Tampilkan postingan dengan label REDD. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label REDD. Tampilkan semua postingan

18 Agustus 2011

Rimba yang ditelan sawit

Awalnya, karena kemiripan nama, saya menyamakan keberadaan PT Rimba Makmur Utama (RMU) dengan PT Rimba Raya Conservation. Padahal, setelah tanya sana-sini serta cari info lainnya, kedua nama itu hanya mirip, namun keduanya merupakan lembaga bisnis yang berbeda. Kesamaannya adalah mereka sama-sama mengajukan ijin IUPHHK-RE dan berlokasi di Kalimantan Tengah. Kedua perusahaan ini sama-sama memiliki (atau dimiliki (?)) konsultannya masing-masing: Starling resources untuk PT Rimba Makmur dan InfiniteEarth untuk PT Rimba Raya.

Perbedaan semakin jelas ketika melihat lokasi kerja mereka. Lokasi kerja PT RMU di Katingan dan Kotawaringin Timur dan diapit oleh dua sungai besar: Sungai Katingan dan Sungai Mentaya. Lokasi kerja mereka sering disebut sebagai Katingan Peatlands Conservation Project.

Lokasi kerja PT Rimba Raya conservation berada di Kabupaten Seruyan, tepatnya berada di sepanjang Sungai Seruyan mulai dari Pembuang Hulu sampai ke arah selatan dan berdekatan dengan Taman Nasional Tanjung puting.

Soal PT Rimba Raya Conservation (RRC) ini yang akan dceritakan dalam kesempatan kali ini. Ada beberapa info yang masuk ke telinga saya yang isunya menarik, terutama terkait dengan tingkah para pemburu karbon serta bagaimana hubungan mereka dengan (calon) pembeli karbon (kredit), dengan pemerintah, serta dengan komunitas.

Apa yang menarik dari PT RRC ini? Hubungan mereka dengan InfiniteEarth adalah hubungan antara pemilik dengan kepunyaannya, bukan antara kontraktor dengan pemberi kontrak. Keterangan ini dapat dilihat dari keterangannya soal projek di Kalteng ini. Pihak lain yang diikutkan dalam proyek ini adalah Peneliti Orang utan, Birute Mary Galdikas, bersama dengan OFI (Orangutan Foundation International Rehabilitation Center). Dalam keterangan soal proyek itu juga disebutkan Infinite ini "membeli" lahan seluas 500 kilometerpersegi atau setara 50.000 ha untuk dijadikan dijadikan Rimba Raya Reserve itu. Ia klaim "membeli" wilayah tersebut, dan bukan "meminta ijin kepada pemerintah". Bagaimana mungkin dia membeli "wilayah hutan?" Tidak ada aturan hukum yang membolehkan terjadinya jual beli di dalam kawasan hutan. Mekanisme hukum yang ada adalah tukar menukar atau pinjam pakai. Jual beli baru bisa terjadi ketika kawasan hutan itu dirubah statusnya menjadi kawasan hon-hutan. Dan memang lokasi PT RRC ini ada di dalam kawasan hutan produksi dan kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi.

Kekecewaan dan dalih Kemenhut
Angka setara 50.000 ha, sebagaimana diterakan dalam keterangan proyek tersebut, menarik untuk dilihat lagi. Dalam proposal pengajuan IUPHHK-RE, PT RRC ini berencana menguasai seluas sekitar 101 730 ha, yang terdiri dari (1) hutan produksi tetap: 58 857 ha dan (2) hutan produksi konversi, seluas 42 873 ha. Angka 500KM persegi itu berarti angka yang sudah disetujui oleh Kemenhut, yang nampaknya menjadi masalah dan menimbulkan kekecewaan bagi PT RRC. Laporan Reuter ini menyebutkan angka 90.000 ha untuk lokasi yang diusulkan dan realisasinya yang mencapai separuhnya 46.000 ha. Namun jika melihat data resmi dari Dephut, angka yang diusulkan adalah  89,185 ha.

Kekecewaan itu terlihat dari kenyataan bahwa sisa lokasi yang tidak diberikan kepada PT RRC ternyata diberikan kepada PT Best Group, sebuah perusahaan kelapa sawit. PT RRC mengklaim bahwa wilayah yang diberikan kepada PT Best tersebut tidak layak dijadikan wilayah kelapa sawit karena memiliki kedalaman gambut yang lebih dari 3 meter. Sementara menurut hukum Indonesia, wilayah gambut yang lebih dalam dari 3 meter harus dikonservasi ( Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung serta Peraturan Menteri Pertanian No. 14/Permentan/PL.110/2/2009 Tentang Pedoman Pemanfaatan Lahan Gambut Untuk Budidaya Kelapa Sawit).

Pemerintah c.q. Kemenhut sendiri berdalih bahwa wilayah tersebut memang sudah lama menjadi klaimnya PT Best dan berada di wilayah Hutan Produksi Konversi ( (HPK) yang ditujukan untuk dilepaskan untuk kegiatan pertanian/perkebunan, seperti kelapa sawit dan bukan untuk kegiatan REDD apalagi IUPHHK-RE. Dari pernyataan ini terlihat sebenarnya ada tumpang tindih lahan antara Kemenhut dengan PT Best, sebuah masalah yang lazim ditemukan di Kalimantan Tengah. Tumpang tindih tersebut diselesaikan dengan menetapkan kawasan tersebut sebagai kawasan hutan produksi konversi (tentu saja harus ada penelusuran lebih lanjut, apakah sudah ada SK Menteri Kehutanan yang melepaskan kawasan hutan itu menjadi kawasan non hutan (APL)?).

Di lain pihak, kekecewaan PT RRC bisa dipahami, namun perbedaan antara ijin yang diajukan dengan realisasinya seharusnya (dengan melihat prosedur pengajuan IUPHHK-RE) sudah diantisipasi. Jika dilihat dari sisi prosedural, pemerintah sebagai pemberi ijin bisa saja memberikan ijin yang tidak sesuai dengan pengajuan ijinnya. Ini hal yang biasa: sama seperti kita mengajukan proposal bisnis yang disetujui sebagian. (luas 89,185 ha adalah luas yan diajukan oleh PT RRC yang waktu itu tengah membuat RKL/RKU (semacam Amdal untuk praktek bisnis yang dianggap dampaknya kecil pada lingkungan); ini merupakan tahapan tengah sebelum Baplan atas nama Menteri mengeluarkan Peta Lokasi yang nantinya akan disahkan dalam bentuk IUPHHK-RE)

Kecuali, jika PT RRC keberatan dengan alasan pemerintah tersebut, maka terbukalah jalan penyelesaiannya ke tingkat pengadilan TUN. Apalagi Pemerintah Rusia kabarnya sudah melayangkan keberatan Gazprom atas tindakan Kemenhut tersebut.

Masalah lebih luas: tumpang tindih kawasan dan kebijakan pelepasan kawasan hutan
Tentu saja, ada masalah dalam kebijakan kehutanan terkait dengan pelepasan kawasan hutan. Posisi kawasan hutan produksi konversi selama ini selalu dikesankan dalam kondisi "idle". "idle" dalam pengertian kawasan HPK ini tidak dapat "dimanfaatkan" karena ia harus akan dikeluarkan dari kawasan hutan dan posisinya sekarang sedang menunggu ada proposal dari pihak lain (pemda atau kalangan bisnis) yang mengajukan permohonan pemanfaatan lahan tersebut. Selama belum ada proposal tersebut, posisi kawasan HPK tetap akan demikian adanya. Tapi, apakah memang benar di atas kawasan hutan produksi konversi (HPK) tersebut tidak boleh ada kegiatan kehutanan, seperti pengajuan IUPHHK-RE?

Masalah yang lebih serius adalah atas dasar kebijakan apa Kemenhut menetapkan kawasan itu sebagai kawasan hutan produksi konversi padahal diketahui adanya kawasan gambut yang harus dikonversi? Ini yang aneh. Keanehan lainnya adalah berhubungan erat dengan kewenangan Kemenhut sendiri, yang seharusnya mempertahankan dan mengurus hutannya, dan bukan malah melepaskan menjadi non hutan. Selain itu, bukankah seharusnya ia berpihak kepada pelaku kehutanan daripada pelaku perkebunan? Urusannya akan menjadi panjang ketika dikaitkan dengan pemihakan Kemenhut atas kebutuhan lahan dari pihak pelaku bisnis. Kemenhut sepertinya dengan senang hati melepaskan ribuan hektar kawasan hutan kepada pelaku bisnis, namun sangat sulit ketika yang memintanya adalah masyarakat (yang luasannya pasti jauh lebih kecil). Kecurigaan Kemenhut telah berubah menjadi "tuan tanah negara" memang menguat dengan melihat praktek tersebut. Ini mungkin masalah lain yang perlu diceritakan di kesempatan lainnya.

Bisnis karbon masih belum pasti
Yang menarik dari laporan Reuters itu adalah pernyataan Sekjen Kemenhut yang tidak mempercayai keberlanjutan industri karbon ini, dengan mempertanyakan apakah bisa memberikan kontribusi kepada negara atau menggantikan retribusi yang selama ini didapatkan dari industri "biasa" kehutanan atau bisnis yang terkait langsung dengan kehutanan. Ada keraguan di kalangan Kemenhut yang ironisnya menjadi lembaga yang paling merasa paling berwenang ketika membicarakan soal REDD atau perdagangan karbon dari hutan.

Sudah ada setidaknya 3 Permenhut terkait dengan REDD?DA REDD/perdagangan karbon serta beberapa lembaga ad hoc di internal Kemenhut, atau serangkaian diskusi, workshop, konferensi dan berbagai kegiatan lainnya yang menjadi fakta keras untuk melihat betapa seriusnya Kemenhut mengimplementasikan REDD dan sebangsanya. Namun ketika menghadapi kenyataan dari lapangan, sepertinya Kemenhut agak bimbang: benarkan industri karbon ini akan menjadi penyelamat?

Saya tidak mau berbagi kebimbangan dengan Kemenhut dalam soal itu. Kekawatiran Kemenhut saya kira berkisar pada cerita sedih CDM kehutanan yang tidak berhasil serta belum mantapnya REDD di tingkat internasional. Saya berkeyakinan bahwa respon pemerintah c.q. Kemenhut yang cenderung "cepat tanggap" ini tidak dilandasi dengan kondisi di internal mereka sendiri dan persoalan "kaca mata yang melihat keluar": apa yang diharapkan baik di dunia internasional, itulah yang dikejar oleh Kemenhut dan bukannya melihat dulu kondisi riil di internal dan Indonesia sendiri.

Saya justru agak kawatir dengan praktek-praktek "pelaku industri karbon" ini dalam mendapatkan dananya dan sekaligus pembelinya.

PT RRC, lewat InfiniteEarth sendiri menyatakan bahwa penyandang dana dan pembeli karbon sudah ada yakni dari Gazprom dan Shell. Keduanya perusahaan energi yang hendak mencari cara termurah untuk meng-offset emisi mereka. Ini trend yang terus menanjak dan seharusnya juga menjadi perhatian pemerintah atau pemerhati lainnya. Ini merupakan praktek yang justru tidak akan memberikan dampak positif bagi usaha penurunan emisi global, kecuali Shell dan Gazprom memulainya dari darinya sendiri.. Karena, perusahaan-perusahaan emitter besar ini memperlakukan isu perubahan iklim seperti bisnis biasa: ada yang ditransaksikan, ada harga dan negosiasi. Sementara isu penurunan emisinya sendiri dijauhi dan membiarkan pihak lain (yang ironisnya butuh uang mereka) melakukannya buat mereka.

Konsekuensi lain menunggu. Lahan yang ditransaksikan sangatlah luas, ribuan dan ratusan ribu hektar dan kemudian lahan ini diurus oleh sebuah lembaga usaha yang melihat trendnya lebih sebagai "calo". Di lahan tersebut hidup ribuan orang yang bergantung pada kemurahan hutan dan sedang tersingkir karena ada ketimpangan penguasaan lahan. Jika selama ini mereka menghadapi negara yang lebih jelas struktur pengurusan dan penguasaan atas lahannya (ada akses yang ditutup, namun di sisi lain ada yang dibuka). Lalu apakah bisa berharap lebh baik dari para "calo" atau pelaku usaha tersebut?

Saya kembali melihat keterangan proyeknya PT RRC, yang mengklaim bahwa mereka membeli ("purchased") lahan tersebut (saya berharap ini kesalahan editorial yang tidak memahami arti "membeli" lahan ratusan ribu hektar). Uangnya berasal dari Gazprom, perusahaan emiter. Dalam hukum, lahan itu berarti dibeli dan biasanya pembeli mendapatkan keistimewaan dari penjualnya termasuk kepemilikan atas lahan tersebut. Jika negara hanya "menguasai" (walaupun kebanyakan diimplementasikan sebagai memiliki, namun secara teoritik negara hanya menguasai) kawasan hutan tersebut, maka sekarang lahan tersebut sudah dimiliki oleh sektor swasta. Konsekuensi besar. Pembelian ini penting karena "calo" itu harus memastikan bahwa selama masa kontrak (yang berumur puluhan tahun), tidak ada aktfitas yang menyebabkan "kebocoran" yang akan merugikan mereka.

Lalu, boom, anda boleh buka soal "kedaulatan negara" atau soal "land grabbing" untuk memetakan dan mendekatkan persoalan itu dengan fenomena yang sedang berlangsung. Silakan.



24 Mei 2011

Newtress-WWF: Karbon offset dan pertanyaan soal greenwashing?

Apakah carbon offset hanya terjadi antara pihak-pihak di Indonesia dengan mereka di dunia internasional? Permenhut P.30/Menhut-II/2009 memberikan kesan demikian, dengan hanya membagi dua aktor dalam pelaksanaan REDD (dan perdagangan karbon) yaitu: entitas nasional (sebagai pelaksana) dan entitas internasional (sebagai penyandang dana; dengan kata lain, pembeli sertifikat karbon). Tetapi ternyata tidaklah demikian. Carbon offset juga dimungkin antara dua pihak di dalam negeri Indonesia sendiri. Setidaknya itu yang diinginkan oleh program Newtrees-nya WWF Indonesia.

Program ini sudah berlangsung sejak tahun 2007, dengan mengajak para perusahaan untuk menanam pohon di suatu kawasan (Taman Nasional atau hutan lindung atau kawasan yang sudah rusak) sebagai cara untuk perusahaan mengimbangi emisi karbon yang dihasilkan dalam kegiatan bisnis. Kawasan yang pertama dipilih adalah Kawasan Taman Nasional Sungai Sebangau di Kalimantan Tengah. Kawasan lain yang dipilih sebagai area penanaman pohon adalah di Papua (Kawasan Cagar Alam Pegunungan Cyclops) dan di Jawa Barat (Sungai Ciliwung). Perusahaan yang terlibat juga semakin banyak antara lain Nokia, Equinox Publishing, PT Garuda dan PT Tess AMM.

Kegiatan penanaman pohon di kawasan Taman Nasional Sungai Sebangau bahkan sudah direncanakan sebagai salah satu proyek percontohan bagi kegiatan REDD. Hanya saja, menurut dokumen WWF sendiri, tidak disebutkan apakah program Newtrees ini masuk di dalam proyek percontohan REDD di Sebangau sebagaimana disebutkan dalam situs REDD Indonesia. Atau bisa jadi di dalam kawasan yang sama, WWF melakukan dua atau mungkin lebih proyek yang kemudian dimasukkan ke dalam proyek percontohan REDD.

Dengan demikian, program newtress ini memang seperti carbon offset karena berkeinginan mewadahi perusahaan yang ingin mengimbangi emisi karbon yang dikeluarkannya akibat roda bisnisnya dengan menanam sejumlah tertentu pohon di kawasan taman nasional atau hutan lindung. Apa yang dilakukan oleh program ini di Taman Nasional WWF menjadi indikasi kuat.

Pertanyaannya pertama adalah apakah sepadan? Sayangnya saya belum tahu berapa emisi karbon yang dikeluarkan oleh PT Garuda atau PT Nokia pertahunnya sehingga harus dioffset dengan berapa ratus ribu buah pohon yang harus ditanam. Di dalam website WWF sendiri tidak ada penjelasan soal hitung-hitungan seperti itu, sehingga misalnya apakah 100ribu pohon di kawasan seluas 250 ha dapat mengimbangi emisi yang dikeluarkan oleh PT Garuda dalam kurun waktu tertentu (yang juga tidak jelas)? Atau apakah 10ribu ponsel bekas dan aksesori bekas memang pas untuk "dihargai" dengan menanam pohon di area seluas 10 ha di hulu Sungai Ciliwung? Tidak jelas. Tentu akan beda sekali keadaanya jika WWF kemudian membuka ke publik hitung-hitungannya sehingga menjadi jelas perbandingan antara emisi karbon "yang diimbangi" dengan jumlah pohon yang ditanam.

Bagaimana dengan soal greenwashing? Sama sekali berbeda dengan kontroversi di Ulu Masen, Aceh, dimana sebuah perusahaan pertambangan (PT East Asia Mineral) membeli saham Carbon Conservation yang terlibat dalam proyek karbon di Ulu Masen, yang lalu pembelian saham ini diindikasikan sebagai praktek greenwashing oleh perusahaan tambang asal Kanada tersebut. Program Newtress ini berjalan diam-diam dan sepi dari kontroversi.

Mungkinkah karena perusahaan yang terlibat di dalam program ini tidak memiliki conflict of Interest, sebagaimana perusahaan tambang Kanada tersebut yang berkepentingan untuk terlibat di dalam proyek karena ada beberapa proyek tambang (emas dan tembaga) di Aceh dan berdekatan dengan proyek Ulu Masen? Mungkin ini karena kita, terutama saya, tidak menemukan apa kepentingan (langsung) perusahaan-perusahaan yang menanam pohon di Sebangau tersebut, selain menunjukkan kepedulian tinggi untuk berpartisipasi dalam menjaga lingkungan. Tapi apakah PT Garuda tidak memiliki kepentingan agar perusahaannya dianggap hijau dengan ikut menanam 100 ribu pohon untuk kawasan seluas 250 hektare di TN Sebangau? Saya kok ragu. Ya, memang bisa jadi tidak ada kepentingan langsung PT Garuda dengan penanaman pohon (tidak ada kontribusi langsung keberhasilan penanaman pohon itu pada kelangsungan bisnis PT Garuda), tapi bagaimana kepentingan tidak langsungnya; ini strategi marketing yang bertujuan menghijaukan kesan akan PT Garuda?.

Di sisi lain, PT Nokia berterus terang bahwa sumbangan mereka terhadap kegiatan Newtrees ini diharapkan dapat menaikkan citra mereka sebagai perusahaan hijau ("Nokia wants to show our customers that Nokia as a green company has commitment to saving the environment and supporting Indonesia government program One Man One Tree"). Jika dilihat dan dibandingkan dengan press release PT East Asia Mineral Corp, yang juga secara berterus terang mengakui bahwa pembelian ini dilakukan agar bisa dianggap "green", sehingga produknya dapat dikategorikan sebagai produk "green mining" sehingga laku dan dihargai tinggi, kenapa tidak ada yang menganggap PT Nokia juga melakukan "greenwashing"? Apakah karena yang PT East Asia Mineral lakukan itu membeli sementara PT Nokia itu memberi? Atau karena memang inheren kegiatan tambang itu tidak mungkin menjadi "hijau", sehingga apapun yang dilakukan sebaliknya akan dicurigai sebagai greenwashing, sementara perusahaan komunikasi seperti PT Nokia tidak memiliki "cacat bawaan" sehingga lebih mudah menjadi (dianggap) "hijau"?

Sama seperti menilai CSR sebuah perusahaan, apakah sebuah perusahaan melakukan greenwashing atau tidak bisa dilihat dari perilaku perusahaan secara keseluruhan. Apakah "nilai-nilai hijau" yang coba ditonjolkan ke luar itu juga diterapkan di dalam kegiatan sehari-hari bisnisnya, yang bisa dilihat antara lain dalam soal penggunaan energi, pemilihan bahan mentah, proses produksinya, bahkan sampai perlakuannya kepada karyawannya dan seterusnya. Jika nilai-nilai itu tidak diterapkan dalam kegiatan bisnis sehari-hari dan perusahaan tersebut menyumbang untuk kegiatan kampanye hijau, maka menurut saya, sudah masuk dalam kategori greenwashing, karena perusahaan tersebut mencoba mengelabui publik atau konsumennya dengan seolah-oleh tampak hijau, padahal sejatinya tidak. Karenanya tinggal kita perhatikan saja, apakah perusahaan yang terlibat dalam program Newtrees ini benar-benar menerapkan prinsip-prinsip hijau di dalam kegiatan bisnis setiap harinya atau tidak atau, kalau berharap jauh, ada efek positif keterlibatan perusahaan tersebut ke dalam bisnisnya. Sebagian kecil "kewajiban" ini, sebenarnya, juga menjadi tanggung jawab WWF, dengan, misalnya, membuka informasi ke publik soal program ini serta alasan perusahaan tersebut dilibatkan.

Dalam horison yang lebih luas, jika memang benar program newtress ini juga akan dijadikan proyek percontohan REDD, maka segala aturan atau norma soal REDD yang sedang hangat digagas dan diperbincangkan, misalnya soal akuntabilitas dan transparansi pemrakarsa, keterlibatan penuh (dengan FPIC) dari masyarakat yang terkena dampak, sensitivitas atas soal tenurial serta pembagian keuntungan yang adil dengan berbagai pihak, seharusnya juga berlaku di dalam program ini. Ini tentu saja, tidak hanya berlaku bagi WWF, tetapi juga pada kegiatan percontohan REDD yang dilakukan oleh pemrakarsa lainnya. Dan tidak hanya menyorot proyek-proyek yang besar (dan kontroversial) saja seperti di Ulu Masen, eks-PLG-nya KFCP atau UN-REDD di Sulteng.

Ini juga menjadi catatan penting bagi siapapun yang akan melaksanakan program offset karbon di tanah air. Saya kira ada persoalan, yang tidak hanya soal hukum/kepatuhan pada aturan, tetapi juga soal etika dalam pelaksanaan karbon offset ini yang seharusnya juga disinggung oleh para pemerhati dan berbagai pihak. Ada potensi besar berupa "fraud" dalam pelaksanaan karbon offset ini serta penyelewengan yang akan menyingkir tujuan awal dilakukannya offset ini, yang indikasi awalnya, saya kira, akan terlihat dari perilaku greenwashing.

12 Mei 2011

Target Norwegia turunkan emisi

Tidak hanya Indonesia, ternyata, yang berkeinginan menurunkan tingkat emisinya. Negara Norwegia - negara yang hendak memberikan 1 milliar dollar Amerika ke Indonesia dalam rangka REDD+ - juga punya targetnya sendiri. Menurut laporan National Communication kelima Norwegia ke UNFCCC, target itu dinyatakan di dalam White Paper No. 34, 2007. Norwegia berjanji akan menurunkan emisi global sebanyak 30 persen di bawah level tahun 1990 pada tahun 2020. Sebagian besar, 2/3, penurunan emisi itu akan dilakukan di dalam negeri. Lalu sisanya? Berasal dari luar negeri dan dilakukan dengan cara offset. Tidak berlebihan kiranya jika komitmen penurunan emisi global itu dibuktikan dengan dorongan Norwegia pada REDD di negara-negara berkembang.

Norwegia memang bisa percaya diri di hadapan negara-negara lain dalam mendorong REDD agar bisa diterapkan dalam skema UNFCCC. Pengelolaan hutannya, terutama penanaman pohon setelah perang (Dunia kedua ?) telah membuat hutan di Norwegia menjadi "carbon sink" (sehingga jadi pengurang dari emisinya). Emisi Norwegia pada tahun 2008 adalah 53.71 Tg CO2 eq jika tidak memperhitungkan emisi sink dari kehutanan (dan perubahan lahan). Namun jika emisi sink dari kehutanan (dan perubahan lahan) dimasukkan maka angka emisinya menjadi 25.15 Tg CO2 eq. Ini berarti sektor kehutanan Norwegia menyumbang pada pengurangan emisi sebesar 28.56 Tg CO2 eq.

Dengan memasukkan sektor kehutanan (dan perubahan lahan) pulalah, target penurunan emisi sebagaimana diminta oleh Protokol Kyoto dapat dilalui Norwegia. Dari tahun 1990 - 2008, Norwegia berhasil menurunkan emisi sebesar 34,6% (Target komitmen pertama Protokol Kyoto sendiri (untuk negara Annex 1) adalah pengurangan emisi sebesar 1% dari level emisi di1990 dan target Norwegia di bawah Protokol Kyoto adalah harus menurunkan emisi sebesar 10 persen di bawah level 1990).

Menurut saya, dengan melihat struktur perekonomiannya, wajar saja. sektor kehutanan menjadi carbon sink di negara Norwegia. Perekonomian mereka sudah "lepas landas", tidak lagi bertumpu pada sumber daya mentah seperti kayu. (selain tentu, harus diakui, pengelolaan hutannya yang memang bagus; kalau tidak bagus bagaimana mungkin muncul IKEA?hehe). Di negara-negara maju juga rata-rata sudah dan sedang terjadi proses penghutanan kembali. Kondisi ini berbeda halnya dengan negara tropis seperti Indonesia yang masih melihat hutan (dan isi didalamnya) sebagai modal pembangunan, sehingga sedang mengalami deforestasi. Perubahan lahan dan kehutanan menjadi penyumbang emisi terbesar negara Indonesia.

Justru ketika sektor kehutanan (perubahan lahan) dikurung tutup dalam melihat struktur perekonomian (dan sumbangan emisinya) Norwegia, kondisinya sebenarnya tidak menggembirakan. Norwegia adalah salah satu pengekspor minyak mentah terbesar di dunia. Hal ini tampak di dalam sumbangan emisi persektornya, bahwa sektor energi menjadi penyumbang emisi terbesar (ini berkebalikan dengan Indonesia, bukan?). Dan bahkan, sumbangan emisinya terus menurus naik sejak tahun 1990 hingga tahun 2008 (dari 29.56 ke angka 39.03). Begitu juga halnya dalam sektor transport. Dan dalam hal penurunan emisi berdasarkan Protokol Kyoto pun tampaknya Norwegia juga keteteran, bukannya menurunkan, sebaliknya emisinya naik 8% dari level di tahun 1990. Karena itu pula, pengurangan emisi tidak hanya dilakukan di dalam negeri (karena kemungkinan tidak akan berhasil, kecuali ada perubahan penting dalam kebijakan energi/transportasi di dalam negerinya), tapi akan mencari "bantuan" dari luar negeri, salah satunya lewat skema REDD.



15 Desember 2010

Skenario Mitigasi Kehutanan Indonesia


Awalnya adalah pernyataan Presiden SBY pada waktu pertemuan di Pittsburgh bahwa Indonesia siap menurunkan tingkat emisinya sebesar 26% dari emisi Business As Usual [BAU] pada tahun 2020 dengan referensi tahun 2005. Angka itu akan menjadi 41% jika ada bantuan internasional. Dengan referensi di tahun 2005, maka penurunan emisi sebesar 26% di tahun 2020 sebenarnya hanya menurunkan emisi sebesar 6% dari emisi tahun 2005; sedangkan jika targetnya 41% maka itu berarti penurunan emisi sebesar 24% dari emisi di tahun 2005.

Sektor kehutanan berperan besar dalam proses mencapai penurunan sampai 26% itu. Dari 26% target itu, 14%-nya berasal dari sektor kehutanan atau lebih dari separuh [tepatnya 52%] target penurunan emisi itu berasal dari kontribusi sektor kehutanan. Hal ini terjadi karena sektor kehutanan dan konversi lahan gambut merupakan sektor penyumbang terbesar emisi Indonesia. Data tahun 2005 menyebutkan dari 2,8 miliar ton setara CO2 emisi, 2,4 miliar ton-nya [85%-nya] berasal dari dua sektor itu. Dengan demikian, tidak aneh kalau sektor kehutanan mendapatkan jatah target lebih besar dibanding sektor lain. Ini juga menunjukkan ada yang keliru dalam pengelolaan hutan kita.




13 Mei 2010

Untungnya Australia dengan Skema REDD

Berikut tautan dari REDD-monitor yang bicara soal kepentingan Australia dengan mekanisme REDD. Tulisan di blog ini didasarkan pada sebuah sebuah penelitian yang dilakukan oleh Andrew Macintosh, Associate Director pada Centre for Climate Law and Policy, ANU.

Ternyata penerimaan Australia pada Protokol Kyoto dibarengi dengan kemudahan bagi Australia untuk mengikuti kewajiban penurunan emisinya. Paragrap 3.7 (2) dari Protokol Kyoto memberikan kemudahan kepada negara maju yang masuk dalam annex satu yang pada tahun 1990 emisinya didominasi oleh LUCF [Land Use Change and Forestry] agar penurunan dari emisi deforestasi bisa dimasukkan sebagai usaha penurunan emisi seluruhnya. Pada tahun 1990, 30 persen emisi Australia berasal dari deforestasi dan jumlah ini terus turun sampai sekarang. Masalahnya antara tahun 1990 sampai dengan tahun 2007, Australia malah menaikkan emisinya sebesar 26%. Nah dalam masa komitmen pertama ini, Australia hampir pasti bisa memenuhi target penurunan emisinya karena ada kemudahan dari Protokol Kyoto itu. Australia tinggal menjaga emisi dari deforestasi tidak melewati angka di tahun 1990 yang mencapai 132 juta ton CO2e, tanpa harus menurunkan emisi dari sektor lain yang merupakan sumber utama penghasilan Australia: pertambangan. Atau penurunan emisi dari skema REDD [khas Australia] ini akan akan dipergunakan sebagai offset kenaikan emisi di bidang di luar LUCF.

Dan sepertinya, Australia juga berkepentingan dengan REDD yang dilakukan di luar negeri. Karena tidak semua REDD khas Australia di dalam negerinya bisa mengoffset keseluruhan kenaikan emisinya. Di sini, semua kerja sama, bantuan keuangan dst dari pihak Australia dengan Indonesia sebenarnya – pastinya sudah pasti -  menyimpan maksud tersembunyi. Akhir-akhir ini bahkan bantuan dalam soal REDD ini dikaitkan, kalau tidak mau dikatakan diselinapkan, dalam bantuan untuk keperluan lain seperti pengurangan kemiskinan. Mungkin tidak harus dibaca: Australia sedang memberikan permen manis kepada Indonesia agar melakukan [bukan hanya mendukung] dengan sepenuh hati skema REDD yang sedang diperbicangkan di bawah payung UNFCCC. Tapi bisa juga menunjukkan bahwa Indonesia, terutama pengambil keputusan, sedang menaikkan posisi tawar. Kita akan lihat apakah “transaksi” itu memberikan lebih banyak kemudharatan atau sebaliknya.

Yang pasti adalah Indonesia tidak memiliki kewajiban menurunkan emisi. Australia, sebaliknya, punya kewajiban itu. Dengan posisi itu, Indonesia seharusnya menaikkan posisi tawar setinggi-tingginya. Termasuk didalamnya memastikan sejauh mungkin perlindungan pada hak-hak masyarakat adat/lokal di sekitar wilayah yang akan dijadikan REDD. Sayangnya, REDD+ yang dilakukan di Indonesia, sepertinya, dengan melihat trend DA [demontration activities – pilot project]-REDD-nya, lebih banyak memakai sistem konsesi yang di masa lalu hampir selalu meniadakan hak-hak masyarakat lokal/adat yang hidupnya bergantung pada keberadaan hutan di sekitarnya. Sampai sekarang, sejauh yang saya tahu, belum ada pembicaraan untuk memastikan REDD+ yang akan dijalankan menghormati dan melindungi kepentingan masyarakat lokal/adat.

30 April 2010

Model Konsesi REDD dan Masyarakat

A. RED –> REDD --> REDD+ –> ?

Hutan sebenarnya sudah masuk dalam strategi penurunan pemanasan global ketika muncul perdebatan soal LULUCF dan menjadi bagian dalam CDM/Clean Development Mechanism atau Mekanisme Pembangunan Bersih dalam kerangka Protokol Kyoto. Tapi banyak negara tropis yang tidak terlalu bahagia dengan peran kecil hutan itu. Dalam CDM, misalnya, peran hutan hanya dipandang dalam segi Aforestasi/Reforestasinya dengan meninggalkan kontribusi hutan yang ada dalam mitigasi perubahan iklim. Mereka melihat bahwa hutan yang ada seharusnya diikutsertakan dalam strategi mitigasi global perubahan iklim; karenanya mempertahankan keberadaan hutan sekarang, baik dari segi luasan maupun kualitasnya, penting untuk diperhatikan.

Di COP 11 di Montreal, usulan itu muncul dalam bentuk term RED atau Reducing Emission from Deforestation yang merupakan penerjemahan dari konsep "avoiding deforestation". Konsep itu terus menerus berubah. Di COP 13 di Bali, peran pencegahan kerusakan hutan mengemuka yang kemudian diakomodir dalam Bali Action Plans dengan nama REDD. Tidak berhenti di sana, REDD berubah menjadi REDD+ ketika disadari bahwa sumbangan hutan dalam mitigasi perubahan iklim tidak berhenti pada perubahan dari sisi negatif [avoiding deforestation dan degradation] tapi juga dari sisi perubahan sisi positif, seperti peningkatan stok karbon, pengelolaan hutan yang berkelanjutan dan konservasi hutan. REDD+ menemui bentuk formalnya ketika dibicarakan di COP 14, Poznan.

Dalam dua tahun ini, kita menyaksikan silih bergantinya berita terkait dengan hutan, REDD dan perubahan iklim. Ratusan literatur telah dibuat untuk membicarakan apa REDD, bagaimana dia diimplemetasikan, dari mana dananya, siapa yang bisa menarik untung, dst. REDD menjadi semakin menarik dibicarakan karena dia diproyeksikan menjadi pengganti komitmen pertama dalam Protokol Kyoto yang berakhir pada tahun 2012 atau menjadi bagiam komplementer dari perjanjian penurunan emisi pasca 2012. Karena itu, sebenarnya, belum ada skema REDD yang didukung dan disepakati oleh masyarakat internasional. Walaupun belum ada kejelasan di dunia internasional, tidak berarti tidak ada usaha di tingkat implemetasi yang saling berkompetisi untuk "meyumbang" pada bentuk skema REDD post-2012 nanti.

B. Pilot Project REDD

Dengan demikian, pengertian REDD dalam tulisan ini adalah skema pilot project atau aktivitas uji coba yang ditujukan untuk mengurangi emisi dari deforestasi dan kerusakan hutan di lokasi tertentu. Secara global tercatat sudah ada 109 aktivitas REDD [Wertz-Kanounnikoff and Kongphan-Apirak, 2009] dengan perincian: 44 buah pilot project yang ditujukan secara langsung untuk mengurangi emisi dari deforestasi dan kerusakan hutan/[”Demonstration activities”] dan 65 proyek untuk “readiness activities” yakni kegiatan yang memang ditujukan untuk membuat kerangka skema REDD.

C. Kategori Pilot Project REDD

Indonesia merupakan Negara yang paling banyak aktivitas pilot proyek REDDnya. Tercatat ada 29 aktivitas REDD yang sekarang ada di Indonesia yang bisa dikategorikan ke dalam 3 versi [Madeira, 2009]:

1. Proyek REDD yang dilakukan dengan cara mengajukan ijin konsesi hutan [“Model Konsesi”], seperti IUPHHK Restorasi Ekosistem atau bentuk ijin konsesi hutan lainnya.

2. Proyek REDD yang dilakukan dengan melakukan kerjasama dengan pemerintah [“Kerjasama Pemerintah”], seperti KFCP atau Skema di bawah payung UN-REDD

3. Proyek REDD yang dilakukan dengan melakukan kerjasama dengan para pemilik ijin/lahan [“Kerjasama Pengguna Lahan”], misalnya pemrakarsa melakukan kerja sama dengan pemilik Ijin HTI, HGU Sawit, Hutan Desa, dst.

Sebenarnya ada satu lagi kategori namun tidak dimasukkan karena mereka tidak mencari karbon kredit, yakni mereka yang melakukan kerjasama dengan pemerintah untuk membangun proyek karbon namun tidak mencari kredit karbon buat mereka sendiri. Kegiatan ini biasanya didukung oleh organisasi bilateral atau NGO.

D. Model Konsesi dan Konsekuensinya bagi Masyarakat

Dari 3 kategori pilot proyek itu, kebanyakan di Indonesia mengikuti model konsesi [Madeira, 2009]. Model konsesi ini bisa dilakukan dengan pemrakarsa mengajukan ijin konsesi baru atau pemilik suatu konsesi merubah atau menambahkan ke ijin awalnya usaha-usaha pengurangan emisi dari deforestasi dan kerusakan hutan.

Banyaknya model konsesi ini bisa dicarikan alasannya, pertama, untuk mencegah terjadinya deforestasi yang direncanakan. Di Indonesia, deforestasi lebih banyak terjadi karena aktivitas yang direncanakan, bisa oleh pemerintah atau oleh mereka yang mendapatkan ijin dari pemerintah [lihat Greenomics, 2009]. Mereka mengajukan ijin di lahan hutan yang sudah rusak, yang kemudian bisa dikonversi jadi perkebunan atau aktivitas pembangunan non-kehutanan lainnya atau di lahan hutan lainnya yang menunggu untuk dikonversi. Kedua, kebijakan kehutanan Indonesia selalu memihak pada perusahaan besar. Ketiga, usaha konservasi yang selama ini dilakukan di Indonesia selalu gagal atau terhambat karena adanya ketidaksesuaian dengan kepentingan aparat pemerintah. Mengajukan ijin konsesi dapat meminimalisir intervensi terlalu jauh dari aparat pemerintah. Keempat, terkait masalah teknis pembiayaan, proyek REDD untuk sampai mendapatkan kredit karbon memerlukan dana awal yang besar. Kelima, model konsesi menjamin kepastian hukum, sesuatu yang sangat penting dalam REDD yang dipergunakan untuk menunjukkan bahwa akses terhadap karbon bisa dipertahankan sesuai dengan perjanjian jual beli kredit karbon.

Tapi umumnya sistem konsesi yang dipakai dalam rencana skema REDD ini sebenarnya memanggil kembali ingatan akan apa yang mereka lakukan di tingkat masyarakat dan lingkungan hidup. Tidak kehitung berapa banyak konflik yang merugikan masyarakat dari adanya sistem konsesi ini.

Dari penemuan awal dari riset yang sedang kami lakukan, tampaknya masyarakat mengkhawatirkan praktek REDD akan sama dengan praktek HPH selama ini. Mereka akan kembali menghadapi ketidakbebasan dalam mengakses hutan atau hanya sekedar menjadi penonton dan mendapatkan remahan rente dari proses itu. Belum lagi masalah ternyata lokasi REDD tersebut berada di dalam kawasan yang diklaim masyarakat sebagai wilayah kelola/adatnya. Pengalaman selama ini menunjukkan, klaim itu akan selalu tersisihkan ketika berhadapan dengan versi lain dari rejim pemerintah.

Tidak hanya berhenti di sana, model konsesi dipakai karena tujuannya adalah mencegah pihak luar mengkonversi hutan untuk keperluan di luar urusan konservasi atau penyimpanan karbon di pohon dan lahan. Pihak luar ini tidak hanya perusahaan sawit, tetapi juga masyarakat sekitar yang dikawatirkan akan melakukan perambahan.

Pihak pemrakarsa proyek REDD bukan tidak menyadari peranan penting masyarakat sekitar hutan [“local shareholder”]. Mereka selalu memasukkan factor keterlibatan masyarakat dalam proposal REDD-nya. Mereka menyadari biarpun, misalnya, secara de jure suatu kawasan yang akan dijadikan pilot proyek REDD itu tidak dikuasai oleh masyarakat, tetapi secara de facto, masyarakat memegang peranan penting dalam keberhasilan proyek itu, misalnya di lihat dari sisi permanence atau leakage.

Namun, dalam pelaksanaannya, sebagaimana yang kami temukan di lapangan, masyarakat masih kesulitan untuk mengetahui “apa sebenarnya” yang sedang dilakukan oleh para pemrakarsa itu. Ada pemrakarsa yang datang ke suatu kampung untuk maksud yang berbeda jauh dengan maksud sebenarnya. Awalnya datang dengan maksud untuk melakukan pendataan serta pembuatan koridor orang utan, tapi setelah lama baru ketahuan bahwa mereka sebenarnya sedang melakukan assessment soal REDD dan lokasi itu cocok untuk dijadikan lokasi REDD. Atau ada pemrakarsa yang menutup diri ketika ada warga yang bertanya soal-soal mendasar yang seharusnya diberitahukan secara terbuka, seperti soal apa itu REDD, bagaimana pelaksanaan konkritnya di lapangan, dst, terlepas dari apakah masyarakat akan mengerti atau tidak.

Melakukan konsultasi dengan lokal shareholder, terutama masyarakat sekitar hutan, merupakan prasyarat penting dalam pelaksanaan REDD. Selanjutnya ada mekanisme Free Prior Informed Consent [FPIC] yang juga harus dilakukan agar masyarakat tahu dan sesadar-sadarnya paham konsekuensi jika menerima atau menolak proyek REDD. Kedua hal ini sudah dimasukkan dalam standar sertifikasi karbon sebagaimana ada di dalam Voluntary Carbon Standard (VCS) dan the Climate, Community and Biodiversity (CCB) Standards.

Kebanyakan yang dilakukan para pemrakarsa dalam menentukan lokasi REDD lebih bersifat “lingkungan”: tipe pohon, tipe tanah, iklim regional, dan topografinya. Faktor masyarakat adalah faktor yan dibicarakan selanjutnya. Ini juga akan memberikan konsekuensi lain.

Mengapa Masyarakat rentan?

Masyarakat diperkirakan akan rentan sebagai dampak jika REDD dilakukan karena ditunjang sedikitnya dua factor: [1] Perbedaan besar pandangan antara masyarakat lokal/Adat dan pemrakarsa REDD dalam melihat hutan dan fungsinya; serta [2] insentif REDD berasal dari luar negeri suatu Negara.

Perbedaan besar pandangan antara masyarakat lokal/Adat dan pemrakarsa REDD dalam melihat hutan dan fungsinya. Pengurangan emisi untuk mencegah dampak yang lebih besar dari perubahan iklim sekarang lebih banyak bergerak di tataran elit dan internasional. Jika dilihat dari sisi siapa yang paling berkepentingan, sebenarnya Negara-negara maju yang terikat dalam Protokol Kyoto-lah sebenarnya yang palig berkepentingan dengan adanya REDD. Selain murah, ia juga menjadi dasar untuk mengajak Negara berkembang dengan perekonomian raksasa seperti China dan India untuk juga memegang beban pengurangan emisi.

Tujuan pemrakarsa REDD tidak lain adalah adanya kredit karbon dari hutan yang bisa diperjualbelikan di tingkat internasional, jika masuk dalam kategori Pasar, atau kredit karbon yang bisa dikompensasikan dengan sejumlah dana, jika masuk dalam kategori Public Fund. Tujuan ini bisa jadi tidak akan sejalan dengan kepentingan masyarakat sekitar hutan di Negara-negara tropis. Jembatan itu harusnya dibangun lewat konsultasi atau program FPIC yang dilakukan secara benar di lapangan.

Bukan berarti bahwa masyarakat harus menyesuaikan diri dengan kepentingan pengurangan emisi itu. Mereka harus tetap dihormati cara hidupnya, keberadaan mereka di lokasi, dst. Hanya saja, usaha untuk membuat jembatan di antara perbedaan tujuan bisa diusahakan. Jangan sampai, demi tujuan pengurangan emisi, masyarakat diarahkan untuk mengganti livelihood-nya atau bahkan dipindahkan ke lokasi lain [biarpun secara tidak langsung meminta, misalnya, dengan mengatakan bahwa daerah itu akan dijadikan taman nasional [plus lokasi REDD], sebenarnya mengindikasikan bahwa penduduk di lokasi itu harus pindah atau makin sengsara karena hidup di dalam kawasan taman nasional].

Diarahkannya masyarakat ke tipe pekerjaan yang tidak lagi bergantung pada hutan menjadi mimpi besar para konservasionis yang nampak dikerjakan dalam program-program Integrated Conservation and Development Program [ICDP]. Tapi, hanya sedikit yang berhasil. Dalam REDD, sebenarnya proses ini hanya membuat masyarakat tidak terlibat dalam skema REDD. Konsekuensinya adalah jika pun berhasil maka masyarakat tidak akan mendapatkan ‘kompensasi” dari skema REDD yang berlangsung disekitarnya dan justru dia akan dibebani dengan “cost” tertentu, tergantung pada bagaimana pemrakarsa memandang hubungan antara proyeknya dengan masyarakat tersebut. [Ini menjadi bantahan bahwa REDD bukanlah skema Payment for Environmental Services [PES]]. Sebaliknya, jika tidak berhasil, maka justru akan akibatnya akan mengganggu keberlanjutan proyek REDD.

Di sisi lain, ada inisiatif yang dikerjakan oleh pemerintah, sebagai pemilik hutan, untuk melibatkan masyarakat dalam skema REDD dengan mengajak mereka untuk masuk dalam proyek HTR atau Hutan Tanaman Rakyat. Sebuah model konsesi tapi lebih diarahkan untuk rakyat dan skala kecil.

Di satu lokasi di Kalteng, semua warga, tidak peduli apakah dia punya kemampuan mengelola pepohonan atau tidak, dimasukkan ke dalam kelompok tani dan terbentuk sekitar 75 kelompok. Masing-masing kelompok terdiri dari 5 – 7 kepala keluarga dan akan mengusahakan lahan seluas 15 hektar/kelompok. Kepala Mantirnya sampai mengatakan bahwa jika HTR ini jalan, maka tidak akan ada lagi nelayan, semuanya akan mengusahakan HTR. Mereka dijanjikan akan mendapatkan bantuan pembiayaan sebesar kurang lebih 8 juta/ha, bantuan bibit, konsultasi penanaman dan perawatan pohon dst.

Namun HTR dalam benak masyarakat adalah jalan legal untuk memotong kayu. Lokasi yang mereka pilih ternyata adalah lokasi yang masih ada pohonnya. Mereka menyatakan bahwa dengan keterlibatan dalam HTR ini, mereka bisa memotong pohon secara legal.

Masalahnya adalah, tidak ada pemberitahuan kepada mereka, dalam skema REDD, pemotongan kayu/pohon mengandung konsekuensi terlepasnya karbon, memberi pupuk terlalu banyak atau peerwatan tanah yang tidak baik aka berkonsekuensi pada terlepasnya karbon dan gas rumah kaca lainnya. Belum ada info bagaimana soal ini diselesaikan. Dalam proses awal, masyarakat mungkin diperbolehkan untuk memotong pohon demi pembersihan lahan, tapi apa nasibnya pohon yang mereka tanam: masih berhakkah mereka atas pohon itu ketika skema REDD dijalankan?

Insentif REDD berasal dari luar negeri suatu Negara. Terlihat bahwa pemerintah seperti berjalan sendiri dalam mengeluarkan kebijakan soal REDD atau perubahan iklim. Hal yang sering terjadi ketika insentif tidak berasal dari dalam negeri suatu negera tetapi berasal dari luar negeri. Insentif REDD tidaklah datang dari dalam negeri, ia merupakan jalan bagi terlaksananya offset emisi Negara-negara maju dengan membeli kredit karbon yang dijual oleh Negara-negara pemilik hutan tropis. Insentif yang datang dari luar negeri ini dapat melemahkan aspek akuntabilitas Negara terhadap rakyatnya. “Proyek lingkungan hidup”, termasuk perubahan iklim dan REDD, yang berjalan di Indonesia umumnya mengalirkan insentif dari luar negeri dan belum bisa menghidupkan insentif dari dalam negeri, sehingga rentan gagal dan kurang mengakomodasi kepentingan lokal shareholder.

Pada titik ini, menjadi sebuah keharusan untuk terus menerus menyuarakan suara masyarakat dalam perencanaan kebijakan yang terkait maupun tidak terkait dengan perubahan iklim atau REDD dan bahkan menjadikan “perspektif masyarakat” bersandingan dengan “perspektif pengurangan emisi”. Menjadikan keterlibatan masyarakat tidak hanya dalam tataran formal, tapi terlibat penuh dalam perencanaan, pelaksanaan dan monitoring pilot proyek REDD.


Daftar Bacaan

Greenomics Indonesia. 2009. “Menguji” Rencana Pemenuhan Target Penurunan Emisi Indonesia 2020 dari Sektor Kehutanan dan Pemanfaatan Lahan Gambut. Kertas Kebijakan. Jakarta, Indonesia: Greenomics Indonesia.

Madeira, Erin Myers. 2009. REDD in Design: Assessment of Planned First-Generation Activities in Indonesia, RFF Discussion Paper 09-49, Washington D.C: Resources for the Future

Wertz-Kanounnikoff, Sheila, and Meta Kongphan-Apirak. 2009. Emerging REDD+: a preliminary survey of emerging demonstration and readiness activities. CIFOR Working Paper No 46. Bogor, Indonesia: Center for International Forestry Research.


[1] Staf Learning Center HuMa. Makalah disajikan dalam acara Seminar “Workshop on Climate Change and REDD”, Grand Nangroe Hotel - Banda Aceh, 26 April 2010. Email: mumu.muhajir@gmail.com


Download di sini

17 April 2010

Ijin Pinjam Pakai dan Pemenuhan Target Lifting Minyak

Sebuah berita dari Kompas mengurai peranan Ijin Pinjam Pakai dari Departemen Kehutanan dalam memenuhi target pemerintah dalam soal “lifting” minyak. Berita itu secara tidak tersirat pandangan sektor lain pada sektor kehutanan yang dianggap sebagai batu panghalang “pembangunan”. Dalam catatan BP Migas, ada potensi minyak sekitar 100 juta barel yang “terkunci” karena tidak ada ijin dari Departemen Kehutanan. Diperkirakan, jika Ijin Pinjam Pakai itu dipercepat, maka dalam tahun 2014, target lifting pemerintah bisa tercapai. Saat ini Indonesia defisit minyak bumi lebih dari 300ribu barel per hari dimana defisit itu dipenuhi dengan impor.

Departemen Kehutanan sendiri akan berusaha memenuhi kepentingan itu. BP Migas sendiri menyatakan bahwa untuk lahan yang dipergunakan kepentingan perminyakan tidaklah luas dan dilakukan di dalam tanah.

Dalam banyak hal, saya selalu menghadapi dilema, antara kepentingan energi dan perlindungan lingkungan hidup. Saya tentu akan mendukung usaha pemerintah untuk mengurangi kemiskinan lewat peningkatan akses energi bagi setiap warga negara. Itu Hak Asasi yang harus dipenuhi. Tapi kok kenapa kita masih terus bergantung pada sumber energi yang tidak terbarukan seperti minyak bumi? Dan kesadaran ini tidak lahir kemarin sore, tetapi sudah disadari bahkan ketika Indonesia mengalami bom minyak di pertengahan tahun 1980-an.

Seingat saya sudah ada kebijakan dan peraturan yang dibuat untuk mendukung peningkatan energi terbarukan dalam bauran energi kita. Tetapi akselerasinya selalu lambat, dan dalam pandangan saya itu terjadi bukan karena tidak ada kemauan dan usaha dari para stakeholder energi terbarukan, tetapi karena surplus/rente yang didapat dari perminyakan itu luar biasa banyak. Belum lagi soal infrastruktur perminyakan yang sudah mapan dan didukung penuh oleh pemerintah, misalnya dengan memberikan subsidi BBM atau juga subsidi pajak lainnya. Alokasi subsidi pajak dalam APBN-P 2010 bisa dijadikan contoh. Subsidi pajak bagi kegiatan eksplorasi minyak mencapai 2,5 trilliun rupiah sementara subsidi pajak bagi energi terbarukan [panas bumi dan BBN] sekitar 724,3 miliar rupiah. Itu hanya untuk kegiatan eksplorasi minyak saja. Belum lagi pemberian insentif keringanan pajak bagi peralatan perminyakan yang diciptakan untuk mengejar target lifting minyak, serta berbagai keringanan lainnya.

Percepatan perijinan dalam ijin pinjam pakai juga tidak bisa dilepaskan dari usaha pemerintah untuk mengejar target lifting minyak yang ditahun 2009 target itu tidak tercapai [padahal sudah ada banyak keringanan dan insentif] dan diharapkan tahun 2010 target itu [0,965 juta barel/hari] bisa tercapai dengan tambahan lifting dari lapangan PT Chevron Pasifik Indonesia dan dari Pertamina dan mitranya. Dan sudah ada kekawatiran target itu tidak tercapai karena ada masalah di lapangannya Chevron.

Di sisi lain, hutan memegang peranan penting dalam ekosistem dan juga penghidupan puluhan juta warga negara. Dalam isu perubahan iklim, hutan memegang peranan paling besar dalam soal target penurunan emisi Indonesia di tahun 2020. Hutan memegang peran lebih dari separuh usaha untuk mitigasi itu. Dengan adanya REDD, hutan bahkan bisa mendatangkan uang yang juga bisa dipergunakan sebagai dana pembangunan. Dalam soal ini, saya rasa, mempercepat proses perijinan ijin pinjam pakai itu menikung usaha itu.

Bukan, bukan dalam soal luasan yang sedikit atau dikerjakan di dalam tanahnya, tetapi masalahnya adalah ketergantungan pada energi fosil seperti minyak yang terus dipertahankan di tengah limpahan sumber energi lain yang terbarukan dan juga bisa dihasilkan dari kehutanan, semisal BBN dari Nyamplung dan Jarak Pagar dan ketergantungan ini berharga mahal, tidak hanya dari sisi ekonomi, tetapi juga dari segi politik dan harga diri bangsa.

Pembukaan lahan hutan untuk kepentingan perminyakan memang tidak akan banyak dan kerusakan lingkungannya, mungkin, juga bisa diminimalisir, tetapi emisi yang  dihasilkan dari minyak itu justru bisa mengurangi usaha penurunan emisi dari sektor kehutanan. Peningkatan emisi [lokal] ini jelas akan mempengaruhi kapasitas lingkungan kita yang di beberapa kota memang sudah tidak seimbang dengan harga yang juga tidak sedikit [misalnya, biaya kesehatan akibat polusi]. Belum lagi masalah “klasik” akibat perubahan iklim: peningkatan permukaan air laut, perubahan musim tanam, dst yang biaya penanganannya tidaklah sedikit.

Jika alasan di atas terdengar terlalu “negara maju”, “bullshit environment”, kita mungkin bisa menghitung berapa subsidi yang bisa disimpan dengan pengurangan ketergantungan pada minyak? Akan sangat banyak. Dari sisi politik, apakah kehadiran minyak membuat kita menjadi negara yang kuat dan mandiri? Ya, mungkin dalam hal tertentu, tapi bagaimana dengan moral hazard yang terbentuk di lingkungan per-rente-an minyak [korupsi, misalnya]? Dan apakah kita masih punya harga diri, ketika lebih dari 80% minyak yang dihasilkan itu tidak dihasilkan oleh perusahaan nasional, melainkan oleh perusahaan asing? Contoh kecilnya, ketika PT Exxon terlambat berproduksi di lapangan Cepu, sehingga target lifting pun tidak terpenuhi, berapa trilliun yang harus dipakai untuk menambal subsidi BBM dengan mengorbankan banyak kegiatan pembangunan yang lebih penting tinimbang “membakar” bahan bakar? Dan bahkan, pemerintah tidak bisa memaksa PT Exxon untuk mempercepat proses eksploitasinya?

Selain itu, siapa yang menjamin bahwa pemberian ijin itu tidak membuka katup bagi sektor lain untuk juga meminta “jatah” yang sama kepada Departemen Kehutanan dengan alasan untuk pembangunan?

Dalam alur pikir seperti itu pula, saya akan sangat sepakat jika ijin pinjam pakai itu dipergunakan untuk eksplorasi/eksploitasi Panas Bumi. Karena ia tidak hanya mengikuti usaha pemerintah Indonesia mencapai Low Carbon Economy, tetapi juga ia bisa sedikit demi sedikit mengurangi ketergantungan pada minyak dan energi fosil lainnya. Nah, jika situasinya seperti ini, saya juga akan ikut “boooo’ pada mereka yang masih ngomong “konservasi” hutan.

07 April 2010

Pemerintah Provinsi, REDD, Safeguard

Tautan di bawah adalah hasil workshop sebuah Tim Kerja yang bernama The Governors’ Climate and Forests Task Force (GCF) yang berjudul Regulatory Design Option for Sub-national REDD Mechanism. Tergabung dalam GCF ini ada empat Provinsi di Indonesia: Aceh, Papua, Kalbar dan Kaltim. GCF sekarang terdiri dari 14 Provinsi dari 5 negara [USA, Meksiko, Brazil, Nigeria dan Indonesia]. GCF ini dibentuk dengan tujuan untuk mengintegrasikan REDD ke dalam skema besar penurunan emisi gas rumah kaca dan memberikan advokasi agar tujuan itu tercapai. GCF ini tidak terlepas dari dibuatkannya skema Cap and Trade serta Tropical Forest Conservation Act di dalam negeri Amerika. Amerika membutuhkan partner dari negara berkembang pemilik hutan tropis untuk dijajagi kemungkinan melakukan offset karbon.

Bersamaan dengan lahirnya Copenhagen Accord pada COP 15 telah disepakati pula dokumen yang berjudul "Methodological guidance for activities relating to reducing emissions from deforestation and forest degradation and the role of conservation, sustainable management of forests and enhancement of forest carbon stocks in developing countries". Dalam dokumen itu dinyatakan " To establish, according to national circumstances and capabilities, robust and transparent national forest monitoring systems and, if appropriate, sub-national systems as part of national monitoring systems. Ini merupakan "karpet merah" bagi organisasi seperti GCF ini dalam perjuangan agar tingkat provinsi/sub-nasional bisa terlibat langsung baik dalam negosiasi maupun pelaksanaan REDD.

Ingat pula, bahwa ada "pertentangan" antara California dengan pemerintah federal Amerika dalam soal strategi mitigasi perubahan iklim. California dianggap "mendahului" pemerintah federal dalam penerapan skema cap and trade dengan lahirnya Global Warming Solution Act. Politik lokal ini membuat apa yang disepakati di COP 15 menguntungkan GCF ini.

Dalam soal REDD, apa yang "ditawarkan" oleh GCF ini merupakan salah satu "proses" dalam lingkup perdebatan REDD secara internasional yang satu sama lain saling bersaing untuk mendapatkan "penguatan" secara legal dan politik dalam fora isu global soal perubahan iklim.

Saya rasa tawaran GCF itu harus diperhatikan, jika ternyata skema sub-nasional ini bisa berlaku seperti nasional, "pertentangannya" dengan kebijakan REDD Indonesia yang "bermadzhab" National approach by sub-national implementation, di mana REDD dihitung referensinya secara nasional yang dalam pelaksanaannya dilakukan secara sub-nasional. Dalam interpretasi saya, konsekuensinya itu berarti satu-satunya "channel" pelaksanaan REDD adalah lewat Pusat/Nasional, termasuk di dalamnya dana/program/proyek yang masuk, lalu kemudian dibagi ke provinsi/kabupaten. Pernah saya dengar keluhan dari salah seorang pejabat di Dephut yang tidak suka dengan inisiatif Aceh dan Papua [waktu itu] yang melakukan kerja sama dengan provinsi lain negara lain.

Lalu apa yang menarik dari tautan itu adalah soal Safeguard. Ada 3 kategori: lingkungan, perlindungan hak dan bagi keuntungan. Ada banyak hal yang bisa dibandingkan [karena ia bicara soal regulatory yang karenanya harus practible] dengan usulan safeguard lainnya.

Dalam soal Lingkungan, GCF ini mengusulkan, salah satunya, bahwa Kredit REDD tidak boleh dipergunakan untuk aktivitas apapun yang mengarah pada konversi hutan alam. Usulan ini menarik karena, misalnya, di Indonesia konversi hutan [alam] masih sering dilakukan untuk kepentingan HPH/HTI atau perkebunan sawit, seperti sawit. Padahal Sawit , HTI dan HPH merupakan aktor yang diusulkan oleh Indonesia dapat menjalankan dan mendapatkan insentif REDD.

Dalam soal Perlindungan Hak/Kepentingan, usulannya sebenarnya "standar", misalnya soal aktivitas REDD sejauh mungkin tidak menciderai kepentingan dan hak-hak masyarakat lokal, Adat atau masyarakat rentan lainnya, di antaranya dengan mencegah aktivitas REDD membuat mereka pindah secara tidak sukarela. Selain itu, soal FPIC harus dilakukan secara benar dan komprehensif, seperti misalnya masyarakat mempunyai akses luas pada segala informasi yang ada hubungannya dengan proyek REDD. Di lapangan, FPIC ini memang lebih enak disebutkan daripada dipraktekkan. Di Kalbar, misalnya, ada proyektor REDD yang ke mana-mana selalu ngomong FPIC dalam menjalankan proyeknya, ternyata di salah satu desa yang akan dijadikan percontohan REDD atau malah REDD, masyarakat sekitar tidak banyak diberitahu soal hal-hal mendasar soal aktivitas REDD, termasuk soal apa sebenarnya isi MoU antara mereka dengan Pemda dalam soal REDD ini.

Tentu saja perjuangan GCF ini masih panjang. Salah satu yang menarik perhatian saya, terutama kasusnya Indonesia adalah bagaimana mereka melakukan koordinasi dengan pemerintah Pusat dan Pemerintah Kabupaten? Jika "debat panas" sudah sering kita dengar antara Pemprov dengan Pusat, bagaimana dengan Pemprov vs Pemkab? Saya ada informasi terkait soal ini yang kejadiannya ada di Kalbar, tapi kayaknya tidak terlalu bijak untuk dibuka di sini karena masih harus cek-rechek lagi.

Ini link-nya: Option Paper

02 April 2010

Debt-for-Nature Swap: Layak dicoba

Kementrian Kehutanan merencanakan akan membuat National Forest Trust Fund, keluar dari skema ICCTF-nya Bappenas. Trust Fund ini sebenarnya untuk mengelola dana yang masuk karena Indonesia menjalankan REDD atau skema lain yang ada hubungannya dengan perubahan iklim dan hutan.

Menariknya, Trust Fund ini rencananya akan memgunakan lembaga independen sebagai pengelola keuangannya dengan mengikuti "keberhasilan" skema Debt-for Nature Swaps [DNS] antara Indonesia dengan Amerika Serikat. Skema DNS dengan Amerika Serikat itu sendiri berhasil mengalihkan utang Indonesia sebesar 30 juta dollar US [selama 8 tahun, versi Kehati] untuk keperluan konservasi lingkungan di Sumatera. Dalam skema DNS, utang sebesar 30 juta dollar US itu "dibeli" seharga 2 juta dollar oleh dua LSM, Conservation Internasional dan Yayasan Kehati.

Dana pengalihan itu akan dikelola oleh sebuah Trust Fund. Kalau saya tidak salah memahami skema DNS, dana yang akan dikelola olehTrust Fund itu adalah sebesar 30 juta dollar US atau nilai yang setara dalam rupiah [dana DNS, dana yang dikeluarkan harus dalam mata uang debitor]. Atau [karena saya agak ragu dengan nilai sebesar itu] ada perjanjian khusus dimana utang 30 juta dollar US itu ketika dialihkan akan dikenakan diskon tertentu, semisal 10%. Jadi utang itu "dihargai" 2 juta dollar [uang ini masuk ke kantong kreditor], lalu pemerintah Indonesia akan berkomitmen membiayai kegiatan konservasi dengan biaya, bukan sebesar 30 juta dollar, melainkan sejumlah tertentu diskon dari utang yang telah disepakati.

[Tentu, sebagai catatan, DNS juga sudah dilakukan dengan negara lain, semisal dengan Jerman, namun "swaps"-nya untuk bidang kesehatan dan pendidikan].

Jadi ingat skripsi saya dulu yang bicara soal DNS. Jika tertarik anda bisa mengunduhnya di sini

DNS ini, menurut saya layak dicoba, terlepas dari kritikan hutangnya sebenarnya najis dan karenanya gak perlu dibayar. Tapi berhubung pemerintah Indonesia tetap aja memperlakukan kebanyakan hutangnya itu tetap legitimate dan tiap tahun mengangsur dengan mengurangi jatah bagi keperluan pembangunan masyarakatnya, saya kira lebih baik mengalihkan pembayaran itu untuk keperluan Indonesia sendiri.

Jadi, selain mencari uang lewat REDD atau skema yang meghubungkan pentingnya hutan bagi mitigasi perubahan iklim, Indonesia perlu mengembangkan inisiatif lain di bidang lingkungan, termasuk dari DNS ini.


24 Maret 2010

Australia Akan Lebih Panas di 2030

Australia merupakan salah satu negara yang banyak peranannya dalam kebijakan perubahan iklim di Indonesia. Tidak hanya lewat Kalimantan Forest Climate Partnership atau KFCP; tetapi juga merambah ke Sumatera Forest Carbon Partnership. Lengkap dengan berbagai bantuan keuangan, peningkatan kapasitas, dst. Memperhatikan kondisi Australia karenanya menjadi penting.

Dalam laporan dua badan [CSIRO dan BOM] yang memperhatikan iklim di Australian itu, bahwa Australia, dengan laju emisi rumah kaca seperti sekarang, akan lebih panas di tahun 2030 dengan kenaikan suhu mencapai 0,6 s/d 1,5 derajat celcius. Bahkan akan meningkat ke 2.2 to 5.0°C di tahun 2070. Kenaikan suhu yang melebihi perkiraan rata-rata kenaikan suhu bumi.

Lalu apa hubungannya dengan Indonesia? Kita pastinya tahu untuk menurunkan emisi tidak ada jalan lain selain berusaha tidak mengeluarkan emisi rumah kaca dan, walaupun masih harus dijelaskan, dilakukan di tingkat lokal. Tapi ada "inisiatif" [dan dalam banyak hal akal bulus negara-negara atau orang-orang kaya] yang membuat mekanisme offset, dimana emisi yang dikeluarkan di suatu tempat dan negara dapat digantikan [di-offset-kan] dengan penurunan emisi di tempat lain, misalnya, dengan mengurangi deforestasi di Indonesia.

Fakta keras itu, saya rasa, akan membuat Australia berusaha keras untuk mengurangi peningkatan emisinya, entah dengan melakukannya di dalam negeri atau, jika tidak ekonomis - atau membahayakan ekonomi Australia, di luar negeri dengan mekanisme offset itu, dimana salah satu calonnya adalah REDD di Indonesia. Tapi itu memang bukan perkara mudah; ketergantungan Australia pada Pembangkit Listrik dari batubara menjadi salah satu kendala sulitnya penurunan emisi dan, entahlah, menjadi alasan pelancar dilakukannya offset di luar negeri.

Tentu saja, penurunan emisi di tempat lain tidak akan membuat suhu Australia serta merta turun. Tapi, ya itu, dengan menelikung kepentingan ekologi, offset diketengahkan sebagai salah satu solusinya.






08 Maret 2010

Saya Rasa Ada yang Salah dengan Al Gore and Co.?

Ketika di tahun 2007, dia mendapatkan Nobel Perdamaian [bersama dengan IPCC], saya sangat takjub, tapi juga merasa heran. Saya tidak habis mengerti bagaimana mungkin orang yang baru saja membuat film, yang punya rumah besar dengan konsumsi energi yang tinggi [pergi kemana-mana naik pesawat, ngomong di seminar, dibayar mahal pula] ngomong soal hancurnya iklim, naiknya CO2?

Beberapa artikel orang lingkungan memang menyangsikan "niat baik" Al Gore dan kawan-kawannya untuk sesungguhnya menurunkan emisi karbon. Tapi, menurut saya, tentangan itu terlalu "keras" dan "pake kaca mata kuda" sehingga saya menganggapnya sebagai bentuk ketidaksukaan saja; lebih karena "iri" saja karena tidak mendapatkan perhatian publik seperti dirinya.

Tapi waktu berlalu, dia dan kawan-kawannya mulai kelihatan "belangnya" yang katanya Goldstein sebagai:"Bingo! Gore, our would-be carbon billionaire, has a dog in this hunt, dressed in the colour of money — green". Tulisan ini membuat saya ketawa ngakak: saya seperti pengikut sebuah aliran keagamaan penentang seks yang mendapati pemimpinnya mengumbar seks kemana-mana. Saya sangat suka dengan olok-olokan seperti ini, apalagi ketika menyangkut "aktivis lingkungan".

Ah ya, bagaimana mungkin anda berceramah meminta dihentikan penurunan emisi [kepada orang lain], sementara dia sendiri [dan kawan-kawan seidenya] tetap mempertahankan gaya hidup "high-carbon economy"? Idenya tentang Carbon trading ternyata sama sebangun dengan carbon offset: anda bisa "menurunkan emisi" dengan membayar sejumlah tertentu buat proyek penurunan emisi oleh orang lain sehingga carbon footprint anda jadi nol. nihil. Dengan kata lain, silahkan anda-anda semua menurunkan emisi, tapi saya tidak. Dan jika dalam hingar bingar REDD, itu sama dengan: menyuruh orang lain menurunkan emisi dengan harga murah pula. Dan bagaimana pula menurunkan emisi [yang real] dengan cara perhitungan "akuntansi"?

Dan saya tahu, di Indonesia ini, banyak yang mengagumi dirinya [saya jadi ingat status FB salah seorang "aktivis Lingkungan" yang takjub mendengarkan ceramahnya]. Entah, apa yang akan dirasakannya sekarang jika mereka membaca tulisan ini.

Betul, jika anda hanya ngomong saja, jawabannya juga ngomong saja. Entahlah, dalam jagad "per-lingkungan hidup-an" contoh seperti ini banyak sekali;bahkan sudah masuk dalam kategori "munafik".

Anda ingin menurunkan emisi? Ya jangan mengeluarkan emisi.

Bringing Al Gore back to Earth: Goldstein | Lorrie Goldstein | Columnists | Comment | Toronto Sun

06 Februari 2010

Antara Pengelolaan Dana Reboisasi dan REDD

Membandingkan sesuatu sering kali malah menyesatkan. Terjadi karena adanya "frame" yang membuat reduksi besar pada apa yang dibandingkan. Tapi perbadingan adalah kerjanya pikiran, begitu kata Jiddu Khrisnamurti. Hal biasa dilakukan. Karena baru di sanalah perjalanan evolusi kita. Jiddu menginginkan proses perbandingan itu berhenti. Bukan dihentikan. Karena jika "dihentikan" tetap ada "yang ingin" menghentikan. Dalam hal ini pikiran. Jadi pikiran menelikung: seperti membunuh pikiran, padahal pikiran itu sendiri yang berpura-pura membunuh. Ia tetap sehat wal afiat.

Tapi, bukan ke sana maksud tulisan ini. Perbandingan memang sering kali menyesatkan tapi ia juga bisa memberikan garis arah. Memberikan perkiraan. Apalagi jika perbandingan itu antara yang sudah terjadi dan diperkirakan terjadi.Dan perkiraan itu yang ditampilkan dalam tulisan ini.

Tulisan ini membandingkan praktek Indonesia dalam mengelola dana besar dalam sektor kehutanan berupa Dana Reboisasi dalam masa sebelum dan sesudah Soeharto berkuasa. DR, sampai saat ini, menduduki peringkat pertama penerimaan negara dari sektor komersial kehutanan. Selama 20 tahun pelaksanaan DR, negara sudah menerima pendapatan kurang lebih US 5,8 milliar dollar.

Peringkat itu akan segera bisa disusul jika REDD+ bisa terealisasikan di Indonesia. Diperkirakan dengan hanya pengurangan 5% saja dari rata-rata deforestasi Indonesia bisa mendapatkan pemasukan sekitar US $765 juta/tahun dan jika 30% akan masuk dana sebesar US 4,5 milliar/tahun.

Masalahnya, uang itu akan dikelola oleh institusi yang sama: Kementrian Kehutanan [DR pernah dikelola oleh Departemen Keuangan, tapi kemudian dikembalikan kembali ke Kemenhut dan sekarang dikelola oleh sebuah BLU]. Kita sama-sama tahu bagaimana DR tersebut diselewengkan [dibuat menambal dana IPTN], dikemplang oleh pengurusnya [Bob Hasan masuk penjara gara-gara pengemplangan DR ini], ketidakberhasilan proyek-proyek yang dibiayai oleh DR [Penanaman HTI, rehabilitasi lahan dan hutan]. Bahkan sampai sekarang tidak ada perubahan pada manajemen keuangan DR tersebut.

Nah, wajar kiranya, tulisan itu mempertanyakan bagaimana badan yang sama harus mengelola uang yang per tahunnya sekitar US $765 juta/tahun?

Tulisan ini sempat ramai diperbincangkan di lembaga yang mau mengeluarkannya, karena biarpun tidak secara terang-terangan menyatakan bahwa Indonesia tidak punya kemampuan untuk mengelola uang, tapi tulisan ini berhasil menempelkan keraguan di benak pembacanya. Sebagaimana juga saya.

Tapi, saya kira, ada pelajaran yang bisa diambil dari acakudutnya manajemen DR dan tulisan ini memberikan petunjuknya. Yang manarik, tulisan ini tidak hanya menyoal REDD sebagai persoalan keuangan semata. Ia menghubungkan dengan praktek-praktek pengawasan dari luar dan menurut mereka, ada harapan perbaikan. BPK sudah mulai bergigi sekarang, begitu pula keberadaan KPK dan Pengadilan korupsinya yang bisa dijadikan benteng agar pengelola dana [REDD+] bisa baik bekerja.

13 Januari 2010

Taman Nasional Yasuni, Ekuador: Antara Minyak dan Perubahan Iklim [3]

Proyek Yasuni Initiative di Ekuador ini nampaknya mulai masuk ke ranah politik. Ekuador, sebagai salah satu anggota OPEC, telah merelakan sebuah wilayah tambang minyak tidak ditambang dengan harapan [akan] mendapatkan bantuan internasional. Ekuador melakukan ini demi perubahan iklim serta perlindungan masyarakat adat. Keuntungan yang dilewatkan oleh Ekuador adalah sekitar 6 miliar dollar.

Nah, Presiden Correa baru saja menerima pengunduran diri Menteri Luar Negeri-nya Fander Falconi. Menlu ini memang berhasil mewartakan "kebaikan" Ekuador ini ke dunia internasional. Namun Presiden Correa mengkritik cara-cara negosiasi yang dilakukan oleh Menlunya ketika mencari bantuan internasional itu. Ia mencontohkan dengan leluasanya Jerman dan Belgia - yang akan berperan sebagai donor - menentukan syarat-syarat perjanjian yang menunjukkan terlalu lembeknya negosiasi yang dilakukan oleh Falconi.

Bisa dipahami kenapa Jerman dan Belgia ingin ikut menentukan syarat-syarat perjanjian. Bukan hanya ini masalah uang publik atau geopolitik, tetapi juga karena mitigasi perubahan lewat hutan ini masih belum mendapatkan bentuknya. Masalah yang menghadang selain perhitungan adalah soal permanance, serta leakage. Karena itu pula dalam masalah perdagangan karbon, isu hutan ini masih "kontroversial" dan bahkan The Gold Standard, standar yang paling dihormati terkait perdagangan karbon, secara eksplisit tidak memasukkan kredit karbon hasil mitigasi perubahan iklim lewat hutan [reforestasi].

[Tapi di sisi yang lain, standar ganda negara maju terlihat terang dalam masalah ini].

Inilah yang kemudian dikawatirkan beberapa pihak dengan keberanian Ekuador mengajukan inisiatif mitigasi perubahan iklim lewat keberadaan hutannya, apalagi kemudian Ekuador secara implisit menyandarkan bantuan internasionalnya lewat perdagangan karbon yang dalam implementasinya selalu menyinggung carbon offset. Jadi bukan hanya masalah Carbon Offsetnya, tetapi juga standard mengenai perdagangan karbon untuk mitigasi perubahan iklim lewat hutan masih belum jelas.

23 Desember 2009

REDD dan Kepentingan Pemilik IUPHHK

Sebuah laporan dari Global witness yang mengkritisi dimasukkannya kata Sustainable Forest Management atau SFM dalam Bali Action Plan, 2007. Di saat belum ada kesepakatan apa yang dimaksud dengan SFM, sepertinya, kalimat ini dimasukan untuk memberi jalan bagi para perusahaan kayu untuk mendapatkan manfaat dari mekanisme REDD. Laporan ini tidak menyepakati istilah HWP, yang diusulkan oleh perusahaan kayu sebagai satu jalan bagi mereka agar berhak mendapatkan manfaat dari dagang karbon.

Tapi, entahlah, skema REDD sebenarnya skema yang salah satu prinsipnya adalah “paying polluter for not to pollute” di mana semakin banyak kerusakan atau potensi ancaman kerusakannya, semakin besar pula insentif yang mungkin didapat. Perusahaan yang mati-matian menerapkan SFM sepertinya akan mendapatkan insentif lebih sedikit daripada perusahaan yang dulunya melakukan kerusakan dan berjanji akan memperbaiki. Jadi selama “moral hazard” tersebut belum didekati secara efektif, maka REDD tetap akan membawa cacat bawaan.

09 Desember 2009

Hutan yang Dikelola Masyarakat dan Perubahan Iklim

Tulisan menarik dari Jurnal PNAS, yang menegaskan pentingnya posisi hutan yang dikelola oleh masyarakat lokal/adat dalam isu perubahan iklim. Memang dalam penelitiannya tidak ada sampel dari Indonesia [contoh Forest Common untuk kawasan Asia hanya dari Asia Selatan], tapi bisa menjadi bahan yang menarik untuk dijadikan pegangan dalam, misalkan, advokasi atau penelitian khusus kondisi di Indonesia.

Tulisan ini membandingkan antara luasan, otonomi [derajat masyarakat mengelola hutannya – tinggi-rendah] dan kepemilikan [Negara-masyarakat] hutan dengan ketersedian karbon atau penghidupan bagi masyarakat sekitar. Datanya berasal dari koleksi data yang dimiliki oleh program IFRI [International Forestry Resources and Institutions] yang dianggap sebagai koleksi data terbaik mengenai soal Hutan masyarakat yang ada di negara-negara berkembang.[Data ini nantinya akan dibuka secara terbuka]

Penemuannya yang bisa saya saya ketengahkan adalah: masyarakat yang terlibat secara aktif dalam mengelola hutan [otonominya tinggi], ternyata tinggi juga kemungkinan hutan itu menyediakan penghidupan bagi mereka dan juga tinggi ketersediaan karbonnya atau masuk dalam term "Sustainable Common". Dengan otonomi yang tinggi, termasuk dalam proses pengambilam keputusan, membuat masyarakat dapat mengakses hutan untuk kepentingan penghidupannya dan juga menjaga hutannya, dalam arti mengkonservasinya.
Di sisi lain, semakin tinggi derajat kepemilikan masyarakat maka semakin tinggi ketersediaan karbonnya namun rendah tingkat penghidupannya. Ini terjadi karena masyarakat cenderung untuk tidak melakukan proses eksploitasi. Selain itu kondisinya berbeda dengan jika pemerintah memiliki hutan itu dimana kecenderungannya adalah tinggi tingkat penghidupan namun rendah tingkat ketersediaan karbonnya.

Ada hal yang menjadi penentu kesimpulan itu, yakni seberapa jauh masyarakat merasa aman dengan tenure-nya. Jika masyarakat tidak aman dengan tenure-nya, ada kemungkinan dia akan mengeksploitasi hutannya; jika sebaliknya, maka hutan akan kemungkinan besar akan dikelola secara berkelanjutan. Ini untuk menjelaskan kenapa semakin tinggi tingkat kepemilikan masyarakat cenderung meningkatkan karbon namun mengurangi tingkat penghidupannya jika masyarakat merasa tidak aman dengan tenurenya.

Karena ada kata "karbon" jelas bahwa tulisan ini menginginkan adanya “recognize” dari siapapun yang sedang mendiskusikan REDD bahwa masyarakat adat/lokal yang mengelola hutan layak dijadikan calon penerima manfaat dari dana yang mungkin akan mengucur dari REDD atau sebangsanya.

Saya rasa, ini tulisan pertama [sebagaimana ditegaskan oleh penulisnya] yang menguantifikasikan “kelebihan” hutan yang dikelola oleh masyarakat dibandingkan oleh pemerintah dalam hal ketersediaan karbonnya. Menariknya juga mereka mendasarkan data penelitiannya dari data hutan yang dimiliki oleh orang lain [IFRI].

Trade-offs and synergies between carbon storage and livelihood benefits from forest commons

04 November 2009

Angka Emisi ERK dari Deforestasi Terbaru: 12 Persen

Selajur dengan laporan IPCC tahun 2007 dan berbagai laporan lainnya, misalkan dari WRI, angka emisi deforestasi terhadap emisi global berjumlah kurang lebih 18,5 persen atau 20 persen. Angka yang cukup besar yang berpengaruh besar pada naiknya posisi negara-negara berhutan tropis yang menghadapi masalah deforestasi. Indonesia, misalnya, yang dulunya posisinya selalu di luar 20 besar, tiba-tiba dengan memperhitungkan angka deforestasi naik posisinya ke tingkat ketiga tepat di belakang China dan USA. Sebuah kampanye jelek bagi sebuah negeri tidak beruntung seperti Indonesia.

Angka 20 persen atau seperlima dari jumlah emisi global sekarang, merupakan angka yang besar dan juga “politis”. Indonesia dan negara berkembang pemilik hutan tropis seperti Brazil menghadapi tekanan, bukan hanya untuk mengurangi tingkat deforestasinya tapi juga digiring untuk mendapatkan kewajiban “pengurangan emisi”, sebuah kewajiban yang sampai saat ini hanya dilekatkan pada negera-negara Annex I Konvensi Perubahan Iklim.

Namun, sebuah penelitian dari G. R. van der Werf, et.all, yang diterbitkan oleh majalah Nature Geoscience menyodorkan angka baru sumbangan emisi deforestasi pada emisi global. Para peneliti itu melakukan penelitian berdasarkan indikator yang dibuat oleh IPCC, namun dengan memakai data-data terbaru dari deforestasi. Hasilnya adalah angka deforestasi turun ke angka 12 persen; namun, mengingat data yang tidak stabil, angka yang aman adalah 6 – 17 persen. Namun angka 12 persen itu akan naik ke angka 15 persen jika sumbangan pengeringan lahan gambut dimasukkan.

Turunnya angka deforestasi ke 12 persen itu mungkin saja atau bisa jadi tidak pada menurunnya dana yang akan disediakan untuk membiayai mekanisme REDD. Tapi, tetap saja angka 12 persen adalah angka yang besar. Tidaklah bijaksana jika angka baru ini menurunkan perhatian pada penyelesaian masalah masih tingginya deforestasi di beberapa negara. Perlindungan hutan tidak hanya demi kepentingan penyerapan karbon atau pencegahan lepasnya karbon, tetapi juga perlindungan pada kekayaan keanekaragaman hayati dan penghidupan masyarakat yang menggantungkan diri pada lestarinya hutan.

Pesan penting dari tulisan itu justru menegaskan bahwa emisi energi tetap mayoritas dan angkanya terus naik. Emisi dari energi inilah – yang kebanyakan berasal dari negara-negara maju – yang harus diturunkan dengan segera. Dan sepertinya tidak boleh diundur lebih lama lagi.

03 November 2009

Taman Nasional Yasuni, Ekuador: Antara Minyak dan Perubahan Iklim

Seorang aktivis lingkungan hebat Indonesia pernah dengan agak mengumpat memberikan pendapat akan masih adanya pertentangan antara pembangunan dan kelestarian lingkungan di kalangan pemerintah dengan menyatakan kira-kira: “kemana aja lu, dah basi itu…” Menurutnya, pertentangan itu sudah berakhir; slash [ / ] itu sudah sewajarnya dicoret [mungkin dia murid Derrida yang patuh] dan yakin bahwa sudah ada solusi terhadap itu. Saya, si pandir itu, mencoba mencari tahu dalam jejalan informasi di alam maya, di mana saja dan hanya menemukan satu “solusi”: pembangunan berkelanjutan. Tapi saya tak yakin, ‘solusi” itu adalah solusinya. apalagi istilah itu hanya enak dijadikan bahan pidato di tengah pendengar yang tidur.

Sampai kemudian saya membaca laporan tentang Taman Nasional Yasuni di Ekuador serta Yasuni-ITT initiative-nya ini dan semakin menyakini, sehebat apapun usahamu mencoretnya, pertentangan itu masih ada. Bayangkan sebuah taman nasional yang kaya dengan keanekaragaman hayati dan dihuni serta dihidupi oleh setidaknya tiga suku Waorani. Tapi tepat di bawahnya, ada cadangan terbukti [proven!] minyak sebesar lebih satu miliar barel minyak mentah. Bukan hanya itu, minyak adalah andalan ekspor Negara Ekuador.

Sejak tahun 1900, konflik antara perusahaan minyak dan atau perusahaan kayu dengan suku Waorani sudah sering terjadi. Blok-blok minyak berulang kali berganti kepemilikan meninggalkan berbagai konflik, salah satunya antara pertarungan hukum antara Chevron dengan beberapa penduduk lokal dan masyarakat adat, termasuk Suku Waorani. Konflik itu bermula dari dugaan adanya pencemaran lingkungan yang dilakukan oleh Texaco [perusahaan yang kemudian dibeli oleh Chevron] dengan cara membuang kurang lebih 16 miliar galon limbah cairnya ke saluran sungai di areal taman nasional selama masa operasi mereka dari tahun 1964 - 1990. Tuduhan diajukan pada tahun 1993 di pengadilan federal Amerika Serikat, namun pada tahun 2003 pertarungan dipindahkan ke Ekuador dengan memakai sistem hukum Ekuador.   

Di sisi lain, terjadi perubahan kebijakan di pemerintahan Ekuador yang membuka jalan bagi munculnya Presiden Correa. Namun, tekanan terhadap Taman Nasional Yasuni sekarang tidak lagi masalah konflik antara masyarakat dengan perusahaan minyak atau perusahaan kayu atau perambah haram, namun juga ada tuntutan dari kalangan “pencinta lingkungan” atau environmentalist agar pemerintah Ekuador mempertahankan keberadaan Taman Nasional Yasuni. Dengan kata lain, pemerintah Ekuador diminta untuk tidak mempedulikan keberadaan minyak mentah dibawahnya.

Mereka sepertinya menang. Pada tahun 2007 bersamaan dengan pelaksanaan COP 13 di Bali, Presiden Correa mengumumkan Yusani-ITT Initiative, proyek perlindungan wilayah ITT [blok minyak kedua terbesar di dalam Taman Nasional Yusani, dengan cadangan minyak terbukti 850 juta barel minyak mentah]. Ekuador menantang dunia internasional dengan menyatakan bahwa Ekuador akan melepaskan kesempatan mengeksploitasi wilayah kaya minyak itu demi untuk memenuhi 3 tujuan masyarakat internasional: melindungi keanekaragaman hayati, menghormati hak-hak masyarakat adat dan mengendalikan perubahan iklim. Sebagai imbalannya, Ekuador meminta dunia internasional menyediakan kompensasi sebesar $350 juta/tahun atau hanya separuh jika wilayah itu dieksploitasi demi minyak. Berkali-kali usaha dilakukan, tenggat waktu diperpanjang, dan sebagainya, tetapi hasilnya hanya ngomong saja atau janji kosong saja seperti Pemerintah Jerman yang berjanji akan memberikan sejumlah dana namun sampai saat ini tidak ada realisasinya.

Tapi Ekuador atau supporter naifnya belum kehilangan asa. Tahun ini mereka melirik perdagangan karbon. Mereka berencana membuat “Yasuni Guarantee Certificates” dan akan menjualnya di pasar bebas atau, kalau sudah ada, pasar wajib karbon. Tapi jelas, pilihan menerbitkan “Yasuni Guarantee Certificates” di pasar karbon tidak akan memenuhi salah satu tujuan mengapa Yasuni-ITT dibuat, yakni pengendalian perubahan iklim. Karena dengan sistem offset, mereka yang seharusnya mengurangi emisinya dapat terus melanjutkan kegiatannya setelah membeli “Yasuni Guarantee Certificates” itu. Tapi apakah para pecinta lingkungan memberikan alternatif lain? Mana sumbangan itu?

Kasus ini secara telanjang mengatakan pertentangan itu tetap ada, trade off antara pembangunan dengan kelestarian lingkungan tetap hadir; bahkan negara Indonesia secara tanpa malu-malu, walaupun tersirat, menyatakan bahwa hambatan terbesar pembangunan adalah kelestarian lingkungan, lalu - dalam otak saya, tentu saja - apa maksudnya “kemana aja lu,..dah basi” tadi itu?

Ekuador telah mengambil jalan yang sangat berani, yang sayangnya tidak ditanggapi dengan semestinya. Ia memberikan sebuah contoh pada apa yang disebut dengan “tanggung jawab global” yang seharusnya juga dijawab dengan “kewajiban global”. Saya tidak membayangkan apa jadinya jika kemudian Ekuador menyerah dengan janji-janji manis tapi palsu environmentalist atau para pecinta lingkungan itu dan kemudian memilih untuk membuka kawasan ITT itu untuk minyak. Yang pasti yang pertama akan menyalak adalah para pecinta lingkungan itu.

23 September 2009

Gas Rumah Kaca dari Deforestasi

Sering kali kita dengan nyaman dan tanpa bertanya kembali menyakini bahwa 20% GRK itu berasal dari deforestasi. Angka itu seperti aksioma. Ketika pertama kali angka itu muncul, banyak tentangan dari negara-negara berhutan yang menyakini angkanya sebenarnya lebih kecil. Tapi, tak ada tandingan yang menyajikan data sebaliknya dan angka 20% diterima begitu saja.

Dari sini, saya kira, kemudian tiba-tiba hadir sejumlah inisiatif yang mencoba menggiring keterlibatan negara-negara berkembang dalam mengurangi laju GRK. Sebuah perjanjian internasional baru dan mekanisme baru perlindungan hutan dijanjikan dibuat dengan keterlibatan negara berkembang terutama negara-negara berhutan tropis. Rencananya perjanjian dan mekanisme itu dibuat untuk menggantikan Protokol Kyoto – yang hanya berlaku bagi negara maju – yang keberhasilannya masih ditunggu oleh kita bersama.  

Angka 20% itu lama kelamaan tidak ada lagi yang mempertanyakan kesahihannya. Bahkan, saya sampai menyakini bahwa angka 20% itu mempunyai dasar perhitungan dan jangka waktu yang sama dengan GRK dari tenaga fosil, misalnya transportasi. Padahal, semestinya ia tidak dibaca demikian. Angka 20% itu ternyata adalah angka rata-rata GRK yang dikeluarkan oleh deforestasi pada tahun tertentu, bukan merupakan akumulasi angka sebagaimana GRK tenaga fosil. Sehingga jika mengikuti angka historisnya, misalkan dihitung dari sejak tahun 1850 [yang sampai sekarang belum ada angkanya], GRK dari deforestasi seharusnya lebih kecil dari itu. Satu wawancara dengan seorang ilmuwan dari Brazil, Gilberto Camara, akhir-akhir ini juga menyatakan bahwa angka GRK dari hutan itu terlalu dibesar-besarkan.

Bukan tujuan saya agar negara-negara berkembang tetap membabat hutannya atas nama “keadilan” atau “persamaan hak” dengan apa yang [pernah] dilakukan oleh negara-negara maju; tetapi hanya ingin menjadi pengingat saja bagi kita agar berhati-hati dalam mempergunakan angka.

world_ghg_flow_chart_2005.preview

Saya coba sajikan data dari World Resources Institute tentang berapa jumlah dan dari sumber mana saja GRK yang dihasilkan pada tahun 2005. Data tahun 2005 ini disebutkan oleh WRI merupakan data yang paling komprehensif dalam menghitung jumlah GRK dan sumbernya dalam tahun tertentu. Bandingkan pula dengan data GRK dari tahun 2000 yang juga dipunyai oleh WRI. Akan kelihatan bahwa sumber GRK dari non-deforestasi masih lebih dominan dan seharusnya kita coba selesaikan masalah itu dulu. Jangan buru-buru perhatiannya pindah ke isu hutan karena secara ekonomis lebih murah biaya adaptasi dan mitigasinya.

01 September 2009

Australia, Indonesia dan REDD

Kepentingan sebuah bangsa atas bangsa lain tidak bisa dilepaskan dari pergolakan domestik negara tersebut. Australia menjadi salah satu negara yang sangat mendukung pelaksanaan REDD di Indonesia. Australia tidak kurang memberikan Aus$ 200juta untuk membiayai beberapa proyek awal atau demontration activities REDD di Indonesia [dan di PNG]. Di samping niat baik untuk mengurangi laju pemanasan global lewat penghentian deforestasi, sebaiknya kita juga melihat bagaimana pergolakan dalam negeri Australia sendiri dalam masalah perubahan iklim ini.

Awalnya Australia menjadi kawan Amerika Serikat dalam menolak Kyoto Protokol. Namun dengan bergantinya pucuk pimpinan pemerintahan ke tangan Kevin Rudd, Australia berbalik ingin menjadi salah satu negara pioner dalam isu perubahan iklim ini. Setelah menegaskan komitmen untuk terlibat dalam Kyoto Protokol dan dalam semua perundingan internasional tentang perubahan iklim di bawah naungan UNFCCC, di dalam negeri sendiri, Kevin Rudd menelorkan sebuah usulan undang-undang tentang pengurangan emisi. Di dalam Undang-undang tersebut mengatur mengenai cap and trade yang berlaku bagi kurang lebih 1000 perusahaan penghasil emisi terbesar. Sistem cap and trade itu sendiri memungkinkan sebuah perusahaan yang tidak bisa memenuhi batas jumlah emisi yang boleh dikeluarkan dalam tahun tertentu dapat membeli kelebihannya itu pada pihak lain yang dapat mengurangi emisi di bawah batas yang diberikan. Pihak lain ini bisa perusahaan domestik, proyek "hijau" maupun pihak dari negeri lain.

Dalam usulan UU itu [Carbon Pollution Reduction Scheme Bill 2009], Ia memberikan sejumlah kompensasi kepada perusahaan manufaktur seperti baja; namun tidak memberikan keringanan yang sama pada perusahaan batu bara dan pembangkit listrik dari batu bara. Tidak diberikannya keringanan pada perusahaan batubara dan PLTU batu bara ternyata menjadi sandungan utama usulan UU tersebut bisa disahkan menjadi UU. Perusahaan batu bara mengeluarkan laporan yang mewartakan jika ETS [Emissions Trading Scheme] itu diterapkan sekarang maka Australia akan kehilangan ratusan ribu pekerja, pelambatan ekonomi dst. Selain itu tentangan juga keluar dari pihak oposisi yang - ini menariknya - lahir dua alasan yang berbeda. Pihak Oposisi dari kalangan konservatif melihat pelaksanaan ETS itu akan berdampak pada pelambatan ekonomi karena pelaku usaha menghadapi dua tembok secara bersamaan: krisis global dan ETS itu. Sementara pihak oposisi dari pihak Partai Hijau melihat usulan itu sudah terlalu berbau kepentingan perusahaan, dengan implementasi yang terlalu lunak dan tidak jelas.

Dan memang, pada tanggal 13 Agustus 2009 ini, usulan UU versi pemerintah itu ditolak oleh senat Australia. Dengan demikian komitmen Australia dalam usaha pengurangan laju pemanasan global kembali ke titik misteri. Walaupun pihak pemerintah menyatakan bahwa usulan itu akan kembali diperdebatkan di senat tahun ini dan di sisi yang lain, pihak oposisi juga sudah siap dengan amandemen. Penolakan sekali lagi dari Senat dapat berujung pada pemilu yang dipercepat.

Di tengah panasnya politik dalam negeri itu, Australia tetap memandang penting kerja sama internasional dalam isu  perubahan iklim ini. Dan Indonesia dijadikan salah satu partner penting dalam usaha itu. REDD adalah mainan baru itu. Di Bonn, pemerintah Australia dan Indonesia bersepakat untuk lebih bekerja sama dalam masalah REDD ini. Bagi Australia, Indonesia dan REDD adalah "...given Indonesia’s impact on worldwide atmospheric carbon concentrations and its close proximity, Australia has a unique opportunity to lead the world in developing REDD offsets and linking this market to the [scheme]’.

Tetapi sebenarnya sikap pemerintah Australia dalam hal emisi dari deforestasi ini adalah memilih untuk tidak dimasukan dalam rencana penggurangan emisi Australia. Salah satu atau dua alasannya adalah emisi dari deforestasi sulit diprediksi dan memasukkan skema emisi dari deforestasi akan melahirkan insentif untuk "...pre-emptive land clearing if coverage was in prospect (where allowed under state and territory regulations) in order to avoid a future obligation. This could have a range of negative environmental consequences, as well as increasing emissions in the Kyoto Protocol period...." Alasan lainnya adalah pengurangan emisi dari deforestasi bukanlah mekanisme yang diakui dalam Protokol Kyoto, sehingga jika ia dimasukkan dalam strategi pengurangan emisi Australia dalam masa sekarang, justru akan merugikan Australia karena biayanya jadi lebih besar karena mengerjakan sesuatu yang tidak akan berkontribusi positif pada usaha Australia memenuhi kewajiban yang ditetapkan Protokol Kyoto.

Walaupun demikian, Pemerintah Australia menyadari murahnya harga pengurangan emisi dari deforestasi ini, sehingga ia akan mencari alternatif insentif bagi emisi dari deforestasi ini. Karena itu, ia membuka kerja sama dengan negara Indonesia [dan juga PNG] dalam REDD untuk melihat sejauh mana pengurangan emisi dari deforestasi dan insentif yang diberikan dapat menjadi alasan dimasukkan atau tidak emisi dari deforestasi dalam skema pengurangan emisi Australia. Dan jika itu mungkin, maka mekanisme offset akan diberlakukan juga pada mekanisme pengurangan emisi dari deforestasi ini.

Dalam usulan UU yang telah dikalahkan oleh Senat Australia itu, projek offset dalam kehutanan adalah proyek pertama yang akan berjalan [1 Juli 2010]. Tetapi tidak jelas berapa persen yang harus dilakukan di domestik dan berapa yang bisa dioffsetkan dengan proyek hutan di luar negeri [sikap pemerintah Australia dalam hal offset ini terbagi dua, ada yang menolak jika sumber emisinya berasal dari sektor yang diatur dalam usulan UU dan ada yang memperperbolehkan jika emisinya berasal dari luar sektor yang diatur. Hutan dan pertanian diberi keleluasaan untuk dilakukan offset].

Australia jelas akan sangat berkepentingan proyek-proyek awal REDD itu dapat ditindaklanjuti dengan kepastian hukum di tingkat internasional. Hal ini bisa dipahami, karena penolakan [sementara] bagi mekanisme pengurangan emisi dari deforestasi itu hanya jika mekanisme itu dilakukan di dalam negeri [karena dikawatirkan akan menaikkan emisi Australia pada masa periode Protokol Kyoto [2008 - 2012]. Tetapi, jika mekanisme itu dilakukan di luar negeri dan terjadi ketika protokol Kyoto berakhir masa berlakunya, [lihat White Paper] saya rasa, sikap pemerintah Australia akan berbeda karena melihat kalkulasi ini: harganya murah dan bisa dioffset.

Bagi Indonesia, masuknya uang dipandang sebagai keuntungan dan memang jika REDD dikerjakan dengan baik lewat sistem distribusi keuntungan yang adil dan penghargaan pada tenur masyarakat, keuntungan itu sangat besar [akan berbeda jika pelaksanaannya berbeda] - walaupun jelas jangan terlalu naif dengan memperlakukannya sebagai silver bullet yang bisa menyelesaikan semua persoalan kehutanan di Indonesia. Tetapi, yang jelas, jika dilihat dari peta politik perubahan iklim, Indonesia dan negara berkembang berada di pihak yang dirugikan karena ia kemudian diharuskan untuk menjadi pihak aktif dalam pengurangan emisi dan dengan harga yang terlalu murah. Yang untung adalah negara-negara maju yang telah merusak dan mendapatkan kemajuan ekonomi akibat itu dan sekarang difasilitasi untuk membuang "kotorannya" itu bahkan dengan harga yang kelewat murah.

27 Juni 2009

Peta-Jalan Penyelamatan Ekosistem Sumatera

Peta-Jalan Penyelamatan Eksositem Pulau Sumatera ditandatangani oleh 10 Gubernur dan disaksikan oleh 3 menteri dan seorang eselon dari Depdagri di Jakarta, 26 Juni kemarin. Penandatangan ini merupakan tindak lanjut dari kesepakatan para gubernur di Sumatera tentang penyelamatan eksosistem Sumatera pada 18 September 2008. Kesepakatan itu berisi penyelamatan ekosistem Pulau Sumatera melalui penataan ruang berbasis ekosistem, restorasi lahan kritis, dan mempertahankan keanekaragaman hayati yang masih ada, dengan mendasarkan pada prinsip-prinsip dalam Peta Jalan. Ada 3 langkah strategis yang akan dijalankan: [1] Merestorasi hutan alam yang sudah rusak, [2] mengupayakan perlindungan hutan alam dan ekosistem sensitif dalam rangka meningkatkan daya dukung ekosistem pulau Sumatra, dan [3] mengembangkan model insentif dan disinsentif.

Dalam Peta-Jalan yang ditandatangani kemarin ada satu yang menarik saya, sebagaimana di sebutkan dalam Antara: "...Perlindungan hutan alam dan ekosistem juga dilakukan dengan pengawasan terhadap penerbitan izin dan konsesi yang memiliki konsekuensi pada pembukaan hutan alam, pemberian akses masyarakat ke dalam wilayah hutan untuk melakukan kegiatan ekonomi berbasis konservasi, atau berpartisipasi dan berkolaborasi dalam program konservasi pemerintah...."

Apa yang dimaksud dengan 'pengawasan'? Jika pemerintah daerah mengawasi penerbitan izin yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah sendiri memang seharusnya begitu. Namun bagaimana jika izin atau konsesi pembukaan hutan itu dilakukan oleh pemerintah pusat, misalkan dalam pemberian IUPHHK-HA atau IUPHHK-HT atau Ijin Pinjam Pakai atau Ijin Tukar-Menukar kawasan Hutan [oleh Departemen Kehutanan] atau HGU Perkebunan yang dikeluarkan oleh BPN Pusat? Apakah dengan demikian, pemerintah daerah membantu tugas pengawasan pemerintah pusat, atau, dengan dimasukannya pernyataan itu timbul penafsiran tugas pengawasan siapa yang tidak berjalan dalam hal penerbitan izin atau konsesi yang berkonsekuensi pada pembukaan hutan alam, sehingga harus dilakukan dua kali pengawasan?

Hal positif lain adalah pemberian akses pada masyarakat memasuki hutan untuk melakukan kegiatan ekonomi berbasis konservasi. Tapi, memang tidak boleh berhenti di Peta-Jalan, karena hambatan struktural yang menghilangkan dan mengurangi akses masyarakat masih banyak dan kuat dan perlu diselesaikan di alam nyata.

Di luar Peta-Jalan itu, saya membaca ini merupakan pembuka jalan adanya kesepahaman antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk melempangkan jalan masuknya inisiatif konservasi semisal REDD [barangkali akan masuk dalam langkah strategi terakhir: "mengembangkan model insentif dan disinsentif"].

Salah satu hal yang masih belum diselesaikan demi lancarnya REDD adalah hubungan antara pemerintah pusat dan daerah dalam menjalankan "proyek" REDD, di luar masalah 'pembagian keuangan'. Dalam Peta-Jalan itu disebutkan bahwa 10 Gubernur di Sumatera sepakat untuk melakukan: "Restorasi hutan alam yang sudah rusak dengan memperhatikan prioritas penetapannya sebagai kawasan lindung; penerapan praktek pengelolaan hutan lestari yang baik, dan mengutamakan partisipasi masyarakat dalam pelaksanaannya. perlindungan hutan alam dan ekosistem sensitif melalui peningkatan luas peruntukan wilayah konservasi dan hutan lindung, serta pencegahan pembukaan hutan alam untuk mempertahankan areal yang masih berhutan". Dengan demikian, pemerintah pusat akan dengan mudah memasukkan inisiatif tersebut ke dalam program pemerintah daerah dan tidak kawatir bahwa inisiatif tersebut di tengah jalan akan 'disabot" oleh pemerintah daerah.

Sepanjang Peta-Jalan itu nyata terlaksana di lapangan, tidak ada salahnya kita ikut optimis, bukan?