Dilihat dari profil kasusnya, tampak bahwa yang dikejar adalah kasus-kasus besar (wajar karena memang KPK bekerja dengan batasan minimum kerugian negara tertentu) yang melibatkan pejabat negara dan, kadang, rekanannya.
Dan sepertinya, kepala daerah yang harus mempertanggungjawabkan perbuatannya aka terus bertambah. Baru-baru ini, Daruri, dalam pemaparan di sebuah acara (judulnya "Prospek Penangkaran Rusa Timur" jadi out of context, saya kira) mengemukakan: "...enam kepala daerah di Kalimantan yang dijadikan target operasi karena terlibat kerusakan hutan dengan mengubah fungsi hutan..." dan bahkan memperkirakan target operasi berikutnya adalah menuju Sumatera.
Nampaknya ada alasan mengapa ia membuka data seperti di atas. Hal itu ada hubungannya dengan jumlah kerugian negara yang cukup fantastis akibat perubahan fungsi hutan itu dan itu hanya di Kalimantan saja: 104 T (Kalteng), 32 T (Kaltim), dan 100 T (Kalbar). Itu pun yang terjadi di kawasan hutan lindung dan hutan konservasi. Naga-naganya, ini ada hubungannya dengan temuan Tim Satgas Anti Mafia Hukum di Kalimantan Tengah bahwa ada "...terdapat 352 unit perusahaan perkebunan dengan luas setidaknya 4,6 juta Ha namun hanya 67 unit perusahaan (sekitar 800 ribu Ha) yang memiliki izin pelepasan kawasan hutan. Terdapat pula 615 unit perusahaan yang memperoleh izin melakukan pertambangan dengan luas setidaknya 3.7 juta Ha dan hanya 9 unit perusahaan saja (atau sekitar 30 ribu Ha) yang telah memiliki izin penggunaan kawasan hutan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan..."
Dengan mudah, telunjuk kita akan mengarah pada 'desentralisasi' sebagai biangnya sebagaimana sekarang sering dihembuskan oleh banyak pihak, termasuk pemerintah pusat c.q. Departemen Kehutanan. Tidak salah memang, dalam soal pemberian ijin perkebunan dan KP (Kuasa Pertambangan), bupati/gubernur banyak mengeluarkan ijin yang disinyalir untuk membiayai atau membayar biaya politiknya. Kita selalu saja mendengar hubungan antara ijin-ijin yang keluar dengan masa pilkada. Sebuah penelitian terbaru dengan memakai data perpetaan mengkonfirmasi tersebut, bahwa tingkat pembukaan hutan yang masif di sebuah daerah berjalan seiring dengan masa pilkada kepala daerahnya.
Tapi tidak berarti desentralisasi harus diganti dengan sentralisme. Ada "penyakit" dalam pelaksanaan desentralisasi yang perlu disembuhkan, tapi saya kurang setuju jika hal itu menjadi alasan untuk menarik kewenangan daerah, apalagi menjadi sentralisme lagi. Dengan alasan itu pula, sebenarnya tidak ada desentralisasi kehutanan di Indonesia, karena hampir semua kewenangan daerah telah diambil alih oleh Departemen Kehutanan. Bisa dikatakan masa desentralisasi kehutanan Indonesia hanya berlangsung singkat: 1999 - 2001. Selebihnya adalah masa-masa di mana Departemen Kehutanan menarik kembali kewenangannya.
Lagi pula, Departemen Kehutanan mempunyai kredit besar terciptanya kondisi buruk desentralisasi (kehutanan) dengan selalu ingin tampak mengerjakan sendiri segala urusan kehutanan dan menyerahkan segala urusan yang tidak menghasilkan benefit atau pemeliharaan dan pengawasan kepada pihak daerah. Belum lagi masalah tata batas yang tidak kunjung diselesaikan yang menjadi ajang 'bancakan' bagi tidak hanya kepala daerah tetapi juga pejabat pusat kehutanan.
Dalam soal kejahatan kehutanan, jika kita memahami alur perjalanan ijin keluar, baik ijin kehutanan maupun non kehutanan (perkebunan dan pertambangan), tampak bahwa ada keterlibatan pejabat pemerintah pusat di sana. Kasus Suwarna membuktikan hal tersebut.
Nampaknya ada alasan mengapa ia membuka data seperti di atas. Hal itu ada hubungannya dengan jumlah kerugian negara yang cukup fantastis akibat perubahan fungsi hutan itu dan itu hanya di Kalimantan saja: 104 T (Kalteng), 32 T (Kaltim), dan 100 T (Kalbar). Itu pun yang terjadi di kawasan hutan lindung dan hutan konservasi. Naga-naganya, ini ada hubungannya dengan temuan Tim Satgas Anti Mafia Hukum di Kalimantan Tengah bahwa ada "...terdapat 352 unit perusahaan perkebunan dengan luas setidaknya 4,6 juta Ha namun hanya 67 unit perusahaan (sekitar 800 ribu Ha) yang memiliki izin pelepasan kawasan hutan. Terdapat pula 615 unit perusahaan yang memperoleh izin melakukan pertambangan dengan luas setidaknya 3.7 juta Ha dan hanya 9 unit perusahaan saja (atau sekitar 30 ribu Ha) yang telah memiliki izin penggunaan kawasan hutan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan..."
Dengan mudah, telunjuk kita akan mengarah pada 'desentralisasi' sebagai biangnya sebagaimana sekarang sering dihembuskan oleh banyak pihak, termasuk pemerintah pusat c.q. Departemen Kehutanan. Tidak salah memang, dalam soal pemberian ijin perkebunan dan KP (Kuasa Pertambangan), bupati/gubernur banyak mengeluarkan ijin yang disinyalir untuk membiayai atau membayar biaya politiknya. Kita selalu saja mendengar hubungan antara ijin-ijin yang keluar dengan masa pilkada. Sebuah penelitian terbaru dengan memakai data perpetaan mengkonfirmasi tersebut, bahwa tingkat pembukaan hutan yang masif di sebuah daerah berjalan seiring dengan masa pilkada kepala daerahnya.
Tapi tidak berarti desentralisasi harus diganti dengan sentralisme. Ada "penyakit" dalam pelaksanaan desentralisasi yang perlu disembuhkan, tapi saya kurang setuju jika hal itu menjadi alasan untuk menarik kewenangan daerah, apalagi menjadi sentralisme lagi. Dengan alasan itu pula, sebenarnya tidak ada desentralisasi kehutanan di Indonesia, karena hampir semua kewenangan daerah telah diambil alih oleh Departemen Kehutanan. Bisa dikatakan masa desentralisasi kehutanan Indonesia hanya berlangsung singkat: 1999 - 2001. Selebihnya adalah masa-masa di mana Departemen Kehutanan menarik kembali kewenangannya.
Lagi pula, Departemen Kehutanan mempunyai kredit besar terciptanya kondisi buruk desentralisasi (kehutanan) dengan selalu ingin tampak mengerjakan sendiri segala urusan kehutanan dan menyerahkan segala urusan yang tidak menghasilkan benefit atau pemeliharaan dan pengawasan kepada pihak daerah. Belum lagi masalah tata batas yang tidak kunjung diselesaikan yang menjadi ajang 'bancakan' bagi tidak hanya kepala daerah tetapi juga pejabat pusat kehutanan.
Dalam soal kejahatan kehutanan, jika kita memahami alur perjalanan ijin keluar, baik ijin kehutanan maupun non kehutanan (perkebunan dan pertambangan), tampak bahwa ada keterlibatan pejabat pemerintah pusat di sana. Kasus Suwarna membuktikan hal tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar