Ini mengulang perdebatan yang dulu. Dan dimulai dari lemahnya pengaturan hal ini dalam UU 41/1999. Bisa juga dibaca lemahnya sektor kehutanan ketika berhadapan dengan sektor lain.
Saya belum baca peraturan yang dimaksud (PP? Perpres? Keppres?). Tapi, jika benar ada aturan ini, saya rasa ini merupakan keberhasilan lobi pihak-pihak tertentu semisal kepentingan tambang. Sudah lama sektor tambang mengeluhkan sektor kehutanan sebagai pihak yang membuatnya tidak dapat berkembang lagi dan dianggap mengganggu roda pembangunan.
Salah satu hasil Indonesia Summit tahun 2009 kemarin [yang beritanya tenggelam ditimpa kasus Cicak vs Buaya] jelas disebutkan bahwa batu sandungan dalam investasi adalah sektor kehutanan. Beberapa organisasi tambang jelas menudingkan telunjuk ke hidung kehutanan.
Masalahnya yang diperbolehkan melakukan aktivitas non kehutanan di hutan lindung itu, salah satunya adalah pembangunan pembangkit listrik (power plan) yang jika dimaknai secara positif adalah merujuk pada tenaga panas bumi. Memang sektor panas bumi Indonesia sedikit sekali perkembangannya karena hampir 80 persen potensi panas bumi ada di hutan lindung. Nah dengan aturan ini, PLT Panas Bumi diperbolehkan melakukan aktivitas di hutan lindung.
Tapi jika dimaknai secara negatif, bukankah ada yang namanya PLTU Mulut Tambang, yakni pembangkit listrik yang sumber energinya berada dekat sumber energi itu dieksploitasi. Dan salah satu PLTU yang akan dikembangkan sumber energinya adalah batu bara. Nah ini masalahnya: apakah mereka - pengusaha batu bara dan atau pembangkit listrik - mau menanam investasi pertambangan bawah tanah?
Saya rasa...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar