29 September 2011

Biomassa: energi terbarukan dan kekawatiran penguasaan lahan

Dalam banyak hal, pasti ada dilemanya. Kaitannya dengan saya, urusan energi terbarukan selalu ada dilemanya. Terutama di negeri kacau seperti Indonesia ini. Lihat saja soal pengembangan energi panas bumi. Dari struktur geologinya saja sangat mudah ditemukan panas bumi di lereng-lereng gunung. Hanya saja, kelerengan tertentu dari suatu bentang alam masuk ke dalam "kawasan lindung", mesti dipertahankan. Apalagi jika kawasan lindung itu masuk ke dalam "kawasan hutan, biasanya ia masuk kategori hutan lindung atau hutan konservasi. Dua kategori hutan ini sangat terseleksi jika mau dimanfaatkan selain untuk kehutanan. Apalagi panas bumi ini masuk ke dalam "pertambangan". Di hutan konservasi, pasti tidak diperbolehkan. Di hutan lindung? Hanya pertambangan bawah tanah yang diperbolehkan (kecuali 13 perusahaan tambang sialan yang diloloskan perijinannya pada tahun 2004 oleh Megawati). Mungkin tidak akan jadi dilema, jika kita punya ketegasan sikap dan punya roadmap yang jelas dan dikerjakan secara konsisten.

Anyway, dilema yang sama sepertinya akan lahir dari biomas atau tepatnya penggunaan biomassa untuk dijadikan energi. Kali ini dikaitkan dengan kekawatiran penguasaan lahan (land-grabbing) di negara-negara Selatan. Dulu, saya pernah mengulas bahwa sudah ada kemungkinan ditemukannya teknologi yang dapat menghasilkan energi/listrik dari kayu chip yang dipelopori oleh perusahaan bubur kertas di Amerika. Sekarang, teknolog itu sudah mulai "dewasa" dengan ditandai naiknya persentase biomassa dalam bauran energi terbarukan global, yakni 77% dan 87% dari biomassa itu berasal dari kayu. Negara-negara Eropa mulai mempergunakan teknologi yang murah dan efesien ini untuk mengejar target bauran energi terbarukan mereka (dapat dilihat di laporan IIED ini).

Selama ini, kebutuhan akan kayu dapat mereka pasok dari hutan-hutan di sekitar mereka. Namun hal ini tidak berlangsung lama, karena kebutuhan akan kayu tersebut akan melewati kapasitas hutan mereka. Mereka harus mencari bahan kayu itu ke negara-negara lain. Kayu yang cepat tumbuh dan masih banyak ada di negara-negara tropis. Gampang dibaca apa yang akan terjadi, bukan? Sudah ada banyak perusahaan swasta yang mencari lahan di negara-negara Selatan ini dan memang memaksudkan penguasaan lahan ini untuk keperluan pembuatan biomassa. 

Tidak hanya perusahaan swasta yang terlibat, tapi juga negara. Indonesia jadi pelopornya. Pada tahun 2009, Indonesia dan Korea Selatan membuat MoU soal biomassa ini. Indonesia bersepakat "menyerahkan" 200.000 ha hutannya (karena yang menandatangani MoU-nya Kementerian Kehutanan), dan menggratiskan biaya "sewa" selama 99 tahun kepada pihak Korea Selatan. Sebaliknya, Korea Selatan berjanji akan menyediakan modal dan teknologi serta pembukaan lapangan kerja bagi Indonesia. Sampai sekarang, lokasi jelasnya masih dicari, kemungkinan besar di Kalimantan.

Dulu, saya mengkawatirkan perkembangan biomassa ini dengan pengelolaan hutan. Tetap dengan kekawatiran itu, sekarang ditambah dengan kemungkinan land grabbing, sebagaimana dikawatirkan oleh IIED juga. Apalagi ketika menyangkut dengan sistem tenurial masyarakat yang masih belum banyak diakui dan dihormati oleh negara.

Melompat dari titik ini, bisa diperkirakan apa yang akan terjadi kemudian.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar