04 September 2012
"Pengadilan hanya untuk orang miskin": Thailand
Berita tentang cucu anak konglomerat pemilik merek Red Bull yang menabrak dan menyeret sejauh 200 meter mayat polisi itu sedang menjadi perbincangan hangat di media dan media sosial Thailand. Tidak ada yang bersimpati pada si cucu itu; semuanya ingin melihat keadilan ditegakkan, di pengadilan. Namun melihat tabiat pengadilan Thailand sendiri yang secara terang-terangan bersikap lunak pada para koruptor, tukang tipu pajak, penabrak mati 10 orang karena dia seorang kaya dan ningrat, mengembalikan kepesimisan dalam berita-berita dan gerundelan yang tertangkap di media sosial.
Pengadilan yang kotor, sistem pemerintahan yang tidak melihat "konflik kepentingan" sebagai sebuah masalah adalah dua hal dari selain hal kotor, abu-abu lainnya yang juga tumbuh subur di sini. Tidak ada aturan perundang-undangan yang mengatur soal konflik kepentingan pejabat di sini. Anda bisa temui seorang pejabat di sebuah departemen menjadi direktur atau direktur bayangan di sebuah perusahaan yang melakukan tender di departemennya dan dia bisa mengakuinya dengan tertawa. Dia dan juga kita diam-diam malah mengagumi kelicikannya itu. "Tidak penting lagi apa yang kamu tahu dan kamu usahakan; yang penting adalah siapa yang kamu kenal. Semua orang Thailand merasa jijik dengan hal itu, tapi kita tetap menerimanya." kata komentator politik di berita itu. Benar. Kita juga di sini, diam-diam atau terus terang, menerima hal itu sebagai "norma-norma sosial". Menyedihkan memang, tapi kita akan membawa dalam hidup kita sebagai kewajaran.
13 Juni 2012
Prinsip Clear and Clear dalam Penyediaan tanah bagi kepentingan transmigrasi
Penemuan riset ini sebenarnya tidak mengagetkan, karena halangan terbesarnya merupakan masalah laten dalam birokrasi kita: koordinasi lemah dan tidak simetrisnya informasi serta konflik kepentingan. Koordinasi lemah tidak hanya di internal Departemen Kemenakertrans sendiri, tetapi juga antar lembaga pemerintah, terutama dengan pemerintah daerah (merasa dilewati, dst). Informasi tidak simetris ini mungkin berhubungan dengan kapasitas dan kapabilitas aparat birokrasi. Lucunya, banyak aparat di daerah yang belum tahu prinsip clean and clear (2C) sebagaimana diatur dalam Permen no. 15 Tahun 2007. Konflik kepentingan? ada tarik menarik kepentingan dalam mendapatkan suara bagi pilkada atau pemekaran daerah. Apalagi yang dimaksud transmigrasi sekarang tidak lagi memindahkan orang dari luar daerah (biasanya Jawa/Bali), tapi juga ada transmigran lokal, yakni penduduk lokal yang ikut dalam program transmigrasi.
Dalam suasana seperti itu memang sulit menerapkan prinsip clean and clear. Perbedaan data nyata hadir karena memang koordinasi lemah/info tidak simetris. Menurut satu data, ada sebagian wilayah pemukiman transmigrasi yang masuk dalam kawasan hutan, tapi data dari lembaga pemerintah lain menyebutkan sebaliknya.
Tapi, memang, hukum di Indonesia memang unik sekaligus amburadul. Dalam suasana ketidakpastian, misalnya, sebenarnya tidak boleh ada orang dalam kawasan hutan, tapi kenyataannya ada, menimbulkan "terobosan-terobosan' khas lokal yang jika dilihat dari sisi kepastian hukum bisa bikin pening kepala. Bantuan pembangunan tetap masuk, sekolah didirikan, jalan dibentangkan, walaupun itu kawasan hutan lindung sekalipun. Di sisi lain, ada ketegangan dengan yang ingin "menegakan hukum" yang terus menerus mengganggu "realitas". Apalagi ketika kepentingan politik masuk. Makin amburadul, chaotic.
Dalam suasana seperti itu, konflik, kemenangan/kekalahan, tidak bisa didefinisikan atau dimampatkan ke dalam suatu ruang-waktu pasti. Ia selalu fluid, cair, menunjukan situasi terkini dari setiap aktor dan lingkungan yang ada.
17 April 2010
Ijin Pinjam Pakai dan Pemenuhan Target Lifting Minyak
Sebuah berita dari Kompas mengurai peranan Ijin Pinjam Pakai dari Departemen Kehutanan dalam memenuhi target pemerintah dalam soal “lifting” minyak. Berita itu secara tidak tersirat pandangan sektor lain pada sektor kehutanan yang dianggap sebagai batu panghalang “pembangunan”. Dalam catatan BP Migas, ada potensi minyak sekitar 100 juta barel yang “terkunci” karena tidak ada ijin dari Departemen Kehutanan. Diperkirakan, jika Ijin Pinjam Pakai itu dipercepat, maka dalam tahun 2014, target lifting pemerintah bisa tercapai. Saat ini Indonesia defisit minyak bumi lebih dari 300ribu barel per hari dimana defisit itu dipenuhi dengan impor.
Departemen Kehutanan sendiri akan berusaha memenuhi kepentingan itu. BP Migas sendiri menyatakan bahwa untuk lahan yang dipergunakan kepentingan perminyakan tidaklah luas dan dilakukan di dalam tanah.
Dalam banyak hal, saya selalu menghadapi dilema, antara kepentingan energi dan perlindungan lingkungan hidup. Saya tentu akan mendukung usaha pemerintah untuk mengurangi kemiskinan lewat peningkatan akses energi bagi setiap warga negara. Itu Hak Asasi yang harus dipenuhi. Tapi kok kenapa kita masih terus bergantung pada sumber energi yang tidak terbarukan seperti minyak bumi? Dan kesadaran ini tidak lahir kemarin sore, tetapi sudah disadari bahkan ketika Indonesia mengalami bom minyak di pertengahan tahun 1980-an.
Seingat saya sudah ada kebijakan dan peraturan yang dibuat untuk mendukung peningkatan energi terbarukan dalam bauran energi kita. Tetapi akselerasinya selalu lambat, dan dalam pandangan saya itu terjadi bukan karena tidak ada kemauan dan usaha dari para stakeholder energi terbarukan, tetapi karena surplus/rente yang didapat dari perminyakan itu luar biasa banyak. Belum lagi soal infrastruktur perminyakan yang sudah mapan dan didukung penuh oleh pemerintah, misalnya dengan memberikan subsidi BBM atau juga subsidi pajak lainnya. Alokasi subsidi pajak dalam APBN-P 2010 bisa dijadikan contoh. Subsidi pajak bagi kegiatan eksplorasi minyak mencapai 2,5 trilliun rupiah sementara subsidi pajak bagi energi terbarukan [panas bumi dan BBN] sekitar 724,3 miliar rupiah. Itu hanya untuk kegiatan eksplorasi minyak saja. Belum lagi pemberian insentif keringanan pajak bagi peralatan perminyakan yang diciptakan untuk mengejar target lifting minyak, serta berbagai keringanan lainnya.
Percepatan perijinan dalam ijin pinjam pakai juga tidak bisa dilepaskan dari usaha pemerintah untuk mengejar target lifting minyak yang ditahun 2009 target itu tidak tercapai [padahal sudah ada banyak keringanan dan insentif] dan diharapkan tahun 2010 target itu [0,965 juta barel/hari] bisa tercapai dengan tambahan lifting dari lapangan PT Chevron Pasifik Indonesia dan dari Pertamina dan mitranya. Dan sudah ada kekawatiran target itu tidak tercapai karena ada masalah di lapangannya Chevron.
Di sisi lain, hutan memegang peranan penting dalam ekosistem dan juga penghidupan puluhan juta warga negara. Dalam isu perubahan iklim, hutan memegang peranan paling besar dalam soal target penurunan emisi Indonesia di tahun 2020. Hutan memegang peran lebih dari separuh usaha untuk mitigasi itu. Dengan adanya REDD, hutan bahkan bisa mendatangkan uang yang juga bisa dipergunakan sebagai dana pembangunan. Dalam soal ini, saya rasa, mempercepat proses perijinan ijin pinjam pakai itu menikung usaha itu.
Bukan, bukan dalam soal luasan yang sedikit atau dikerjakan di dalam tanahnya, tetapi masalahnya adalah ketergantungan pada energi fosil seperti minyak yang terus dipertahankan di tengah limpahan sumber energi lain yang terbarukan dan juga bisa dihasilkan dari kehutanan, semisal BBN dari Nyamplung dan Jarak Pagar dan ketergantungan ini berharga mahal, tidak hanya dari sisi ekonomi, tetapi juga dari segi politik dan harga diri bangsa.
Pembukaan lahan hutan untuk kepentingan perminyakan memang tidak akan banyak dan kerusakan lingkungannya, mungkin, juga bisa diminimalisir, tetapi emisi yang dihasilkan dari minyak itu justru bisa mengurangi usaha penurunan emisi dari sektor kehutanan. Peningkatan emisi [lokal] ini jelas akan mempengaruhi kapasitas lingkungan kita yang di beberapa kota memang sudah tidak seimbang dengan harga yang juga tidak sedikit [misalnya, biaya kesehatan akibat polusi]. Belum lagi masalah “klasik” akibat perubahan iklim: peningkatan permukaan air laut, perubahan musim tanam, dst yang biaya penanganannya tidaklah sedikit.
Jika alasan di atas terdengar terlalu “negara maju”, “bullshit environment”, kita mungkin bisa menghitung berapa subsidi yang bisa disimpan dengan pengurangan ketergantungan pada minyak? Akan sangat banyak. Dari sisi politik, apakah kehadiran minyak membuat kita menjadi negara yang kuat dan mandiri? Ya, mungkin dalam hal tertentu, tapi bagaimana dengan moral hazard yang terbentuk di lingkungan per-rente-an minyak [korupsi, misalnya]? Dan apakah kita masih punya harga diri, ketika lebih dari 80% minyak yang dihasilkan itu tidak dihasilkan oleh perusahaan nasional, melainkan oleh perusahaan asing? Contoh kecilnya, ketika PT Exxon terlambat berproduksi di lapangan Cepu, sehingga target lifting pun tidak terpenuhi, berapa trilliun yang harus dipakai untuk menambal subsidi BBM dengan mengorbankan banyak kegiatan pembangunan yang lebih penting tinimbang “membakar” bahan bakar? Dan bahkan, pemerintah tidak bisa memaksa PT Exxon untuk mempercepat proses eksploitasinya?
Selain itu, siapa yang menjamin bahwa pemberian ijin itu tidak membuka katup bagi sektor lain untuk juga meminta “jatah” yang sama kepada Departemen Kehutanan dengan alasan untuk pembangunan?
Dalam alur pikir seperti itu pula, saya akan sangat sepakat jika ijin pinjam pakai itu dipergunakan untuk eksplorasi/eksploitasi Panas Bumi. Karena ia tidak hanya mengikuti usaha pemerintah Indonesia mencapai Low Carbon Economy, tetapi juga ia bisa sedikit demi sedikit mengurangi ketergantungan pada minyak dan energi fosil lainnya. Nah, jika situasinya seperti ini, saya juga akan ikut “boooo’ pada mereka yang masih ngomong “konservasi” hutan.
05 Maret 2010
Bukan Ganti definisi Hutan
Pertama, referensi dimasukkannya sebuah tanaman agar bisa ditanam di hutan sudah ada. Karet adalah salah satunya. Karet dulunya selalu dianggap bukan tanaman hutan. Namun sekarang karet bisa di tanam di hutan produksi. Peraturannya ada di dalam Permenhut No 35 Tahun 2007 tentang Hasil Hutan Bukan Kayu. Dalam Permenhut ini ada daftar tanaman apa saja yang bisa ditanam di hutan. Sawit tinggal ditambahkan didalamnya.
Kedua, gampangnya, dengan memperbolehkan menanam sawit di lahan hutan produksi adakah aturan yang secara tegas menolaknya? Saya kurang tahu, karena harus buka-buka lagi berbagai aturan [dan saya sedang malas], tapi seingat saya aturan tentang apa itu tanaman yang mesti di tanam di hutan atau katakanlah tanaman apa yang disebut "tanaman hutan" dan tanaman kebun, itu tidak jelas. Hanya ada di dalam Ilmu Kehutanan saja.
Coba saja buka Permenhut P. 10/2007 tentang Perbenihan Tanaman Hutan, tidak ada kriteria pohon a adalah tanaman hutan dan pohon b bukan tanaman hutan atau setidaknya membuat definisi apa itu tanaman hutan.
Kawan saya yang orang Kehutanan jelas keberatan dengan hal itu. Memasukkan sawit ke dalam tanaman hutan akan membuat kabur definisi hutan dan lebih jauh, pengelolaan hutan akan tambah rumit dan kacau.
Saya tidak menolak keberatan itu. Ada banyak benarnya. Saya hanya ingin menunjukkan sebenarnya mudah saja bagi yang punya kepentingan dengan sawit untuk memasukkan agendanya ke dalam isu kehutanan. Dan sekaligus menunjukkan bahwa masih banyak bolong dalam kebijakan kehutanan yang sebenarnya sudah lama disadari oleh banyak pihak tapi tidak ada tindakan nyata; bahkan ada pembiaran.
03 Februari 2010
Pencemaran Laut Timor: Titik Terang itu....
Selain terang yang itu, ada juga terang yang lain. Pemerintah melalui PKDTML dan dengan dukungan Tim Posko Penanggulangan Pencemaran Minyak di Laut Timor serta Pemerintah Daerah setempat, berhasil membangun kesamaan persepsi dan menelurkan tiga tindak lanjut:
[1] Mengkaji dampak lingkungan dan sosek akibat tumpahan minyak di Laut Timor melalui survei lanjutan,
[2] Menghitung seluruh biaya operasional penanggulangan kerugian lingkungan dan sosek akibat tumpahan minyak,
[3] Memformulasikan hasil analisis dan dukungan data lainnya guna penyusunan tuntutan ganti rugi kepada pihak yang bertanggung jawab, yakni perusahaan pengebor [PTTEP] yang akan dikoordinasikan oleh tim nasional.
Dengan demikian, jelas sudah bahwa tuntutan kerugian belum dilakukan dan entah kapan hal itu akan diformulasikan. Tapi bahwa sebuah koordinasi dan kesamaan persepsi sudah mulai terbangun dalam menghadapi masalah ini.
Di lain pihak, menurut saya, yang masih kurang dari tindak lanjut ini adalah bagaimana melakukan usaha untuk mengurangi dampak pencemaran itu. Misalkna siapa yang akan melakukannya? Dari mana anggarannya diambil? Apa fungsi dan bantuan yang dimintakan kepada pihak Australia atau PTTEP? Membaca point [2] di atas seperti terkesan bahwa sudah ada proses penanggulangan itu sehingga yang dilakukan tinggal penghitungan biaya operasional. Tapi di lapangan sepertinya tindakan itu masih minim.
11 November 2009
Next: Politisasi Pencemaran Laut Timor?
Lambatnya pemerintah pusat Indonesia dalam merespon terjadinya pencemaran lingkungan di Laut Timor akibat bocornya minyak PTTEP Australasia di rig Montara mulai menuai kecaman. Bukan hanya dari kalangan LSM di NTT, tetapi juga politisi. Walaupun politisi yang baru secara serius menekan pemerintah Indonesia hanya politisi dari Partai Amanat Nasional. Intinya: pemerintah Indonesia belum melakukan apa-apa untuk menekan pemerintah Australia dalam kasus pencemaran lintas batas ini.
Kasus ini bisa membuka banyak masalah, baik dalam maupun luar negeri Indonesia: kecilnya perhatian pemerintah pada masalah lingkungan hidup, Koordinasi antar departemen dalam masalah laut, laut yang selalu dianggap “empty space”, perlakuan pemerintah pada pulau-pulau terluar, pencemaran lingkungan lintas negara, hubungan politik dua negara, perjanjian batas dua negara, kehidupan ekonomi masyarakat di Indonesia Timur.
Lemahnya koordinasi antar lembaga di pemerintah pusat terlihat dari belum adanya laporan yang diterima Departemen Luar Negeri dari tim yang diundang pemerintah Australia yang berasal dari Departemen Perhubungan. Kita juga tidak melihat apa yang dilakukan oleh Kementrian Negara Lingkungan Hidup.
Pemerintah pusat sepertinya harus bertindak segera untuk mencegah kasus ini berlanjut ke berbagai arah. Pembentukan tim nasional yang memonitor sudah sejauh mana tumpahan minyak itu masuk ke wilayah Indonesia serta dampaknya pada kehidupan masyarakat dan biodata dan ekosistem sepertinya merupakan langkah awal yang penting tapi terlambat. Indonesia harus memiliki data sendiri, yang berasal dari penelitian sendiri atas kasus ini dan tidak menggantungkan pada data-data yang disodorkan oleh pihak Pemerintah Federal Australia maupun operator minyak Montara, PTTEP Australasia. Data itu sangat penting ketika melakukan perundingan dengan pemerintah Australia untuk meminta tanggung jawab mereka.
Namun, sebelum sampai ke sana, sebelum kita membuka borok-lamban-[kadang] tidak kompeten pemerintah Indonesia [sesuatu yang masih laten], pemerintah Indonesia harus bisa menekan Pemerintah Australia agar melakukan berbagai upaya untuk mencegah meluasnya tumpahan minyak itu di wilayah Indonesia dan Pemerintah Australia harus melakukan itu. Dan itu tidak harus disertai dengan bukti dampak dan besarnya ganti rugi. Prinsip hukum lingkungan internasional menjamin permintaan Indonesia itu legitimate. Ini saya kira harus terlebih dahulu dilakukan oleh Pemerintah Indonesia sebelum menyusun nota keberatan, penelitian dampak, dll. Tindakan Australia itu harus berada di bawah koordinasi pemerintah Indonesia. Dan saya belum mendengar sikap itu dari pemerintah Indonesia.
Lalu setelah ada tindakan nyata Pemerintah Australia, baru kita boleh ngomong soal liability, ganti rugi, dst. Masuknya suara politisi ke dalam kasus ini semoga tidak hanya menambah bising dan melupakan esensi penting dari apa yang harus dilakukan terlebih dahulu oleh pemerintah Indonesia dan pemerintah Australia : Hentikan Meluasnya Minyak di Laut Timor, Segera!.
04 November 2009
Angka Emisi ERK dari Deforestasi Terbaru: 12 Persen
Selajur dengan laporan IPCC tahun 2007 dan berbagai laporan lainnya, misalkan dari WRI, angka emisi deforestasi terhadap emisi global berjumlah kurang lebih 18,5 persen atau 20 persen. Angka yang cukup besar yang berpengaruh besar pada naiknya posisi negara-negara berhutan tropis yang menghadapi masalah deforestasi. Indonesia, misalnya, yang dulunya posisinya selalu di luar 20 besar, tiba-tiba dengan memperhitungkan angka deforestasi naik posisinya ke tingkat ketiga tepat di belakang China dan USA. Sebuah kampanye jelek bagi sebuah negeri tidak beruntung seperti Indonesia.
Angka 20 persen atau seperlima dari jumlah emisi global sekarang, merupakan angka yang besar dan juga “politis”. Indonesia dan negara berkembang pemilik hutan tropis seperti Brazil menghadapi tekanan, bukan hanya untuk mengurangi tingkat deforestasinya tapi juga digiring untuk mendapatkan kewajiban “pengurangan emisi”, sebuah kewajiban yang sampai saat ini hanya dilekatkan pada negera-negara Annex I Konvensi Perubahan Iklim.
Namun, sebuah penelitian dari G. R. van der Werf, et.all, yang diterbitkan oleh majalah Nature Geoscience menyodorkan angka baru sumbangan emisi deforestasi pada emisi global. Para peneliti itu melakukan penelitian berdasarkan indikator yang dibuat oleh IPCC, namun dengan memakai data-data terbaru dari deforestasi. Hasilnya adalah angka deforestasi turun ke angka 12 persen; namun, mengingat data yang tidak stabil, angka yang aman adalah 6 – 17 persen. Namun angka 12 persen itu akan naik ke angka 15 persen jika sumbangan pengeringan lahan gambut dimasukkan.
Turunnya angka deforestasi ke 12 persen itu mungkin saja atau bisa jadi tidak pada menurunnya dana yang akan disediakan untuk membiayai mekanisme REDD. Tapi, tetap saja angka 12 persen adalah angka yang besar. Tidaklah bijaksana jika angka baru ini menurunkan perhatian pada penyelesaian masalah masih tingginya deforestasi di beberapa negara. Perlindungan hutan tidak hanya demi kepentingan penyerapan karbon atau pencegahan lepasnya karbon, tetapi juga perlindungan pada kekayaan keanekaragaman hayati dan penghidupan masyarakat yang menggantungkan diri pada lestarinya hutan.
Pesan penting dari tulisan itu justru menegaskan bahwa emisi energi tetap mayoritas dan angkanya terus naik. Emisi dari energi inilah – yang kebanyakan berasal dari negara-negara maju – yang harus diturunkan dengan segera. Dan sepertinya tidak boleh diundur lebih lama lagi.
02 November 2009
Analisis Perpres, Keppres, dan Inpres yang Khusus Mengatur Kebijakan Pengembangan Biofuel di Indonesia
Download di sini
A. 1. Pendahuluan
Sebelum lahirnya UU No. 30 Tahun 2007 tentang Energi [selanjutnya disebut UU 30/2007], Indonesia hampir tidak mempunyai kebijakan energi yang komprehensif. Semua kebijakan energi yang ada lahir dari instansi sektoral dan beberapa diantaranya bahkan didukung oleh peraturan perundangan yang lebih rendah, seperti keputusan menteri atau peraturan menteri. Selain bersifat sektoral, pengaturan energi juga terpotong-potong dan berserak diatur di berbagai peraturan perundang-undangan, seperti diatur dalam UU No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan pokok Pertambangan, UU No 22 Tahun 2001 tentang Migas, UU No. 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi, dst. Akibat yang bisa dilihat adalah adanya pengutamaan pengembangan dan pengelolaan pada satu sektor energi tertentu, semata karena [pada waktu itu] jumlahnya banyak, murah, sudah ada pengembangannya, dan di sisi lain, ditinggalkannya beberapa pengembangan sektor energi lain terutama energi non-fossil. Kita bisa melihat sampai sekarang pun tidak ada yang mengatur mengenai pengembangan energi dari matahari dan angin atau arus laut yang sebenarnya punya potensi besar di Indonesia. Bandingkan misalnya dengan peraturan yang mengatur mengenai minyak bumi.
Tetapi memasuki tahun 2000-an Indonesia menghadapi persoalan energi yang cukup pelik. Ketergantungan yang cukup besar pada energi fossil seperti minyak bumi untuk mencukupi kebutuhan energi di dalam negeri yang dari tahun ke tahun terus meningkat seiring dengan naiknya angka pertumbuhan ekonomi dan angka populasi penduduk telah menyebabkan negeri ini – masih sebagai anggota negara OPEC – harus menjadi negara pengimpor minyak. Pada tahun 2004, produksi minyak Indonesia sekitar 1,125 juta barel per hari, sekitar 611 ribu barel dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan kilang di dalam negeri dan 514 ribu barel di ekspor. Sementara konsumsi BBM adalah 1 juta barel perhari, sehingga Indonesia harus mengimpor minyak sebesar 487 ribu barel per hari.[1] Diperkiran pada tahun 2010, kebutuhan akan BBM akan meningkat ke angka 2 juta bph, sementara kapasitas produksi minyak masih dikisaran 1 juta bph. Pada saat yang sama dari tahun 2005 – sampai dengan sekarang – terjadi fluktuasi harga minyak di pasar internasional dengan kecendrungan harga yang terus naik yang menyebabkan kritis posisi energi Indonesia.
Kondisi di atas menyebabkan pemerintahan SBY dan YK harus mengeluarkan kebijakan energi untuk mengantisipasi hal itu. Kebijakan energi ini menyatu dalam Kebijakan Paket Ekonomi 31 Agustus 2005 yang meliputi kebijakan mengurangi permintaan BBM, kebijakan menambah produksi migas dan kebijakan mendorong energi alternatif. Kebijakan energi itu mempunyai kekuatan hukum mengikat ketika dibuatkan dalam bentuk Perpres 5 tahun 2006 yang dikeluarkan pada 25 Januari 2006.
Pengurangan permintaan BBM merupakan salah satu langkah penghematan energi, yang sudah diatur dalam Inpres No. 10 Tahun 2005 tentang Penghematan energi. Sementara kebijakan penambahan produksi migas hadir dalam kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh departemen terkait; kebijakan ini sangat terkait dengan kebijakan investasi, karena penambahan produksi minyak tidak lagi bisa mengandalkan lapangan-lapangan minyak yang ada yang sudah tua, namun perlu dibuka penambangan minyak di lapangan-lapangan baru yang sayangnya memerlukan modal dan kecakapan yang mumpuni.
Yang menarik adalah kebijakan untuk mendorong pengembangan energi alternatif. Selama ini pengembangan energi alternatif berada di wilayah marginal dalam peta pengelolaan energi di Indonesia. Selalu disebut penting, tetapi semuanya masih dalam kadar penelitian dan/atau pengembangan skala kecil. Perlu juga dikatakan di sini, nampaknya yang dimaksud dengan “energi alternatif” ini adalah energi substitusi bagi BBM/minyak bumi. Dengan demikian ia mencakup pula sumber energi fosil non-minyak, energi baru dan energi terbarukan. Maka kita lihat sekarang, kebijakan pengembangan energi tidak lagi bertumpu pada minyak bumi, tetapi juga mulai melihat potensi energi lain yang sebenarnya sudah ada dan dimanfaatkan, namun karena kebijakan ekonomi yang bertumpu pada ekspor, akhirnya malah dimanfaatkan oleh negara lain, seperti halnya gas bumi dan batu bara.
Yang dikembangkan tidak hanya energi fosil saja, tetapi juga energi baru dan terbarukan. DESDM sendiri sudah mengeluarkan Kepmen ESDM No. 0002 tahun 2004 tentang kebijakan pengembangan energi terbarukan dan konservasi energi atau Pengembangan Energi Hijau. Energi yang terbarukan menurut kepmen ini antara lain biomassa, panas bumi, energi surya, energi air, energi angin dan energi samudera. Sayangnya gaungnya tidak terdengar menjadi kebijakan nasional. Begitu juga dengan Blueprint Pengelolaan Energi Nasional 2005 – 2025, yang dimaksudkan sebagai landasan operasional kebijakan energi yang dikeluarkan Bakoren, yang sayangnya tidak diformalkan menjadi kebijakan pemerintah. Karena banyak kesamaan, banyak kalangan yang berpendapat bahwa Perpres No. 5 tahun 2006 merupakan bentuk formal dari blueprint tersebut, sehingga ia sudah ditasbihkan sebagai kebijakan pemerintah yang mempunyai kekuatan hukum mengikat, tentu setelah mengalami beberapa perubahan sebagaimana salah satunya di bawah ini.
Menariknya dalam perpres 5/2006, terkait energi mix nasional 2025, ada penegasan untuk energi terbarukan berupa biofuel agar mencapai target 5% dari energi mix nasional pada tahun 2025. Pengistimewaan itu lebih kentara lagi karena biofuel seperti hadir tiba-tiba sebagai salah satu sumber energi yang akan dikembangkan segera demi tercapainya target energi mix 2025 itu. Jumlahnya pun cukup besar dibandingkan dengan Blueprint [versi tahun 2025] yang hanya 1,335%.
A. 2. Maksud dan Tujuan Penulisan
Tulisan di bawah akan mengetengahkan posisi:
1. Perpres No. 5 tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional [selanjutnya disingkat Perpres 5/2006],
2. Inpres No. 1 Tahun 2006 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati (biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain [Inpres 1/2006] serta
3. Keppres No.10 Tahun 2006 Tim Nasional Pengembangan Bahan Bakar Nabati untuk Percepatan Pengurangan Kemiskinan dan Pengangguran [Keppres 10/2006],
Ketiga Peraturan di atas mempunyai kaitan erat sebagai dasar hukum pelaksanaan kebijakan pengembangan BBN di Indonesia. Termasuk juga akan disinggung keberadaan ketiganya – yang sama-sama dilahirkan oleh satu institusi yang sama – dalam percaturan sistem hukum yang berlaku di Indonesia. Namun demikian Penulis akan lebih berkonsentrasi membedah Perpres 5/2006, karena berdasarkan UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan peraturan Perundang-undangan [untuk selanjutnya akan disingkat UU No 10/2004], kedudukannya makin kuat dan ia menjadi dasar bagi pelaksanaan dua keputusan presiden lainnya. Penulis juga akan menghadapkan ketiganya dengan UU No 30/2007 yang walaupun lahir belakangan, ternyata materi didalamnya mengatur materi-materi dasar yang sebagian sudah diatur dalam ketiga peraturan tersebut. UU 30/2007 ini melahirkan beberapa konsekuensi yang, dalam pandangan penulis, harus diakomodasi oleh pembuatan kebijakan terkait BBN tersebut, terutama jika dikaitkan dengan urutan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
B. Posisi Perpres, Keppres dan Inpres dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia
Ketiga peraturan perundangan di atas sama-sama dikeluarkan oleh lembaga Presiden. Keppres dan Inpres sudah sejak lama dikenal sebagai salah satu istilah peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Sementara Perpres relatif baru dikenal di Indonesia setelah lahirnya UU No 10/2004. Menariknya adalah dalam tata urutan peraturan perundang-undangan yang diatur di dalam UU No 10/2004, Keppres dan Inpres tidak termasuk didalamnya. Dalam Pasal 7 UU 10/2004 yang mengatur mengenai tata urutan perundang-undangan ini, disebutkan bahwa tata urutan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia adalah:
- UUD 1945
- UU/Perpu
- Peraturan Pemerintah
- Peraturan Presiden
- Peraturan daerah
Tata urutan perundang-undangan di atas diurutkan ke bawah secara hirarkhi, dimana peraturan dibawahnya tidak boleh bertentangan atau mengatur hal selain yang diperintahkan oleh peraturan diatasnya. Hal ini sesuai dengan salah satu azas hukum, yakni peraturan yang lebih rendah kedudukannya tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Dengan cara seperti itu dimaksudkan akan adanya tertib administrasi pengaturan perundang-undangan yang lebih baik dan tertata dan untuk menghindari adanya pelampauan wewenang.
Lalu bagaimana kedudukan Keppres dan Inpres? Pasal 7 Ayat [4] UU No 10/2004 menyatakan bahwa peraturan perundang-undangan lain selain yang disebutkan dalam tata urutan perundang-undangan diatas, kedudukannya diakui dan tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Dalam penjelasan Pasal ini, ternyata Keppres dan Inpres tidak dimasukkan sebagai salah satu peraturan perundangan lainnya itu[2]. Tidak bisa dipastikan, apakah penyebutan bentuk-bentuk peraturan lain di luar yang disebutkan dalam tata peraturan perundang-undangan itu bersifat limitatif atau tidak.
Patut diduga bahwa penyebutan itu tidak bersifat limitatif dengan melihat pada dicantumkannya kata ”antara lain”, yang mengindikasikan adanya bentuk-bentuk peraturan lain selain yang dikatakan penjelasan Pasal 7 Ayat [4] itu. Sehingga bisa saja Keppres dan Inpres masuk dalam kategori ini, yang konsekuensinya adalah kedua bentuk peraturan perundang-undangan itu baru bisa dibuat jika memang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Tetapi, sebaliknya, bagaimana jika pengaturan itu bersifat limitatif, bersandar kemanakah dua peraturan itu?.
Mengenai Keppres, UU No 10/2004 hanya mengatur dua hal, pertama, pembuatan Keppres harus mengacu pada ketentuan di dalam UU 10/2004, serta, kedua, Keppres yang materinya berisi pengaturan selanjutnya harus dibaca sebagai Peraturan Presiden. Dengan demikian, posisi Keppres jelas setara dengan Perpres jika materi yang diaturnya bermuatan pengaturan. Bagaimana dengan Keppres yang tidak bersifat pengaturan? UU ini tidak secara jelas mengaturnya. Di sisi yang lain, keberadaan Inpres sama sekali tidak disinggung kedudukannya dalam UU No. 10/2004. Sehingga kedudukannya menjadi genting. Namun karena masih seringnya lembaga kepresidenan mengeluarkan Inpres, maka barangkali kita melihatnya di dalam kebiasaan administrasi negara dan atau teori hukum yang berlaku.
Materi dalam Perpres
Secara tersirat, UU No 10/2004 menyebutkan bahwa materi peraturan yang bisa dibuat oleh lembaga kepresidenan, bukan hanya bersifat pengaturan [regeling], tetapi juga non pengaturan, seperti penetapan [beschikking]. Sementara di sisi yang lain presiden sebagai kepala pemerintahan, berdasarkan Pasal 4 Ayat [1] UUD 1945[3], dapat mengeluarkan peraturan kebijakan [beleidregel] yang merupakan pelaksanaan dari kewenangan diskresinya [discretion power]. Dengan demikian, materi yang bisa diatur oleh presiden terdiri atas:
1. Penetapan [beschikking]
2. Pengaturan [regeling]; sepanjang keputusan tsb diterbitkan berdasarkan wewenang konstitusional [the origin power] untuk menjalankan pemerintahan dan atau wewenang delegasi [diperintahkan oleh peraturan diatasnya]. Diantara keputusan yang bersifat pengaturan ini ada yang mengandung wewenang kebijakan [discreationary power/ freies Ermessen] dalam bentuk:
3. Peraturan kebijakan [beleidregel][4]
Inilah salah satu bentuk keistimewaan lembaga kepresidenan yang diinginkan oleh UUD 1945, yang setidaknya terlihat dalam wujud:
- presiden diberi wewenang sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara.
- presiden, selain mempunyai wewenang administrasi negara, juga mempunyai wewenang mandiri dalam membuat aturan-aturan untuk menyelenggarakan pemerintahan.
Sebagai kepala pemerintahan, presiden berhak mengurus urusan pemerintahan. Apa saja urusan pemerintahan itu? Adalah kegiatan melaksanakan undang-undang, menerbitkan peraturan yang bersifat umum, serta jika belum diatur dengan tegas dalam UU, dapat dikeluarkan dengan asas freies Ermessen[5]. Adanya asas freies Ermessen merupakan jawaban atas kondisi masyarakat yang makin kompleks, beratnya beban atau tugas legislatif [termasuk adanya detail teknis yang sulit dibicarakan ditingkat legislatif], tumbuhnya ketergantungan pada spesialisasi, teknik, pengetahuan dan keahlian, yang membutuhkan tanggapan cepat termasuk antisipasi pada adanya keadaan darurat.
Tampak bahwa kewenangan freies Ermessen ini atau diskresi itu hadir untuk mengisi atau mengantisipasi adanya kekosongan hukum.[6] Peraturan yang hadir berdasarkan kewenangan diskresi ini bersifat sementara sehingga pembuat peraturan/keputusan mengandaikan akan ada pembuatan peraturan yang lebih baik kelak dibandingkan peraturan yang dibuatnya sekarang.
Di Indonesia sendiri, Keputusan Presiden pada awalnya hanya berisi materi penetapan saja, sehingga tidak berlaku umum. Tetapi dalam perkembangannya, Keputusan Presiden ini ternyata dapat juga berisi materi pengaturan, sehingga ia berlaku umum dan terus menerus. Bahkan banyak pula Keppres yang hadir tanpa harus diperintahkan UU. Hal tersebut diperparah dengan kenyataan banyak UU yang memerintahkan pengaturan lebih lanjut materi-materinya kepada oleh peraturan di bawah UU yang notabene berada di bawah wewenang pemerintah. Terjadi pelimpahan fungsi pembuatan UU yang sebenarnya kewenangan legislatif ke tangan pemerintah/eksekutif. Pemerintah diberi kebebasan untuk menentukan sendiri materi berbagai peraturan pelaksanaan tersebut. Dalam situasi seperti inilah kedudukan Keppres menjadi sangat kuat.
UU No 10/2004 hadir dalam usaha untuk menertibkan hal itu. UU ini secara tegas menyatakan bahwa tidak ada lagi Keppres yang materinya berisi pengaturan. Jika bermateri pengaturan maka ia harus diatur dalam bentuk Peraturan Presiden atau Perpres. Materi muatannya pun dibatasi. Kalau dulu, Keppres bermuatan pengaturan itu dapat mengatur masalah-masalah yang tidak diperintahkan oleh Tap MPR dalam bidang eksekutif, UU, atau PP. Tetapi setelah UU No 10/2004 lahir, materi yang diatur oleh Perpres hanyalah materi yang diperintahkan pelaksanaannya oleh UU atau PP [Pasal 11 UU No 10/2004]. Itupun ternyata, tetap lebih luas dari materi yang diatur dengan PP yang bersifat limitatif [ada kata “sebagaimana mestinya”; Pasal 10 UU No. 10/2004], yakni untuk menjalankan aturan yang diperintahkan oleh UU. Padahal secara hirarkhi peraturan perundang-undangan, kedudukan PP lebih kuat daripada Perpres.
Apakah dengan demikian asas diskresi sudah tidak bisa dijalankan lagi oleh Presiden? Ternyata tidak. Dalam penjelasan Pasal 11 UU No 10/2004 menyebutkan bahwa:
“ Sesuai dengan kedudukan presiden menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Peraturan Presiden adalah Peraturan yang dibuat oleh presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan negara sebagai atribusi dari Pasal 4 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Peraturan Presiden dibentuk untuk menyelenggarakan lebih lanjut perintah UU atau PP baik secara tegas maupun tidak tegas diperintahkan pembentukannya.”
Kalimat terakhir dalam penjelasan Pasal 11 di atas tidak ditemukan dalam penjelasan Pasal 10 tentang materi PP. Bisa dipastikan bahwa materi PP itu harus sesuai/tidak boleh menyimpang dari yang diperintahkan UU. Dengan demikian, Presiden selaku kepala pemerintahan bisa menafsirkan sendiri apakah dia harus membuat sebuah Perpres atau tidak sebagai pelaksanaan dari UU atau PP yang didalamnya sama sekali tidak ada pernyataan harus diatur lebih lanjut dengan Perpres.
C. Analisis Perpres 5 Tahun 2006
Dari hasil pemaparan diatas tampaknya Perpres 5/2006 tentang Kebijakan Energi Nasional merupakan bentuk peraturan yang dikeluarkan oleh presiden yang:
[1] Bersifat pengaturan,
[2] Dari segi kewenangan, merupakan kewenangan konstitusional [yang bersifat atributif atau melekat pada jabatan yang disandang Presiden [Pasal 4 ayat (1) UUD1945]]
[3] mengandung asas diskresi atau freies ermessen.
Point [2] di atas dipertentangkan dengan perpres yang berasal dari kewenangan delegasi atau diperintahkan pengaturannya oleh UU atau PP. Sekilas jika kita melihat urutan “mengingat” dalam Perpres itu, selain Pasal 4 (1) UUD 1945, ada 6 UU yang dirujuk sebagai dasar pembuatan perpres ini [pokok-pokok pertambangan, Ketenagalistrikan, Ketenaganukliran, Migas, Panas Bumi dan Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional]. Tetapi jika dibaca secara hati-hati, tidak ada satu pun UU itu yang memerintahkan pembuatan kebijakan energi nasional dalam bentuk perpres. Bisa saja, berdasarkan penafsiran pemerintah SBY – YK, keenam UU itu sebenarnya memerintahkan, tetapi tidak secara tegas, pengaturan Kebijakan Energi Nasional dalam bentuk Perpres. Tetapi, itu merupakan penafsiran yang terlalu jauh. Contohnya UU Migas memerintahkan pengutamaan gas bumi bagi kebutuhan dalam negeri serta menyediakan cadangan strategis minyak bumi untuk memenuhi kebutuhan BBM dalam negeri – masalah yang dalam pandangan penulis merupakan bagian kecil dari muatan Kebijakan Energi Nasional –, tetapi kedua hal itu harus diatur dalam bentuk PP dan seterusnya.
Sehingga jelas bahwa Perpres 5/2006 lahir dari asas diskresi yang dimiliki oleh Presiden sebagai kepala pemerintahan. Ia sebenarnya merupakan peraturan perundang-undangan yang berdiri sendiri, yang keterkaitan dengan UU di atasnya bersifat tidak langsung[7]. Yang perlu dipersoalkan adalah latar belakang genting apa atau kondisi ketergesaan apa yang menyebabkan presiden harus mengeluarkan perpres itu? Atau jika bukan itu masalahnya, apa yang menyebabkan pengaturan kebijakan energi nasional diatur saat itu dan tidak diatur pada saat yang lain? Padahal Presiden dan jajarannya pasti sudah mengetahui kedudukan Perpres sebagaimana diatur dalam UU No.10/2004 yang sebenarnya diatur untuk menertibkan sistem peraturan perundang-undangan di Indonesia, untuk menghindarkan adanya penyalahgunaan wewenang dengan, contohnya, menggunakan alat Keppres yang memang dulu dikenal luwes dan seperti bisa mengatur apa saja, tanpa ada persetujuan dari legislatif.
Pertanyaannya bisa diperpanjang: kenapa pemerintah tidak mengambil opsi memilih dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang atau Perpu? Bukankah jika diatur dengan Perpu, respon terhadap derajat ketergesaan itu bisa diterjemahkan dengan lebih pas dan tidak tanggung seperti dengan Perpres? Pengaturan dengan Perpu ini bisa membuka jalan ke arah pengaturan dengan UU – jika DPR dalam masa sidang selanjutnya menyetujui Perpu itu.
Sebagaimana diketahui bersama, dengan kebijakan Oktober 2005, pemerintah Indonesia terpaksa menaikkan harga BBM dalam negeri sebagai akibat dari naiknya harga minyak bumi di pasar internasional; sementara produksi minyak nasional Indonesia terus turun serta kilang-kilang minyak yang ada di Indonesia sudah kesulitan menyediakan BBM bagi dalam negeri. Kondisi ini menaikkan kembali wacana tentang diversifikasi energi, tetapi tidak hanya energi fossil selain minyak bumi, tetapi juga energi baru dan terbarukan. Pada saat yang sama, permintaan bahan baku untuk biofuel di Eropa terus saja naik dan menyebabkan komoditas bahan baku biofuel seperti CPO harganya naik terus. Apakah ini kondisi ketergesaan itu, sehingga harus segera dijawab dengan Kebijakan Energi Nasional dalam bentuk Perpres? Tentu tulisan ini terlalu pendek untuk menjawab hal tersebut.
Yang nampak adalah bahwa dalam bagian “menimbang”, Perpres itu menyatakan dua hal latar belakang lahirnya Kebijakan Energi Nasional [KEN] dalam bentuk Perpres ini: [1] menjamin keamanan pasokan energi dalam negeri dan [2] mendukung pembangunan yang berkelanjutan. Alasan pertama, penulis pikir sangat jelas, keinginan untuk mendapatkan keamanan pasokan energi untuk mencukupi kebutuhan energi dalam negeri cukup beralasan bagi lahirnya KEN. Yang menarik justru alasan kedua.
Terlalu panjang untuk menjelaskan apa dan bagaimana pembangunan berkelanjutan itu, tetapi singkatnya adalah model pembangunan yang tidak lagi bertumpu pada pembangunan ekonomi, tetapi juga pembangunan sosial dan lingkungan. Selain itu, terkait dengan persediaan sumberdaya, model ini menginginkan dalam memenuhi kebutuhan generasi sekarang tidak boleh mengurangi kemampuan generasi-generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Salah satu hal yang mendorong lahirnya model pembangunan berkelanjutan ini adalah kerusakan lingkungan hidup global yang disebabkan oleh konsumsi energi fosil yang tidak adil dan tidak berkelanjutan. Maka pilihan energi selain fossil dikembangkan untuk menunjang model pembangunan berkelanjutan.
Dalam pandangan penulis, model pembangunan berkelanjutan inilah yang menjadi dasar dari dicantumkannya energi baru dan terbarukan dalam komposisi energi mix nasional Indonesia di tahun 2025, teristimewa adalah biofuel – yang seperti tiba-tiba harus menyandang beban 5% dari energi mix nasional yang bahkan menyamai asumsi energi mix nasional dari Panas Bumi yang sudah sejak dulu dimanfaatkan. Kalau hanya soal menjamin keamanan pasokan energi dalam negeri, bisa saja diusahakan dari diversifikasi dan intensifikasi energi fossil non-minyak, seperti gas dan batu bara yang perkiraan cadangannya masih banyak. Tetapi dengan mencantumkan “pembangunan yang berkelanjutan”, pembuat Perpres ini sedang ingin mencari alternatif lain model penyediaan dan pemanfaatan energi. Dengan demikian, terjahitlah dengan mulus raison d’etre adanya biofuel dalam Perpres 5/2006 lewat keinginan menjalani model pembangunan berkelanjutan.
Jahitan dua hal di atas kemudian dijadikan sebagai cantolan bagi pengembangan bahan bakar nabati di Indonesia, karena berbeda dengan energi lain yang energi mixnya 5 % atau lebih, hanya Bahan Bakar Nabati/Biofuel yang tidak mempunyai cantolan hukum yang kuat [setingkat UU, misalnya] yang bisa memobilisasi sumberdaya nasional seperti halnya minyak, gas, batu bara dan panas bumi. Dia menjadi cantolan karena pengembangan BBN/biofuel ini sepertinya tinggal menunggu dipencet, karena :
[1] persis pada hari yang sama, presiden mengeluarkan Inpres No 1 tahun 2006 tentang penyediaan dan pemanfaatan bahan bakar nabati (biofuel),
[2] sebulan kemudian, tepatnya 21 Februari 2006, Menko Perekonomian membuat Tim Koordinasi Program Aksi Penyediaan dan Pemanfaatan Energi Alternatif; dimana biofuel masuk dalam salah satu agenda pengembangan tim ini; dan
[3] pada tanggal 24 Juli 2006, presiden memutuskan menajamkan tim energi alternatif dengan mengeluarkan Keppres No. 10 tahun 2006 tentang Tim Nasional Pengembangan Bahan Bakar Nabati Untuk Percepatan Pengurangan Kemiskinan dan Pengangguran.
Membuat cantolan bagi biofuel dengan UU memerlukan waktu yang panjang lama dan mahal, padahal ada kondisi yang mendesak [?] yang harus segera dicarikan dasar hukumnya. Sementara membuatkan PP untuk Biofuel dengan bersandarkan UU No. 22 Tahun 2001 tentang Migas juga harus melewati beberapa proses panjang dan harus diusulkan dan direncanakan terlebih dahulu, seperti adanya usulan kepada Menhukham dari Instansi terkait, yang kemudian masuk ke Mensesneg untuk diperiksa dan dicarikan penomorannya. Sementara dalam pembuatan Perpres, birokrasinya tidak terlalu panjang dan rumit – langsung diurus lewat Sekretaris Kabinet –, sehingga bisa gampang dikeluarkan dan jika ingin diganti atau diamandemen pun tidak terlalu memakan waktu lama dan mahal.
Di atas semua itu, pengaturan kebijakan energi nasional seharusnya menjadi induk dari pengaturan masing-masing sektor energi [primer itu] dan karenanya seharusnya diatur dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi [tapi terlalu teknis untuk dimasukkan dalam UUD 1945] atau yang setara dengan bentuk peraturan yang mengatur masing-masing sektor energi itu, yakni dengan Undang-undang. Jika diatur dengan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah, maka dia tidak akan mungkin bisa mengatur lain selain yang diatur oleh masing-masing UU sektoral itu – terbentur masalah hirarkhi peraturan perundang-undangan. Padahal tujuan dari pengaturan kebijakan energi nasional adalah agar pengaturan energi yang selama ini terserak di masing-masing sektor bisa diatur secara komprehensif sehingga tidak berjalan sendiri-sendiri dalam pengelolaannya.
Jika tetap diatur dengan Perpres, selebihnya, kebijakan energi nasional itu dapat dilihat hanya sebagai kebijakan dari pemerintahan SBY – YK dan karenanya hanya berlaku sepanjang mereka memerintah. Tetapi jika diatur dengan UU, ada komitmen yang lebih kuat dan lebih berjangka panjang dalam pengelolaan energi nasional.
D. Analisis Inpres 1/2006 dan Keppres 10/2006
Kedua peraturan perundang-undangan itu bersifat penetapan dan karenanya tidak berlaku umum [hanya berlaku bagi yang disebut dalam isi kedua peraturan perundang-undangan itu]. Peraturan perundang—undangan yang bersifat penetapan, seharusnya, tidak bisa berlaku terus menerus [tidak einmahlig], ia dibatasi oleh sifat penetapan yang terbatas, seperti misalnya seseorang yang disebut dalam penetapan itu meninggal atau sudah tidak lagi menjabat, atau karena tujuannya sudah tercapai. Bersifat penetapan berarti ada kondisi awal atau syarat-syarat tertentu yang sudah berjalan yang harus ditetapkan. Perbandingannya, penetapan sebuah institusi sebagai pelaksana satu proyek baru bisa dilakukan setelah pengaturan mengenai proyek itu ada dan berjalan dan penetapan itu tidak berlaku lagi setelah proyek itu selesai dilaksanakan.
Dengan demikian, kedua peraturan perundang-undangan di atas baru hadir dan mempunyai kekuatan hukum mengikat setelah peraturan yang mengatur objek yang ditetapkan sudah ada atau berjalan, yakni pengaturan mengenai biofuel. Dimana pengaturan tentang biofuel ini berada? Secara komprehensif sebenarnya belum ada, tetapi perintah untuk menyediakan dan memanfaatkan biofuel diatur didalam Perpres 5/2006. Sehingga dasar hukum terdekat [maksudnya tidak perlu lagi diinterpretasikan] dari kedua peraturan perundang-undangan itu adalah Perpres 5/2006. Inpres 1/2006, walaupun tidak menyebutkan dasar hukum perintahnya, adalah perangkat institutional untuk mewujudkan persentase-persentase energi baru dan terbarukan dengan mengkonsolidasikan sumberdaya di pemerintahan, sedangkan Keppres lebih jelas lagi menjadi perangkat lembaga paling kuat untuk meretas jalan mewujudkan 5% energi mix nasional dari biofuel.
Dalam bagian mengingat Keppres 10/2006, selain Perpres 5/2006, disebutkan 3 peraturan perundang-undangan lain yang mengatur mengenai biofuel ini, yakni [1] Pasal 4 Ayat (1) UUD 1945; [2] UU No 22 tahun 2001 tentang Migas dan [3] PP No 36/2004 tentang Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas. Dua peraturan yang terakhir disebut tidak ada yang menyebutkan biofuel sebagai salah satu materi yang diatur didalamnya, tetapi ada beberapa kegiatan dalam penyediaan dan pemanfaatan biofuel yang harus merujuk pada dua peraturan di atas, seperti pencampuran dan tata niaganya. Keterkaitan dengan biofuel bersifat tidak langsung; kedua peraturan tersebut menyediakan infrastruktur yang perlu ada dalam pengaturan biofuel, tetapi dia tidak mengatur langsung Biofuel [keduanya mengatur soal migas]. Perpres 5/2006 yang secara tersurat menyebutkan biofuel menjadi “jembatan perantara” antara Keppres 10/2006/Inpres 1/2006 dengan UU Migas dan PP No 36/2004 itu.
Karenanya kedudukan dua peraturan perundang-undangan itu [Keppres 10/2006 dan Inpres 1/2006], dalam pandangan penulis, tergantung pada “target” yang diminta dalam Perpres 5/2006 tadi. Jika ada perubahan pada Perpres itu, atau malah diganti, maka keduanya juga harus menyesuaikan diri karena ada hubungan yang terputus jika ingin mencantolkan dengan peraturan-peraturan di bidang perminyakgasan.
E. Kelahiran UU 30/2007 dan Kebijakan Energi Nasional
Walaupun terlambat, Indonesia akhirnya memiliki satu kebijakan energi yang lebih komprehensif dan lebih kuat secara hukum. UU 30/2007 ini sendiri mulai diundangkan pada tanggal 10 Agustus 2007 lalu. Kelahiran UU inilah yang dalam pandangan penulis harus merubah seluruh kerangka strategi diversifikasi energi yang dikembangkan oleh Perpres 5/2006.
Dalam Pasal 11 UU 30/2007 disebutkan bahwa Kebijakan Energi Nasional [KEN] harus ditetapkan oleh pemerintah dengan persetujuan DPR atau dengan kata lain harus diatur dengan undang-undang. Dalam pandangan penulis, UU ini secara jelas menunjuk pemerintahlah yang harus menyusun UU itu dan rancangan itu akan dibahas dan harus mendapatkan persetujuan DPR. Pembuat UU ini rupanya menyadari bahwa walaupun kewenangan membuat UU [legislatif] sudah ada di tangan DPR, tetapi ada beberapa masalah yang nampaknya pemerintah jauh lebih berpengalaman termasuk dalam soal energi ini dan karenanya harus menjadi pihak pertama yang mengusulkannya. Ini alasan pertama.
Kedua, yang merancang dan menyusun KEN ini adalah sebuah badan semi otonom bernama Dewan Energi Nasional yang dibentuk oleh pemerintah. Dewan energi Nasional ini harus paling lambat terbentuk 6 bulan sejak UU itu diundangkan atau pada tanggal 10 Januari 2008.
Materi muatan dalam Kebijakan Energi Nasional yang diinginkan oleh UU 30/2007 ini adalah:
- Ketersediaan energi untuk kebutuhan nasional
- Prioritas pengembangan energi
- Pemanfaatan sumberdaya energi nasional
- Cadangan penyangga energi nasional
Jika kita bandingkan dengan Perpres 5/2007, tampak bahwa materi yang diatur baru mengatur, walaupun masih jauh dari komprehensif, tiga soal pertama, sementara soal cadangan penyangga energi nasional luput diatur. Ini juga menunjukkan sifat kesementaraan dari Perpres ini.
Keharusan KEN diatur dengan UU dan kurangnya materi KEN dalam Perpres menjadi dua alasan utama harus segeranya Perpres itu harus dirubah.
Bagaimana dengan kedudukan Perpres 5/2006 ini setelah ternyata sesudah tanggal 10 Januari 2008, pemerintah belum bisa membentuk Dewan Energi Nasional dan setelah jangka waktu tertentu setelah Dewan Energi Nasional ini terbentuk, badan ini tidak segera membuat dan merancang KEN yang selanjutnya diserahkan dan dibahas di DPR untuk dijadikan UU? Peraturan peralihan dalam UU ini menetapkan bahwa semua peraturan perundang-undangan yang sudah ada dan berlaku sebelum UU ini diundangkan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti berdasarkan UU ini.
Apakah materi dalam Perpres 5/2006 bertentangan dengan UU ini? Bertentangan mungkin agak terlalu jauh, hanya saja materi KEN yang diatur dengan Perpres 5/2006 belum lengkap bila dilihat dari sisi yang diinginkan oleh UU 30/2007. Sehingga, sesuai prinsip hukum yang menghindari adanya kekosongan hukum, Perpres itu tetap berlaku.
Walaupun demikian, karena ada peraturan perundang-undangan yang baru dan ditambah kedudukannya lebih kuat, sementara materi yang diaturnya persis sama, maka Perpres 5/2006 memasuki “masa transisi”, karena sebenarnya ia sudah tidak lengkap secara materi dan tidak kuat dilihat dari hirarkhi peraturan perundang-undangan dan keharusan materi itu diatur dengan jenis tertentu peraturan perundang-undangan.
Penentuan masa transisi ini yang sulit. Di indonesia sendiri belum ada kejelasan selain yang ditentukan masing-masing dalam UU yang mengaturnya. Jika ia tidak ditentukan sendiri batas waktunya dalam UU, maka batasan itu jadi kabur. Kenapa penentuan masa transisi ini penting? Karena sebuah peraturan yang sudah memasuki masa peralihan/transisi, tidak seharusnya dia berlaku terus menerus, ia suatu saat harus diganti. Jika belum diganti itu menunjukkan [1] rendahnya komitmen pemerintah dalam suatu soal yang diatur peraturan perundang-undangan itu dan [2] rendahnya kemampuan pembuat UU dalam membuat peraturan perundang-undangan yang lebih baik. Bahkan, jika peraturan perundang-undangan yang seharusnya sudah diganti atau memasuki masa transisi tetapi belum diganti dengan alasan kekawatiran adanya kekosongan hukum atau memang karena tidak ada komitmen dari pembuat UU, malah membuka celah pada kejadian yang lebih besar: kebijakan apapun yang menjadi turunan dari peraturan perundang-undangan itu menjadi cacat hukum. Hal itu yang seharusnya dihindari dalam soal KEN dan turunan kebijakannya termasuk biofuel ini.
F. Kesimpulan
- Perpres 5/2006 merupakan dasar dari kebijakan biofuel di Indonesia, sementara Inpres 1/2006 dan Keppres 10/2006 merupakan turunan dari Perpres 5/2006.
- Perpres 5/2006 merupakan bentuk dari kewenangan diskresi presiden dalam menjalankan roda pemerintahannya. Kewenangan diskresi itu terlihat dari pengaturan sebuah masalah [KEN] yang tidak ada perintah langsung pengaturan dari peraturan perundang-undangan diatasnya; kewenangan pengaturan itu sendiri melekat pada kewenangan asli presiden sebagai kepala pemerintahan.
- Kewenangan diskresi selalu dilakukan untuk mencegah adanya kekosongan hukum dan dimaksudkan berlaku sementara, sehingga Perpres 5/2006 sebenarnya tidak dimaksudkan berlaku berjangka panjang, sebagaimana, malah, diinginkan isi Perpres itu sendiri.
- Perpres 5/2006 baik dilihat dari materi yang diatur [materil] maupun bentuk peraturan perundang-undangannya [formil] dianggap sudah tidak pas untuk mengatur materi yang “berat” dan maha penting seperti KEN, yang berdasarkan UU 30/2007 harus diatur dalam bentuk UU.
- Amandemen atau pergantian atau pencabutan Perpres 5/2006 harus segera dilakukan segera, termasuk pembentukan Dewan Energi Nasional yang akan merancang dan menyusun KEN baru. Ini sebagai kejelasan jalan bagi turunan kebijakan dibawahnya seperti kebijakan pengembangan dan pemanfaatan biofuel, yang sekarang pun masih tersendat-sendat perjalanannya. Diharapkan dengan KEN yang lebih komprehensif dan mempunyai kekuatan hukum lebih kuat akan lebih bisa memobilisir sumberdaya nasional yang ada untuk memecah kebuntuan tiadanya kebijakan energi yang lebih memihak pada energi ramah lingkungan dan dan kebutuhan dalam negeri.
Daftar Pustaka
A. Buku
Erliyana, Anna. Keputusa Presiden: Analisis Keppres RI 1987 – 1998. Jakarta: Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004
Hawkins, Keith. The Uses of Discretion. Oxford: Clarendon Press, 1992
Manan, Bagir. Beberapa Masalah Hukum Tata Negara. Bandung: Alumni, 1997
Muchsan. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia. Yogyakarta: Liberty, 1982
B. Peraturan
Undang-Undang Dasar 1945
Undang –Undang No. 11 tahun 1967 Tentang Ketentuan Pokok-ketentuan Pokok Pertambangan
Undang-Undang No 15 tahun 1985 Tentang Ketenagalistrikan
Undang-Undang No. 10 Tahun 1997 Tentang Ketenaganukliran
Undang-Undang No 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi
Undang-Undang No 23 Tahun 2003 Tentang Panas Bumi
Undang-Undang No 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang No 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional
Undang-Undang No. 30 tahun 2007 Tentang Energi
Peraturan Presiden No. 5 tahun 2006 Tentang Kebijakan Energi Nasional
Instruksi Presiden No 1 tahun 2006 Tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati (biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain
Keppres No.10 Tahun 2006 Tim Nasional Pengembangan Bahan Bakar Nabati untuk Percepatan Pengurangan Kemiskinan dan Pengangguran
[1] Data dari Dokumen ”Blue Print Pengelolaan Energi Nasional 2005 – 2025”, DESDM, Jakarta, 2005
[2] Urutan peraturan perundang-undangan yang disebutkan dalam penjelasan Pasal 7 Ayat [4] adalah Peraturan yang dikeluarkan oleh MPR, DPR, DPD, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Bank Indonesia, Menteri, kepala badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk berdasarkan UU atau pemerintah atas perintah UU, DPRD Provinsi, Gubernur, DPRD kabupaten/kota, Bupati/Walikota, kepala desa atau yang setingkat.
[3] Isi Pasal 4 Ayat [1] UUD 1945: ”Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar”.
[4] Anna Erliyana, Keputusan Presiden: Analisis Keppres RI 1987 – 1998, Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004.
[5] Ibid.
[6] John Bell, The use of Discreationary Power, dalam Keith Hawkins, The Uses of Discretion, Oxford:Clarendon Press, 1992
[7] Penulis tetap melihat bahwa Perpres 5/2006 sebagai peraturan yang bersifat mengatur dan bukan bleidregel atau kebijakan pengaturan, karena mengikuti pendapat ahli yang menyebutkan ciri-ciri peraturan berbentuk beleidregel, antara lain: [1] tidak didasarkan langsung maupun tidak langsung pada UUD atau UU;[2] peraturan itu dapat: [a]. tidak tertulis dan terjadi serangkaian keputusan instansi pemerintah yang berdiri sendiri dalam rangka menyelenggarakan kewenangan pemerintah yang tidak terikat dan [b]. ditetapkan dengan tegas secara tertulis oleh suatu instansi pemerintah; serta [3] peraturan itu pada umumnya menunjuk bagaimana suatu instansi pemerintah akan bertindak dalam menyelenggarakan kewenangan pemerintah yang ”tidak terikat” terhadap setiap orang dalam situasi sebagaimana dimaksud dalam peraturan itu [menurut Van Kreveld, dalam Anna Erliyana, op cit]. Dalam pandangan penulis, dalam masa reformasi seperti sekarang ini, Presiden akan berpikir panjang untuk mengeluarkan Perpres berbentuk Beleidregel ini. Bukan hanya karena Amandemen UUD 1945 telah mengurangi kewenangan presiden; tetapi juga ia akan berhadapan dengan warga politik yang lebih terbuka dan kritis.
Download di sini
01 November 2009
Limbah Adaro dan Audit lingkungan Perusahaan Batubara di Kalimantan Selatan
Bisa jadi, ada alasan Menteri Lingkungan Hidup baru berasal dari Kalimantan Selatan. Ia punya pekerjaan rumah besar untuk menata lingkungan hidup asal provinsinya. Sebagai provinsi penghasil batubara terbesar kedua di Indonesia, justru manfaat yang didapat hanya sedikit, malah hanya meninggalkan borok-borok lingkungan dan sosial. Dari segi ekonomi, Kalimantan Selatan sebenarnya hanya mendapatkan sedikit manfaat dari batubara yang dikeruk dari buminya, misalkan dilihat dari pembagian royalti dari PKP2B yang hanya mendapatkan Rp 85 miliar/tahunnya. Belum lagi masalah manfaat lain batu bara, semisal untuk keperluan listrik, Kalimantan Selatan hanya mendapati listriknya sering mati, karena hampir semua batubaranya diekspor ke luar negeri atau disalurkan buat kepentingan PLTU Jawa Bali.
Di saat seperti itu, kerusakan lingkungan mengintai provinsi ini. Di Provinsi yang relatif kecil ini, beroperasi 13 perusahaan PKP2B dalam tahap eksploitasi yang kapasitas produksi perbulannya mencapai 6 juta ton batubara. Perusahaan Batubara pemegang Kuasa Pertambangan [KP] berjumlah kurang lebih 73 buah dengan kapasitas produksi mencapai 1, 7juta ton/bulan. Tidak hanya itu, ada sekitar 43 KP yang sudah berhenti beroperasi yang pastinya meninggalkan borok-borok muka bumi dan limbah berbahaya. Proses reklamasi lahan tambang dari perusahaan KP justru lebih tidak transparan dan tidak diatur secara detail dalam peraturan sebagaimana di perusahaan PKP2B. Karena itu pula, Menteri Lingkungan Hidup yang baru meminta Pemerintah Provinsi untuk melakukan audit lingkungan pada semua perusahaan tambang yang ada di Kalsel dengan prioritas pada ketaatan perusahaan dalam menjaga dan mengelola lahan bekas tambangnya. Karena inilah “manfaat” yang paling nyata ditinggalkan perusahaan batu bara.
Tetapi jebolnya fasilitas kolam pengendapan limbah cair PT Adaro pada 23 Oktober 2009 kemarin telah menyebabkan kerugian lingkungan besar pada wilayah Balangan dan Kota Amuntai, Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan. Air bersih tidak ada lagi, ikan-ikan tidak bisa dimakan dari Sungai Balangan. PT Adaro memang sudah mengakui jebolnya kolam pengendapan limbar cair batubaranya itu dan menyatakan bertanggung jawab, termasuk dengan menyediakan persediaan air bersih bagi empat kecamatan yang teraliri Sungai Balangan dan juga Kota Amuntai. Tapi, masih harus dilihat bagaimana bentuk tanggung jawab PT Adaro pada semua akibat jebolna penyimpanan limbah cairnya itu, misalkan pada matinya dan tidak bisa dimanfaatkannya lagi ikan-ikan di sepanjang Sungai Balangan; baik yang secara sengaja dikelola maupun tidak oleh penduduk sekitarnya. Bagaimana pula dengan kehancuran keanekaragaman hayati di sungai itu, apakah PT Adaro akan menanggungnya juga?
Karenanya, Audit Lingkungan, sebagaimana diminta MenLH tidak cukup untuk mengelola kondisi lingkungan hidup di Kalimantan Selatan. Harus ada tindakan tegas dengan segera pada perusahaan yang melakukan pencemaran lingkungan dan sekaligus di masa depan mengetatkan peraturan lingkungan hidup di Kalimantan Selatan. Pemerintah bisa mengajukan permintaan ganti rugi kepada PT Adaro yang ditujukan untuk menalangi dampak sekarang dan lanjutan dari tercemarnya Sungai Balangan dan atau meminta PT Adaro untuk menyediakan dana berlanjut untuk memantau kondisi Sungai Balangan dan sekitarnya. Penduduk sekitar Sungai Balangan dan penduduk Kota Amuntai bisa bersama-sama mengajukan gugatan class action meminta PT Adaro untuk bertanggung jawab dan meminta ganti rugi atas actual loss dan potential loss atas hancurnya ekosistem dan penghidupan di sekitar mereka. Tentu saja, hal pertama yang harus dilakukan oleh PT Adaro adalah mengurangi dan menghilangkan pencemaran di Sungai Balangan dan sekitarnya itu.
Dalam masa yang akan datang, pengetatan aturan pengelolaan lingkungan hidup oleh perusahaan tambang perlu dilakukan. Pengawasan pemerintah juga harus diperketat lagi, mengingat sistem penegakan hukum lingkungan hidup kita adalah “command and control” di mana posisi regulator menjadi penting karena berhasil atau tidaknya penegakan ditentukan oleh pengawasan regulator pada penaatan aturan yang dibuatnya. Karenanya perlu dibuatkan pengaturan di luar command and control, semisal perusahaan menyediakan Jaminan Reklamasi di awal sebelum dilakukan operasi perusahaan atau mekanisme berbasiskan ekonomi lainnya.
25 Oktober 2009
Tuntutan Penduduk Kivalina Ditolak Pengadilan
Tuntutan penduduk Kivalina, Alaska terhadap 24 perusahaan minyak, listrik atas terjadinya kerusakan lingkungan di sekitar kota mereka akhirnya ditolak oleh pengadilan tingkat pertama di California. Penolakan ini didasarkan pada dua hal: pertama, karena tuntutan itu menerbitkan “non-justiciable political question” dan kedua, penuntut tidak mempunyai dasar hukum untuk menuntut.
Dalam sistem peradilan Amerika sana ternyata ada yang namanya Doktrin Masalah Politik, dimana doktrin ini lahir sebagai konsekuensi adanya doktrin pemisahan kekuasaaan [legislatif, eksekutif, yudikatif] dimana ada masalah publik yang merupakan masalah politik dan bukan masalah hukum, sehingga masalah politik itu seharusnya diselesaikan oleh institusi politik, seperti legislatif dan eksekutif. Dalam masalah seperti itu, pengadilan tidak mempunyai wewenang untuk memeriksa perkara.
Hakim di pengadilan pertama itu berpendapat bahwa masalah siapa yang bertanggung jawab, bersalah dan diharuskan menanggung biaya atas terjadinya pemanasan global merupakan masalah yang harus diselesaikan terlebih dahulu di tingkat politik. Dalam kasus Kivalina ini, misalkan dalam hal mencari hubungan antara aktivitas 24 perusahaan, perubahan iklim dan dampaknya pada penduduk Kivalina, penuntut menyederhanakan hal itu terjadi karena aktivitas yang dilakukan oleh pihak tertuntut [dengan menghasilkan Emisi Rumah Kaca] dan untuk menjawab pertanyaan mengapa hanya ke-24 perusahaan yang dituntut? karena merekalah aktor utama terjadinya perubahan iklim. Penuntut tidak bisa membuktikan adanya Emisi Rumah Kaca tertentu yang dihasilkan oleh aktor tertentu yang kemudian memberikan dampak tertentu pada penduduk Kivalina, sesuatu yang dalam dalam doktrin pengadilan Amerika sebagai “judicially discoverable and manageable standards”.
Ketiadaan “judicially discoverable and manageable standards” itu telah menyebabkan kasus ini memenuhi kriteria Doktrin Masalah Politik di atas. Dengan kata lain, penuntut meminta kepada pengadilan untuk memberikan putusan politik yang menyebutkan bahwa ke 24 perusahaan itulah yang menanggung biaya atas terjadinya perubahan iklim. Padahal patut dipercaya bahwa yang menghasilkan emisi rumah kaca bukan hanya ke-24 perusahaan itu, namun terdapat di hampir penjuru dunia dan berdampak pada planet bumi secara keseluruhan. Pengadilan merasa bahwa untuk masalah pembagian kesalahan dan juga biaya atas terjadinya perubahan iklim lebih baik diserahkan pada keputusan politik di legislatif atau di eksekutif.
Hal kedua yang menyebabkan tuntutan Kivalina itu ditolak adalah masalah legal standing penuntut. Menurut hakim, tidak bisa dibuktikan adanya tindakan ke-24 perusahaan itu pada kerugian yang diderita oleh penuntut menjadi salah satu faktor ditolaknya tuntutan itu.
Kasus Kivalina ini seperti akan terus berlanjut, karena penuntut melakukan banding ke pengadilan lebih tinggi.
24 Oktober 2009
Tumpahan Minyak Montara dan Perlunya Kesepakatan Regional di Laut Timor
Kejadiannya di mulai di jurisdiksi negara tetangga, Australia. Pada 21 Agustus 2009, sebuah rig minyak dalam proyek eksplorasi minyak lepas pantai terbesar kedua di Australia bernama Montara gagal dalam melakukan pengeboran sehingga minyak dari dasar laut sedalam kurang lebih 2,6 kilometer itu menyembur keluar dan mengotori Laut Timor. Rig minyak bernama The West Atlas itu dioperasikan oleh PTTEP Australasia, anak perusahaan PTTEP Thailand – dimiliki oleh mantan PM Thailand, Thaksin Sinawatra, dan berada di 690 kilometer dari Kota Darwin, Australia. Tumpahan minyak itu menggenangi areal seluas 2500 mil persegi pada 30 Agustus 2009; kemudian pada 3 September 2009 mulai memasuki wilayah Indonesia dengan posisi pada tanggal 29 September 2009 berada sejauh sekitar 50 mil dari batas wilayah perairan laut antara Indonesia-Australia. PTTEP sendiri sejauh ini sudah melakukan tiga kali usaha untuk menutup kebocoran itu, tetapi semuanya gagal.
Tumpahan minyak di daerah “Coral Triangle” itu jelas telah menerbitkan protes dari banyak pihak, baik dari Australia maupun Indonesia. Protes dari kalangan environmentalis berdasarkan pada potensi mati dan hilangnya keanekaragaman hayati di tempat itu. Wilayah itu merupakan koridor bagi migrasi paus dan penyu, berbagai jenis ikan dan terumbu karang. Protes juga terbit dari kalangan nelayan Indonesia yang menggantungkan hidup dari keberadaan ikan di wilayah Laut Timur yang menghasilkan komoditas kurang lebih 130.000 ton/tahun. Jika tumpahan minyak itu terus masuk ke wilayah Indonesia, dikawatirkan ia akan masuk ke kawasan perlindungan laut terbesar di Indonesia, Kawasan Konservasi Perairan Nasional Laut Sawu. Protes kalangan masyarakat sipil di Australia juga mempertanyakan kebenaran jumlah minyak yang tertumpah yang diklaim oleh Pemerintah Federal Australia dan PTTEP sebesar 500.000 liter per hari.
Dengan demikian, permasalahan yang bisa dilingkupi adalah adanya rig minyak yang dimiliki oleh operator swasta yang berada di jurisdiksi Australia yang mengalami kebocoran [berarti bukan di wilayah ZEE], yang tumpahan minyaknya memasuki wilayah negara lain, Indonesia, dimana tumpahan minyak itu berada di kawasan kaya keanekaragaman hayati laut. Jadi ada beberapa “wilayah” hukum atau aturan yang saling berkaitan: aturan tentang laut dan kelautan,aturan tentang pengeboran minyak lepas pantai dengan aturan lingkungan hidup, baik nasional maupun internasional.
Aturan Internasional tentang laut dan Polusi
Sedikit penjelasan tentang aturan yang mengatur mengenai polusi di suatu negara yang berakibat pada negara lain sudah saya tuliskan di sini.
Tumpahnya minyak Montara itu jika disederhanakan merupakan kejadian yang melanggar aturan tentang lingkungan hidup di wilayah laut. Hal ini terjadi karena aturan internasional yang langsung mengatur mengenai polusi dari aktivitas seperti ini masih dalam tahap perkembangan.
Dalam UNCLOS, aktivitas polusi akibat pengeboran minyak di lepas pantai di dasar laut itu dimasukkan dalam Pasal 208 UNCLOS yang mengatur mengenai Polusi Akibat Aktivitas Bawah Laut di Jurisdiksi suatu Negara. Dalam pasal itu tertera jelas bahwa negara pantai berkewajiban membuat aturan dan hukum yang mencegah, mengurangi dan mengontrol polusi dari aktivitas di bawah laut, dimana aturan dan hukum itu tidak boleh lebih lemah daripada aturan internasional, standar dan prosedur serta best-practice yang mengatur aktivitas tersebut. Negara-negara juga diharuskan melakukan harmonisasi kebijakan dengan negara lain di wilayah regional yang sama. Dalam hal terjadi polusi, maka negara yang masuk dalam Pasal 208 ini harus melakukan usaha untuk mencegah, mengurangi dan mengontrol polusi tersebut. Dari apa yang dimaksud dengan aktivitas di dasar laut, maka aktivitas pengeboran minyak lepas pantai dimasukkan dalam kriteria aktivitas di dasar laut.
UCLOS juga mengatur mengenai polusi yang dikibatkan aktivitas di dasar yang berada di luar jurisdiksi suatu negara Pasal 209]. Dalam kasus ini, aturan ini tidak akan saya singgung, karena Montara berada di wilyah jurisdiksi Australia.
Aturan Internasional lain yang juga bisa diberlakukan adalah 1972 London Convention, 1976 Mediteranian Convention, kemudian di tahun 1982, UNEP mengeluarkan pedoman tentang penambangan dan pengeboran lepas pantai.
Sampai sekarang, belum ada aturan internasional yang menerjemahkan secara detail Pasal 208 ini, terutama dalam masalah polusi dari aktivitas perminyakan. Karenanya negara-negara hanya melakukan harmonisasi kebijakan yang pemberlakuannya bersifat regional. Aturan itu adalah:
1. 1989 The Kuwait Protocol concerning Marine Pollution Resulting from Exploration and Exploitation of the Continental Shelf
2. 1994 THE PROTOCOL FOR THE PROTECTION OF THE MEDITERRANEAN SEA AGAINST POLLUTION RESULTING FROM EXPLORATION AND EXPLOITATION OF THE CONTINENTAL SHELF AND THE SEABED AND ITS SUBSOIL [1994 Madrid Offshore Protokol; berlaku di Laut Mediterania; belum berlaku]
3. 1992 The Black Sea Convention
4. 1992 The Baltic Sea Convention
Tampak bahwa belum ada aturan yang sifatnya regional yang mencandra terjadinya tumpahan di Laut Timor itu. Maka nampaknya ia akan disandarkan pada aturan nasional negara Australia.
Kewajiban Negara Australia
Australia ternyata membagi wilayah kewenangan laut antara negara bagian dengan negara federal hampir sama dengan bagaimana Indonesia membagi kewenangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah provinsi. Wilayah laut seluas sampai 3 mil dalam laut teritorial menjadi tanggung jawab negara bagian [“state”] sementara wilayah lebih dari 3 mil laut menjadi kewenangan negara federal. Dalam hal terjadinya polusi di wilayah suatu negara dan berdampak pada wilayah negara lain, maka sudah menjadi prinsip internasional, negara “pembuat” polusi menjadi negara yang bertanggung jawab untuk menjaga dan menghentikan polusi tersebut. Tapi dalam implementasinya digantungkan pada hukum nasional dan kalau bisa aturan bilateral atau regional wilayah negara tersebut. Bagaimana dengan polusi yang dihasilkan dari aktivitas pengeboran minyak lepas pantai yang berdampak pada wilayah negara lain?
Untuk masalah lingkungan dalam pengeboran lepas pantai, Australia memiliki beberapa aturan, yakni: Petroleum (Submerged Lands) Act 1967 dan Environment Protection and Biodiversity Conservation Act 1999. Karena tumpahan minyak juga masuk ke dalam kawasan laut negara bagian, maka aturan lingkungan di negara bagian tersebut juga wajib dilihat. Harus dilihat juga Persetujuan antara APPEA dan Departemen Lingkungan Australia, yang merupakan kesepakatan bersifat voluntary dalam hal pelaksanaan best practice dalam pengelolaan lingkungan dalam aktivitas perminyakan.
Tampak bahwa sebenarnya aturan hukum di Australia juga bersifat Command and control, dalam arti peran pemerintah sangat berarti dalam menjaga lingkungan dengan cara membuat standar, memberikan perijinan dan mengawasi perijinan serta menindak jika ada pelanggaran. Menurut kedua aturan di atas, perusahaan diharuskan melakukan aktivitas yang mengacu pada aktivitas terbaik dalam sektor perminyakan. Perusahaa minyak yang hendak melakukan eksploitasi di laut lepas diharuskan juga membuat “Environmental Plan” [diharuskan oleh PSLA 1967], “Assessment on preliminary documentation”, “Public environment report”, “An environment impact statement”, “Public enquiry dan atau “An accredited process” [5 terakhir diminta oleh EPBC 1999]. Perijinan macam inilah yang nantinya akan dijadikan bahan bagi pemerintah Australia untuk melakukan pengawasan.
Dalam hal terjadi kerusakan lingkungan maka, seperti juga di negara lain, pemerintah memberikan peringatan, denda, penundaan proyek dan bahkan pembatalan proyek.
Intinya, pemerintah Australia mempunyai aturan lingkungan yang langsung terkait dengan aktivitas pengeboran minyak di lepas pantai serta aturan tidak langsung lainnya [seperti, Aboriginal and Torres Strait Islander Heritage Protection Act 1984, Fisheries Management Act 1991 dan Industrial Chemicals (Notification and Assessment) Act 1989] serta best practice yang disusun oleh APPEA dan persetujuan APPEA dengan departemen lingkungan Australia. Kesemuanya aturan tersebut menjadi dasar bagi Australia untuk bertanggung jawab atas terjadinya kebocoran minyak tersebut. Dan memang, Pemerintah Australia sudah melakukan upaya dengan mengharuskan PTTEP Australasia untuk mengurangi dan menghentikan dampak kebocoran itu dan memonitor kondisi perairan laut Timor. Dalam hal masuknya kebocoran minyak ke wilayah Indonesia, sudah ada kapal yang sedang memonitor dampak pada lingkungan dan kehidupan nelayan di wilayah NTT.
Perlukah Perjanjian Regional dalam Pengeboran Minyak Lepas Pantai di Perairan Perbatasan dengan Australia?
Namun, kebocoran minyak di lepas pantai Darwin ini sebenarnya membuka masalah lama yang sepertinya sudah lama hendak dilupakan oleh Indonesia. Harus lepasnya Timor-Timur dari Indonesia dan menjadi negara merdeka merupakan aib yang hendak ditutupi terus oleh Indonesia, termasuk segala tuntutan HAM kepada Indonesia. Muncul juga sinyalemen bahwa Australia – yang awalnya mendukung aksi Indonesia di Timor-Timur – kemudian berbalik menjadi pihak yang mengambil untung banyak akibat lepasnya Timor-Timur itu; yang jika di-kuantifikasi-kan terlihat dalam perjanjian kerjasama Australia-Timur-Timor dalam pembagian keuntungan pengeboran minyak di kedua perbatasan kedua negara.
Sampai sekarang, perundingan perbatasan antara tiga negara masih terus dilakukan, terutama dalam mengatur pengelolaan ZEE. Indonesia dan Australia hingga saat ini belum menyetujui batas ZEE kedua negara; yang kemudian sangat merugikan posisi nelayan Indonesia. Perbatasan itu masih didasarkan ketika Timor-Timur masih sebagai wilayah Indonesia; dengan lepasnya Timor-Timur seharusnya ada perundingan lagi untuk membicarakan masalah itu.
Nah, dalam hal kebocoran minyak ini, posisis Indonesia adalah korban yang hanya bisa meminta Pemerintah Australia melaksanakan kewajiban internasionalnya dengan tidak bisa melakukan ‘intervensi” dalam bentuk apa seharusnya kewajiban Australia itu dilakukan dengan memperhitungkan kepentingan bangsa Indonesia. Hal yang sama mungkin dirasakan oleh Singapura dan Malaysia yang saban tahun kebagian asap akibat kebakaran hutan di Indonesia. Yang mereka lakukan adalah melakukan proteksi dalam wilayah yurisdiksi mereka sambil meminta “pengertian” Indonesia untuk menghentikan kebakaran hutannya. Tapi siapa yang bisa mengarahkan arah angin? Malaysia dan Singapura telah membantu Indonesia dalam mengatasi kebakaran hutannya itu; namun kerja sama itu bersifat ad-hoc dan doktrin kedaulatan negara menjadi faktor yang menghalangi tindakan lebih jauh dalam kerja sama menghentikan kerusakan lingkungan itu. Apalagi dengan kenyataan Indonesia, secara geopolitik, jauh lebih kuat daripada kedua negara itu.
Bangsa Indonesia jelas tidak bisa berdiam diri ketika melihat bocoran minyak itu memasuki halaman rumahnya dan merusak keanekaragaman hayati yang penting bagi kelangsungan hidup bagi penduduk di sekitar Laut Timor. Dia harus melakukan sesuatu. Tidak adil jika Indonesia menjadi korban sekaligus harus menyelesaikan kerusakan lingkungan yang dilakukan oleh pihak lain tanpa adanya “pengetahuan” dari negara lain.
Saluran diplomatik jelas menjadi satu-satunya jalan yang dimungkin sekarang ini. Indonesia sewajarnya meminta Australia agar juga bertanggung jawab dalam terjadinya kebocoran itu. Dan kemudian menunggu…, sampai kemudian hal lebih buruk terjadi. Bisa jadi kunjungan PM Australia kemarin tidak hanya membicarakan masalah pelintas batas illegal dari negara-negara Asia Selatan, tetapi juga membicarakan masalah ini.
Pada titik ini saya kira, keberadaan sebuah perjanjian regional dengan Australia dan juga Timor-Timur perlu dilakukan. Mungkin tidak langsung menyangkut hal yang lebih “substansial” dan “sensitif” seperti pengurangan/penambahan wilayah negara, namun dalam hal yang bisa memberikan keuntungan bersama, seperti kerja sama ekonomi di wilayah yang diklaim sebagai wilayah ZEE.
Dalam hal pengeboran minyak, sewaktu Timor-Timur masih sebagai wilayah Indonesia, sudah ada kesepakatan kerja sama di area perbatasan Timor-Timur dengan Northern Australia yang terkenal dengan Timor Gap Treaty. Ketika imor-Timur merdeka, kesepakatan itu direvisi menjadi kesepakatan antara Australia dengan Negara Timor-Timur. Dengan adanya kejadian kebocoran minyak ini, tidak ada salahnya diadakan perjanjian regional tentang perlindungan laut akibat aktivitas pengeboran minyak dengan mengambil pelajaran dari wilayah kelautan lain, seperti Mediterania dan Baltik atau, yang lebih maju, seperti di Timur Tengah. Sebuah treaty atau traktak ini sifatnya mengikat bisa memperjelas apa yang harus dilakukan oleh masing-masing negara ketika ada operator minyak yang hendak membuka pengeboran di wilayah teritorial sebuah negara, bentuk pemberitahuan macam apa yang harus dibuka ke negara lain, kewajiban dan hak masing-masing negara, dst, sehingga ketika kejadian seperti ini berulang sudah ada tindakan segera yang tidak menggantungkan diri pada baik-buruknya atau cepat-tidaknya hubungan diplomatik antar negara. Tidak ada pihak yang menunggu, melempar tanggung jawab, pun tidak ada pihak yang merasa tidak harus peduli atau pura-pura peduli karena itu bukan wilayah negaranya sambil mengetahui bahwa di lapangan dampaknya telah nyata merusak lingkungan dan masyarakat sekitar.
15 September 2009
Minyak Pertamina Tumpah Di Taman Nasional Kutai

Berdasarkan UU PLH, pelaku usaha yang melakukan pencemaran/perusakan lingkungan hidup wajib melakukan usaha penanggulangan dan pemulihan serta memberikan kompensasi pada pihak yang terkena dampak. Dalam kasus ini, Pertamina akan memberikan ganti rugi bagi dua entitas: hutan dan kebun. Bagi lahan hutan, Pertamina akan melakukan rehabilitasi pada lahan hutan yang diharapkan dalam waktu 2-3 bulan ke depan kondisi tanah sudah kembali normal. Nah untuk tanah kebun yang tercemar minyak, Pertamina hanya akan memberikan ganti rugi kepada masyarakat berdasarkan pepohonan yang mati dan tidak akan mengganti atau memberikan ganti rugi berdasarkan tanah yang tercemar [dengan "bonus": tidak boleh mewartakan peristiwa tumpahnya minyak ke orang asing!]. Dengan kata lain, Pertamina mengetahui bahwa keberadaan masyarakat sekitar kawasan pengeborannya itu illegal, dimana diyakini tanah itu bukan tanah masyarakat, melainkan lahan hutan TNK. Dan karenanya, Pertamina hanya akan mengganti pada entitas yang benar-benar dimiliki oleh masyarakat sekitar: pepohonan.
Pertanyaan yang mengemuka dari kasus tumpahnya minyak ini adalah: Apakah "illegalitas" atas tanah membuat masyarakat sekitar terkurangi haknya atas perlindungan lingkungan, karena kemudian Pertamina sepertinya tidak akan melakukan rehabilitasi pada lahan perkebunan warga - setidaknya tampak dari pernyataan PR mereka ["...As for the affected farms, we will offer compensation for every lost tree. We won’t compensate for land because it belongs to the park....”]? Tapi bukankah Pertamina sendiri tahu bahwa "tanah" kebun itu sebenarnya adalah lahan hutan TNK, mengapa lalu dibedakan perlakuannya?
Kesampingkan dulu kekaburan hak atas tanah masyarakat itu [perlu tulisan tersendiri yang komprehensif mengenai hal itu], perlu kiranya diperhatikan: bukankah mereka sudah melakukan usaha tertentu, memelihara, memberikan pupuk, dst atas tanah "illegal" itu, dan bukankah usaha ini layak juga untuk diganti, bukan hanya tegakan pohon yang mati? Dan sudahkan ada jaminan tanah itu benar-benar akan pulih kembali sehingga dapat ditanami kembali oleh masyarakat?
Masyarakat terkena dampak tumpahan minyak di Desa Sangkima itu sepertinya akan tetap berusaha meminta ganti rugi ke Pertamina dengan tidak hanya berdasarkan pada jumlah pepohonan yang mati, tetapi juga berdasarkan luas tanah yang terkena tumpahan. Alasannya masuk akal: ada banyak tanah kebun yang tidak ada pohonnya. Jelas, jika ganti rugi hanya didasarkan pada pepohonan, maka "pemilik" tanah itu tidak akan mendapatkan ganti rugi apapun.
Lalu bagaimana dengan pemulihan Pertamina atas tercemarnya Sungai Sangatta? Belum jelas, bahkan sama sekali tidak disinggung oleh PR Pertamina.
Peristiwa pencemaran lingkungan di kawasan konservasi seharusnya penanganannya dilakukan dengan tidak biasa-biasa saja. Pelaku usaha yang mendapat ijin melakukan usaha di kawasan konservasi seharusnya mengetahui kekhasan dan kekayaan lingkungan tempat usahanya sehingga dalam melakukan usahanya perlu dipagari dengan standar lingkungan yang tinggi.
Siapa saja yang Illegal?
Tapi, sebentar, mengapa Pertamina mendapatkan Ijin Pinjam Pakai di Kawasan Taman Nasional? Bukankah Ijin Pinjam Pakai, apalagi untuk kepentingan pertambangan, dibatasi hanya di Hutan Produksi dan hutan lindung?
Sepanjang pengetahuan saya, Ijin Pinjam Pakai Pertamina di kawasan Sangkima itu pertama kali didapatkan pada tahun 1995. Waktu itu perjanjian pinjam pakai dilakukan antara Kantor Wilayah Dephut Provinsi Kaltim dengan Pertamina Operasi Produksi EP Sangatta dan dicantumkan dalam SK Nomor 016/KWL/PTGH-3/1995 tanggal 16 Maret 1995 seluas 8,75 ha dengan jangka waktu 5 tahun. Perjanjian Pinjam Pakai ini untuk keperluan pemboran satu sumur di wilayah TNK di dalam wilayah administratif Kabupaten Kutai.
Pada tahun 1996, Pertamina Operasi Produksi EP Sangatta kembali melakukan perjanjian pinjam pakai kawasan TNK untuk keperluan eksploitasi 4 sumur minyak dengan luas 11,5697 ha. Jangka waktunya 5 tahun dimulai pada 12 Desember 1996 sampai dengan 12 Desember 2001. Perjanjian Pinjam Pakai selanjutnya setelah tahun 2001, saya tidak menemukannya. Bahkan untuk perjanjian pinjam pakai tahun 1996 belum jelas SK-nya nomor berapa.
Dua perjanjian pinjam pakai itu mengikuti Aturan Pinjam Pakai yang diatur oleh Kepmenhut 55/Kpts-II/1994 serta Kepmenhut No. 41/Kpts-II/1996. Masalahnya dalam dua aturan ini Taman Nasional berada di luar kawasan hutan yang bisa dipinjam-pakaikan. Lahan hutan yang bisa dipinjam-pakaikan terbatas pada hutan produksi.
Tapi, bisa jadi kemudian Pertamina berlindung di balik Pasal 8 Kepmenhut 55/Kpts-II/1994 yang menyatakan bagi kegiatan pertambangan dan energi diatur dalam peraturan tersendiri. Sejauh yang saya tahu peraturan yang mengatur mengenai penggunaan hutan untuk keperluan pertambangan dan energi ada dalam Keputusan Bersama Menteri Pertambangan dan Energi dan Menteri Kehutanan No.969.k/05/M.PE/1989 – No. 429/Kpts-II/1989 tentang Pengaturan Pelaksanaan Usaha Pertambangan dan Energi dalam Kawasan Hutan.
Di dalam SKB dua menteri di atas itu pun ternyata disebutkan bahwa di dalam Taman Nasional, Taman Wisata dan Hutan dengan fungsi khusus tidak dapat dilakukan kegiatan:
-
penyelidikan umum, eksplorasi, eksploitasi, pengolahan dan pemurnian pertambangan umum;
-
eksplorasi, eksploitasi, pemurnian dan pengolahan minyak dan gas bumi;
-
eksplorasi dan eksploitasi sumberdaya panas bumi;
-
eksplorasi pada pembangunan proyek ketenagalistrikan, konstruksi dan eksploitasi ketenagalistrikan.
Bagaimana dengan status kawasan itu sebelum Pertamina melakukan perjanjian pinjam pakai, yang setidaknya bisa memberikan justifikasi keberadaan Pertamina di dalam kawasan TNK? Ternyata kawasan itu sejak tahun 1950-an sudah ditetapkan sebagai Taman Margasatwa yang kemudian di tahun 1982 direncanakan dijadikan taman nasional; selanjutnya pada tahun 1995 ditunjuk sebagai kawasan taman nasional Kutai. Sehingga jelas ketika Pertamina melakukan perjanjian pinjam pakai, kawasan itu sudah masuk di dalam kawasan TNK yang menurut berbagai aturan yang ada sebenarnya tidak bisa dipinjam-pakaikan.
Tapi hukum kita memang berjalan dengan ajaib. Pasal 2 Ayat 3 SKB tersebut menyebutkan jika pada saat penetapan atau perluasan Taman Nasional, Taman Wisata atau Hutan dengan fungsi Khusus telah ada 4 kegiatan di atas, maka kawasan itu harus dikeluarkan dari Taman Nasional, Taman Wisata atau Hutan dengan fungsi Khusus. Sehingga seharusnya kawasan yang sekarang ditumpahi minyak itu dikeluarkan [di-enclave] dari TNK. Tetapi kenyataannya, kawasan itu masih berada di dalam kawasan TNK dan Pertamina mengakuinya sendiri.
Dan, terus terang, itu membuat saya bingung: bukankah lebih bagus jika kawasan Pertamina itu dikeluarkan dari kawasan TNK daripada tetap sebagai kawasan TNK dengan peruntukan yang tidak dibenarkan oleh aturan yang ada. Secara yuridis juga lebih menguntungkan kedua pihak jika kawasan itu tidak berada di dalam kawasan TNK.
Apakah itu terjadi karena status kawasan TNK sekarang "hanya" berupa penunjukan dan bukan penetapan? Tapi bukankah dalam "status" penunjukan kawasan ini memungkinkan adanya perubahan luas dan batas kawasan hutan sehingga proses pengenclavan bisa dilakukan dengan lebih baik? Mengapa sepertinya ada kesan mempertahankan kawasan itu sebagai kawasan TNK dengan konsekuensi menginjak aturan yang dibuat sendiri, atau bahkan kawasan itu malah tambah rusak? Jika ingin mempertahankan luas kurang lebih 12ribu sebagai kawasan TNK, kenapa tidak mengusir Pertamina; bukannya malah memberikan ijin pinjam pakai yang terlarang?
Penunjukan dan penetapan kawasan hutan merupakan awal dan ujung dari proses pengukuhan kawasan hutan. Di tengah dua proses itu ada proses penataan dan pemetaan batas hutan. Proses pengukuhan merupakan usaha untuk memberikan kepastian hukum atas status, fungsi, letak, batas dan luas suatu kawasan hutan. Tapi janganlah salah, hanya karena statusnya penunjukan, seolah kawasan itu kepastian hukumnya kurang kuat. Ia memberikan kepastian bahwa suatu kawasan tertentu "akan" ditetapkan sebagai kawasan hutan dengan fungsi dan status tertentu. Yang berubah adalah luas dan batasnya, tetapi status dan fungsinya tetap mengikuti alasan kenapa kawasan itu ditunjuk. Jika kawasan itu ditunjuk sebagai kawasan taman nasional, maka yang mungkin berubah adalah luas dan batas kawasannya, bukan status taman nasionalnya. Dalam proses penataan dan pemetaan batas kawasan hutan itulah, negosiasi dimungkinkan dengan pihak "luar" yang berbatasan dengan kawasan hutan: mungkin saja menyempit [dienclave], tetap [misal, jika dienclave dan ada kompensasi wilayah] atau malah melebar.
Dalam hal TNK, penunjukan statusnya sebagai kawasan TNK membuat semua aturan yang berhubungan langsung atau tidak langsung dengan kawasan taman nasional melekat pula kepadanya. Termasuk didalamnya adalah aturan tentang tidak diperbolehkannya taman nasional sebagai wilayah yang bisa dipinjam-pakaikan.
Jadi, sejauh yang dapat saya katakan dalam tulisan ini, keberadaan Pertamina di dalam kawasan TNK dengan Ijin/Perjanjian Pinjam Pakai itu sebenarnya dapat dipertanyakan legalitasnya karena menyalahi aturan yang ada. Tapi saya kira, jelas Pertamina tidak berdiri sendiri.
Intinya: kedua belah pihak, masyarakat dan Pertamina berada dalam posisi yang sama: pendatang illegal di TNK.
Lalu dimanakan peran pemerintah dalam kasus ini? Bukankah, untuk entitas hutan dan sungai sangatta, pemerintah bisa berdiri sebagai pihak yang terugikan dan menuntut adanya berbagai bentuk kompensasi? Bukankah ada "kelalaian" yang menyebabkan kerusakan lingkungan, hilangnya biodiversitas, dan masyarakat yang dirugikan?
Yang juga penting, apa yang akan dan seharusnya dilakukan oleh pemerintah, Bapedalda, Dinas Pertambangan dan Balai Taman Nasional Kutai agar setidaknya peristiwa ini tidak terulang di masa depan? Jangan sampai dengan alasan tidak tahu, di luar wewenang, pihak "pengawas", "pengurus" TNK tersebut diam seribu bahasa dan menutup mata.
----
Photo: Jakarta Globe