26 Maret 2010
Berebut Dana REDD
Kementerian Kehutanan [dulu, Departemen Kehutanan] berencana membuat lembaga atau yayasan sendiri untuk mengelola dana tersebut dengan nama National Forest Trust Fund. Dengan demikian, ia sudah keluar dari kerangka Indonesian Climate Change Trust Fund, sebuah yayasan khusus yang dibuat oleh Bappenas dan telah diluncurkan pada 14 September 2009. Pada awalnya ICCTF ini dibuat sebagai "pengumpul" semua dana-dana yang berasal dari luar yang berhubungan dengan isu perubahan iklim di Indonesia. Di bawah ICCTF ini ada biro yang khusus mengatur soal kehutanan.
Dalam catatan saya, ini gerakan kedua Kemenhut dalam hiruk pikuk perdebatan hutan dan perubahan iklim. Sebelumnya, Kemenhut telah membuat "perjanjian" dengan Dewan Perubahan Iklim agar membiarkan Kemenhut berjalan sendiri mengurus soal perubahan iklim dan hutan, termasuk soal REDD.
Alasan kenapa Kemenhut harus membuat yayasan sendiri dan keluar dari kerangka ICCTF adalah karena, menurut Kemenhut, ICCTF tidak dipercaya oleh para donor karena pengelolaannya dilakukan oleh negara. Selain itu ICCTF berada di Indonesia, di mana aturan mengenai trust fund-nya belum ada dan dikenakan pajak yang besar [17%].
Karena itu, rencananya Kemenhut akan membuat yayasan itu berada di luar negeri sehingga tidak akan kena pajak dan, karena berada di asing, bisa lebih dipercaya oleh donor.
Orang CCTF membantah kekawatiran Kemenhut itu dengan mengatakan bahwa ICCTF hanya mengatur soal programnya sedangkan uangnnya akan dikelola oleh lembaga independen.
Apapun, dua contoh ini sekali agi memperlihatkan lemahnya koordinasi antar sektor dalam menanggapi isu perubahan iklim ini. Memang, sektor kehutanan merupakan sektor yang lebih maju dalam persoalan perubahan iklim ini; tapi tidak harus "kemajuan" itu dipakai untuk berjalan sendiri. Melakukan koordinasi dengan sektor lain penting untuk melihat sejauh mana program yang akan dilakukan oleh masing-masing sektor tidak saling tumpang tindih.
Gampangnya, REDD pasti akan berhubungan dengan soal penggunaan lahan dan di Indonesia yang punya kepentingan dengan lahan bukan hanya sektor kehutanan. Ada sektor lain yang juga penting diperhatikan: pertanian, energi dan Pekerjaan Umum, untuk mendata beberapa sektor yang mungkin terlibat. Belum lagi bicara soal desentralisasi yang melibatkan pemerinatahn daerah. Jika tidak ada kesepahaman dalam soal penggunaan lahan ini, saya rasa, kinerja REDD juga tidak akan maksimal.
03 Februari 2010
Pencemaran Laut Timor: Titik Terang itu....
Selain terang yang itu, ada juga terang yang lain. Pemerintah melalui PKDTML dan dengan dukungan Tim Posko Penanggulangan Pencemaran Minyak di Laut Timor serta Pemerintah Daerah setempat, berhasil membangun kesamaan persepsi dan menelurkan tiga tindak lanjut:
[1] Mengkaji dampak lingkungan dan sosek akibat tumpahan minyak di Laut Timor melalui survei lanjutan,
[2] Menghitung seluruh biaya operasional penanggulangan kerugian lingkungan dan sosek akibat tumpahan minyak,
[3] Memformulasikan hasil analisis dan dukungan data lainnya guna penyusunan tuntutan ganti rugi kepada pihak yang bertanggung jawab, yakni perusahaan pengebor [PTTEP] yang akan dikoordinasikan oleh tim nasional.
Dengan demikian, jelas sudah bahwa tuntutan kerugian belum dilakukan dan entah kapan hal itu akan diformulasikan. Tapi bahwa sebuah koordinasi dan kesamaan persepsi sudah mulai terbangun dalam menghadapi masalah ini.
Di lain pihak, menurut saya, yang masih kurang dari tindak lanjut ini adalah bagaimana melakukan usaha untuk mengurangi dampak pencemaran itu. Misalkna siapa yang akan melakukannya? Dari mana anggarannya diambil? Apa fungsi dan bantuan yang dimintakan kepada pihak Australia atau PTTEP? Membaca point [2] di atas seperti terkesan bahwa sudah ada proses penanggulangan itu sehingga yang dilakukan tinggal penghitungan biaya operasional. Tapi di lapangan sepertinya tindakan itu masih minim.
11 Januari 2010
Pencemaran Laut Timor: Pemerintah Indonesia Jangan Hanya Diam
Pemerintah Indonesia memang membentuk badan ad-hoc [sebuah "penyakit" negara ini, yang gampang membentuk badan baru, lembaga baru, dengan kerja yang tidak jauh beda dengan badan resmi yang coba digantikan/dibantu perannya] bernama Tim Nasional Penanggulangan Keadaan Darurat Tumpahan Minyak di Laut Timor yang dibentuk oleh Deplu sekitar 3 bulan yang lalu. Namun Tim ini seperti belum efektif bekerja; karena sampai sekarang belum menyampaikan hasil penelitian mereka atas dugaan pencemaran itu. Nantinya, hasil laporan tim itu akan menjadi dasar bagi Deplu untuk bergerak. Atas alasan belum diterimanya laporan penelitian dari tim itu, Deplu terkesan diam saja dihadapan Pemerintah Australia ataukah karena ada alasan lain yang berhubungan dengan hubungan politik dua negara tetangga ini?
Berikut adalah siaran pers dari YPTB:
Siaran Pers:
*Laut Timor Tercemar Sangat Dahsyat Masyarakat Indonesia di Timor Barat Diabaikan *
Fakta demi fakta pencemaran Laut Timor yang diupayakan dan dikumpulkan oleh Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB) dengan membangun aliansi bersama masyarakat dan organisasi serta pakar lingkungan di Timor Barat-Rote Ndao-Sabu-Alor-Sumba,Jakarta termasuk Timor Leste dan Australia telah membuktikan dengan sangat signifikan dan meyakinkan bahwa Laut Timor telah tercemar sangat dahsyat akibat dari ledakan ladang minyak Montara pada 21 Agustus lalu,dan telah mengakibatkan kerugian ekonomis yang sangat besar bagi masyakat pesisir Laut Timor khususnya dan masyarakat umumnya serta
kerusakan ekologis di Laut Timor. Akan tetapi Pemerintah Republik Indonesia hanya menanggapinya dengan sangat santai bahkan terkesan mengabaikan saja pencemeran ini seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Bahkan, lebih celaka lagi ada oknum aparat Pemerintah Indonesia yang berbicara seolah-olah menjadi juru bicaranya Australia dalam soal pencemaran laut Timor ini.
Penegasan ini disampaikan Ketua Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB),kepada pers di Kupang,Minggu (10/01). Buktinya, kata mantan agen Imigrasi Kedutaan Besar Australia ini bahwa Tim Nasional Penanggulangan Pencemaran Laut Timor yang sejak diumumkan pembentukannya oleh Departemen Luar Negeri Indonesia yang sudah hampir tiga bulan lalu itu hanyalah sebagai sebuah slogan belaka karena tidak berani secara terbuka mengumumkan secara tegas dan resmi bahwa laut Timor telah tercemar dan mengambil langkah-langkah untuk menuntut ganti rugi dari Australia.
Departemen Luar Negeri Indonesia dinilainya hanya mencuci tangannya saja dengan alasan,belum bisa mengambil tindakan diplomasi lanjutan terhadap Australia dikarenakan belum menerima hasil penelitian dari Tim Nasional Pencemaran Laut Timor. Bagaimana bisa ada hasil penelitian sementara tim nasional yang dibentuk tersebut hanya ongkang-ongkan saja di Jakarta. “Tindakan aparat Pemerintah Pusat Ini sebagai sebuah pelecehan dan pengabaian terhadap eksistensi masyarakat dan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
Ironisnya,kata penulis Buku Skandal Laut Timor,Sebuah Barter Politik Ekonomi Canberra Jakarta ini bahwa apakah oknum aparat Pemerintah Pusat dan daerah mengetahui dan paham tentang masalah lingkungan adalah merupakan masalah universal sehingga tidak memiliki batas dan ruang wilayah khusus bagi kelompok masayarakat,suku bangsa dan Pemerintahan tertentu di dunia ini akan tetapi merupakan kewajiban bersama seluruh umat manusia di dunia ini untuk menjaga dan melestarikannya.
Tindakan oknum aparat Pemerintah ini sangat kontradiktif dengan komitmen Pemerintah Republik Indonesia tentang pelestarian lingkungan yang diperjuangkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono belum lama ini di Copenhagen dalam Konferensi Perubahan Iklim,katanya. Kepada pers di Kupang,Tanoni menyampaikan juga ringkasan hasil survei yang dilakukan oleh Richard Mounsey ahli manajemen Perikanan dan mantan Kepala Urusan
Perikanan,Kelautan dan Lingkungan Hidup tahun 2000-2002 Pemerintahan Transisi Timor Timur- UNTAET (United Nations Transitional Administration On East Timor) dengan bantuan dari staf dari kantor Sekretaris Negara Timor Timur Wilayah Oecusse dan Departemen Perikanan di Oecusse.
Atas permintaan YPTB dan Sekretaris Negara Timor Leste Wilayah Oecusse. Kegiatan memancing selama beberapa tahun terakhir di Oecusse sampai bulan September 2009 relatif stabil, dapat diandalkan dan dapat diramalkan. Namun pada minggu kedua bulan September 20'09 hasil tangkapan menurun tajam sekurang-kurangnya 50%, dan di beberapa lokasi mencapai 70% dan umumnya memburuk menjadi 80% sampai akhir Desember 2009.
Sementara pendapatan dan protein bagi masyarakat di Oecusse selama bulan berjalan berkurang, menyebabkan kekurangan gizi pada anak-anak. Bangkai ikan yang diamati di bulan September/ Oktober di daerah barat dan tengah, termasuk, cumi-cumi,hiu dan lumba-lumba ditemukan pertama kali oleh seorang nelayan tua dan pernah menyaksikan ikan lumba-lumba mati di pantai. Ikan lumba-lumba di sepanjang pantai seluruh Oecusse telah lenyap. Penampakan migrasi ikan paus untuk Oktober sampai Desember 2009 kurang dari 10% dibandingkan pada 3 tahun sebelumnya. Sebagian besar jenis ikan sarden,telah lenyap.
Kejernihan air pada pertengahan September hingga Oktober 2009 sangat buruk.
Masyarakat menggambarkannya air laut telah berubah menjadi warna putih menyerupai susu. Sebagian besar pemimpin masyarakat di Oecusse berpikir bahwa mungkin salah satu dewa mereka telah menghukum mereka dengan mengambil ikan itu sehingga mereka malu untuk melaporkan situasi atau untuk berbagi informasi dengan masyarakat lain dan Pemerintah.
Dalam ringkasan survey tersebut, lanjut Tanoni bahwa pada pertengahan bulan September hingga Nopember 2009, arus di laut Timor bergerak sangat kuat sekali dan berputar dari arah Selatan menuju Utara mulai dari Pulau Rote ke Oecusse, melewati Atapupu kemudian ke Alor dan Pulau Sumba dan Pulau Sabu jelas tercemar karena berada persis ditengah serta ada kemungkinan besar pencemaran tersebut menjangkau perairan Laut Flores di Kabupaten Ende. Hasil survey yang dilakukan secara independen oleh saudara Richard Mounsey seorang ahli manajemen perikanan berkebangsaan Australia ini, kata Tanoni tidak perlu diragukan lagi karena apa yang dikemukakan ini sama persis seperti yang dirasakan dan dialami oleh seluruh masyarakat yang mendiami Timor
Barat, Rote Ndao,Sabu, Alor dan Sumba selama ini. Akan tetapi, anehnya Pemerintah Indonesia tetap hanya berdiam diri seolah sedang menunggu sesuatu yang tidak pernah diungkapkan, ujarnya
Kupang, Minggu, 10 Januari 2010
Kontak:
Ferdi Tanoni
081 3391 23532
Yayasan Peduli Timor Barat,
(West Timor Care Foundation)
Jalan Perwira 33
Kupang-Timor Barat
Phone/Fax :+62380830191
Email:westtimorcarefoundation@yahoo.com
westtimorcarefoundation@gmail.com
11 November 2009
Next: Politisasi Pencemaran Laut Timor?
Lambatnya pemerintah pusat Indonesia dalam merespon terjadinya pencemaran lingkungan di Laut Timor akibat bocornya minyak PTTEP Australasia di rig Montara mulai menuai kecaman. Bukan hanya dari kalangan LSM di NTT, tetapi juga politisi. Walaupun politisi yang baru secara serius menekan pemerintah Indonesia hanya politisi dari Partai Amanat Nasional. Intinya: pemerintah Indonesia belum melakukan apa-apa untuk menekan pemerintah Australia dalam kasus pencemaran lintas batas ini.
Kasus ini bisa membuka banyak masalah, baik dalam maupun luar negeri Indonesia: kecilnya perhatian pemerintah pada masalah lingkungan hidup, Koordinasi antar departemen dalam masalah laut, laut yang selalu dianggap “empty space”, perlakuan pemerintah pada pulau-pulau terluar, pencemaran lingkungan lintas negara, hubungan politik dua negara, perjanjian batas dua negara, kehidupan ekonomi masyarakat di Indonesia Timur.
Lemahnya koordinasi antar lembaga di pemerintah pusat terlihat dari belum adanya laporan yang diterima Departemen Luar Negeri dari tim yang diundang pemerintah Australia yang berasal dari Departemen Perhubungan. Kita juga tidak melihat apa yang dilakukan oleh Kementrian Negara Lingkungan Hidup.
Pemerintah pusat sepertinya harus bertindak segera untuk mencegah kasus ini berlanjut ke berbagai arah. Pembentukan tim nasional yang memonitor sudah sejauh mana tumpahan minyak itu masuk ke wilayah Indonesia serta dampaknya pada kehidupan masyarakat dan biodata dan ekosistem sepertinya merupakan langkah awal yang penting tapi terlambat. Indonesia harus memiliki data sendiri, yang berasal dari penelitian sendiri atas kasus ini dan tidak menggantungkan pada data-data yang disodorkan oleh pihak Pemerintah Federal Australia maupun operator minyak Montara, PTTEP Australasia. Data itu sangat penting ketika melakukan perundingan dengan pemerintah Australia untuk meminta tanggung jawab mereka.
Namun, sebelum sampai ke sana, sebelum kita membuka borok-lamban-[kadang] tidak kompeten pemerintah Indonesia [sesuatu yang masih laten], pemerintah Indonesia harus bisa menekan Pemerintah Australia agar melakukan berbagai upaya untuk mencegah meluasnya tumpahan minyak itu di wilayah Indonesia dan Pemerintah Australia harus melakukan itu. Dan itu tidak harus disertai dengan bukti dampak dan besarnya ganti rugi. Prinsip hukum lingkungan internasional menjamin permintaan Indonesia itu legitimate. Ini saya kira harus terlebih dahulu dilakukan oleh Pemerintah Indonesia sebelum menyusun nota keberatan, penelitian dampak, dll. Tindakan Australia itu harus berada di bawah koordinasi pemerintah Indonesia. Dan saya belum mendengar sikap itu dari pemerintah Indonesia.
Lalu setelah ada tindakan nyata Pemerintah Australia, baru kita boleh ngomong soal liability, ganti rugi, dst. Masuknya suara politisi ke dalam kasus ini semoga tidak hanya menambah bising dan melupakan esensi penting dari apa yang harus dilakukan terlebih dahulu oleh pemerintah Indonesia dan pemerintah Australia : Hentikan Meluasnya Minyak di Laut Timor, Segera!.
24 Oktober 2009
Tumpahan Minyak Montara dan Perlunya Kesepakatan Regional di Laut Timor
Kejadiannya di mulai di jurisdiksi negara tetangga, Australia. Pada 21 Agustus 2009, sebuah rig minyak dalam proyek eksplorasi minyak lepas pantai terbesar kedua di Australia bernama Montara gagal dalam melakukan pengeboran sehingga minyak dari dasar laut sedalam kurang lebih 2,6 kilometer itu menyembur keluar dan mengotori Laut Timor. Rig minyak bernama The West Atlas itu dioperasikan oleh PTTEP Australasia, anak perusahaan PTTEP Thailand – dimiliki oleh mantan PM Thailand, Thaksin Sinawatra, dan berada di 690 kilometer dari Kota Darwin, Australia. Tumpahan minyak itu menggenangi areal seluas 2500 mil persegi pada 30 Agustus 2009; kemudian pada 3 September 2009 mulai memasuki wilayah Indonesia dengan posisi pada tanggal 29 September 2009 berada sejauh sekitar 50 mil dari batas wilayah perairan laut antara Indonesia-Australia. PTTEP sendiri sejauh ini sudah melakukan tiga kali usaha untuk menutup kebocoran itu, tetapi semuanya gagal.
Tumpahan minyak di daerah “Coral Triangle” itu jelas telah menerbitkan protes dari banyak pihak, baik dari Australia maupun Indonesia. Protes dari kalangan environmentalis berdasarkan pada potensi mati dan hilangnya keanekaragaman hayati di tempat itu. Wilayah itu merupakan koridor bagi migrasi paus dan penyu, berbagai jenis ikan dan terumbu karang. Protes juga terbit dari kalangan nelayan Indonesia yang menggantungkan hidup dari keberadaan ikan di wilayah Laut Timur yang menghasilkan komoditas kurang lebih 130.000 ton/tahun. Jika tumpahan minyak itu terus masuk ke wilayah Indonesia, dikawatirkan ia akan masuk ke kawasan perlindungan laut terbesar di Indonesia, Kawasan Konservasi Perairan Nasional Laut Sawu. Protes kalangan masyarakat sipil di Australia juga mempertanyakan kebenaran jumlah minyak yang tertumpah yang diklaim oleh Pemerintah Federal Australia dan PTTEP sebesar 500.000 liter per hari.
Dengan demikian, permasalahan yang bisa dilingkupi adalah adanya rig minyak yang dimiliki oleh operator swasta yang berada di jurisdiksi Australia yang mengalami kebocoran [berarti bukan di wilayah ZEE], yang tumpahan minyaknya memasuki wilayah negara lain, Indonesia, dimana tumpahan minyak itu berada di kawasan kaya keanekaragaman hayati laut. Jadi ada beberapa “wilayah” hukum atau aturan yang saling berkaitan: aturan tentang laut dan kelautan,aturan tentang pengeboran minyak lepas pantai dengan aturan lingkungan hidup, baik nasional maupun internasional.
Aturan Internasional tentang laut dan Polusi
Sedikit penjelasan tentang aturan yang mengatur mengenai polusi di suatu negara yang berakibat pada negara lain sudah saya tuliskan di sini.
Tumpahnya minyak Montara itu jika disederhanakan merupakan kejadian yang melanggar aturan tentang lingkungan hidup di wilayah laut. Hal ini terjadi karena aturan internasional yang langsung mengatur mengenai polusi dari aktivitas seperti ini masih dalam tahap perkembangan.
Dalam UNCLOS, aktivitas polusi akibat pengeboran minyak di lepas pantai di dasar laut itu dimasukkan dalam Pasal 208 UNCLOS yang mengatur mengenai Polusi Akibat Aktivitas Bawah Laut di Jurisdiksi suatu Negara. Dalam pasal itu tertera jelas bahwa negara pantai berkewajiban membuat aturan dan hukum yang mencegah, mengurangi dan mengontrol polusi dari aktivitas di bawah laut, dimana aturan dan hukum itu tidak boleh lebih lemah daripada aturan internasional, standar dan prosedur serta best-practice yang mengatur aktivitas tersebut. Negara-negara juga diharuskan melakukan harmonisasi kebijakan dengan negara lain di wilayah regional yang sama. Dalam hal terjadi polusi, maka negara yang masuk dalam Pasal 208 ini harus melakukan usaha untuk mencegah, mengurangi dan mengontrol polusi tersebut. Dari apa yang dimaksud dengan aktivitas di dasar laut, maka aktivitas pengeboran minyak lepas pantai dimasukkan dalam kriteria aktivitas di dasar laut.
UCLOS juga mengatur mengenai polusi yang dikibatkan aktivitas di dasar yang berada di luar jurisdiksi suatu negara Pasal 209]. Dalam kasus ini, aturan ini tidak akan saya singgung, karena Montara berada di wilyah jurisdiksi Australia.
Aturan Internasional lain yang juga bisa diberlakukan adalah 1972 London Convention, 1976 Mediteranian Convention, kemudian di tahun 1982, UNEP mengeluarkan pedoman tentang penambangan dan pengeboran lepas pantai.
Sampai sekarang, belum ada aturan internasional yang menerjemahkan secara detail Pasal 208 ini, terutama dalam masalah polusi dari aktivitas perminyakan. Karenanya negara-negara hanya melakukan harmonisasi kebijakan yang pemberlakuannya bersifat regional. Aturan itu adalah:
1. 1989 The Kuwait Protocol concerning Marine Pollution Resulting from Exploration and Exploitation of the Continental Shelf
2. 1994 THE PROTOCOL FOR THE PROTECTION OF THE MEDITERRANEAN SEA AGAINST POLLUTION RESULTING FROM EXPLORATION AND EXPLOITATION OF THE CONTINENTAL SHELF AND THE SEABED AND ITS SUBSOIL [1994 Madrid Offshore Protokol; berlaku di Laut Mediterania; belum berlaku]
3. 1992 The Black Sea Convention
4. 1992 The Baltic Sea Convention
Tampak bahwa belum ada aturan yang sifatnya regional yang mencandra terjadinya tumpahan di Laut Timor itu. Maka nampaknya ia akan disandarkan pada aturan nasional negara Australia.
Kewajiban Negara Australia
Australia ternyata membagi wilayah kewenangan laut antara negara bagian dengan negara federal hampir sama dengan bagaimana Indonesia membagi kewenangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah provinsi. Wilayah laut seluas sampai 3 mil dalam laut teritorial menjadi tanggung jawab negara bagian [“state”] sementara wilayah lebih dari 3 mil laut menjadi kewenangan negara federal. Dalam hal terjadinya polusi di wilayah suatu negara dan berdampak pada wilayah negara lain, maka sudah menjadi prinsip internasional, negara “pembuat” polusi menjadi negara yang bertanggung jawab untuk menjaga dan menghentikan polusi tersebut. Tapi dalam implementasinya digantungkan pada hukum nasional dan kalau bisa aturan bilateral atau regional wilayah negara tersebut. Bagaimana dengan polusi yang dihasilkan dari aktivitas pengeboran minyak lepas pantai yang berdampak pada wilayah negara lain?
Untuk masalah lingkungan dalam pengeboran lepas pantai, Australia memiliki beberapa aturan, yakni: Petroleum (Submerged Lands) Act 1967 dan Environment Protection and Biodiversity Conservation Act 1999. Karena tumpahan minyak juga masuk ke dalam kawasan laut negara bagian, maka aturan lingkungan di negara bagian tersebut juga wajib dilihat. Harus dilihat juga Persetujuan antara APPEA dan Departemen Lingkungan Australia, yang merupakan kesepakatan bersifat voluntary dalam hal pelaksanaan best practice dalam pengelolaan lingkungan dalam aktivitas perminyakan.
Tampak bahwa sebenarnya aturan hukum di Australia juga bersifat Command and control, dalam arti peran pemerintah sangat berarti dalam menjaga lingkungan dengan cara membuat standar, memberikan perijinan dan mengawasi perijinan serta menindak jika ada pelanggaran. Menurut kedua aturan di atas, perusahaan diharuskan melakukan aktivitas yang mengacu pada aktivitas terbaik dalam sektor perminyakan. Perusahaa minyak yang hendak melakukan eksploitasi di laut lepas diharuskan juga membuat “Environmental Plan” [diharuskan oleh PSLA 1967], “Assessment on preliminary documentation”, “Public environment report”, “An environment impact statement”, “Public enquiry dan atau “An accredited process” [5 terakhir diminta oleh EPBC 1999]. Perijinan macam inilah yang nantinya akan dijadikan bahan bagi pemerintah Australia untuk melakukan pengawasan.
Dalam hal terjadi kerusakan lingkungan maka, seperti juga di negara lain, pemerintah memberikan peringatan, denda, penundaan proyek dan bahkan pembatalan proyek.
Intinya, pemerintah Australia mempunyai aturan lingkungan yang langsung terkait dengan aktivitas pengeboran minyak di lepas pantai serta aturan tidak langsung lainnya [seperti, Aboriginal and Torres Strait Islander Heritage Protection Act 1984, Fisheries Management Act 1991 dan Industrial Chemicals (Notification and Assessment) Act 1989] serta best practice yang disusun oleh APPEA dan persetujuan APPEA dengan departemen lingkungan Australia. Kesemuanya aturan tersebut menjadi dasar bagi Australia untuk bertanggung jawab atas terjadinya kebocoran minyak tersebut. Dan memang, Pemerintah Australia sudah melakukan upaya dengan mengharuskan PTTEP Australasia untuk mengurangi dan menghentikan dampak kebocoran itu dan memonitor kondisi perairan laut Timor. Dalam hal masuknya kebocoran minyak ke wilayah Indonesia, sudah ada kapal yang sedang memonitor dampak pada lingkungan dan kehidupan nelayan di wilayah NTT.
Perlukah Perjanjian Regional dalam Pengeboran Minyak Lepas Pantai di Perairan Perbatasan dengan Australia?
Namun, kebocoran minyak di lepas pantai Darwin ini sebenarnya membuka masalah lama yang sepertinya sudah lama hendak dilupakan oleh Indonesia. Harus lepasnya Timor-Timur dari Indonesia dan menjadi negara merdeka merupakan aib yang hendak ditutupi terus oleh Indonesia, termasuk segala tuntutan HAM kepada Indonesia. Muncul juga sinyalemen bahwa Australia – yang awalnya mendukung aksi Indonesia di Timor-Timur – kemudian berbalik menjadi pihak yang mengambil untung banyak akibat lepasnya Timor-Timur itu; yang jika di-kuantifikasi-kan terlihat dalam perjanjian kerjasama Australia-Timur-Timor dalam pembagian keuntungan pengeboran minyak di kedua perbatasan kedua negara.
Sampai sekarang, perundingan perbatasan antara tiga negara masih terus dilakukan, terutama dalam mengatur pengelolaan ZEE. Indonesia dan Australia hingga saat ini belum menyetujui batas ZEE kedua negara; yang kemudian sangat merugikan posisi nelayan Indonesia. Perbatasan itu masih didasarkan ketika Timor-Timur masih sebagai wilayah Indonesia; dengan lepasnya Timor-Timur seharusnya ada perundingan lagi untuk membicarakan masalah itu.
Nah, dalam hal kebocoran minyak ini, posisis Indonesia adalah korban yang hanya bisa meminta Pemerintah Australia melaksanakan kewajiban internasionalnya dengan tidak bisa melakukan ‘intervensi” dalam bentuk apa seharusnya kewajiban Australia itu dilakukan dengan memperhitungkan kepentingan bangsa Indonesia. Hal yang sama mungkin dirasakan oleh Singapura dan Malaysia yang saban tahun kebagian asap akibat kebakaran hutan di Indonesia. Yang mereka lakukan adalah melakukan proteksi dalam wilayah yurisdiksi mereka sambil meminta “pengertian” Indonesia untuk menghentikan kebakaran hutannya. Tapi siapa yang bisa mengarahkan arah angin? Malaysia dan Singapura telah membantu Indonesia dalam mengatasi kebakaran hutannya itu; namun kerja sama itu bersifat ad-hoc dan doktrin kedaulatan negara menjadi faktor yang menghalangi tindakan lebih jauh dalam kerja sama menghentikan kerusakan lingkungan itu. Apalagi dengan kenyataan Indonesia, secara geopolitik, jauh lebih kuat daripada kedua negara itu.
Bangsa Indonesia jelas tidak bisa berdiam diri ketika melihat bocoran minyak itu memasuki halaman rumahnya dan merusak keanekaragaman hayati yang penting bagi kelangsungan hidup bagi penduduk di sekitar Laut Timor. Dia harus melakukan sesuatu. Tidak adil jika Indonesia menjadi korban sekaligus harus menyelesaikan kerusakan lingkungan yang dilakukan oleh pihak lain tanpa adanya “pengetahuan” dari negara lain.
Saluran diplomatik jelas menjadi satu-satunya jalan yang dimungkin sekarang ini. Indonesia sewajarnya meminta Australia agar juga bertanggung jawab dalam terjadinya kebocoran itu. Dan kemudian menunggu…, sampai kemudian hal lebih buruk terjadi. Bisa jadi kunjungan PM Australia kemarin tidak hanya membicarakan masalah pelintas batas illegal dari negara-negara Asia Selatan, tetapi juga membicarakan masalah ini.
Pada titik ini saya kira, keberadaan sebuah perjanjian regional dengan Australia dan juga Timor-Timur perlu dilakukan. Mungkin tidak langsung menyangkut hal yang lebih “substansial” dan “sensitif” seperti pengurangan/penambahan wilayah negara, namun dalam hal yang bisa memberikan keuntungan bersama, seperti kerja sama ekonomi di wilayah yang diklaim sebagai wilayah ZEE.
Dalam hal pengeboran minyak, sewaktu Timor-Timur masih sebagai wilayah Indonesia, sudah ada kesepakatan kerja sama di area perbatasan Timor-Timur dengan Northern Australia yang terkenal dengan Timor Gap Treaty. Ketika imor-Timur merdeka, kesepakatan itu direvisi menjadi kesepakatan antara Australia dengan Negara Timor-Timur. Dengan adanya kejadian kebocoran minyak ini, tidak ada salahnya diadakan perjanjian regional tentang perlindungan laut akibat aktivitas pengeboran minyak dengan mengambil pelajaran dari wilayah kelautan lain, seperti Mediterania dan Baltik atau, yang lebih maju, seperti di Timur Tengah. Sebuah treaty atau traktak ini sifatnya mengikat bisa memperjelas apa yang harus dilakukan oleh masing-masing negara ketika ada operator minyak yang hendak membuka pengeboran di wilayah teritorial sebuah negara, bentuk pemberitahuan macam apa yang harus dibuka ke negara lain, kewajiban dan hak masing-masing negara, dst, sehingga ketika kejadian seperti ini berulang sudah ada tindakan segera yang tidak menggantungkan diri pada baik-buruknya atau cepat-tidaknya hubungan diplomatik antar negara. Tidak ada pihak yang menunggu, melempar tanggung jawab, pun tidak ada pihak yang merasa tidak harus peduli atau pura-pura peduli karena itu bukan wilayah negaranya sambil mengetahui bahwa di lapangan dampaknya telah nyata merusak lingkungan dan masyarakat sekitar.
17 Desember 2007
Non Tarif Barriers Dalam Perdagangan Internasional
Oleh : Mumu Muhajir
Perkembangan perdagangan internasional periode 1950-1973 atau periode 20 tahun pertama sejak ditandatanganinya GATT – 1947, menunjukkan penampilan seperti yang diharapkan oleh para penandatangan GATT. Disepakatinya suatu aturan main yang mantap dalam suatu perdagangan internasional membuat ketidakjelasan aturan serta ketiadaan aturan main dalam perdagangan internasional semakin berkurang. Iklim keterbukaan ekonomi itu tercermin dari meningkatnya jumlah investasi dan volume ekspor sebagian besar negara-negara di dunia dibandingkan dekade-dekade sebelumnya.
Berkaca dari kehancuran ekonomi dunia pada tahun 1930-an atau pada masa Great Depression, dimana kebijakan “beggar thy neighbour” dilakukan dengan sangat ektensif untuk melindungi industri dalam negerinya serta menyeimbangkan neraca pembayaran masing-masing yang defisit, para penandatangan GATT merindukan kembali hadirnya masa keemasan liberalisasi perdagangan pada 1815-1914, dimana keterbukaan sistem perdagangan dunia dapat menunjang kegiatan ekonomi masing-masing negara yang akhirnya dapat meningkatkan kesejahteraan hidup.
GATT pada dasarnya mengakui bahwa sebuah negara mempunyai hak untuk melindungi industri dalam negerinya dengan alasan-alasan tertentu, namun satu-satunya cara yang diperbolehkan adalah dengan tarif. Hambatan-hambatan selain tarif diusahakan sejauh mungkin diubah menjadi tarif, walaupun akan membuat tingkat tarif meninggi (tariffication). Pada periode 1950-1973 pengurangan tarif berlangsung secara positif. Pengurangan ini memacu tingkat produksi dan perdagangan dunia yang pada mulanya tersendat-sendat mulai bergerak cepat. Kompetisi dan efesiensi produksi terjadi yang pada akhirnya menguntungkan masyarakat dunia dengan banyaknya pilihan barang yang murah dan berkualitas.
GATT sendiri sampai akhir tahun 1960-an telah melakukan enam kali putaran perundingan di bidang perdagangan, yakni : Perundingan di Jenewa, Swiss, 1947; perundingan di Annecy, Perancis, 1949; perundingan di Torquay, Inggris, 1950-1951; perundingan di Jenewa, Swiss, 1956; Dillon Round ( diambil dari nama Menteri Keuangan Amerika Serikat, Douglas Dillon, yang menjadi pemrakarsa putaran perundingan ini), dilangsungkan di Jenewa, Swiss, 1960-1961; Kennedy Round, berlangsung antara tahun 1964-1967.
GATT mengharapkan tarif menjadi satu-satunya alat yang digunakan oleh negara-negara anggotanya dalam melindungi industri dalam negerinya dari persaingan dengan industri luar negeri karena beberapa alasan: [1] tarif adalah mekanisme yang “kelihatan”, langsung mempengaruhi harga produk impor yang dipasarkan di pasar domestic; [2] Tarif tidak memerlukan anggaran dari negara, sehingga intervensi negara dalam perekonomian bisa diminimalisir, sebuah dogma kaum liberal, dan anggaran negara bisa disalurkan pada bidang lain yang lebih diperlukan. Tarif juga diharapkan bisa menjadi alat yang digunakan oleh suatu negara ketika harus membalas praktek perdagangan tidak adil yang dilakukan oleh negara anggota lainnya, walaupun sebenarnya, tarif memberikan proteksi yang kecil. Hal ini bisa dipahami karena GATT bukan hanya berkeinginan menurunkan tingkat tarif tapi juga menghilangkannya dan mengurangi, sampai pada taraf tertentu menghilangkan, regulasi pemerintah dalam bidang perdagangan.
Keenam putaran perundingan multilateral dalam bidang perdagangan itu bisa dikatakan berhasil mengurangi hambatan tarif sampai pada tingkat yang wajar, kecuali pada tarif untuk produk pertanian dan produk-produk manufaktur yang dipandang sensitif seperti tekstil yang tetap diterapkan tingkat tarif yang tinggi, terutama oleh negara-negara maju dan kuat. Turunnya tingkat tarif, sebenarnya semakin membuka mata anggota GATT akan adanya hambatan non tarif yang ternyata jauh lebih berat dan komplek, yang bisa menjadi penghalang untuk tercapainya keterbukaan dalam perdagangan internasional. Persoalan hambatan non tarif ini semakin mengemuka dengan ditemuinya berbagai gejala ke arah proteksionisme yang bangkit kembali pada dasawarsa tahun 1970-an.
Diawali dengan semakin meningkatnya kekhawatiran negara-negara maju ketika harus bersaing dengan negara-negara industri baru (NIC’s : Newly Industrialized Country’s) seperti Jepang, Korea Selatan dan Taiwan, yang bisa menghasilkan produk-produk yang berkualitas sama dengan produk serupa yang dihasilkan oleh negara-negara maju tetapi dengan harga yang relatif lebih murah karena ditunjang oleh upah buruh yang murah, tingkat pajak yang rendah dan keuntungan kompetitif lainnya. Dampaknya adalah tidak bisa bersaingnya produk-produk negara-negara maju di pasaran internasional. Tidak hanya itu pasar domestik mereka pun mulai bisa direbut oleh produk-produk dari negara NIC’s. Kasus kalahnya industri otomotif Amerika dari otomotif Jepang bisa diajukan sebagai salah satu contohnya.
Negara-negara maju sebenarnya bisa menggunakan fasilitas safeguard, tetapi negara-negara maju tidak menggunakan fasilitas itu dengan berbagai alasan, antara lain: fasilitas itu bersifat sementara; negara yang terkena pengurangan atau penghentian impor harus diberi kompensasi, biasanya berupa peningkatan akses produk lain pada negara pengguna safeguard; fasilitas safeguard ini ditujukan pada barang, bukan pada negara asal barang.
Penyebab lain munculnya kembali gejala proteksionisme adalah adanya krisis minyak yang terjadi dua kali sepanjang tahun 1970. Harga minyak merangkak naik, berakibat pada mahalnya produk yang dihasilkan serta penghentian atau pengurangan produktivitas pabrik. Produk tidak bisa bersaing di pasar internasional. Pengangguran meningkat. Negara-negara maju banyak yang mengalami defisit dalam neraca berjalannya, akibatnya kebijakan uang ketat dilakukan. Alasan itulah yang mendorong negara maju untuk memberlakukan kebijakan perdagangan yang proteksionis. Kebijakan perdagangan yang tertutup juga dilakukan oleh negara berkembang dengan alasan berbeda: makin beratnya hutang yang ditanggung.
Negara-negara maju membuat banyak ketentuan dan peraturan yang berhubungan dengan restriksi impor di luar tarif dan pada saat yang sama, guna melancarkan laju ekspornya, melakukan praktek-praktek unilateral terhadap negara-negara lain terutama negara pesaing. Hambatan di luar tarif itu sebagian tidak dibenarkan dalam aturan GATT, sebagian lagi berada diluar atau belum dibicarakan dalam perundingan GATT, yang biasa dikenal sebagai wilayah abu-abu.
Menghadapi keadaan yang mencemaskan itu, GATT kembali mengadakan serangkaian putaran perundingan multilateral di bidang perdagangan yang menitikberatkan pada permasalahan hambatan non tarif, walaupun masalah penurunan tarif tetap dibicarakan. Pembicaraan dan kesepakatan mengenai hambatan non tarif mewarnai perundingan dalam rangka Tokyo Round (1973-1979), Uruguay Round (1986-1994) serta perundingan lain setelah GATT berubah menjadi WTO (World Trade Organization), misalnya dalam Konferensi Tingkat Menteri I (KTM I) di Singapura, 1995-1996, KTM II di Jenewa, Swiss, 1997, KTM III di Seattle, Amerika Serikat, 1999, KTM IV di Doha, Qatar, 2001 serta KTM V di Cancun, Meksiko, 2003.
Tokyo Round atau Putaran Tokyo menghasilkan beberapa code yang membahas tentang hambatan non tarif. Perlu dicatat bahwa perjanjian dalam masalah hambatan non tarif itu berbentuk code yang berarti hanya berlaku bagi para pihak yang menandatangani perjanjian itu. Putaran Tokyo itu berhasil mendaftar, mengidentifikasi, mengklasifikasi, membatasi, menerangjelaskan dan melarang praktek-praktek penghambat perdagangan yang menggunakan hambatan non tarif. Sebagaimana juga putaran-putaran perundingan selanjutnya, baik dalam GATT maupun WTO, nampaklah bahwa permasalahan hambatan non tarif ini sangat rumit, penuh dengan trik-trik canggih dan bertalian tidak hanya dengan masalah kebijakan perdagangan saja tapi juga berhubungan dengan kebijakan ekonomi politik suatu negara.
Dalam tulisan ini penulis hanya akan sedikit menulis tentang bentuk-bentuk hambatan non tarif yang pernah diperjanjikan dalam Putaran Tokyo dan putaran-putaran perundingan GATT dan WTO setelahnya, serta 2 contoh hambatan non tarif yang masuk wilayah abu-abu.
1. Subsidi dan tindakan balasan atas subsidi ( Subsidy and Countervailing Duties)
Subsidi adalah penyaluran bantuan dalam bentuk finansial yang dilakukan oleh pemerintah atau instansi publik tertentu. Subsidi disalurkan dalam rangka pembangunan ekonomi baik dalam rangka bantuan, pengembangan dan atau perlindungan suatu industri atau sektor ekonomi yang dipandang sensitif serta untuk memperkuat daya saing ekspor. Subsidi bisa berupa subsidi domestik atau juga subsidi ekspor. Subsidi ekspor dilarang oleh GATT dalam pasal VI, sedangkan bentuk subsidi lainnya ada yang diperbolehkan, diperbolehkan dengan syarat dan dilarang.
Putaran Tokyo menghasilkan perjanjian yang bernama Subsidies Code yang mengatur tentang permasalahan subsidi dan tindakan balasan terhadapnya. Code ini merupakan penyempurnaan dari pasal VI, pasal XVI dan pasal XXIII GATT. Negara-negara yang ikut menandatangani code ini berkomitmen untuk tetap menyalurkan subsidi pada industri atau sektor ekonomi tertentu dalam negerinya asalkan tidak mengganggu kepentingan negara lain. Jika subsidi itu merugikan kepentingan dagang negara lain maka diperbolehkan melakukan tindakan balasan terhadap subsidi itu dengan batasan bahwa tindakan balasan itu tidak mengganggu arus perdagangan secara berlebihan.
Pada Putaran
Masalah subsidi adalah masalah yang cukup sensitif dibicarakan dalam perundingan di GATT/WTO, salah satunya adalah masalah subsidi untuk pertanian yang sampai sekarang pun tetap jadi batu ganjalan tercapainya kesepakatan umum dalam perundingan di WTO.
2. Hambatan teknis
Putaran Tokyo mengatur hambatan non tarif jenis ini dalam Agreement on Technical Barriers to Trade atau lebih dikenal dengan standar code. Standar code ini merupakan penyempurnaan dari aturan GATT, yaitu pasal I dan III, yang mengatur tentang dilarangnya spesifikasi yang digunakan untuk melindungi industri dalam negeri; pasal IX tentang aturan dalam merk; pasal X mengatur tentang publikasi peraturan administratif yang mencakup juga standar-standar produk; pasal XI dan XX berkenaan dengan referensi umum mengenai standar dan peraturan-peraturan yang terkait.
Standar code menyadari bahwa sebuah negara mempunyai hak untuk membuat suatu aturan tentang standarisasi atau penilaian akibat adanya perpindahan barang atau mahluk hidup demi untuk perlindungan kehidupan manusia, hewan dan tumbuhan dan perlindungan kesehatan dan lingkungan hidup dalam negerinya. Namun aturan-aturan tersebut yang tercakup didalamnya prosedur pengujian dan sertifikasi mutu produk tidak boleh menjadi penghambat yang tidak perlu pada arus perdagangan.
Hambatan teknis ini kerapkali dipakai oleh negara-negara maju, karena hambatan jenis ini berhubungan erat dengan penguasaan teknologi dan tingginya standar hidup. Negara-negara maju bisa menentukan satu standar yang tinggi dengan spesifikasi tertentu suatu produk yang teknologinya belum dikuasai oleh negara-negara berkembang yang menghasilkan produk yang sama.
Masalah yang ditemukan dalam Putaran Tokyo dan Putaran Uruguay mempunyai kesamaan menyangkut hambatan teknis ini pun sama, yaitu : Perjanjian bilateral di antara negara-negara anggota mengenai standar produk tidak transparan; dalam pengujian mutu, pengawasan mutu dan sistem sertifikasi dilaksanakan tidak sesuai dengan ketentuan yang ada serta kadang bersikap diskriminatif; tidak transparan dalam pembuatan dan pelaksanaan dari sistem standar dan sertifikasi yang dilakukan oleh beberapa negara; kurang jelas dan tegasnya ketentuan-ketentuan yang menyangkut paraktek standarisasi oleh badan-badan swasta dan badan-badan di negara bagian atau pemerintah lokal.
Neil McCulloh, seorang analis ekonomi dari world Bank, dalam sebuah tulisannya di harian kompas mengemukakan bahwa salah satu hambatan dalam bidang perdagangan yang dilakukan oleh negara-negara maju adalah makin beragam dan sulitnya pelaksanan berbagai standar yang ada. Hal ini perlu diantisipasi dengan segera oleh negara-negara berkembang, terutama ketika menyangkut produk-produk pertanian yang diekspor, yang menjadi andalan kebanyakan negara-negara berkembang. Negara-negara maju biasanya meminta standar yang tinggi pada produk pertanian, salah satunya adalah produk perikanan dan derivatifnya, dengan alasan untuk melindungi kesehatan konsumen domestik, yang menyulitkan industri pertanian di negara-negara berkembang.
3. Hambatan Administratif
Hambatan administrasi adalah hambatan yang terjadi di kepabeanan yang menyangkut penilaian pada produk impor yang masuk. Penilaian ini harus sesuai dengan kenyataan praktek dunia perdagangan dan melarang cara penentuan penilaian yang arbiter/semena-mena dan fiktif. Dikenal sebagai custom valuation. Masalah penilaian yang bertele-tele akan sangat merugikan pihak importir karena akan ada keterlambatan waktu karena barang tertahan di pelabuhan yang akan menambah beban biaya karena harus membayar lebih atas keterlambatan itu. Harga produk pun bisa berpengaruh. Penilaian di pabean ini penting untuk menentukan tingkat bea masuk barang tersebut. GATT mengaturnya dalan pasal VII. Putaran Tokyo mengenai custom valuation ini mengandung serangkaian peraturan mengenai valuasi, bersifat meluaskan dan merinci aturan valuasi yang sudah diatur dalam Pasal VII GATT. Dalam putaran
Hambatan administratif lain yang harus dicatat adalah dalan hal prosedur pemberian lisensi impor. Lisensi impor adalah ijin yang diberikan kepada pedagang atau pengusaha untuk mengimpor suatu barang secara eksklusif. Lisensi impor ini akan menghambat perdagangan jika dilakukan dengan tidak transparan dan tidak adil selain karena lisensi impor ini bisa dianggap sebagai bentuk lain dari praktek restriksi impor. Sebuah peraturan yang terinci dan jelas tentang aturan dalam hal lisensi impor harus dibuat supaya lisensi impor bisa menjalankan fungsi utamanya untuk memudahkan pengawasan terhadap produk impor. Dalam Putaran Tokyo, code yang dihasilkan mengenai lisensi impor berusaha untuk tidak menjadikan lisensi impor sebagai sistem pembatasan impor. Negara-negara penandatangan code ini berkomitmen untuk mengatur masalah lisensi impor ini dalam administrasi yang terbuka, sederhana dan tidak memihak. Dalam Putaran
Lisensi impor itu sendiri ada dua jenis; pertama jenis otomatis dan kedua non otomatis. Lisensi otomatis berarti lisensi yang diberikan pada importir, baik ditunjuk langsung atau telah mengajukan tawaran dan telah disetujui oleh sebuah badan /instansi, untuk mengimpor suatu barang. Lisensi jenis ini berumur 10 tahun.
4. Government Procurement (Pembelian Negara)
Putaran Tokyo menghasilkan Code on Government Procurement dengan maksud untuk membuka terjadinya kompetisi internasional dalam hal pembelian yang dilakukan oleh suatu negara untuk pembangunan infrastruktur seperti waduk, jalan atau jembatan dan lain-lain ataupun untuk keperluan pelayanan publik. Banyak negara, terutama negara-negara maju serta para pengusahanya, yang sangat berkepentingan dengan keterbukaan tender dalam hal pembelian negara ini dan menginginkan masuk dalam perjanjian GATT karena melihat bahwa masalah ini bisa menjadi alat untuk mendiskriminasi produk dan pemasok dari luar negeri dan memproteksi industri dalam negeri yang pastinya melanggar prinsip GATT tentang Most Favoured Nation serta National Treatment. Sedangkan di lain pihak negara-negara berkembang, yang sektor pemerintahnya umumnya adalah pembeli terbesar, berkepentingan untuk tidak membuka terlalu lebar bagi masuknya tender bagi pihak asing dalam pembelian negara karena bisa menjadi stimulus bagi industri dalam negerinya untuk mendapatkan keuntungan.
Masalah ini, masuk dalam salah satu dari 4 isu Singapura [3 lainnya fasilitas perdagangan, keterbukaan di bidang investasi dan kebijakan persaingan], sampai dilaksanakannya KTM V WTO di Cancun tetap menjadi masalah yang ditolak oleh sebagian besar negara-negara berkembang.
5. Dumping dan Bea Masuk Anti Dumping.
Dumping mempunyai dua definisi. Pertama, dumping adalah praktek yang dilakukan oleh sebuah perusahaan yang menjual produk ekspornya pada harga yang lebih rendah daripada harga produk itu jika dijual di negara asalnya. Definisi dumping ini dipakai dalam Putaran Kennedy dan Putaran Tokyo mengenai anti dumping duties. Sementara definisi dumping yang disepakati dalam Putaran
1. Harga ekspornya lebih rendah daripada harga perbandingan untuk barang sejenis yang digunakan untuk konsumsi di dalam negeri pengekspor.
2. Bila tidak ada penjualan dipasar domestik, maka digunakan perbandingan harga ekspor ke pasar negara ketiga.
3. Bila ukuran pertama dan kedua tidak ada, maka digunakan suatu ukuran ketiga yakni dengan diadakan pembentukan harga yang didasarkan pada biaya produksi ditambah dengan satu jumlah biaya untuk administrasi, pemasaran dan biaya lainnya ditambah dengan suatu jumlah keuntungan yang wajar.
Suatu negara yang merasa dirugikan dengan adanya dumping itu bisa melakukan tindakan balasan, sekarang biasanya diwujudkan dalam bentuk Bea Masuk Anti Dumping. Kebijakan anti dumping menjadi hal yang kontroversial dan paling sering digunakan oleh negara-negara maju untuk melindungi perusahaannya yang kurang efisien. kebijakan anti dumping itu diterapkan tidak boleh lebih lama daripada 5 tahun sejak kebijakan anti dumping diterapkan, namun pihak otorita yang mengeluarkan kebijakan anti dumping di suatu negara bisa menerapkan jangka waktu yang lama lagi jika melihat bahwa kelanjutan pengenaan kebijakan anti dumping itu mencegah timbulnya kembali atau mengurangi kerugian yang terus berlanjut pada suatu industri domestiknya.
Penulis juga melihat bahwa penggunaan definisi barang dumping sebagai barang ekspor yang dijual pada harga yang lebih rendah daripada harga normal merugikan negara-negara yang memiliki industri yang efisien dan mempunyai keuntungan komparatif dan kompetitif. Sudah sering terjadi negara-negara maju menerapkan kebijakan anti dumping pada sebuah produk yang sebenarnya tidak didumping, namun karena melihat bahwa barang ekspor itu dijual dibawah harga normal- kriteria harga normal kebanyakan ditentukan oleh perhitungan mereka sendiri- atau karena melihat bahwa produk impor itu telah merusak harga produk-produk sejenis yang dihasilkan oleh produsen domestik dan dilakukan secara sepihak tanpa meminta keterangan terlebih dahulu atau membentuk tim untuk melakukan investigasi. Pembentukan tim investigasi baru dilaksanakan setelah ada keberatan dari pihak negara pengekspor. Pengenaan kebijakan anti dumping ini sebenarnya bukan hanya merugikan negara pengekspor, tetapi juga merugikan pihak importer, distributor dan penjual eceran di negara pengimpor, serta tentu saja konsumen yang harus membayar lebih mahal.
Wilayah Abu-abu di GATT/WTO
Selain enam kode di atas yang dihasilkan pada Putaran Tokyo dan yang telah diperluas penerapannya pada Putaran Uruguay, masih ada kebijakan perdagangan lainnya yang bisa dikategorikan sebagai hambatan non tarif, seperti aturan tentang asal barang (Mark of Origin), ketentuan tentang preshipment inspection, ataupun tentang peraturan tentang local/exports content requirement (ketentuan keharusan pengadaan bahan lokal atau melakukan ekspor sebagai syarat untuk mengadakan investasi) yang dalam GATT/WTO masuk dalam isu baru TRIM’s (Trade related on investment measures). Sementara itu ada juga kebijakan dagang yang dipandang merugikan namun tidak masuk pada kewenangan GATT/WTO atau belum dibicarakan secara terbuka dalam arena perundingan GATT/WTO. GATT/WTO menyebutnya sebagai wilayah abu-abu. Dua contoh yang bisa dikemukakan adalah kebijakan Voluntary Export Restraints (VER) dan Voluntary Import Expansion Agreement.
Voluntary Export Restraints (VER) pertama kali terjadi pada awal tahun 1970-an ketika ada perang dagang produk baja antara perusahaan Jepang dengan perusahaan Amerika Serikat. Persaingan di bidang baja itu dimenangkan oleh perusahaan baja Jepang yang lebih kompetitif. Produk baja Jepang berhasil menyingkirkan produk baja Amerika di pasar Amerika sendiri. Eksportir baja Jepang setelah mendapatkan tekanan dari pemerintah Amerika serikat disertai tekanan dari dalam diri mereka sendiri yang enggan disebut sebagai perusak pasar baja Amerika, bersedia menandatangani sebuah perjanjian yang isinya secara “sukarela” mengurangi ekspor bajanya ke Amerika Serikat. Perjanjian itu dikenal sebagai VER yakni perjanjian antara pengusaha untuk mengurangi jumlah ekspornya secara sukarela kepada negara tujuan ekspornya. Perjanjian ini masuk dalam wilayah abu-abu karena yang menandatangani adalah pengusaha, walaupun ada pengesahan dari pihak pemerintah masing-masing serta adanya kata”voluntary” yang mengindikasikan adanya kesediaan secara sukarela, tanpa ada intimidasi dari pihak lain. Perjanjian VER pada produk baja itu kemudian diperluas penerapannya oleh Amerika Serikat pada produk-produk mobil, barang-barang elektronika dan alat-alat mesin yang berasal dari
Berkebalikan dengan VER yang “meminta secara sukarela” negara pengekspor untuk mengurangi jumlah maupun tingkat kompetisi barang ekspornya, perjanjian Voluntary Import Expansion Agreement lebih kontraversial lagi karena perjanjian ini meminta secara sukarela pada negara lain untuk membuka pasar impornya bagi masuknya produk tertentu dari suatu negara. Sampai sekarang baru Amerika serikat yang menerapkan perjanjian perdagangan yang culas ini.
Kedua perjanjian perdagangan di atas sepengetahuan penulis tidak pernah masuk dalam agenda GATT/WTO, padahal inti dari perjanjian itu adalah restriksi impor dengan cara penggunaan kuota yang dilarang oleh GATT serta penggunaan cara-cara di luar praktek perdagangan untuk melancarkan arus perdagangan yang bisa merusak keadilan dalam perdagangan bebas.
DAFTAR PUSTAKA
Kartadjoemena, H.S., GATT, WTO : Sistem, Forum dan Lembaga Internasional di Bidang Perdagangan,
Kartadjoemena, H.S., GATT, WTO dan Hasil
Markusen, James R. (et all), International Trade, Theory And Evidence. Singapure: McGraw-Hill Book Co., 1995.
McCulloh, Neil, Kebijakan perdagangan
Nielsen, Jorgen Ulff-Molla (et all), International Economics : Wealth of Open nations.
Oxley, Alan, The Challenge of Free Trade,
Riyanto, Sigit, Implementation of the GATT Tariff System : A Vehicle for International Trade or Trick? Mimbar Hukum no. 29/VII/1998.
02 Desember 2007
Kesiapan Pemerintah Daerah Dalam Menyongsong UU Minerba: Studi Kasus Kalimantan Timur
Oleh Mumu Muhajir
Perpindahan politik dari sentralisme ke politik desentralisme yang diwujudkan dengan kebijakan otonomi daerah pada tahun 1999 dan diformalkan dengan UU No 22 Tahun 1999 jo.to UU 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah. Dengan kebijakan ini, selain apa yang ditentukan oleh pemerintah pusat sebagai kewenangannya, menjadi kewenangan pemerintah daerah [provinsi dan kabupaten/kota] dan atau ada pembagian kewenangan antar hirarkhi pemerintahan. Termasuk didalamnya adalah kewenangan daerah pada pengelolaan sumber daya mineral atau tambang. Secara lebih jelas kewenangan itu dicantumkan dalam PP No 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota.
PP tersebut menyebutkan bahwa ada 31 urusan pemerintahan yang bisa dibagi antar tingkatan dan/atau susunan pemerintahan; dimana salah satunya adalah dalam bidang energi dan sumber daya mineral. Dalam pasal selanjutnya disebutkan bahwa bidang energi dan sumber daya mineral ini merupakan urusan pilihan mengingat tidak semua daerah memliki potensi itu atau jika pun ada tidak melihat potensi itu sebagai salah satu cara dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Dalam sub bidang mineral, batu bara, panas bumi dan air tanah ada 27 urusan pemerintahan yang dicantumkan yang 18 di antaranya merupaka urusan yang dibagi antara tingkatan pemerintahan dan 9 di antaranya hanya menjadi wewenang dari pemerintah pusat. 18 urusan pemerintahan yang dibagi itu antara lain adalah urusan pembuatan perda terkait mineral, batubara, panas bumi dan air tanah, pemberian izin usaha pertambangan mineral, batu bara dan panas bumi sekaligus pembinaan dan pengawasannya, pemberian izin badan usaha jasa pertambangan mineral, batubara, dan panas bumi dalam rangka PMA dan PMDN yang disesuaikan dengan wilayah administratif [Pusat: lintas provinsi dan di luar 12 mil laut; provinsi: wilayah lintas kabupaten/kota dan paling jauh 12 (dua belas) mil laut; serta kabupaten/kota: wilayah kabupaten/kota dan 1/3 (sepertiga) dari wilayah laut kewenangan provinsi].
Pembagian pemerintahan ini mengindikasikan terjadinya pelimpahan wewenang dan sekaligus juga tanggung jawab, di mana pemerintahan daerah mempunyai wewenang lebih dalam mengelola subjek pemerintahannnya yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Kesadaran di pemerintahan bahwa pelimpahan wewenang itu berarti pelimpahan tanggung jawab harus diakui kurang begitu berjalan dengan semestinya. Pemerintah daerah, terutama kabupaten/kota melihat pelimpahan wewenang esar itu sebagai kesempatan untuk megeruk sebanyak mungkin kekayaan alam yang ada di wilayahnya yang kadang bukan demi tujuan PAD tetapi juga untuk kepentingan jangka pendek elit tertentu.
Dalam pelaksanaan kebijakan dalam pengelolaan kekayaan sumber daya mineral, pemerintah daerah masih mengandalkan pada pola pengusahaan saja dan belum pada tingkat pengendalian apalagi konservasi mineral. Ini tentu saja harus dihentikan.
Di sisi yang lain, dengan lahirnya UU minerba baru yang salah satu isinya adalah merubah mekanisme perijinan dalam pengusahaan pertambangan yang dulunya masih dikenal ada kontrak [Kontrak Karya dan PKP2B] menjadi hanya izin saja. Mau tidak mau kebijakan dalam pertambangan umum harus menyesuaikan diri denga kebijakan otonomi daerah yang salah satunya telah diatur dalam PP di atas. Jika demikian maka lembaga pemberi izin harus lebih kuat dan berwibawa agar pelaksanaan izin itu bisa berlaku semestinya atau jika menyimpang bisa ditindak. Lembaga pemberi ijin itu, yakni pemerintah, harus mempunyai kapasitas dan wibawa yang lebih karena ia telah memilih untuk berada di atas para pihak lainnya.
Dan dengan memperhatikan pelimpahan wewenang akibat lahirnya otonomi daerah, bisa dipastikan bahwa pemerintah daerahlah, terutama kabupaten/kota, menjadi ujung tombak baik-buruknya pengelolaan kekayaan sumber daya mineral ini.
Justru di sinilah masalahnya. Pengerdilan kapasitas yang dilakukan oleh ORBA menyumbang faktor terbesar akan kekawatiran tidak bisanya pemerintah daerah mengatur kekayaannya itu. Selain juga pengutamaan pada kepentingan daerahnya sendiri. Faktor-faktor lain bisa disebutkan juga.
Kembali ke masalah tanggung jawab, yang juga berarti pemerintah daerah harus mempunyai visi dan kebijakan yang jelas hendak kemana dan diapakan/tidak diapa-apakan kekayaan sumber daya alamnya itu. Sayangnya adalah provinsi sekaya Kalimantan timur sama sekali tidak mempunyai arahan yang jelas dan spesifik tentang pengelolaan kekayaan sumber daya mineral ini, setidaknya dalam bentuk Perda tentang pertambangan umum, begitu pun beberapa kabupaten/kota.
Konsekuensinya adalah praktis sebenarnya pemerintah daerah menjalankan peraturan yang dibuat oleh pemerintah pusat. Dengan demikian, semangat otonomi daerah sebenarnya dipertanyakan dalam masalah pertambangan ini.
Karena itulah di beberapa kabupaten/kota, seperti Kukar, kita kerap kali mendengar adanya tumpang tindih pemberian izin, bukan hanya dengan izin di luar pertambangan, tetapi juga dengan sesama pertambangan itu sendiri. Hal itu terjadi, bukan hanya karena ada kepentingan menarik rente ekonomi mineral sebanyak-banyaknya, tetapi barangkali lahir dari ketidakmampuan aparat pemerintah dalam membuat kebijakan pertambangan yang baik dan adil atau lemah dalam melakukan pengawasan. Jangankan membicarakan bagaimana caranya biar lingkungan hidup tidak terlalu rusak atau memberikan perhatian pada masyarakat terkena dampak pertambangan atau memaksa pada perusahaan tambang untuk menerapkan praktek-praktek baik dalam pengusahaan pertambangan, pemerintah daerah nampaknya masih bingung juga dengan kebijakan untuk mengeksploitasinya!
Sehingga lahirlah kebijakan di kabupaten/kota yang jika dilihat dari peraturan di atasnya yag mengatur pertambangan sebenarnya tidak ada atau malah bertentangan. Misalnya saja selain diharuskan mendapatkan izin KP, pengusaha diharuskan juga mendapatkan ijin lokasi. Padahal sebenarnya dengan dikelurkan izin KP otomatis sebenarnya sudah ada persetujuan pemerintah atas akan dilakukannya pengusahaan pertambangan di lokasi itu.
Masalah lain yang ditemukan adalah adanya ”musuhan” antara pemerintah kabupaten/kota dengan provinsi, sehingga jika ada pengusaha yang ingin mengajukan ijin petambangan dan wilayahnya itu masuk ke dua atau lebih kabupaten/kota, yang masuk dalam kewenangan provinsi, maka pemerintah kabupaten/kota menyarankan ke pengusaha itu untuk memecahnya permohonan ijinnya ke masing-masing kabupaten/kota. Alasannya adalah mengurus ke provinsi itu terlalu lama dan bahwa pada akhirnya juga pihak provinsi akan melibatkan mereka, pemerintah kabupaten/kota. Tentu saja alasan utamanya adalah kabupaten/kota tidak mau ”berbagi” dengan provinsi dalam hal rente mineral tadi. Sehingga sampai sekarang, pemerintah provinsi kaltim praktis tidak pernah memberikan izin pertambangan dan karenanya hanya menjalankan dua fungsi saja:pembinaan dan pengawasan; itupun terbatas karena instansi di kabupaten juga melakukan hal yang sama. Pemerintah provinsi hanya terbantu dengan tugas dekonsentrasi saja, terutama mengawasi perusahaan pemegang KK dan PKP2B yang sebenarnya menjadi tanggung jawab pemerintah pusat.
Pemecahan ijin ini tentu saja akan meyulitkan pengawasan dalam lingkungan hidup yang tidak melihat batas administrasi. Sehingga kerap kali instansi pengawas lingkungan hidup kesulitan menentukan pihak pemerintah mana yang harus bertanggung jawab jika terjadi kerusakan lingkungan.
Inilah sekelumit masalah pertambangan pasca adanya kebijakan otonomi daerah dan UU Minerba. Tentu kita tidak harus berkecil hati dengan keadaan itu. Pemerintah Pusat sebagai pembina sebenarnya memerankan peran yang penting dalam rangka alih pengetahuan dan keterampilan ke pihak pemerintah daerah. Ini memang bukan masalah yang mudah, tetapi seiring dengan berjalannya waktu, pemerintah daerah bisa memahami peranannya dalam mengelola kekayaan pertambangan di daerahnya.