24 November 2014
Urang Kanekes bisa Matematika?
Yang menarik dalam tulisan ini adalah tidak hanya dalam membela "kecerdasan" Urang Kanekes (dan gaya hidup Urang Kanekes yang mereka anggap penuh kejujuran; ok. ini sedikit romantis), tetapi juga menunjukkan bahwa sistem pembelajaran yang baik adalah dengan menghadapkannya dengan lingkungan sekitar yang harus "dimengerti dan kemudian "ditaklukkan". Pembelajaran problem solving.
Bagi saya sendiri, ini tantangan tersendiri dalam "menerjemahkan" kecerdasan atau pengetahuan lokal ke dalam bahasa-bahasa kecerdasan yang mainstream yang kebanyakan dipengaruhi Yunani-Romawi-Islam-pencerahan Barat ini. Dalam halnya masyarakat adat, jika tidak jatuh pada romatisisme (tuh kan mereka juga paham matematika karenanya mereka hebat (walau sebenarnya pelan-pelan wilayah hidup dibatasi dan bahkan masyarakat adat lain disingkirkan), arah lainnya menuju ke penghakiman dan pelan-pelan penyingkiran. Dalam arti ketika dipahami "cara kerjanya" dengan disamakan dengan "cara kerja mainstream", maka prosesnya kemudian adalah "cara kerja mainstream" inilah yang dipakai terus menerus sehingga cara kerja masyarakat adat itu pelan-pelan menghilang.
Tantangannya adalah menjadikan proses "penerjemahan" ini membuat dua atau lebih kecerdasaan lain, yang berbeda-beda, beragam itu tetap hidup, berdampingan, berkonflik mungkin, namun tetap saling menguatkan.
29 September 2011
Biomassa: energi terbarukan dan kekawatiran penguasaan lahan
30 April 2010
Model Konsesi REDD dan Masyarakat
A. RED –> REDD --> REDD+ –> ?
Hutan sebenarnya sudah masuk dalam strategi penurunan pemanasan global ketika muncul perdebatan soal LULUCF dan menjadi bagian dalam CDM/Clean Development Mechanism atau Mekanisme Pembangunan Bersih dalam kerangka Protokol Kyoto. Tapi banyak negara tropis yang tidak terlalu bahagia dengan peran kecil hutan itu. Dalam CDM, misalnya, peran hutan hanya dipandang dalam segi Aforestasi/Reforestasinya dengan meninggalkan kontribusi hutan yang ada dalam mitigasi perubahan iklim. Mereka melihat bahwa hutan yang ada seharusnya diikutsertakan dalam strategi mitigasi global perubahan iklim; karenanya mempertahankan keberadaan hutan sekarang, baik dari segi luasan maupun kualitasnya, penting untuk diperhatikan.
Di COP 11 di Montreal, usulan itu muncul dalam bentuk term RED atau Reducing Emission from Deforestation yang merupakan penerjemahan dari konsep "avoiding deforestation". Konsep itu terus menerus berubah. Di COP 13 di Bali, peran pencegahan kerusakan hutan mengemuka yang kemudian diakomodir dalam Bali Action Plans dengan nama REDD. Tidak berhenti di sana, REDD berubah menjadi REDD+ ketika disadari bahwa sumbangan hutan dalam mitigasi perubahan iklim tidak berhenti pada perubahan dari sisi negatif [avoiding deforestation dan degradation] tapi juga dari sisi perubahan sisi positif, seperti peningkatan stok karbon, pengelolaan hutan yang berkelanjutan dan konservasi hutan. REDD+ menemui bentuk formalnya ketika dibicarakan di COP 14, Poznan.
Dalam dua tahun ini, kita menyaksikan silih bergantinya berita terkait dengan hutan, REDD dan perubahan iklim. Ratusan literatur telah dibuat untuk membicarakan apa REDD, bagaimana dia diimplemetasikan, dari mana dananya, siapa yang bisa menarik untung, dst. REDD menjadi semakin menarik dibicarakan karena dia diproyeksikan menjadi pengganti komitmen pertama dalam Protokol Kyoto yang berakhir pada tahun 2012 atau menjadi bagiam komplementer dari perjanjian penurunan emisi pasca 2012. Karena itu, sebenarnya, belum ada skema REDD yang didukung dan disepakati oleh masyarakat internasional. Walaupun belum ada kejelasan di dunia internasional, tidak berarti tidak ada usaha di tingkat implemetasi yang saling berkompetisi untuk "meyumbang" pada bentuk skema REDD post-2012 nanti.
B. Pilot Project REDD
Dengan demikian, pengertian REDD dalam tulisan ini adalah skema pilot project atau aktivitas uji coba yang ditujukan untuk mengurangi emisi dari deforestasi dan kerusakan hutan di lokasi tertentu. Secara global tercatat sudah ada 109 aktivitas REDD [Wertz-Kanounnikoff and Kongphan-Apirak, 2009] dengan perincian: 44 buah pilot project yang ditujukan secara langsung untuk mengurangi emisi dari deforestasi dan kerusakan hutan/[”Demonstration activities”] dan 65 proyek untuk “readiness activities” yakni kegiatan yang memang ditujukan untuk membuat kerangka skema REDD.
C. Kategori Pilot Project REDD
Indonesia merupakan Negara yang paling banyak aktivitas pilot proyek REDDnya. Tercatat ada 29 aktivitas REDD yang sekarang ada di Indonesia yang bisa dikategorikan ke dalam 3 versi [Madeira, 2009]:
1. Proyek REDD yang dilakukan dengan cara mengajukan ijin konsesi hutan [“Model Konsesi”], seperti IUPHHK Restorasi Ekosistem atau bentuk ijin konsesi hutan lainnya.
2. Proyek REDD yang dilakukan dengan melakukan kerjasama dengan pemerintah [“Kerjasama Pemerintah”], seperti KFCP atau Skema di bawah payung UN-REDD
3. Proyek REDD yang dilakukan dengan melakukan kerjasama dengan para pemilik ijin/lahan [“Kerjasama Pengguna Lahan”], misalnya pemrakarsa melakukan kerja sama dengan pemilik Ijin HTI, HGU Sawit, Hutan Desa, dst.
Sebenarnya ada satu lagi kategori namun tidak dimasukkan karena mereka tidak mencari karbon kredit, yakni mereka yang melakukan kerjasama dengan pemerintah untuk membangun proyek karbon namun tidak mencari kredit karbon buat mereka sendiri. Kegiatan ini biasanya didukung oleh organisasi bilateral atau NGO.
D. Model Konsesi dan Konsekuensinya bagi Masyarakat
Dari 3 kategori pilot proyek itu, kebanyakan di Indonesia mengikuti model konsesi [Madeira, 2009]. Model konsesi ini bisa dilakukan dengan pemrakarsa mengajukan ijin konsesi baru atau pemilik suatu konsesi merubah atau menambahkan ke ijin awalnya usaha-usaha pengurangan emisi dari deforestasi dan kerusakan hutan.
Banyaknya model konsesi ini bisa dicarikan alasannya, pertama, untuk mencegah terjadinya deforestasi yang direncanakan. Di Indonesia, deforestasi lebih banyak terjadi karena aktivitas yang direncanakan, bisa oleh pemerintah atau oleh mereka yang mendapatkan ijin dari pemerintah [lihat Greenomics, 2009]. Mereka mengajukan ijin di lahan hutan yang sudah rusak, yang kemudian bisa dikonversi jadi perkebunan atau aktivitas pembangunan non-kehutanan lainnya atau di lahan hutan lainnya yang menunggu untuk dikonversi. Kedua, kebijakan kehutanan Indonesia selalu memihak pada perusahaan besar. Ketiga, usaha konservasi yang selama ini dilakukan di Indonesia selalu gagal atau terhambat karena adanya ketidaksesuaian dengan kepentingan aparat pemerintah. Mengajukan ijin konsesi dapat meminimalisir intervensi terlalu jauh dari aparat pemerintah. Keempat, terkait masalah teknis pembiayaan, proyek REDD untuk sampai mendapatkan kredit karbon memerlukan dana awal yang besar. Kelima, model konsesi menjamin kepastian hukum, sesuatu yang sangat penting dalam REDD yang dipergunakan untuk menunjukkan bahwa akses terhadap karbon bisa dipertahankan sesuai dengan perjanjian jual beli kredit karbon.
Tapi umumnya sistem konsesi yang dipakai dalam rencana skema REDD ini sebenarnya memanggil kembali ingatan akan apa yang mereka lakukan di tingkat masyarakat dan lingkungan hidup. Tidak kehitung berapa banyak konflik yang merugikan masyarakat dari adanya sistem konsesi ini.
Dari penemuan awal dari riset yang sedang kami lakukan, tampaknya masyarakat mengkhawatirkan praktek REDD akan sama dengan praktek HPH selama ini. Mereka akan kembali menghadapi ketidakbebasan dalam mengakses hutan atau hanya sekedar menjadi penonton dan mendapatkan remahan rente dari proses itu. Belum lagi masalah ternyata lokasi REDD tersebut berada di dalam kawasan yang diklaim masyarakat sebagai wilayah kelola/adatnya. Pengalaman selama ini menunjukkan, klaim itu akan selalu tersisihkan ketika berhadapan dengan versi lain dari rejim pemerintah.
Tidak hanya berhenti di sana, model konsesi dipakai karena tujuannya adalah mencegah pihak luar mengkonversi hutan untuk keperluan di luar urusan konservasi atau penyimpanan karbon di pohon dan lahan. Pihak luar ini tidak hanya perusahaan sawit, tetapi juga masyarakat sekitar yang dikawatirkan akan melakukan perambahan.
Pihak pemrakarsa proyek REDD bukan tidak menyadari peranan penting masyarakat sekitar hutan [“local shareholder”]. Mereka selalu memasukkan factor keterlibatan masyarakat dalam proposal REDD-nya. Mereka menyadari biarpun, misalnya, secara de jure suatu kawasan yang akan dijadikan pilot proyek REDD itu tidak dikuasai oleh masyarakat, tetapi secara de facto, masyarakat memegang peranan penting dalam keberhasilan proyek itu, misalnya di lihat dari sisi permanence atau leakage.
Namun, dalam pelaksanaannya, sebagaimana yang kami temukan di lapangan, masyarakat masih kesulitan untuk mengetahui “apa sebenarnya” yang sedang dilakukan oleh para pemrakarsa itu. Ada pemrakarsa yang datang ke suatu kampung untuk maksud yang berbeda jauh dengan maksud sebenarnya. Awalnya datang dengan maksud untuk melakukan pendataan serta pembuatan koridor orang utan, tapi setelah lama baru ketahuan bahwa mereka sebenarnya sedang melakukan assessment soal REDD dan lokasi itu cocok untuk dijadikan lokasi REDD. Atau ada pemrakarsa yang menutup diri ketika ada warga yang bertanya soal-soal mendasar yang seharusnya diberitahukan secara terbuka, seperti soal apa itu REDD, bagaimana pelaksanaan konkritnya di lapangan, dst, terlepas dari apakah masyarakat akan mengerti atau tidak.
Melakukan konsultasi dengan lokal shareholder, terutama masyarakat sekitar hutan, merupakan prasyarat penting dalam pelaksanaan REDD. Selanjutnya ada mekanisme Free Prior Informed Consent [FPIC] yang juga harus dilakukan agar masyarakat tahu dan sesadar-sadarnya paham konsekuensi jika menerima atau menolak proyek REDD. Kedua hal ini sudah dimasukkan dalam standar sertifikasi karbon sebagaimana ada di dalam Voluntary Carbon Standard (VCS) dan the Climate, Community and Biodiversity (CCB) Standards.
Kebanyakan yang dilakukan para pemrakarsa dalam menentukan lokasi REDD lebih bersifat “lingkungan”: tipe pohon, tipe tanah, iklim regional, dan topografinya. Faktor masyarakat adalah faktor yan dibicarakan selanjutnya. Ini juga akan memberikan konsekuensi lain.
Mengapa Masyarakat rentan?
Masyarakat diperkirakan akan rentan sebagai dampak jika REDD dilakukan karena ditunjang sedikitnya dua factor: [1] Perbedaan besar pandangan antara masyarakat lokal/Adat dan pemrakarsa REDD dalam melihat hutan dan fungsinya; serta [2] insentif REDD berasal dari luar negeri suatu Negara.
Perbedaan besar pandangan antara masyarakat lokal/Adat dan pemrakarsa REDD dalam melihat hutan dan fungsinya. Pengurangan emisi untuk mencegah dampak yang lebih besar dari perubahan iklim sekarang lebih banyak bergerak di tataran elit dan internasional. Jika dilihat dari sisi siapa yang paling berkepentingan, sebenarnya Negara-negara maju yang terikat dalam Protokol Kyoto-lah sebenarnya yang palig berkepentingan dengan adanya REDD. Selain murah, ia juga menjadi dasar untuk mengajak Negara berkembang dengan perekonomian raksasa seperti China dan India untuk juga memegang beban pengurangan emisi.
Tujuan pemrakarsa REDD tidak lain adalah adanya kredit karbon dari hutan yang bisa diperjualbelikan di tingkat internasional, jika masuk dalam kategori Pasar, atau kredit karbon yang bisa dikompensasikan dengan sejumlah dana, jika masuk dalam kategori Public Fund. Tujuan ini bisa jadi tidak akan sejalan dengan kepentingan masyarakat sekitar hutan di Negara-negara tropis. Jembatan itu harusnya dibangun lewat konsultasi atau program FPIC yang dilakukan secara benar di lapangan.
Bukan berarti bahwa masyarakat harus menyesuaikan diri dengan kepentingan pengurangan emisi itu. Mereka harus tetap dihormati cara hidupnya, keberadaan mereka di lokasi, dst. Hanya saja, usaha untuk membuat jembatan di antara perbedaan tujuan bisa diusahakan. Jangan sampai, demi tujuan pengurangan emisi, masyarakat diarahkan untuk mengganti livelihood-nya atau bahkan dipindahkan ke lokasi lain [biarpun secara tidak langsung meminta, misalnya, dengan mengatakan bahwa daerah itu akan dijadikan taman nasional [plus lokasi REDD], sebenarnya mengindikasikan bahwa penduduk di lokasi itu harus pindah atau makin sengsara karena hidup di dalam kawasan taman nasional].
Diarahkannya masyarakat ke tipe pekerjaan yang tidak lagi bergantung pada hutan menjadi mimpi besar para konservasionis yang nampak dikerjakan dalam program-program Integrated Conservation and Development Program [ICDP]. Tapi, hanya sedikit yang berhasil. Dalam REDD, sebenarnya proses ini hanya membuat masyarakat tidak terlibat dalam skema REDD. Konsekuensinya adalah jika pun berhasil maka masyarakat tidak akan mendapatkan ‘kompensasi” dari skema REDD yang berlangsung disekitarnya dan justru dia akan dibebani dengan “cost” tertentu, tergantung pada bagaimana pemrakarsa memandang hubungan antara proyeknya dengan masyarakat tersebut. [Ini menjadi bantahan bahwa REDD bukanlah skema Payment for Environmental Services [PES]]. Sebaliknya, jika tidak berhasil, maka justru akan akibatnya akan mengganggu keberlanjutan proyek REDD.
Di sisi lain, ada inisiatif yang dikerjakan oleh pemerintah, sebagai pemilik hutan, untuk melibatkan masyarakat dalam skema REDD dengan mengajak mereka untuk masuk dalam proyek HTR atau Hutan Tanaman Rakyat. Sebuah model konsesi tapi lebih diarahkan untuk rakyat dan skala kecil.
Di satu lokasi di Kalteng, semua warga, tidak peduli apakah dia punya kemampuan mengelola pepohonan atau tidak, dimasukkan ke dalam kelompok tani dan terbentuk sekitar 75 kelompok. Masing-masing kelompok terdiri dari 5 – 7 kepala keluarga dan akan mengusahakan lahan seluas 15 hektar/kelompok. Kepala Mantirnya sampai mengatakan bahwa jika HTR ini jalan, maka tidak akan ada lagi nelayan, semuanya akan mengusahakan HTR. Mereka dijanjikan akan mendapatkan bantuan pembiayaan sebesar kurang lebih 8 juta/ha, bantuan bibit, konsultasi penanaman dan perawatan pohon dst.
Namun HTR dalam benak masyarakat adalah jalan legal untuk memotong kayu. Lokasi yang mereka pilih ternyata adalah lokasi yang masih ada pohonnya. Mereka menyatakan bahwa dengan keterlibatan dalam HTR ini, mereka bisa memotong pohon secara legal.
Masalahnya adalah, tidak ada pemberitahuan kepada mereka, dalam skema REDD, pemotongan kayu/pohon mengandung konsekuensi terlepasnya karbon, memberi pupuk terlalu banyak atau peerwatan tanah yang tidak baik aka berkonsekuensi pada terlepasnya karbon dan gas rumah kaca lainnya. Belum ada info bagaimana soal ini diselesaikan. Dalam proses awal, masyarakat mungkin diperbolehkan untuk memotong pohon demi pembersihan lahan, tapi apa nasibnya pohon yang mereka tanam: masih berhakkah mereka atas pohon itu ketika skema REDD dijalankan?
Insentif REDD berasal dari luar negeri suatu Negara. Terlihat bahwa pemerintah seperti berjalan sendiri dalam mengeluarkan kebijakan soal REDD atau perubahan iklim. Hal yang sering terjadi ketika insentif tidak berasal dari dalam negeri suatu negera tetapi berasal dari luar negeri. Insentif REDD tidaklah datang dari dalam negeri, ia merupakan jalan bagi terlaksananya offset emisi Negara-negara maju dengan membeli kredit karbon yang dijual oleh Negara-negara pemilik hutan tropis. Insentif yang datang dari luar negeri ini dapat melemahkan aspek akuntabilitas Negara terhadap rakyatnya. “Proyek lingkungan hidup”, termasuk perubahan iklim dan REDD, yang berjalan di Indonesia umumnya mengalirkan insentif dari luar negeri dan belum bisa menghidupkan insentif dari dalam negeri, sehingga rentan gagal dan kurang mengakomodasi kepentingan lokal shareholder.
Pada titik ini, menjadi sebuah keharusan untuk terus menerus menyuarakan suara masyarakat dalam perencanaan kebijakan yang terkait maupun tidak terkait dengan perubahan iklim atau REDD dan bahkan menjadikan “perspektif masyarakat” bersandingan dengan “perspektif pengurangan emisi”. Menjadikan keterlibatan masyarakat tidak hanya dalam tataran formal, tapi terlibat penuh dalam perencanaan, pelaksanaan dan monitoring pilot proyek REDD.
Daftar Bacaan
Greenomics Indonesia. 2009. “Menguji” Rencana Pemenuhan Target Penurunan Emisi Indonesia 2020 dari Sektor Kehutanan dan Pemanfaatan Lahan Gambut. Kertas Kebijakan. Jakarta, Indonesia: Greenomics Indonesia.
Madeira, Erin Myers. 2009. REDD in Design: Assessment of Planned First-Generation Activities in Indonesia, RFF Discussion Paper 09-49, Washington D.C: Resources for the Future
Wertz-Kanounnikoff, Sheila, and Meta Kongphan-Apirak. 2009. Emerging REDD+: a preliminary survey of emerging demonstration and readiness activities. CIFOR Working Paper No 46. Bogor, Indonesia: Center for International Forestry Research.
[1] Staf Learning Center HuMa. Makalah disajikan dalam acara Seminar “Workshop on Climate Change and REDD”, Grand Nangroe Hotel - Banda Aceh, 26 April 2010. Email: mumu.muhajir@gmail.com
Download di sini
17 April 2010
Ijin Pinjam Pakai dan Pemenuhan Target Lifting Minyak
Sebuah berita dari Kompas mengurai peranan Ijin Pinjam Pakai dari Departemen Kehutanan dalam memenuhi target pemerintah dalam soal “lifting” minyak. Berita itu secara tidak tersirat pandangan sektor lain pada sektor kehutanan yang dianggap sebagai batu panghalang “pembangunan”. Dalam catatan BP Migas, ada potensi minyak sekitar 100 juta barel yang “terkunci” karena tidak ada ijin dari Departemen Kehutanan. Diperkirakan, jika Ijin Pinjam Pakai itu dipercepat, maka dalam tahun 2014, target lifting pemerintah bisa tercapai. Saat ini Indonesia defisit minyak bumi lebih dari 300ribu barel per hari dimana defisit itu dipenuhi dengan impor.
Departemen Kehutanan sendiri akan berusaha memenuhi kepentingan itu. BP Migas sendiri menyatakan bahwa untuk lahan yang dipergunakan kepentingan perminyakan tidaklah luas dan dilakukan di dalam tanah.
Dalam banyak hal, saya selalu menghadapi dilema, antara kepentingan energi dan perlindungan lingkungan hidup. Saya tentu akan mendukung usaha pemerintah untuk mengurangi kemiskinan lewat peningkatan akses energi bagi setiap warga negara. Itu Hak Asasi yang harus dipenuhi. Tapi kok kenapa kita masih terus bergantung pada sumber energi yang tidak terbarukan seperti minyak bumi? Dan kesadaran ini tidak lahir kemarin sore, tetapi sudah disadari bahkan ketika Indonesia mengalami bom minyak di pertengahan tahun 1980-an.
Seingat saya sudah ada kebijakan dan peraturan yang dibuat untuk mendukung peningkatan energi terbarukan dalam bauran energi kita. Tetapi akselerasinya selalu lambat, dan dalam pandangan saya itu terjadi bukan karena tidak ada kemauan dan usaha dari para stakeholder energi terbarukan, tetapi karena surplus/rente yang didapat dari perminyakan itu luar biasa banyak. Belum lagi soal infrastruktur perminyakan yang sudah mapan dan didukung penuh oleh pemerintah, misalnya dengan memberikan subsidi BBM atau juga subsidi pajak lainnya. Alokasi subsidi pajak dalam APBN-P 2010 bisa dijadikan contoh. Subsidi pajak bagi kegiatan eksplorasi minyak mencapai 2,5 trilliun rupiah sementara subsidi pajak bagi energi terbarukan [panas bumi dan BBN] sekitar 724,3 miliar rupiah. Itu hanya untuk kegiatan eksplorasi minyak saja. Belum lagi pemberian insentif keringanan pajak bagi peralatan perminyakan yang diciptakan untuk mengejar target lifting minyak, serta berbagai keringanan lainnya.
Percepatan perijinan dalam ijin pinjam pakai juga tidak bisa dilepaskan dari usaha pemerintah untuk mengejar target lifting minyak yang ditahun 2009 target itu tidak tercapai [padahal sudah ada banyak keringanan dan insentif] dan diharapkan tahun 2010 target itu [0,965 juta barel/hari] bisa tercapai dengan tambahan lifting dari lapangan PT Chevron Pasifik Indonesia dan dari Pertamina dan mitranya. Dan sudah ada kekawatiran target itu tidak tercapai karena ada masalah di lapangannya Chevron.
Di sisi lain, hutan memegang peranan penting dalam ekosistem dan juga penghidupan puluhan juta warga negara. Dalam isu perubahan iklim, hutan memegang peranan paling besar dalam soal target penurunan emisi Indonesia di tahun 2020. Hutan memegang peran lebih dari separuh usaha untuk mitigasi itu. Dengan adanya REDD, hutan bahkan bisa mendatangkan uang yang juga bisa dipergunakan sebagai dana pembangunan. Dalam soal ini, saya rasa, mempercepat proses perijinan ijin pinjam pakai itu menikung usaha itu.
Bukan, bukan dalam soal luasan yang sedikit atau dikerjakan di dalam tanahnya, tetapi masalahnya adalah ketergantungan pada energi fosil seperti minyak yang terus dipertahankan di tengah limpahan sumber energi lain yang terbarukan dan juga bisa dihasilkan dari kehutanan, semisal BBN dari Nyamplung dan Jarak Pagar dan ketergantungan ini berharga mahal, tidak hanya dari sisi ekonomi, tetapi juga dari segi politik dan harga diri bangsa.
Pembukaan lahan hutan untuk kepentingan perminyakan memang tidak akan banyak dan kerusakan lingkungannya, mungkin, juga bisa diminimalisir, tetapi emisi yang dihasilkan dari minyak itu justru bisa mengurangi usaha penurunan emisi dari sektor kehutanan. Peningkatan emisi [lokal] ini jelas akan mempengaruhi kapasitas lingkungan kita yang di beberapa kota memang sudah tidak seimbang dengan harga yang juga tidak sedikit [misalnya, biaya kesehatan akibat polusi]. Belum lagi masalah “klasik” akibat perubahan iklim: peningkatan permukaan air laut, perubahan musim tanam, dst yang biaya penanganannya tidaklah sedikit.
Jika alasan di atas terdengar terlalu “negara maju”, “bullshit environment”, kita mungkin bisa menghitung berapa subsidi yang bisa disimpan dengan pengurangan ketergantungan pada minyak? Akan sangat banyak. Dari sisi politik, apakah kehadiran minyak membuat kita menjadi negara yang kuat dan mandiri? Ya, mungkin dalam hal tertentu, tapi bagaimana dengan moral hazard yang terbentuk di lingkungan per-rente-an minyak [korupsi, misalnya]? Dan apakah kita masih punya harga diri, ketika lebih dari 80% minyak yang dihasilkan itu tidak dihasilkan oleh perusahaan nasional, melainkan oleh perusahaan asing? Contoh kecilnya, ketika PT Exxon terlambat berproduksi di lapangan Cepu, sehingga target lifting pun tidak terpenuhi, berapa trilliun yang harus dipakai untuk menambal subsidi BBM dengan mengorbankan banyak kegiatan pembangunan yang lebih penting tinimbang “membakar” bahan bakar? Dan bahkan, pemerintah tidak bisa memaksa PT Exxon untuk mempercepat proses eksploitasinya?
Selain itu, siapa yang menjamin bahwa pemberian ijin itu tidak membuka katup bagi sektor lain untuk juga meminta “jatah” yang sama kepada Departemen Kehutanan dengan alasan untuk pembangunan?
Dalam alur pikir seperti itu pula, saya akan sangat sepakat jika ijin pinjam pakai itu dipergunakan untuk eksplorasi/eksploitasi Panas Bumi. Karena ia tidak hanya mengikuti usaha pemerintah Indonesia mencapai Low Carbon Economy, tetapi juga ia bisa sedikit demi sedikit mengurangi ketergantungan pada minyak dan energi fosil lainnya. Nah, jika situasinya seperti ini, saya juga akan ikut “boooo’ pada mereka yang masih ngomong “konservasi” hutan.
10 Maret 2010
BORNEO 2020
Di Kaltim, kabupaten yang menghasilkan paling banyak rente dari industri ekstraktif, dalam hal ini batu bara, adalah juga kabupaten yang memiliki mayoritas orang miskin. Padahal, di Kutai Kartanegara, misalnya, ada pembagian insentif pada masing-masing desa yang dulu jumlahnya sekitar 100 juta/desa menjadi, kabarnya sekarang Rp 1 milyar/desa [saya agak ragu, per bulan atau per tahun,]. Tapi tata kelola yang tidak baik [lebih cenderung pada pembangunan infrastruktur dan dikelola dengan gaya struktur birokrasi gaya lama, di mana mata proyek disesuaikan dengan mata proyek yang ada di Kabupaten - memperkecil peluang aspirasi desa - sehingga dana yang turun tidak tepat sasaran dan dana tidak mengendap di desa itu; jikapun mengendap, itu pun tidak "fluid" tapi berbentuk deposito atas nama elite desa [seperti Kades] di Bank-bank tertentu - yang merupakan kolaborasi antara elite desa dan para banker agar masing-masing bisa menikmati rentenya]dan moral hazard [kades memiliki mobil-mobil mewah]membuat dana yang besar itu sia-sia.
Berkaca pula dari skema "1% pendapatan" antara Freeport dan suku Amungme di Papua [yang menggelontorkan dana sebesar 2 trilliun/tahun!] tidak membuat suku amungme sejahtera. Jadi barangkali masalahnya bukan di ketiadaan dana untuk meningkatkan kesejahteraan warga di Kalimantan, tapi masalah lain, semisal korupsi, inefesiensi dst. Di sini kita bicara sistem yang baik dan orang yang cakap. So can we catch up...?
BORNEO 2020
22 Januari 2010
Pencemaran Laut Timor: Menuntut Ganti Rugi Pada Australia?
Sempat juga asa ini melambung melihat "terobosan" [walau terlambat] ini dari Indonesia sebelum kemudian saya disibukkan dengan kebingungan: sebenarnya Tim ini bentukan siapa dan/atau sedang mengatasnamakan siapa? Apakah Tim ini sama dengan Tim Nasional Penanggulangan Keadaan Darurat Tumpahan Minyak di Laut Timor [PKDTML], yang dibentuk oleh Deplu, Akhir November 2009 lalu, yang diketuai oleh Departemen Perhubungan dimana wakilnya adalah Kementerian Lingkungan Hidup? [Penunjukan Departemen Perhubungan sebagai ketua tim didasari karena menurut Mou antara Indonesia dan Australia pada tahun 1996 mengenai "Cooperation on oil Response Preparedness", Dephub-lah yang menjadi focal point dari MoU itu]
Hal ini disebabkan karena Deplu ternyata masih belum bersikap secara tegas apakah akan menuntut ganti rugi atau tidak karena KemenLH - yang menjadi salah satu tim yang dibentuknya November itu - masih kesulitan mengumpulkan barang bukti adanya tumpahan minyak dari Montara. Berita ini dikeluarkan 19 Januari 2010, persis satu hari sebelum pernyataan Indonesia sedang menyusun tuntutan ganti rugi karena kejelasan bukti tumpahan minyak Montara di Laut Timor.
Tuntutan ganti rugi sebenarnya sudah dilontarkan oleh Deplu sendiri serta Kementerian Lingkungan Hidup. Bedanya, jika yang disasar oleh KemenLH adalah pemerintah Australia, maka Deplu akan meminta ganti rugi pada pihak perusahaan eksplorasi minyak. Itu pun dengan syarat bahwa minyak mentah yang ada di Laut Timor itu merupakan minyak mentah yang sama yang bocor dari wilayah pengeboran Montara.
13 Januari 2010
Taman Nasional Yasuni, Ekuador: Antara Minyak dan Perubahan Iklim [3]
Nah, Presiden Correa baru saja menerima pengunduran diri Menteri Luar Negeri-nya Fander Falconi. Menlu ini memang berhasil mewartakan "kebaikan" Ekuador ini ke dunia internasional. Namun Presiden Correa mengkritik cara-cara negosiasi yang dilakukan oleh Menlunya ketika mencari bantuan internasional itu. Ia mencontohkan dengan leluasanya Jerman dan Belgia - yang akan berperan sebagai donor - menentukan syarat-syarat perjanjian yang menunjukkan terlalu lembeknya negosiasi yang dilakukan oleh Falconi.
Bisa dipahami kenapa Jerman dan Belgia ingin ikut menentukan syarat-syarat perjanjian. Bukan hanya ini masalah uang publik atau geopolitik, tetapi juga karena mitigasi perubahan lewat hutan ini masih belum mendapatkan bentuknya. Masalah yang menghadang selain perhitungan adalah soal permanance, serta leakage. Karena itu pula dalam masalah perdagangan karbon, isu hutan ini masih "kontroversial" dan bahkan The Gold Standard, standar yang paling dihormati terkait perdagangan karbon, secara eksplisit tidak memasukkan kredit karbon hasil mitigasi perubahan iklim lewat hutan [reforestasi].
[Tapi di sisi yang lain, standar ganda negara maju terlihat terang dalam masalah ini].
Inilah yang kemudian dikawatirkan beberapa pihak dengan keberanian Ekuador mengajukan inisiatif mitigasi perubahan iklim lewat keberadaan hutannya, apalagi kemudian Ekuador secara implisit menyandarkan bantuan internasionalnya lewat perdagangan karbon yang dalam implementasinya selalu menyinggung carbon offset. Jadi bukan hanya masalah Carbon Offsetnya, tetapi juga standard mengenai perdagangan karbon untuk mitigasi perubahan iklim lewat hutan masih belum jelas.
03 November 2009
Taman Nasional Yasuni, Ekuador: Antara Minyak dan Perubahan Iklim
Seorang aktivis lingkungan hebat Indonesia pernah dengan agak mengumpat memberikan pendapat akan masih adanya pertentangan antara pembangunan dan kelestarian lingkungan di kalangan pemerintah dengan menyatakan kira-kira: “kemana aja lu, dah basi itu…” Menurutnya, pertentangan itu sudah berakhir; slash [ / ] itu sudah sewajarnya dicoret [mungkin dia murid Derrida yang patuh] dan yakin bahwa sudah ada solusi terhadap itu. Saya, si pandir itu, mencoba mencari tahu dalam jejalan informasi di alam maya, di mana saja dan hanya menemukan satu “solusi”: pembangunan berkelanjutan. Tapi saya tak yakin, ‘solusi” itu adalah solusinya. apalagi istilah itu hanya enak dijadikan bahan pidato di tengah pendengar yang tidur.
Sampai kemudian saya membaca laporan tentang Taman Nasional Yasuni di Ekuador serta Yasuni-ITT initiative-nya ini dan semakin menyakini, sehebat apapun usahamu mencoretnya, pertentangan itu masih ada. Bayangkan sebuah taman nasional yang kaya dengan keanekaragaman hayati dan dihuni serta dihidupi oleh setidaknya tiga suku Waorani. Tapi tepat di bawahnya, ada cadangan terbukti [proven!] minyak sebesar lebih satu miliar barel minyak mentah. Bukan hanya itu, minyak adalah andalan ekspor Negara Ekuador.
Sejak tahun 1900, konflik antara perusahaan minyak dan atau perusahaan kayu dengan suku Waorani sudah sering terjadi. Blok-blok minyak berulang kali berganti kepemilikan meninggalkan berbagai konflik, salah satunya antara pertarungan hukum antara Chevron dengan beberapa penduduk lokal dan masyarakat adat, termasuk Suku Waorani. Konflik itu bermula dari dugaan adanya pencemaran lingkungan yang dilakukan oleh Texaco [perusahaan yang kemudian dibeli oleh Chevron] dengan cara membuang kurang lebih 16 miliar galon limbah cairnya ke saluran sungai di areal taman nasional selama masa operasi mereka dari tahun 1964 - 1990. Tuduhan diajukan pada tahun 1993 di pengadilan federal Amerika Serikat, namun pada tahun 2003 pertarungan dipindahkan ke Ekuador dengan memakai sistem hukum Ekuador.
Di sisi lain, terjadi perubahan kebijakan di pemerintahan Ekuador yang membuka jalan bagi munculnya Presiden Correa. Namun, tekanan terhadap Taman Nasional Yasuni sekarang tidak lagi masalah konflik antara masyarakat dengan perusahaan minyak atau perusahaan kayu atau perambah haram, namun juga ada tuntutan dari kalangan “pencinta lingkungan” atau environmentalist agar pemerintah Ekuador mempertahankan keberadaan Taman Nasional Yasuni. Dengan kata lain, pemerintah Ekuador diminta untuk tidak mempedulikan keberadaan minyak mentah dibawahnya.
Mereka sepertinya menang. Pada tahun 2007 bersamaan dengan pelaksanaan COP 13 di Bali, Presiden Correa mengumumkan Yusani-ITT Initiative, proyek perlindungan wilayah ITT [blok minyak kedua terbesar di dalam Taman Nasional Yusani, dengan cadangan minyak terbukti 850 juta barel minyak mentah]. Ekuador menantang dunia internasional dengan menyatakan bahwa Ekuador akan melepaskan kesempatan mengeksploitasi wilayah kaya minyak itu demi untuk memenuhi 3 tujuan masyarakat internasional: melindungi keanekaragaman hayati, menghormati hak-hak masyarakat adat dan mengendalikan perubahan iklim. Sebagai imbalannya, Ekuador meminta dunia internasional menyediakan kompensasi sebesar $350 juta/tahun atau hanya separuh jika wilayah itu dieksploitasi demi minyak. Berkali-kali usaha dilakukan, tenggat waktu diperpanjang, dan sebagainya, tetapi hasilnya hanya ngomong saja atau janji kosong saja seperti Pemerintah Jerman yang berjanji akan memberikan sejumlah dana namun sampai saat ini tidak ada realisasinya.
Tapi Ekuador atau supporter naifnya belum kehilangan asa. Tahun ini mereka melirik perdagangan karbon. Mereka berencana membuat “Yasuni Guarantee Certificates” dan akan menjualnya di pasar bebas atau, kalau sudah ada, pasar wajib karbon. Tapi jelas, pilihan menerbitkan “Yasuni Guarantee Certificates” di pasar karbon tidak akan memenuhi salah satu tujuan mengapa Yasuni-ITT dibuat, yakni pengendalian perubahan iklim. Karena dengan sistem offset, mereka yang seharusnya mengurangi emisinya dapat terus melanjutkan kegiatannya setelah membeli “Yasuni Guarantee Certificates” itu. Tapi apakah para pecinta lingkungan memberikan alternatif lain? Mana sumbangan itu?
Kasus ini secara telanjang mengatakan pertentangan itu tetap ada, trade off antara pembangunan dengan kelestarian lingkungan tetap hadir; bahkan negara Indonesia secara tanpa malu-malu, walaupun tersirat, menyatakan bahwa hambatan terbesar pembangunan adalah kelestarian lingkungan, lalu - dalam otak saya, tentu saja - apa maksudnya “kemana aja lu,..dah basi” tadi itu?
Ekuador telah mengambil jalan yang sangat berani, yang sayangnya tidak ditanggapi dengan semestinya. Ia memberikan sebuah contoh pada apa yang disebut dengan “tanggung jawab global” yang seharusnya juga dijawab dengan “kewajiban global”. Saya tidak membayangkan apa jadinya jika kemudian Ekuador menyerah dengan janji-janji manis tapi palsu environmentalist atau para pecinta lingkungan itu dan kemudian memilih untuk membuka kawasan ITT itu untuk minyak. Yang pasti yang pertama akan menyalak adalah para pecinta lingkungan itu.
12 Juni 2009
Perusahaan Minyak Shell Setuju Bayar $15.5juta Dalam Kasus HAM di Nigeria
Walaupun tetap keukeuh tidak bersalah, perusahaan minyak Shell, setuju untuk membayar 15,5 juta dollar kepada pihak penggugat - dalam proses persetujuan damai dengan penggugat - dalam kasus keterlibatan Shell dalam pembunuhan dan penyiksaan yang dilakukan oleh rezim militer Nigeria terhadap aktivis masyarakat Ogoni, Ken Saro-Wiwa serta 8 orang lainnya. Penggugat melakukan gugatannya di Pengadilan Federal di Manhattan dengan berdasarkan pada The Alien Tort Claims Act.
Shell melihat persetujuan itu sebagai jalan kepada rekonsiliasi dengan tetap merasa tidak terlibat dalam kasus ini; sementara pihak penggugat melihatnya sebagai bentuk kemenangan yang dapat mengalirkan pesan: perusahaan kuat dan berpengaruh tidak bisa lagi bermain-main dengan standar internasional Hak Asasi Manusia.
Penggunaan The Alien Tort Claims Act yang menyeret perusahaan di Amerika serikat sendiri telah dilakukan tiga kali, termasuk kasus Shell-Nigeria ini. Namun dua lainnya berpihak pada pihak tergugat [kasus Chevron yang justru bisa lolos dari gugatan keterlibatannya dalam perkara penyiksaan saat demonstrasi damai di fasilitas Chevron oleh rezim militer Nigeria tahun 1998 dan kasus satunya lagi adalah antara Tom Beneal, dkk vs Freeport McMoran [lihat keputusan hakim di sini].
Menurut Pengacaranya, 5 juta dari uang itu akan diberikan pada yayasan masyarakat Ogoni untuk meningkatkan kesejahteraan mereka lewat pertanian, pendidikan, dll, sedangkan sisanya dibagi antara fee pengacara dan pihak penggugat.
Bagi perusahaan sekaya Shell, harga pemufakatan itu tentu saja sebesar kacang. Apalagi jika dikomparasikan dengan harga yang "mungkin dibayar" oleh Shell jika mereka masuk ke pengadilan. Ditambah dengan kemungkinan kalah di pengadilan yang akan mempermalukan perusahaan sebesar Shell.
Bagi masyarakat umum dan juga para calon penggugat lain, perdamaian ini bisa bermakna ganda. Sisi yang merugikan adalah masyarakat tidak akan pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi di Delta Niger itu: adakah atau tidak adakah peran Shell dengan terjadinya eksekusi pada Ken Saro-Wiwa dan kawan-kawan. Kita juga tidak akan mengerti bagaimana hubungan antara perusahaan Shell dengan pemerintah dan militer Nigeria waktu itu. Selain itu, perdamaian ini tidak akan banyak membawa keadilan di Nigeria. Sampai saat ini keadaan lingkungan di Delta Niger semakin hancur. Shell masih saja membakar gas yang keluar dari cerobong minyaknya, yang membuat polusi udara. Sementara itu, keamanan semakin hilang di Delta Niger: banyak faksi saling serang memperebutkan kekayaan minyak. Rezim militer sendiri semakin keras memperlakukan masyarakat di sana. Uang itu sendiri tidak akan menggantikan sakit yang diderita, hilangnya puluhan nyawa, hilangnya lahan kerja dan kemiskinan akut di Delta Niger.
Sisi positifnya adalah perdamaian itu membuka jalan bagi para penggugat lain di Nigeria [atau di mana saja] yang merasa dirugikan dengan keberadaan Shell [atau perusahaan lainnya]; bahwa menggugat perusahaan besar di pengadilan Barat sudah dimungkinkan. Sudah ada ratusan kasus kerusakan lingkungan [Guardian menyebut lebih dari 500 kasus] yang melibatkan Shell di Nigeria, yang mandeg kelanjutannya di pengadilan Nigeria sana. Secercah harapan bahwa "keadilan" bisa diraih dengan sistem pengadilan di Barat akan membuka pintu banjir gugatan dari seantero negeri, bukan hanya dari Nigeria, tapi juga negara-negara lain yang mengalami kondisi yang sama. Bagi Shell sendiri kasus lain sudah menunggu di muka: sebuah pengadilan di Belanda sudah setuju untuk mendengarkan gugatan yang diajukan oleh penggugat dari Delta Niger yang terugikan akibat tumpahnya minyak Shell.
Saya menunggu apakah gugatan-gugatan ini akan merubah perilaku perusahaan minyak dalam hal penghormatan pada hak masyarakat adat atau lokal dan lingkungan hidup.