Tampilkan postingan dengan label ekologi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ekologi. Tampilkan semua postingan

24 November 2014

Urang Kanekes bisa Matematika?

Urang Kanekes atau orang banyak sebut sebagai Orang Baduy, tinggal di Kabupaten Lebak, Banten. Mereka dikenal melarang warganya mengikuti sekolah yang diselenggarakan pemerintah. Dalam kondisi itu, ternyata mereka mempunyai kecerdasan sendiri dalam matematika. Dalam tulisan yang diterbitkan oleh International Journal of Education and Research, para peneliti menemukan satu pola pemakaian matematika oleh Urang Kanekes dalam teknologi anti tikus yang dipakai di bawah leuit (tempat menyimpan padi) mereka. Peneliti menyebutkan bahwa perhitungan matematika dalam membangun "Geuleubeug" telah efektif mencegah tikus masuk ke dalam leuit. Tentu Urang Kenekes tidak menjelaskan perhitungan mereka dalam bahasa matematika orang sekolahan, peneliti ini yang kemudian "menerjemahkannya" ke dalam bahasa orang yang mengikuti pendidikan formal-Barat.

Yang menarik dalam tulisan ini adalah tidak hanya dalam membela "kecerdasan" Urang Kanekes (dan gaya hidup Urang Kanekes yang mereka anggap penuh kejujuran; ok. ini sedikit romantis), tetapi juga menunjukkan bahwa sistem pembelajaran yang baik adalah dengan menghadapkannya dengan lingkungan sekitar yang harus "dimengerti dan kemudian "ditaklukkan". Pembelajaran problem solving.



Bagi saya sendiri, ini tantangan tersendiri dalam "menerjemahkan" kecerdasan atau pengetahuan lokal ke dalam bahasa-bahasa kecerdasan yang mainstream yang kebanyakan dipengaruhi Yunani-Romawi-Islam-pencerahan Barat ini. Dalam halnya masyarakat adat, jika tidak jatuh pada romatisisme (tuh kan mereka juga paham matematika karenanya mereka hebat (walau sebenarnya pelan-pelan wilayah hidup dibatasi dan bahkan masyarakat adat lain disingkirkan), arah lainnya menuju ke penghakiman dan pelan-pelan penyingkiran. Dalam arti ketika dipahami "cara kerjanya" dengan disamakan dengan "cara kerja mainstream", maka prosesnya kemudian adalah "cara kerja mainstream" inilah yang dipakai terus menerus sehingga cara kerja masyarakat adat itu pelan-pelan menghilang.

Tantangannya adalah menjadikan proses "penerjemahan" ini membuat dua atau lebih kecerdasaan lain, yang berbeda-beda, beragam itu tetap hidup, berdampingan, berkonflik mungkin, namun tetap saling menguatkan.

07 Agustus 2012

Illegal, tapi etis: Kant dan Sepeda

Seberapa sering saya melewati lampu merah yang menyala? Beberapa kali. Seberapa sering "salmon"? Sering banget. Salmon atau Salmoning adalah praktek melawan arus, sebuah kata yang ditujukan pada penyepeda yang melawan arus. Di sini sepertinya lebih pas diterapkan pada pemotor.

Mengapa saya melakukan itu? Tulisan di NewYork times ini bisa menjadi pembuka pembicaran ke arah sana. Mungkin itu tindakan illegal (tidak sesuai dengan aturan yang berlaku), tapi secara moral, gak bertentangan: saya gak pernah melawan arus di atas trotoar, nerobos lampu merah juga dengan sangat hati-hati. ada satu praktek yang sering dilakukan oleh saya: di perempatan, daripada ikut ngantri dengan kendaraan lain menunggu lampu hijau, saya lebih sering menuntun sepeda saya atau malah menggowesnya ke arah sebaliknya dari arus kendaraan. Lalu menunggu sampai arus di depan kena lampu merah, nyebrang ke arah yang saya tuju. Semuanya dilakukan dengan hati-hati, penuh perhitungan dan jika ada penyebrang jalan, pasti saya tuntun sepeda.

Atau yang sedang menjadi kontroversi: salmon di jalur busway. maksud saya: menggowes melawan arus di jalur busway.

Bagi banyak pihak: itu perilaku melanggar hukum: masuk ke jalur busway dan melawan arus. Tapi menurut saya, ok saja. Asal dilakukan dengan hati-hati dan tidak mengganggu apalagi mencelakakan orang lain. Itu cara paling aman dan paling cepat bagi anda pesepeda. Paling aman, karena anda tidak perlu menengok ke belakang terus menerus, sambil menggenjot sepeda cepat-cepat karena takut ada busway. Dengan melawan arus, anda tinggal lihat apakah ada busway di depan anda atau tidak. Busway lewat, anda tinggal naikkan sepeda ke separator. Paling cepat? Jelas dong.

Ketidaksukaan itu mungkin karena banyak orang masih menyamakan sepeda dengan mobil. Sehingga, inginnya, aturan yang melingkupi mobil berlaku juga bagi sepeda. Ini tidak masuk akal. Sepeda jelas bedanya dengan mobil. Tapi sepeda, berbeda dengan pendapat kebanyakan orang di sini, tidak sama dengan pejalan kaki (mungkin lahir setelah baca UU Lalin baru). Sepeda, bagi penulis di NYT itu dan juga saya, adalah moda transportasi ketiga: antara pejalan kaki dan kendaraan bermotor. Perlakuannya seharusnya juga mengikuti keunikan moda sepeda. Jangan diterapkan aturan untuk moda transpot lain. Lihat misalnya di kota-kota yang banyak penyepedanya (Amsterdam, Portland, untuk menyebut beberapa kota). Pasti ada rambu-rambu khusus buat sepeda.

Agar hal itu dapat berlaku di Indonesia, atau katakanlah, di Jakarta perlu usaha keras. Terus terang, tidak akan saya alami selama saya hidup.

06 Agustus 2012

Masalah pengeboran minyak, lain Brazil, lain Indonesia

Pengadilan federal Brazil memutuskan Chevron dan Transocean untuk menghentikan operasi pengeboran di lepas pantai Rio de Jenairo karena adanya kebocoran minyak dari rekahan di dasar laut di dekat operasi pengeboran mereka dalam jangka waktu 30 hari. Pengadilan bahkan menghukum Chevron dan Transocean untuk membayar denda setiap kali keterlambatan penutupan operasi. Chevron sendiri memutuskan akan banding pada keputusan ini. Dia merasa - peristiwa ini bukan yang pertama kali - bahwa dia pernah secara sukarela menghentikan operasi dan menutup rekahan tersebut. Da merasa punya kemampuan untuk menutup kebocoran itu.

Minyak memang makin sulit didapatkan di daratan atau di laut dangkal. Cadangan-cadangan besar minyak diperkirakan ada di laut-laut dalam. Untuk mengambilnya, bukan perkara yang mudah. Perlu teknologi tinggi dan investasi yang tidak murah. diperkirakan hasilnya juga besar, tapi memang resikonya juga besar. Dalam kondisi seperti itu, aspek lingkungan biasanya dianggap angin lalu, setidaknya hanya dibicarakan dalam PR atau iklan perusahaan.

Brazil mengambil langkah lain: bahwa keselamatan bumi dan manusia tetap harus menjadi prioritas dalam bisnis kaya perminyakan. Sebuah langkah yang punya potensi membawa keburukan, jika Chevron dapat membawanya ke tingkat arbitrase atau pengadilan (tergantung kontrak di awal dan perjanjian lainnya) dan menang; karena berhubungan dengan penghentian operasi sebuah proyek raksasa.

Tidak perlu membuka data lama, satu peristiwa hampir sama dengan respon pemerintah yang jauh berbeda ditunjuk di republik kita tercinta ini. Lapindo mengebor minyak di daratan, di tengah pemukiman dan "krak" pengeborannya mengenai patahan bumi yang membuatnya menyemburkan lumpur sampai sekarang. Ribuan orang kehilangan rumahnya, rasa amannya, Sungai Porong mati, lumpur menggenangi delta laut. Dan sampai sekarang ganti rugi menjadi hantu: dibicarakan tapi tidak ada buktinya. Untuk mengejar itu, beberapa pihak kehilangan harga dirinya (baca cerita Suwandi). Dan, bisa dipastikan, pelakunya lenggang kangkung, tanpa ada hukuman sama sekali. Perusahaan yang sama malah masih memiliki kontrak perminyakan di daerah sebelah Porong.

Dalam hukum lingkungan, ada yang namanya precautionary principle, prinsip kehati-hatian. Bukan dimaknai bahwa ini untuk melindungi lingkungan. Buat apa. Lingkungan tidak perlu dilindungi; yang perlu dilindungi adalah keselamatan manusia dan mahluk lain (heheh, melingkar yak) yang bergantung pada lingkungan. Ekosistem bisa berubah dengan cepat, hutan dibabat, sungai dikotori, bumi disedot isinya terus-menerus, tapi Bumi/lingkungan akan menemui keseimbangan lainnya (hutan jadi tidak ada pohon, sungai jadi penuh polusi, dst); dia akan tetap ada di sana. Manusialah yang akan kena batunya, apalagi jika kesulitan mengadaptasinya.
Saya harap di titik inilah pengadilan federal Brazil mengambil tindakan berani di atas, karena siapa yang bisa menahan ketika semburan itu tidak bisa dihentikan? Berapa ratus ribu barel minyak akan terus keluar dari bumi dan mengotori laut Rio de Jenairo? dan apa dampaknya bagi manusia yang tinggal di tepi pantai? apa dampaknya juga pada pertumbuhan phytoplankton, satu dari dua ekosistem yang dapat mendaurulang gas-gas rumah kaca(satunya lagi hutan tropis), yang semakin hari semakin runyam keadaannya?

18 Agustus 2011

Rimba yang ditelan sawit

Awalnya, karena kemiripan nama, saya menyamakan keberadaan PT Rimba Makmur Utama (RMU) dengan PT Rimba Raya Conservation. Padahal, setelah tanya sana-sini serta cari info lainnya, kedua nama itu hanya mirip, namun keduanya merupakan lembaga bisnis yang berbeda. Kesamaannya adalah mereka sama-sama mengajukan ijin IUPHHK-RE dan berlokasi di Kalimantan Tengah. Kedua perusahaan ini sama-sama memiliki (atau dimiliki (?)) konsultannya masing-masing: Starling resources untuk PT Rimba Makmur dan InfiniteEarth untuk PT Rimba Raya.

Perbedaan semakin jelas ketika melihat lokasi kerja mereka. Lokasi kerja PT RMU di Katingan dan Kotawaringin Timur dan diapit oleh dua sungai besar: Sungai Katingan dan Sungai Mentaya. Lokasi kerja mereka sering disebut sebagai Katingan Peatlands Conservation Project.

Lokasi kerja PT Rimba Raya conservation berada di Kabupaten Seruyan, tepatnya berada di sepanjang Sungai Seruyan mulai dari Pembuang Hulu sampai ke arah selatan dan berdekatan dengan Taman Nasional Tanjung puting.

Soal PT Rimba Raya Conservation (RRC) ini yang akan dceritakan dalam kesempatan kali ini. Ada beberapa info yang masuk ke telinga saya yang isunya menarik, terutama terkait dengan tingkah para pemburu karbon serta bagaimana hubungan mereka dengan (calon) pembeli karbon (kredit), dengan pemerintah, serta dengan komunitas.

Apa yang menarik dari PT RRC ini? Hubungan mereka dengan InfiniteEarth adalah hubungan antara pemilik dengan kepunyaannya, bukan antara kontraktor dengan pemberi kontrak. Keterangan ini dapat dilihat dari keterangannya soal projek di Kalteng ini. Pihak lain yang diikutkan dalam proyek ini adalah Peneliti Orang utan, Birute Mary Galdikas, bersama dengan OFI (Orangutan Foundation International Rehabilitation Center). Dalam keterangan soal proyek itu juga disebutkan Infinite ini "membeli" lahan seluas 500 kilometerpersegi atau setara 50.000 ha untuk dijadikan dijadikan Rimba Raya Reserve itu. Ia klaim "membeli" wilayah tersebut, dan bukan "meminta ijin kepada pemerintah". Bagaimana mungkin dia membeli "wilayah hutan?" Tidak ada aturan hukum yang membolehkan terjadinya jual beli di dalam kawasan hutan. Mekanisme hukum yang ada adalah tukar menukar atau pinjam pakai. Jual beli baru bisa terjadi ketika kawasan hutan itu dirubah statusnya menjadi kawasan hon-hutan. Dan memang lokasi PT RRC ini ada di dalam kawasan hutan produksi dan kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi.

Kekecewaan dan dalih Kemenhut
Angka setara 50.000 ha, sebagaimana diterakan dalam keterangan proyek tersebut, menarik untuk dilihat lagi. Dalam proposal pengajuan IUPHHK-RE, PT RRC ini berencana menguasai seluas sekitar 101 730 ha, yang terdiri dari (1) hutan produksi tetap: 58 857 ha dan (2) hutan produksi konversi, seluas 42 873 ha. Angka 500KM persegi itu berarti angka yang sudah disetujui oleh Kemenhut, yang nampaknya menjadi masalah dan menimbulkan kekecewaan bagi PT RRC. Laporan Reuter ini menyebutkan angka 90.000 ha untuk lokasi yang diusulkan dan realisasinya yang mencapai separuhnya 46.000 ha. Namun jika melihat data resmi dari Dephut, angka yang diusulkan adalah  89,185 ha.

Kekecewaan itu terlihat dari kenyataan bahwa sisa lokasi yang tidak diberikan kepada PT RRC ternyata diberikan kepada PT Best Group, sebuah perusahaan kelapa sawit. PT RRC mengklaim bahwa wilayah yang diberikan kepada PT Best tersebut tidak layak dijadikan wilayah kelapa sawit karena memiliki kedalaman gambut yang lebih dari 3 meter. Sementara menurut hukum Indonesia, wilayah gambut yang lebih dalam dari 3 meter harus dikonservasi ( Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung serta Peraturan Menteri Pertanian No. 14/Permentan/PL.110/2/2009 Tentang Pedoman Pemanfaatan Lahan Gambut Untuk Budidaya Kelapa Sawit).

Pemerintah c.q. Kemenhut sendiri berdalih bahwa wilayah tersebut memang sudah lama menjadi klaimnya PT Best dan berada di wilayah Hutan Produksi Konversi ( (HPK) yang ditujukan untuk dilepaskan untuk kegiatan pertanian/perkebunan, seperti kelapa sawit dan bukan untuk kegiatan REDD apalagi IUPHHK-RE. Dari pernyataan ini terlihat sebenarnya ada tumpang tindih lahan antara Kemenhut dengan PT Best, sebuah masalah yang lazim ditemukan di Kalimantan Tengah. Tumpang tindih tersebut diselesaikan dengan menetapkan kawasan tersebut sebagai kawasan hutan produksi konversi (tentu saja harus ada penelusuran lebih lanjut, apakah sudah ada SK Menteri Kehutanan yang melepaskan kawasan hutan itu menjadi kawasan non hutan (APL)?).

Di lain pihak, kekecewaan PT RRC bisa dipahami, namun perbedaan antara ijin yang diajukan dengan realisasinya seharusnya (dengan melihat prosedur pengajuan IUPHHK-RE) sudah diantisipasi. Jika dilihat dari sisi prosedural, pemerintah sebagai pemberi ijin bisa saja memberikan ijin yang tidak sesuai dengan pengajuan ijinnya. Ini hal yang biasa: sama seperti kita mengajukan proposal bisnis yang disetujui sebagian. (luas 89,185 ha adalah luas yan diajukan oleh PT RRC yang waktu itu tengah membuat RKL/RKU (semacam Amdal untuk praktek bisnis yang dianggap dampaknya kecil pada lingkungan); ini merupakan tahapan tengah sebelum Baplan atas nama Menteri mengeluarkan Peta Lokasi yang nantinya akan disahkan dalam bentuk IUPHHK-RE)

Kecuali, jika PT RRC keberatan dengan alasan pemerintah tersebut, maka terbukalah jalan penyelesaiannya ke tingkat pengadilan TUN. Apalagi Pemerintah Rusia kabarnya sudah melayangkan keberatan Gazprom atas tindakan Kemenhut tersebut.

Masalah lebih luas: tumpang tindih kawasan dan kebijakan pelepasan kawasan hutan
Tentu saja, ada masalah dalam kebijakan kehutanan terkait dengan pelepasan kawasan hutan. Posisi kawasan hutan produksi konversi selama ini selalu dikesankan dalam kondisi "idle". "idle" dalam pengertian kawasan HPK ini tidak dapat "dimanfaatkan" karena ia harus akan dikeluarkan dari kawasan hutan dan posisinya sekarang sedang menunggu ada proposal dari pihak lain (pemda atau kalangan bisnis) yang mengajukan permohonan pemanfaatan lahan tersebut. Selama belum ada proposal tersebut, posisi kawasan HPK tetap akan demikian adanya. Tapi, apakah memang benar di atas kawasan hutan produksi konversi (HPK) tersebut tidak boleh ada kegiatan kehutanan, seperti pengajuan IUPHHK-RE?

Masalah yang lebih serius adalah atas dasar kebijakan apa Kemenhut menetapkan kawasan itu sebagai kawasan hutan produksi konversi padahal diketahui adanya kawasan gambut yang harus dikonversi? Ini yang aneh. Keanehan lainnya adalah berhubungan erat dengan kewenangan Kemenhut sendiri, yang seharusnya mempertahankan dan mengurus hutannya, dan bukan malah melepaskan menjadi non hutan. Selain itu, bukankah seharusnya ia berpihak kepada pelaku kehutanan daripada pelaku perkebunan? Urusannya akan menjadi panjang ketika dikaitkan dengan pemihakan Kemenhut atas kebutuhan lahan dari pihak pelaku bisnis. Kemenhut sepertinya dengan senang hati melepaskan ribuan hektar kawasan hutan kepada pelaku bisnis, namun sangat sulit ketika yang memintanya adalah masyarakat (yang luasannya pasti jauh lebih kecil). Kecurigaan Kemenhut telah berubah menjadi "tuan tanah negara" memang menguat dengan melihat praktek tersebut. Ini mungkin masalah lain yang perlu diceritakan di kesempatan lainnya.

Bisnis karbon masih belum pasti
Yang menarik dari laporan Reuters itu adalah pernyataan Sekjen Kemenhut yang tidak mempercayai keberlanjutan industri karbon ini, dengan mempertanyakan apakah bisa memberikan kontribusi kepada negara atau menggantikan retribusi yang selama ini didapatkan dari industri "biasa" kehutanan atau bisnis yang terkait langsung dengan kehutanan. Ada keraguan di kalangan Kemenhut yang ironisnya menjadi lembaga yang paling merasa paling berwenang ketika membicarakan soal REDD atau perdagangan karbon dari hutan.

Sudah ada setidaknya 3 Permenhut terkait dengan REDD?DA REDD/perdagangan karbon serta beberapa lembaga ad hoc di internal Kemenhut, atau serangkaian diskusi, workshop, konferensi dan berbagai kegiatan lainnya yang menjadi fakta keras untuk melihat betapa seriusnya Kemenhut mengimplementasikan REDD dan sebangsanya. Namun ketika menghadapi kenyataan dari lapangan, sepertinya Kemenhut agak bimbang: benarkan industri karbon ini akan menjadi penyelamat?

Saya tidak mau berbagi kebimbangan dengan Kemenhut dalam soal itu. Kekawatiran Kemenhut saya kira berkisar pada cerita sedih CDM kehutanan yang tidak berhasil serta belum mantapnya REDD di tingkat internasional. Saya berkeyakinan bahwa respon pemerintah c.q. Kemenhut yang cenderung "cepat tanggap" ini tidak dilandasi dengan kondisi di internal mereka sendiri dan persoalan "kaca mata yang melihat keluar": apa yang diharapkan baik di dunia internasional, itulah yang dikejar oleh Kemenhut dan bukannya melihat dulu kondisi riil di internal dan Indonesia sendiri.

Saya justru agak kawatir dengan praktek-praktek "pelaku industri karbon" ini dalam mendapatkan dananya dan sekaligus pembelinya.

PT RRC, lewat InfiniteEarth sendiri menyatakan bahwa penyandang dana dan pembeli karbon sudah ada yakni dari Gazprom dan Shell. Keduanya perusahaan energi yang hendak mencari cara termurah untuk meng-offset emisi mereka. Ini trend yang terus menanjak dan seharusnya juga menjadi perhatian pemerintah atau pemerhati lainnya. Ini merupakan praktek yang justru tidak akan memberikan dampak positif bagi usaha penurunan emisi global, kecuali Shell dan Gazprom memulainya dari darinya sendiri.. Karena, perusahaan-perusahaan emitter besar ini memperlakukan isu perubahan iklim seperti bisnis biasa: ada yang ditransaksikan, ada harga dan negosiasi. Sementara isu penurunan emisinya sendiri dijauhi dan membiarkan pihak lain (yang ironisnya butuh uang mereka) melakukannya buat mereka.

Konsekuensi lain menunggu. Lahan yang ditransaksikan sangatlah luas, ribuan dan ratusan ribu hektar dan kemudian lahan ini diurus oleh sebuah lembaga usaha yang melihat trendnya lebih sebagai "calo". Di lahan tersebut hidup ribuan orang yang bergantung pada kemurahan hutan dan sedang tersingkir karena ada ketimpangan penguasaan lahan. Jika selama ini mereka menghadapi negara yang lebih jelas struktur pengurusan dan penguasaan atas lahannya (ada akses yang ditutup, namun di sisi lain ada yang dibuka). Lalu apakah bisa berharap lebh baik dari para "calo" atau pelaku usaha tersebut?

Saya kembali melihat keterangan proyeknya PT RRC, yang mengklaim bahwa mereka membeli ("purchased") lahan tersebut (saya berharap ini kesalahan editorial yang tidak memahami arti "membeli" lahan ratusan ribu hektar). Uangnya berasal dari Gazprom, perusahaan emiter. Dalam hukum, lahan itu berarti dibeli dan biasanya pembeli mendapatkan keistimewaan dari penjualnya termasuk kepemilikan atas lahan tersebut. Jika negara hanya "menguasai" (walaupun kebanyakan diimplementasikan sebagai memiliki, namun secara teoritik negara hanya menguasai) kawasan hutan tersebut, maka sekarang lahan tersebut sudah dimiliki oleh sektor swasta. Konsekuensi besar. Pembelian ini penting karena "calo" itu harus memastikan bahwa selama masa kontrak (yang berumur puluhan tahun), tidak ada aktfitas yang menyebabkan "kebocoran" yang akan merugikan mereka.

Lalu, boom, anda boleh buka soal "kedaulatan negara" atau soal "land grabbing" untuk memetakan dan mendekatkan persoalan itu dengan fenomena yang sedang berlangsung. Silakan.



03 November 2010

20 Juni 2010

Tumpahan Minyak BP dan Deep Ecology


Naomi Klein berbicara mengenai gagalnya usaha BP dalam menggali minyak di perut bumi, yang menyebabkan tumpahnya minyak di Teluk Meksiko. Ia menyebutkan kurangnya prinsip kehati-hatian diterapkan di dalam praktek eksploitasi minyak tersebut, yang ternyata dasarnya berawal dari berubahnya perlakuan manusia pada Bumi. Pra-1600, Bumi masih dianggap sebagai benda hidup, sebagai Ibu; tetapi perkembangan ilmu pengetahuan dan penemuan teknologi, telah membuat Bumi diperlakukan sebagai benda mati yang bisa diatur, ditundukkan dan dieksploitasi. Kecanggihan teknologi telah membuat manusia jumawa dalam memperlakukan Bumi. Terbukti, ketika pengeboran di perut bumi itu gagal, BP sama sekali tidak memiliki rencana/strategi untuk menghentikan "pendarahan" itu; hanya karena BP yakin, usaha pengeboran itu PASTI akan berhasil. Dalam skala yang lebih luas, perusahaan minyak memang sudah demikian jauh meninggalkan prinsip kehati-hatian ini [yang nantinya terwujud di dalam teknologi keselamatan, strategy exit, dst] yang terbukti dalam jomplangnya investasi untuk eksploitasi yang mencapai $39 milliar per tiga tahun, dengan hanya $20juta/tahun untuk riset di dalam keselamatan, pencegahan terkait pengeboran minyak. 

10 Juni 2010

Bonn: Ngapain?

Laporan dari Guardian soal cara Negara Maju yang terlihat seperti menurunkan emisinya, padahal tidak. Triknya tidak jauh beda dengan fabrikasi laporan keuangan.

08 Juni 2010

Ada apa di Bonn?

Perubahan pada soal LULUCF, mudahkan Negara Maju kibuli usaha penurunan emisinya. Lagi-lagi laporan dari Guardian .

15 Mei 2010

Antara Laut Timor dan Teluk Meksiko

Baru saja nambahin widget dari EPA Amerika Serikat [Badan Perlindungan Lingkungan Amerika Serikat] mengenai peristiwa bocornya pengeboran minyak milik BP di Teluk Meksiko. Informasi mengenai kebocoran minyak ini ramai dibicarakan di media sana. Beragam bentuk informasi: berita, dokumen rahasia, lobi poltik, riset, teknis pengeboran, dampak pada lingkungan dan sosial, begitu mudah didapat.




Kalau dilihat dari jumlah minyak yang bocor, yang diperkirakan sekitar 70.000 barel/hari, memang lebih banyak daripada kebocoran minyak minyak PTTEP di lepas pantai utara Australia yang diperkirakan sebesar 300-400 barel/hari.  Dan jika dihitung antara waktu bocornya - 21 Agustus 2009 dengan ditutupnya kebocoran, 3 November 2009, maka diperkirakan minyak yang tumpah mencapai 75 X 300 - 400 barel = 22.000 - 30.000 barel/hari. Menurut Department of Resources, Energy Australia memperkirakan jumlah minyak yang bocor mencapai 2000 barel/hari, atau mencapai 150.000 barel minyak tumpah di lepas pantai utara Australia.


Saya sangat sulit mendapatkan info mengenai kejadian itu dan setelahnya, termasuk respon pemerintah Indonesia karena bocoran minyak mentah itu masuk ke wilayah teritorinya lewat Laut Timor. Hanya berita kecil-kecil saja, baikdari Australia mauapun Indonesia. Kita bisa tahu berapa jumlah uang yang dipersiapkan oleh BP untuk mengatasi kebocoran itu, yang setidaknya menunjukkan tanggung jawab mereka. BP mungkin target yang gampang untuk diserang karena kebesaran perusahaannya, yang karena itu tanggapannya sangat cepat dan efesien. Dan itu berbeda jauh dengan PTTEP, sebuah perusahaan minyak yang dimiliki oleh Thaksin Sinawatra, mantan PM Thailand, yang sekarang malah memberikan dukungan bagi "kaos merah" untuk menggoyang pemerintahan Thailand.


Apa yang terjadi di Amerika menunjukkan betapa berperannya internet dan "alat bawaanya" berupa social media, sebagaimana tampak dalam wiget yang dibuat EPA itu.



Kapan kita bisa ke arah sana?


------
foto: courtesy of bnet



13 Mei 2010

Untungnya Australia dengan Skema REDD

Berikut tautan dari REDD-monitor yang bicara soal kepentingan Australia dengan mekanisme REDD. Tulisan di blog ini didasarkan pada sebuah sebuah penelitian yang dilakukan oleh Andrew Macintosh, Associate Director pada Centre for Climate Law and Policy, ANU.

Ternyata penerimaan Australia pada Protokol Kyoto dibarengi dengan kemudahan bagi Australia untuk mengikuti kewajiban penurunan emisinya. Paragrap 3.7 (2) dari Protokol Kyoto memberikan kemudahan kepada negara maju yang masuk dalam annex satu yang pada tahun 1990 emisinya didominasi oleh LUCF [Land Use Change and Forestry] agar penurunan dari emisi deforestasi bisa dimasukkan sebagai usaha penurunan emisi seluruhnya. Pada tahun 1990, 30 persen emisi Australia berasal dari deforestasi dan jumlah ini terus turun sampai sekarang. Masalahnya antara tahun 1990 sampai dengan tahun 2007, Australia malah menaikkan emisinya sebesar 26%. Nah dalam masa komitmen pertama ini, Australia hampir pasti bisa memenuhi target penurunan emisinya karena ada kemudahan dari Protokol Kyoto itu. Australia tinggal menjaga emisi dari deforestasi tidak melewati angka di tahun 1990 yang mencapai 132 juta ton CO2e, tanpa harus menurunkan emisi dari sektor lain yang merupakan sumber utama penghasilan Australia: pertambangan. Atau penurunan emisi dari skema REDD [khas Australia] ini akan akan dipergunakan sebagai offset kenaikan emisi di bidang di luar LUCF.

Dan sepertinya, Australia juga berkepentingan dengan REDD yang dilakukan di luar negeri. Karena tidak semua REDD khas Australia di dalam negerinya bisa mengoffset keseluruhan kenaikan emisinya. Di sini, semua kerja sama, bantuan keuangan dst dari pihak Australia dengan Indonesia sebenarnya – pastinya sudah pasti -  menyimpan maksud tersembunyi. Akhir-akhir ini bahkan bantuan dalam soal REDD ini dikaitkan, kalau tidak mau dikatakan diselinapkan, dalam bantuan untuk keperluan lain seperti pengurangan kemiskinan. Mungkin tidak harus dibaca: Australia sedang memberikan permen manis kepada Indonesia agar melakukan [bukan hanya mendukung] dengan sepenuh hati skema REDD yang sedang diperbicangkan di bawah payung UNFCCC. Tapi bisa juga menunjukkan bahwa Indonesia, terutama pengambil keputusan, sedang menaikkan posisi tawar. Kita akan lihat apakah “transaksi” itu memberikan lebih banyak kemudharatan atau sebaliknya.

Yang pasti adalah Indonesia tidak memiliki kewajiban menurunkan emisi. Australia, sebaliknya, punya kewajiban itu. Dengan posisi itu, Indonesia seharusnya menaikkan posisi tawar setinggi-tingginya. Termasuk didalamnya memastikan sejauh mungkin perlindungan pada hak-hak masyarakat adat/lokal di sekitar wilayah yang akan dijadikan REDD. Sayangnya, REDD+ yang dilakukan di Indonesia, sepertinya, dengan melihat trend DA [demontration activities – pilot project]-REDD-nya, lebih banyak memakai sistem konsesi yang di masa lalu hampir selalu meniadakan hak-hak masyarakat lokal/adat yang hidupnya bergantung pada keberadaan hutan di sekitarnya. Sampai sekarang, sejauh yang saya tahu, belum ada pembicaraan untuk memastikan REDD+ yang akan dijalankan menghormati dan melindungi kepentingan masyarakat lokal/adat.

17 April 2010

Ijin Pinjam Pakai dan Pemenuhan Target Lifting Minyak

Sebuah berita dari Kompas mengurai peranan Ijin Pinjam Pakai dari Departemen Kehutanan dalam memenuhi target pemerintah dalam soal “lifting” minyak. Berita itu secara tidak tersirat pandangan sektor lain pada sektor kehutanan yang dianggap sebagai batu panghalang “pembangunan”. Dalam catatan BP Migas, ada potensi minyak sekitar 100 juta barel yang “terkunci” karena tidak ada ijin dari Departemen Kehutanan. Diperkirakan, jika Ijin Pinjam Pakai itu dipercepat, maka dalam tahun 2014, target lifting pemerintah bisa tercapai. Saat ini Indonesia defisit minyak bumi lebih dari 300ribu barel per hari dimana defisit itu dipenuhi dengan impor.

Departemen Kehutanan sendiri akan berusaha memenuhi kepentingan itu. BP Migas sendiri menyatakan bahwa untuk lahan yang dipergunakan kepentingan perminyakan tidaklah luas dan dilakukan di dalam tanah.

Dalam banyak hal, saya selalu menghadapi dilema, antara kepentingan energi dan perlindungan lingkungan hidup. Saya tentu akan mendukung usaha pemerintah untuk mengurangi kemiskinan lewat peningkatan akses energi bagi setiap warga negara. Itu Hak Asasi yang harus dipenuhi. Tapi kok kenapa kita masih terus bergantung pada sumber energi yang tidak terbarukan seperti minyak bumi? Dan kesadaran ini tidak lahir kemarin sore, tetapi sudah disadari bahkan ketika Indonesia mengalami bom minyak di pertengahan tahun 1980-an.

Seingat saya sudah ada kebijakan dan peraturan yang dibuat untuk mendukung peningkatan energi terbarukan dalam bauran energi kita. Tetapi akselerasinya selalu lambat, dan dalam pandangan saya itu terjadi bukan karena tidak ada kemauan dan usaha dari para stakeholder energi terbarukan, tetapi karena surplus/rente yang didapat dari perminyakan itu luar biasa banyak. Belum lagi soal infrastruktur perminyakan yang sudah mapan dan didukung penuh oleh pemerintah, misalnya dengan memberikan subsidi BBM atau juga subsidi pajak lainnya. Alokasi subsidi pajak dalam APBN-P 2010 bisa dijadikan contoh. Subsidi pajak bagi kegiatan eksplorasi minyak mencapai 2,5 trilliun rupiah sementara subsidi pajak bagi energi terbarukan [panas bumi dan BBN] sekitar 724,3 miliar rupiah. Itu hanya untuk kegiatan eksplorasi minyak saja. Belum lagi pemberian insentif keringanan pajak bagi peralatan perminyakan yang diciptakan untuk mengejar target lifting minyak, serta berbagai keringanan lainnya.

Percepatan perijinan dalam ijin pinjam pakai juga tidak bisa dilepaskan dari usaha pemerintah untuk mengejar target lifting minyak yang ditahun 2009 target itu tidak tercapai [padahal sudah ada banyak keringanan dan insentif] dan diharapkan tahun 2010 target itu [0,965 juta barel/hari] bisa tercapai dengan tambahan lifting dari lapangan PT Chevron Pasifik Indonesia dan dari Pertamina dan mitranya. Dan sudah ada kekawatiran target itu tidak tercapai karena ada masalah di lapangannya Chevron.

Di sisi lain, hutan memegang peranan penting dalam ekosistem dan juga penghidupan puluhan juta warga negara. Dalam isu perubahan iklim, hutan memegang peranan paling besar dalam soal target penurunan emisi Indonesia di tahun 2020. Hutan memegang peran lebih dari separuh usaha untuk mitigasi itu. Dengan adanya REDD, hutan bahkan bisa mendatangkan uang yang juga bisa dipergunakan sebagai dana pembangunan. Dalam soal ini, saya rasa, mempercepat proses perijinan ijin pinjam pakai itu menikung usaha itu.

Bukan, bukan dalam soal luasan yang sedikit atau dikerjakan di dalam tanahnya, tetapi masalahnya adalah ketergantungan pada energi fosil seperti minyak yang terus dipertahankan di tengah limpahan sumber energi lain yang terbarukan dan juga bisa dihasilkan dari kehutanan, semisal BBN dari Nyamplung dan Jarak Pagar dan ketergantungan ini berharga mahal, tidak hanya dari sisi ekonomi, tetapi juga dari segi politik dan harga diri bangsa.

Pembukaan lahan hutan untuk kepentingan perminyakan memang tidak akan banyak dan kerusakan lingkungannya, mungkin, juga bisa diminimalisir, tetapi emisi yang  dihasilkan dari minyak itu justru bisa mengurangi usaha penurunan emisi dari sektor kehutanan. Peningkatan emisi [lokal] ini jelas akan mempengaruhi kapasitas lingkungan kita yang di beberapa kota memang sudah tidak seimbang dengan harga yang juga tidak sedikit [misalnya, biaya kesehatan akibat polusi]. Belum lagi masalah “klasik” akibat perubahan iklim: peningkatan permukaan air laut, perubahan musim tanam, dst yang biaya penanganannya tidaklah sedikit.

Jika alasan di atas terdengar terlalu “negara maju”, “bullshit environment”, kita mungkin bisa menghitung berapa subsidi yang bisa disimpan dengan pengurangan ketergantungan pada minyak? Akan sangat banyak. Dari sisi politik, apakah kehadiran minyak membuat kita menjadi negara yang kuat dan mandiri? Ya, mungkin dalam hal tertentu, tapi bagaimana dengan moral hazard yang terbentuk di lingkungan per-rente-an minyak [korupsi, misalnya]? Dan apakah kita masih punya harga diri, ketika lebih dari 80% minyak yang dihasilkan itu tidak dihasilkan oleh perusahaan nasional, melainkan oleh perusahaan asing? Contoh kecilnya, ketika PT Exxon terlambat berproduksi di lapangan Cepu, sehingga target lifting pun tidak terpenuhi, berapa trilliun yang harus dipakai untuk menambal subsidi BBM dengan mengorbankan banyak kegiatan pembangunan yang lebih penting tinimbang “membakar” bahan bakar? Dan bahkan, pemerintah tidak bisa memaksa PT Exxon untuk mempercepat proses eksploitasinya?

Selain itu, siapa yang menjamin bahwa pemberian ijin itu tidak membuka katup bagi sektor lain untuk juga meminta “jatah” yang sama kepada Departemen Kehutanan dengan alasan untuk pembangunan?

Dalam alur pikir seperti itu pula, saya akan sangat sepakat jika ijin pinjam pakai itu dipergunakan untuk eksplorasi/eksploitasi Panas Bumi. Karena ia tidak hanya mengikuti usaha pemerintah Indonesia mencapai Low Carbon Economy, tetapi juga ia bisa sedikit demi sedikit mengurangi ketergantungan pada minyak dan energi fosil lainnya. Nah, jika situasinya seperti ini, saya juga akan ikut “boooo’ pada mereka yang masih ngomong “konservasi” hutan.

16 April 2010

Foto Nasa tentang Tambang Batubara di Pulau Semirara, Filipina

Sebuah foto yang diambil oleh Nasa atas salah satu tambang batubara terbesar di Asia bernama Tambang Panian di Pulau Semirara, Filipina, yang batubaranya dipakai sebagai tenaga listrik di Filipina dan sisanya diekspor ke India dan China. Letaknya kira-kira 280 Km selatan Manila. Foto yang diambil tanpa halangan awan ini menunjukkan kerusakan lingkungan akibat pertambangan terbuka oleh satu dari tiga areal pertambangan batubara di Pulau itu. Selain permukaan tanah yang dibongkar, tampak pula aliran sedimen di laut Sulu yang berasal darioverburden tambang. Padahal perusahaan tambang batubara itu selalu menyangkal pertambangannya merusak lepas pantai Pulau Semirara.

 

Panian Mine, Semirara Island, Philippines : Image of the Day

07 April 2010

Pemerintah Provinsi, REDD, Safeguard

Tautan di bawah adalah hasil workshop sebuah Tim Kerja yang bernama The Governors’ Climate and Forests Task Force (GCF) yang berjudul Regulatory Design Option for Sub-national REDD Mechanism. Tergabung dalam GCF ini ada empat Provinsi di Indonesia: Aceh, Papua, Kalbar dan Kaltim. GCF sekarang terdiri dari 14 Provinsi dari 5 negara [USA, Meksiko, Brazil, Nigeria dan Indonesia]. GCF ini dibentuk dengan tujuan untuk mengintegrasikan REDD ke dalam skema besar penurunan emisi gas rumah kaca dan memberikan advokasi agar tujuan itu tercapai. GCF ini tidak terlepas dari dibuatkannya skema Cap and Trade serta Tropical Forest Conservation Act di dalam negeri Amerika. Amerika membutuhkan partner dari negara berkembang pemilik hutan tropis untuk dijajagi kemungkinan melakukan offset karbon.

Bersamaan dengan lahirnya Copenhagen Accord pada COP 15 telah disepakati pula dokumen yang berjudul "Methodological guidance for activities relating to reducing emissions from deforestation and forest degradation and the role of conservation, sustainable management of forests and enhancement of forest carbon stocks in developing countries". Dalam dokumen itu dinyatakan " To establish, according to national circumstances and capabilities, robust and transparent national forest monitoring systems and, if appropriate, sub-national systems as part of national monitoring systems. Ini merupakan "karpet merah" bagi organisasi seperti GCF ini dalam perjuangan agar tingkat provinsi/sub-nasional bisa terlibat langsung baik dalam negosiasi maupun pelaksanaan REDD.

Ingat pula, bahwa ada "pertentangan" antara California dengan pemerintah federal Amerika dalam soal strategi mitigasi perubahan iklim. California dianggap "mendahului" pemerintah federal dalam penerapan skema cap and trade dengan lahirnya Global Warming Solution Act. Politik lokal ini membuat apa yang disepakati di COP 15 menguntungkan GCF ini.

Dalam soal REDD, apa yang "ditawarkan" oleh GCF ini merupakan salah satu "proses" dalam lingkup perdebatan REDD secara internasional yang satu sama lain saling bersaing untuk mendapatkan "penguatan" secara legal dan politik dalam fora isu global soal perubahan iklim.

Saya rasa tawaran GCF itu harus diperhatikan, jika ternyata skema sub-nasional ini bisa berlaku seperti nasional, "pertentangannya" dengan kebijakan REDD Indonesia yang "bermadzhab" National approach by sub-national implementation, di mana REDD dihitung referensinya secara nasional yang dalam pelaksanaannya dilakukan secara sub-nasional. Dalam interpretasi saya, konsekuensinya itu berarti satu-satunya "channel" pelaksanaan REDD adalah lewat Pusat/Nasional, termasuk di dalamnya dana/program/proyek yang masuk, lalu kemudian dibagi ke provinsi/kabupaten. Pernah saya dengar keluhan dari salah seorang pejabat di Dephut yang tidak suka dengan inisiatif Aceh dan Papua [waktu itu] yang melakukan kerja sama dengan provinsi lain negara lain.

Lalu apa yang menarik dari tautan itu adalah soal Safeguard. Ada 3 kategori: lingkungan, perlindungan hak dan bagi keuntungan. Ada banyak hal yang bisa dibandingkan [karena ia bicara soal regulatory yang karenanya harus practible] dengan usulan safeguard lainnya.

Dalam soal Lingkungan, GCF ini mengusulkan, salah satunya, bahwa Kredit REDD tidak boleh dipergunakan untuk aktivitas apapun yang mengarah pada konversi hutan alam. Usulan ini menarik karena, misalnya, di Indonesia konversi hutan [alam] masih sering dilakukan untuk kepentingan HPH/HTI atau perkebunan sawit, seperti sawit. Padahal Sawit , HTI dan HPH merupakan aktor yang diusulkan oleh Indonesia dapat menjalankan dan mendapatkan insentif REDD.

Dalam soal Perlindungan Hak/Kepentingan, usulannya sebenarnya "standar", misalnya soal aktivitas REDD sejauh mungkin tidak menciderai kepentingan dan hak-hak masyarakat lokal, Adat atau masyarakat rentan lainnya, di antaranya dengan mencegah aktivitas REDD membuat mereka pindah secara tidak sukarela. Selain itu, soal FPIC harus dilakukan secara benar dan komprehensif, seperti misalnya masyarakat mempunyai akses luas pada segala informasi yang ada hubungannya dengan proyek REDD. Di lapangan, FPIC ini memang lebih enak disebutkan daripada dipraktekkan. Di Kalbar, misalnya, ada proyektor REDD yang ke mana-mana selalu ngomong FPIC dalam menjalankan proyeknya, ternyata di salah satu desa yang akan dijadikan percontohan REDD atau malah REDD, masyarakat sekitar tidak banyak diberitahu soal hal-hal mendasar soal aktivitas REDD, termasuk soal apa sebenarnya isi MoU antara mereka dengan Pemda dalam soal REDD ini.

Tentu saja perjuangan GCF ini masih panjang. Salah satu yang menarik perhatian saya, terutama kasusnya Indonesia adalah bagaimana mereka melakukan koordinasi dengan pemerintah Pusat dan Pemerintah Kabupaten? Jika "debat panas" sudah sering kita dengar antara Pemprov dengan Pusat, bagaimana dengan Pemprov vs Pemkab? Saya ada informasi terkait soal ini yang kejadiannya ada di Kalbar, tapi kayaknya tidak terlalu bijak untuk dibuka di sini karena masih harus cek-rechek lagi.

Ini link-nya: Option Paper

02 April 2010

Debt-for-Nature Swap: Layak dicoba

Kementrian Kehutanan merencanakan akan membuat National Forest Trust Fund, keluar dari skema ICCTF-nya Bappenas. Trust Fund ini sebenarnya untuk mengelola dana yang masuk karena Indonesia menjalankan REDD atau skema lain yang ada hubungannya dengan perubahan iklim dan hutan.

Menariknya, Trust Fund ini rencananya akan memgunakan lembaga independen sebagai pengelola keuangannya dengan mengikuti "keberhasilan" skema Debt-for Nature Swaps [DNS] antara Indonesia dengan Amerika Serikat. Skema DNS dengan Amerika Serikat itu sendiri berhasil mengalihkan utang Indonesia sebesar 30 juta dollar US [selama 8 tahun, versi Kehati] untuk keperluan konservasi lingkungan di Sumatera. Dalam skema DNS, utang sebesar 30 juta dollar US itu "dibeli" seharga 2 juta dollar oleh dua LSM, Conservation Internasional dan Yayasan Kehati.

Dana pengalihan itu akan dikelola oleh sebuah Trust Fund. Kalau saya tidak salah memahami skema DNS, dana yang akan dikelola olehTrust Fund itu adalah sebesar 30 juta dollar US atau nilai yang setara dalam rupiah [dana DNS, dana yang dikeluarkan harus dalam mata uang debitor]. Atau [karena saya agak ragu dengan nilai sebesar itu] ada perjanjian khusus dimana utang 30 juta dollar US itu ketika dialihkan akan dikenakan diskon tertentu, semisal 10%. Jadi utang itu "dihargai" 2 juta dollar [uang ini masuk ke kantong kreditor], lalu pemerintah Indonesia akan berkomitmen membiayai kegiatan konservasi dengan biaya, bukan sebesar 30 juta dollar, melainkan sejumlah tertentu diskon dari utang yang telah disepakati.

[Tentu, sebagai catatan, DNS juga sudah dilakukan dengan negara lain, semisal dengan Jerman, namun "swaps"-nya untuk bidang kesehatan dan pendidikan].

Jadi ingat skripsi saya dulu yang bicara soal DNS. Jika tertarik anda bisa mengunduhnya di sini

DNS ini, menurut saya layak dicoba, terlepas dari kritikan hutangnya sebenarnya najis dan karenanya gak perlu dibayar. Tapi berhubung pemerintah Indonesia tetap aja memperlakukan kebanyakan hutangnya itu tetap legitimate dan tiap tahun mengangsur dengan mengurangi jatah bagi keperluan pembangunan masyarakatnya, saya kira lebih baik mengalihkan pembayaran itu untuk keperluan Indonesia sendiri.

Jadi, selain mencari uang lewat REDD atau skema yang meghubungkan pentingnya hutan bagi mitigasi perubahan iklim, Indonesia perlu mengembangkan inisiatif lain di bidang lingkungan, termasuk dari DNS ini.


26 Maret 2010

Berebut Dana REDD

Iming-iming akan masuknya uang ke dalam negeri sebagai balasan usaha Indonesia mengurangi laju deforestasi dan menaikkan penyimpanan karbon di hutan, sebagian memang sudah ada, telah menarik tinggi ego masing-masing sektoral [atau tepatnya, ego sektor kehutanan].

Kementerian Kehutanan [dulu, Departemen Kehutanan] berencana membuat lembaga atau yayasan sendiri untuk mengelola dana tersebut dengan nama National Forest Trust Fund. Dengan demikian, ia sudah keluar dari kerangka Indonesian Climate Change Trust Fund, sebuah yayasan khusus yang dibuat oleh Bappenas dan telah diluncurkan pada 14 September 2009. Pada awalnya ICCTF ini dibuat sebagai "pengumpul" semua dana-dana yang berasal dari luar yang berhubungan dengan isu perubahan iklim di Indonesia. Di bawah ICCTF ini ada biro yang khusus mengatur soal kehutanan.

Dalam catatan saya, ini gerakan kedua Kemenhut dalam hiruk pikuk perdebatan hutan dan perubahan iklim. Sebelumnya, Kemenhut telah membuat "perjanjian" dengan Dewan Perubahan Iklim agar membiarkan Kemenhut berjalan sendiri mengurus soal perubahan iklim dan hutan, termasuk soal REDD.

Alasan kenapa Kemenhut harus membuat yayasan sendiri dan keluar dari kerangka ICCTF adalah karena, menurut Kemenhut, ICCTF tidak dipercaya oleh para donor karena pengelolaannya dilakukan oleh negara. Selain itu ICCTF berada di Indonesia, di mana aturan mengenai trust fund-nya belum ada dan dikenakan pajak yang besar [17%].

Karena itu, rencananya Kemenhut akan membuat yayasan itu berada di luar negeri sehingga tidak akan kena pajak dan, karena berada di asing, bisa lebih dipercaya oleh donor.

Orang CCTF membantah kekawatiran Kemenhut itu dengan mengatakan bahwa ICCTF hanya mengatur soal programnya sedangkan uangnnya akan dikelola oleh lembaga independen.

Apapun, dua contoh ini sekali agi memperlihatkan lemahnya koordinasi antar sektor dalam menanggapi isu perubahan iklim ini. Memang, sektor kehutanan merupakan sektor yang lebih maju dalam persoalan perubahan iklim ini; tapi tidak harus "kemajuan" itu dipakai untuk berjalan sendiri. Melakukan koordinasi dengan sektor lain penting untuk melihat sejauh mana program yang akan dilakukan oleh masing-masing sektor tidak saling tumpang tindih.

Gampangnya, REDD pasti akan berhubungan dengan soal penggunaan lahan dan di Indonesia yang punya kepentingan dengan lahan bukan hanya sektor kehutanan. Ada sektor lain yang juga penting diperhatikan: pertanian, energi dan Pekerjaan Umum, untuk mendata beberapa sektor yang mungkin terlibat. Belum lagi bicara soal desentralisasi yang melibatkan pemerinatahn daerah. Jika tidak ada kesepahaman dalam soal penggunaan lahan ini, saya rasa, kinerja REDD juga tidak akan maksimal.

24 Maret 2010

Australia Akan Lebih Panas di 2030

Australia merupakan salah satu negara yang banyak peranannya dalam kebijakan perubahan iklim di Indonesia. Tidak hanya lewat Kalimantan Forest Climate Partnership atau KFCP; tetapi juga merambah ke Sumatera Forest Carbon Partnership. Lengkap dengan berbagai bantuan keuangan, peningkatan kapasitas, dst. Memperhatikan kondisi Australia karenanya menjadi penting.

Dalam laporan dua badan [CSIRO dan BOM] yang memperhatikan iklim di Australian itu, bahwa Australia, dengan laju emisi rumah kaca seperti sekarang, akan lebih panas di tahun 2030 dengan kenaikan suhu mencapai 0,6 s/d 1,5 derajat celcius. Bahkan akan meningkat ke 2.2 to 5.0°C di tahun 2070. Kenaikan suhu yang melebihi perkiraan rata-rata kenaikan suhu bumi.

Lalu apa hubungannya dengan Indonesia? Kita pastinya tahu untuk menurunkan emisi tidak ada jalan lain selain berusaha tidak mengeluarkan emisi rumah kaca dan, walaupun masih harus dijelaskan, dilakukan di tingkat lokal. Tapi ada "inisiatif" [dan dalam banyak hal akal bulus negara-negara atau orang-orang kaya] yang membuat mekanisme offset, dimana emisi yang dikeluarkan di suatu tempat dan negara dapat digantikan [di-offset-kan] dengan penurunan emisi di tempat lain, misalnya, dengan mengurangi deforestasi di Indonesia.

Fakta keras itu, saya rasa, akan membuat Australia berusaha keras untuk mengurangi peningkatan emisinya, entah dengan melakukannya di dalam negeri atau, jika tidak ekonomis - atau membahayakan ekonomi Australia, di luar negeri dengan mekanisme offset itu, dimana salah satu calonnya adalah REDD di Indonesia. Tapi itu memang bukan perkara mudah; ketergantungan Australia pada Pembangkit Listrik dari batubara menjadi salah satu kendala sulitnya penurunan emisi dan, entahlah, menjadi alasan pelancar dilakukannya offset di luar negeri.

Tentu saja, penurunan emisi di tempat lain tidak akan membuat suhu Australia serta merta turun. Tapi, ya itu, dengan menelikung kepentingan ekologi, offset diketengahkan sebagai salah satu solusinya.






08 Maret 2010

Saya Rasa Ada yang Salah dengan Al Gore and Co.?

Ketika di tahun 2007, dia mendapatkan Nobel Perdamaian [bersama dengan IPCC], saya sangat takjub, tapi juga merasa heran. Saya tidak habis mengerti bagaimana mungkin orang yang baru saja membuat film, yang punya rumah besar dengan konsumsi energi yang tinggi [pergi kemana-mana naik pesawat, ngomong di seminar, dibayar mahal pula] ngomong soal hancurnya iklim, naiknya CO2?

Beberapa artikel orang lingkungan memang menyangsikan "niat baik" Al Gore dan kawan-kawannya untuk sesungguhnya menurunkan emisi karbon. Tapi, menurut saya, tentangan itu terlalu "keras" dan "pake kaca mata kuda" sehingga saya menganggapnya sebagai bentuk ketidaksukaan saja; lebih karena "iri" saja karena tidak mendapatkan perhatian publik seperti dirinya.

Tapi waktu berlalu, dia dan kawan-kawannya mulai kelihatan "belangnya" yang katanya Goldstein sebagai:"Bingo! Gore, our would-be carbon billionaire, has a dog in this hunt, dressed in the colour of money — green". Tulisan ini membuat saya ketawa ngakak: saya seperti pengikut sebuah aliran keagamaan penentang seks yang mendapati pemimpinnya mengumbar seks kemana-mana. Saya sangat suka dengan olok-olokan seperti ini, apalagi ketika menyangkut "aktivis lingkungan".

Ah ya, bagaimana mungkin anda berceramah meminta dihentikan penurunan emisi [kepada orang lain], sementara dia sendiri [dan kawan-kawan seidenya] tetap mempertahankan gaya hidup "high-carbon economy"? Idenya tentang Carbon trading ternyata sama sebangun dengan carbon offset: anda bisa "menurunkan emisi" dengan membayar sejumlah tertentu buat proyek penurunan emisi oleh orang lain sehingga carbon footprint anda jadi nol. nihil. Dengan kata lain, silahkan anda-anda semua menurunkan emisi, tapi saya tidak. Dan jika dalam hingar bingar REDD, itu sama dengan: menyuruh orang lain menurunkan emisi dengan harga murah pula. Dan bagaimana pula menurunkan emisi [yang real] dengan cara perhitungan "akuntansi"?

Dan saya tahu, di Indonesia ini, banyak yang mengagumi dirinya [saya jadi ingat status FB salah seorang "aktivis Lingkungan" yang takjub mendengarkan ceramahnya]. Entah, apa yang akan dirasakannya sekarang jika mereka membaca tulisan ini.

Betul, jika anda hanya ngomong saja, jawabannya juga ngomong saja. Entahlah, dalam jagad "per-lingkungan hidup-an" contoh seperti ini banyak sekali;bahkan sudah masuk dalam kategori "munafik".

Anda ingin menurunkan emisi? Ya jangan mengeluarkan emisi.

Bringing Al Gore back to Earth: Goldstein | Lorrie Goldstein | Columnists | Comment | Toronto Sun

06 Februari 2010

Mari Bicara Soal Dana Adaptasi Perubahan Iklim

Salah satu hasil dari Copenhagen Accord adalah negara-negara maju berkomitmen untuk mengurangi emisi agar suhu tidak naik melebihi 2 derajat celcius; serta memobilisasi dana sekurang-kurangnya 100 milliar dolar pertahunnya sampai tahun 2020 bagi negara berkembang agar bisa melakukan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Konsekuensinya, mereka harus menyediakan dana untuk usaha itu.

Menurut Nature jumlah uang itu tidak cukup. Ia hanya bisa membiayai usaha pencegahan sampai 1,5 derajat celcius saja. Padahal, para ahli memperkirakan, mencegah kenaikan suhu 2 derajat itu tidaklah realistis karena, dengan pengurangan emisi yang miniman seperti yang ditunjukkan oleh negara-negara maju sekarang, kenaikan suhu bisa mencapai 3 derajat celcius atau lebih. Dengan asumsi kenaikan suhu ke 3 derajat celcius saja, ada kesenjangan sebesar 1,5 derajat celcius yang harus dibiayai.



Tulisan itu menyarankan adanya usaha yang lebih keras untuk mengurangi emisi dan menaikkan dana bagi kepentingan adaptasi.

03 Februari 2010

Pencemaran Laut Timor: Titik Terang itu....

Akhirnya saya membaca berita untuk mengkonfirmasikan kebingungan saya di tulisan kemarin. Tim Posko Penanggulangan Pencemaran Minyak di Laut Timor ternyata bisa dikatakan tim lain yang dibentuk oleh pihak Indonesia untuk menanggapi terjadinya pencemaran minyak di Laut Timor. Tim ini berbeda dengan Tim Nasional Penanggulangan Keadaan Darurat Tumpahan Minyak di Laut Timor [PKDTML] yang dibentuk oleh pemerintah pusat.

Selain terang yang itu, ada juga terang yang lain. Pemerintah melalui PKDTML dan dengan dukungan Tim Posko Penanggulangan Pencemaran Minyak di Laut Timor serta Pemerintah Daerah setempat, berhasil membangun kesamaan persepsi dan menelurkan tiga tindak lanjut:

[1] Mengkaji dampak lingkungan dan sosek akibat tumpahan minyak di Laut Timor melalui survei lanjutan,
[2] Menghitung seluruh biaya operasional penanggulangan kerugian lingkungan dan sosek akibat tumpahan minyak,
[3] Memformulasikan hasil analisis dan dukungan data lainnya guna penyusunan tuntutan ganti rugi kepada pihak yang bertanggung jawab, yakni perusahaan pengebor [PTTEP] yang akan dikoordinasikan oleh tim nasional.

Dengan demikian, jelas sudah bahwa tuntutan kerugian belum dilakukan dan entah kapan hal itu akan diformulasikan. Tapi bahwa sebuah koordinasi dan kesamaan persepsi sudah mulai terbangun dalam menghadapi masalah ini.

Di lain pihak, menurut saya, yang masih kurang dari tindak lanjut ini adalah bagaimana melakukan usaha untuk mengurangi dampak pencemaran itu. Misalkna siapa yang akan melakukannya? Dari mana anggarannya diambil? Apa fungsi dan bantuan yang dimintakan kepada pihak Australia atau PTTEP? Membaca point [2] di atas seperti terkesan bahwa sudah ada proses penanggulangan itu sehingga yang dilakukan tinggal penghitungan biaya operasional. Tapi di lapangan sepertinya tindakan itu masih minim.


22 Januari 2010

Pencemaran Laut Timor: Menuntut Ganti Rugi Pada Australia?

Sebuah tim yang bernama Tim Posko Penanggulangan Pencemaran Minyak di Laut Timor menyatakan bahwa Laut Timor terbukti sudah terkena tumpahan minyak mentah yang sumbernya berasal dari Wilayah Pengeboran Montara di Australia. Dan bahkan menyebutkan Indonesia sedang mempersiapkan tuntutan ganti rugi kepada pihak Australia. Tim ini sendiri diketuai oleh Kepala Administrator (Adpel) Pelabuhan Tenau Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT, bernama Pieter Fina.

Sempat juga asa ini melambung melihat "terobosan" [walau terlambat] ini dari Indonesia sebelum kemudian saya disibukkan dengan kebingungan: sebenarnya Tim ini bentukan siapa dan/atau sedang mengatasnamakan siapa? Apakah Tim ini sama dengan Tim Nasional Penanggulangan Keadaan Darurat Tumpahan Minyak di Laut Timor [PKDTML], yang dibentuk oleh Deplu, Akhir November 2009 lalu, yang diketuai oleh Departemen Perhubungan dimana wakilnya adalah Kementerian Lingkungan Hidup? [Penunjukan Departemen Perhubungan sebagai ketua tim didasari karena menurut Mou antara Indonesia dan Australia pada tahun 1996 mengenai "Cooperation on oil Response Preparedness", Dephub-lah yang menjadi focal point dari MoU itu]

Hal ini disebabkan karena Deplu ternyata masih belum bersikap secara tegas apakah akan menuntut ganti rugi atau tidak karena KemenLH - yang menjadi salah satu tim yang dibentuknya November itu - masih kesulitan mengumpulkan barang bukti adanya tumpahan minyak dari Montara. Berita ini dikeluarkan 19 Januari 2010, persis satu hari sebelum pernyataan Indonesia sedang menyusun tuntutan ganti rugi karena kejelasan bukti tumpahan minyak Montara di Laut Timor.

Tuntutan ganti rugi sebenarnya sudah dilontarkan oleh Deplu sendiri serta Kementerian Lingkungan Hidup. Bedanya, jika yang disasar oleh KemenLH adalah pemerintah Australia, maka Deplu akan meminta ganti rugi pada pihak perusahaan eksplorasi minyak. Itu pun dengan syarat bahwa minyak mentah yang ada di Laut Timor itu merupakan minyak mentah yang sama yang bocor dari wilayah pengeboran Montara.

Tidak hanya itu, Deplu bahkan pernah "agak menyalahkan" Dephub karena Dephub belum menyerahkan laporan tentang dugaan pencemaran minyak di Laut Timor tersebut. Padahal berdasar laporan itulah Deplu bisa menyusun nota diplomatik ke Australia.

Tentu saja saya tetap berharap, berita yang dinyatakan di paragraf pertama tulisan inilah yang benar. Jika tidak, saya sekali lagi melihat bagaimana "kacaunya" internal pemerintah dalam berkoordinasi, yang juga diperparah dengan sistem birokrasi dalam internal badan-badan pemerintah sendiri [info yang sepotong disampaikan ke Menteri, internal politik departemen, politik pencitraan bahwa "kami sudah bekerja!", dst]. Semuanya itu merugikan warga negaranya sendiri. Dan pada saat seperti ini, saat di mana peran pemerintah menghilang [atau menghilangkan diri?], masyarakat yang terkena dampak harus bergerak sendirian.