dari lembaga pemerintah lain menyebutkan sebaliknya. 
Tapi, memang, hukum di Indonesia memang unik sekaligus amburadul. Dalam suasana ketidakpastian, misalnya, sebenarnya tidak boleh ada orang dalam kawasan hutan, tapi kenyataannya ada, menimbulkan "terobosan-terobosan' khas lokal yang jika dilihat dari sisi kepastian hukum bisa bikin pening kepala. Bantuan pembangunan tetap masuk, sekolah didirikan, jalan dibentangkan, walaupun itu kawasan hutan lindung sekalipun. Di sisi lain, ada ketegangan dengan yang ingin "menegakan hukum" yang terus menerus mengganggu "realitas". Apalagi ketika kepentingan politik masuk. Makin amburadul, chaotic.
Dalam suasana seperti itu, konflik, kemenangan/kekalahan, tidak bisa didefinisikan atau dimampatkan ke dalam suatu ruang-waktu pasti. Ia selalu fluid, cair, menunjukan situasi terkini dari setiap aktor dan lingkungan yang ada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar