03 November 2009

Taman Nasional Yasuni, Ekuador: Antara Minyak dan Perubahan Iklim

Seorang aktivis lingkungan hebat Indonesia pernah dengan agak mengumpat memberikan pendapat akan masih adanya pertentangan antara pembangunan dan kelestarian lingkungan di kalangan pemerintah dengan menyatakan kira-kira: “kemana aja lu, dah basi itu…” Menurutnya, pertentangan itu sudah berakhir; slash [ / ] itu sudah sewajarnya dicoret [mungkin dia murid Derrida yang patuh] dan yakin bahwa sudah ada solusi terhadap itu. Saya, si pandir itu, mencoba mencari tahu dalam jejalan informasi di alam maya, di mana saja dan hanya menemukan satu “solusi”: pembangunan berkelanjutan. Tapi saya tak yakin, ‘solusi” itu adalah solusinya. apalagi istilah itu hanya enak dijadikan bahan pidato di tengah pendengar yang tidur.

Sampai kemudian saya membaca laporan tentang Taman Nasional Yasuni di Ekuador serta Yasuni-ITT initiative-nya ini dan semakin menyakini, sehebat apapun usahamu mencoretnya, pertentangan itu masih ada. Bayangkan sebuah taman nasional yang kaya dengan keanekaragaman hayati dan dihuni serta dihidupi oleh setidaknya tiga suku Waorani. Tapi tepat di bawahnya, ada cadangan terbukti [proven!] minyak sebesar lebih satu miliar barel minyak mentah. Bukan hanya itu, minyak adalah andalan ekspor Negara Ekuador.

Sejak tahun 1900, konflik antara perusahaan minyak dan atau perusahaan kayu dengan suku Waorani sudah sering terjadi. Blok-blok minyak berulang kali berganti kepemilikan meninggalkan berbagai konflik, salah satunya antara pertarungan hukum antara Chevron dengan beberapa penduduk lokal dan masyarakat adat, termasuk Suku Waorani. Konflik itu bermula dari dugaan adanya pencemaran lingkungan yang dilakukan oleh Texaco [perusahaan yang kemudian dibeli oleh Chevron] dengan cara membuang kurang lebih 16 miliar galon limbah cairnya ke saluran sungai di areal taman nasional selama masa operasi mereka dari tahun 1964 - 1990. Tuduhan diajukan pada tahun 1993 di pengadilan federal Amerika Serikat, namun pada tahun 2003 pertarungan dipindahkan ke Ekuador dengan memakai sistem hukum Ekuador.   

Di sisi lain, terjadi perubahan kebijakan di pemerintahan Ekuador yang membuka jalan bagi munculnya Presiden Correa. Namun, tekanan terhadap Taman Nasional Yasuni sekarang tidak lagi masalah konflik antara masyarakat dengan perusahaan minyak atau perusahaan kayu atau perambah haram, namun juga ada tuntutan dari kalangan “pencinta lingkungan” atau environmentalist agar pemerintah Ekuador mempertahankan keberadaan Taman Nasional Yasuni. Dengan kata lain, pemerintah Ekuador diminta untuk tidak mempedulikan keberadaan minyak mentah dibawahnya.

Mereka sepertinya menang. Pada tahun 2007 bersamaan dengan pelaksanaan COP 13 di Bali, Presiden Correa mengumumkan Yusani-ITT Initiative, proyek perlindungan wilayah ITT [blok minyak kedua terbesar di dalam Taman Nasional Yusani, dengan cadangan minyak terbukti 850 juta barel minyak mentah]. Ekuador menantang dunia internasional dengan menyatakan bahwa Ekuador akan melepaskan kesempatan mengeksploitasi wilayah kaya minyak itu demi untuk memenuhi 3 tujuan masyarakat internasional: melindungi keanekaragaman hayati, menghormati hak-hak masyarakat adat dan mengendalikan perubahan iklim. Sebagai imbalannya, Ekuador meminta dunia internasional menyediakan kompensasi sebesar $350 juta/tahun atau hanya separuh jika wilayah itu dieksploitasi demi minyak. Berkali-kali usaha dilakukan, tenggat waktu diperpanjang, dan sebagainya, tetapi hasilnya hanya ngomong saja atau janji kosong saja seperti Pemerintah Jerman yang berjanji akan memberikan sejumlah dana namun sampai saat ini tidak ada realisasinya.

Tapi Ekuador atau supporter naifnya belum kehilangan asa. Tahun ini mereka melirik perdagangan karbon. Mereka berencana membuat “Yasuni Guarantee Certificates” dan akan menjualnya di pasar bebas atau, kalau sudah ada, pasar wajib karbon. Tapi jelas, pilihan menerbitkan “Yasuni Guarantee Certificates” di pasar karbon tidak akan memenuhi salah satu tujuan mengapa Yasuni-ITT dibuat, yakni pengendalian perubahan iklim. Karena dengan sistem offset, mereka yang seharusnya mengurangi emisinya dapat terus melanjutkan kegiatannya setelah membeli “Yasuni Guarantee Certificates” itu. Tapi apakah para pecinta lingkungan memberikan alternatif lain? Mana sumbangan itu?

Kasus ini secara telanjang mengatakan pertentangan itu tetap ada, trade off antara pembangunan dengan kelestarian lingkungan tetap hadir; bahkan negara Indonesia secara tanpa malu-malu, walaupun tersirat, menyatakan bahwa hambatan terbesar pembangunan adalah kelestarian lingkungan, lalu - dalam otak saya, tentu saja - apa maksudnya “kemana aja lu,..dah basi” tadi itu?

Ekuador telah mengambil jalan yang sangat berani, yang sayangnya tidak ditanggapi dengan semestinya. Ia memberikan sebuah contoh pada apa yang disebut dengan “tanggung jawab global” yang seharusnya juga dijawab dengan “kewajiban global”. Saya tidak membayangkan apa jadinya jika kemudian Ekuador menyerah dengan janji-janji manis tapi palsu environmentalist atau para pecinta lingkungan itu dan kemudian memilih untuk membuka kawasan ITT itu untuk minyak. Yang pasti yang pertama akan menyalak adalah para pecinta lingkungan itu.

1 komentar:

  1. thanks very much about this article, i'm looking for artricle about ecuador

    BalasHapus