09 Desember 2009

Hutan yang Dikelola Masyarakat dan Perubahan Iklim

Tulisan menarik dari Jurnal PNAS, yang menegaskan pentingnya posisi hutan yang dikelola oleh masyarakat lokal/adat dalam isu perubahan iklim. Memang dalam penelitiannya tidak ada sampel dari Indonesia [contoh Forest Common untuk kawasan Asia hanya dari Asia Selatan], tapi bisa menjadi bahan yang menarik untuk dijadikan pegangan dalam, misalkan, advokasi atau penelitian khusus kondisi di Indonesia.

Tulisan ini membandingkan antara luasan, otonomi [derajat masyarakat mengelola hutannya – tinggi-rendah] dan kepemilikan [Negara-masyarakat] hutan dengan ketersedian karbon atau penghidupan bagi masyarakat sekitar. Datanya berasal dari koleksi data yang dimiliki oleh program IFRI [International Forestry Resources and Institutions] yang dianggap sebagai koleksi data terbaik mengenai soal Hutan masyarakat yang ada di negara-negara berkembang.[Data ini nantinya akan dibuka secara terbuka]

Penemuannya yang bisa saya saya ketengahkan adalah: masyarakat yang terlibat secara aktif dalam mengelola hutan [otonominya tinggi], ternyata tinggi juga kemungkinan hutan itu menyediakan penghidupan bagi mereka dan juga tinggi ketersediaan karbonnya atau masuk dalam term "Sustainable Common". Dengan otonomi yang tinggi, termasuk dalam proses pengambilam keputusan, membuat masyarakat dapat mengakses hutan untuk kepentingan penghidupannya dan juga menjaga hutannya, dalam arti mengkonservasinya.
Di sisi lain, semakin tinggi derajat kepemilikan masyarakat maka semakin tinggi ketersediaan karbonnya namun rendah tingkat penghidupannya. Ini terjadi karena masyarakat cenderung untuk tidak melakukan proses eksploitasi. Selain itu kondisinya berbeda dengan jika pemerintah memiliki hutan itu dimana kecenderungannya adalah tinggi tingkat penghidupan namun rendah tingkat ketersediaan karbonnya.

Ada hal yang menjadi penentu kesimpulan itu, yakni seberapa jauh masyarakat merasa aman dengan tenure-nya. Jika masyarakat tidak aman dengan tenure-nya, ada kemungkinan dia akan mengeksploitasi hutannya; jika sebaliknya, maka hutan akan kemungkinan besar akan dikelola secara berkelanjutan. Ini untuk menjelaskan kenapa semakin tinggi tingkat kepemilikan masyarakat cenderung meningkatkan karbon namun mengurangi tingkat penghidupannya jika masyarakat merasa tidak aman dengan tenurenya.

Karena ada kata "karbon" jelas bahwa tulisan ini menginginkan adanya “recognize” dari siapapun yang sedang mendiskusikan REDD bahwa masyarakat adat/lokal yang mengelola hutan layak dijadikan calon penerima manfaat dari dana yang mungkin akan mengucur dari REDD atau sebangsanya.

Saya rasa, ini tulisan pertama [sebagaimana ditegaskan oleh penulisnya] yang menguantifikasikan “kelebihan” hutan yang dikelola oleh masyarakat dibandingkan oleh pemerintah dalam hal ketersediaan karbonnya. Menariknya juga mereka mendasarkan data penelitiannya dari data hutan yang dimiliki oleh orang lain [IFRI].

Trade-offs and synergies between carbon storage and livelihood benefits from forest commons

Tidak ada komentar:

Posting Komentar