26 November 2007

Kerusakan Lingkungan Hidup dan Hutang Luar Negeri: Keterkaitannya dan Alternatif Penyelesaiannya

Oleh: Mumu Muhajir

Tsunami dan gempa bumi yang menimpa Aceh dan kawasan lain di Asia Selatan dan Tenggara pada akhir tahun 2004 telah mengakibatkan kerusakan alam yang parah dan hilangnya ratusan ribu nyawa manusia. Kejadian itu telah melahirkan suatu solidaritas internasional yang belum pernah terlihat sebelumnya. Bantuan datang tanpa diminta: orang, barang maupun uang. Sebagai negara yang paling parah terkena dampak bencana alam itu, Indonesia mendapatkan simpati yang dalam dari komunitas internasional. Dengan kemampuan finansial yang terbatas serta baru saja mau keluar dari krisis ekonomi yang telah dirasakan sejak tahun 1997, Indonesia tampaknya akan kesulitan mengatasi dampak kerusakan itu. Komunitas internasional pun datang membantu; salah satunya dengan menawarkan moratorium hutang luar negeri Indonesia. Sayangnya adalah tawaran itu ditanggapi terlalu dingin dan hati-hati oleh pemerintah Indonesia. Walaupun kemudian Indonesia mendapatkan moratorium hutang, tetapi jumlah yang didapatkannya sangat sedikit.

Banyak pihak yang menyesalkan kegagalan pemerintah Indonesia dalam mendapatkan jumlah moratorium hutang yang signifikan mengingat bahwa pembayaran hutang luar negeri Indonesia per tahunnya telah sangat memberatkan bangsa ini untuk mencapai standar kehidupan yang lebih baik. Bisa dilihat dari komponen APBN kita, di mana pembayaran hutang melebihi anggaran pembangunan Indonesia. Dengan keadaan itu tentu sangat mengherankan pihak-pihak yang sangat concern dalam masalah hutang Indonesia. Data yang dirilis oleh Bank Dunia tentang beban hutang Indonesia sudah sangat mengkhawatirkan. Bank Dunia memasukkan Indonesia dalam kategori SILICs (Severely Indebtness low-Income countries) bersama-sama dengan sebagian besar negara-negara sub-sahara Afrika. Namun nampaknya pemerintah Indonesia memilih jalan yang sangat lunak dalam penyelesaian beban hutangnya.

Indonesia setidaknya mempunyai 5 cara dalam pengelolaan dan penyelesaian beban hutangnya (pembayaran pokok dan bunga hutang sesuai dengan jatuh temponya, rescheduling melalui Paris Club, reprofiling, penerbitan obligasi untuk refinancing, pembelian kembali obligasi dan pembayaran obligasi) yang kesemuanya memperlihatkan kebijakan yang ”biasa saja” dalam melihat beban berat hutang yang dimiliki oleh Indonesia. Tentu saja banyak alasan dan data yang bisa dikemukakan untuk menegaskan pilihan yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia itu; salah satunya adalah kekhawatiran bahwa jika Indonesia, dengan alasan adanya bencana alam tsunami itu, meminta moratorium dari kreditur luar negeri, akan menyulitkan Indonesia dalam mendapatkan kepercayaan investor luar negeri, karena menunjukkan bahwa Indonesia miskin dan tidak prospektif dalam penanaman modal. Kenyataannya adalah dengan tetap konsisten dalam melakukan pembayaran hutang luar negerinya, kepercayaan investor internasional terhadap Indonesia tetap saja minim. Pada sisi yang lain, dengan beban hutang yang besar itu, bangsa ini terpaksa harus mengetatkan anggaran pembangunannya dengan mengurangi banyak anggaran yang sebenarnya sangat penting dan dibutuhkan oleh kebanyakan rakyat Indonesia. Pengurangan subsidi bahan bakar dan pendidikan serta anggaran penting lainnya, seperti lingkungan hidup, bisa dilihat sebagai salah satu contoh kebijakan menyakitkan yang diambil oleh bangsa ini. Memilih untuk mendahulukan kepentingan kreditur (yang sebenarnya sudah sangat kaya dan sudah lama menikmati net transfer dari pembayaran bunga dan cicilan hutang) daripada kepentingan rakyat Indonesia yang kebanyakan miskin adalah sebuah pengkhianatan terhadap cita-cita proklamasi 1945.

Kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia dalam menangani masalah beban hutangnya adalah kebijakan yang tidak akan menyelesaikan masalah hutang secara menyeluruh. Kebijakan itu bisa dikatakan di-copy paste-kan dari kebijakan yang ditempuh oleh kreditur negara dan badan multilateral seperti IMF pada pertengahan tahun 1980-an sebagai usaha untuk mengatasi masalah krisis hutang negara sedang berkembang yang mulai berlangsung pada tahun 1982.

Kebijakan yang kemudian terbukti gagal karena kebijakan itu hanya ingin melindungi kepentingan pemberi pinjaman dan tidak mengacuhkan kepentingan penerima pinjaman; tidak memperhatikan keadaan perekonomian lokal dan kawasan serta bersifat sementara atau hanya menunda masalah. Kebijakan seperti itu didasari oleh keyakinan bahwa masalah beban hutang yang dipunyai oleh negara sedang berkembang adalah masalah kekurangan likuiditas atau masalah tidak adanya uang di dalam kantong negara sedang berkembang itu. Kalau memang dasarnya demikian, maka moratorium, rescheduling, reprofiling atau refinancing adalah jalan yang cukup baik; dengan cara seperti itu ada dana yang masuk ke negara debitur agar dia bisa membayar kewajiban cicilan hutangnya. Beberapa negara sedang berkembang, terutama debitur besar seperti Brazil, Argentina dan Mexico, memang bisa terlepas dari kehancuran financial negaranya setelah mengikuti syarat-syarat yang ditentukan oleh kreditur.

Tetapi yang perlu diwaspadai adalah beban hutang itu ternyata tidak pernah terselesaikan secara tuntas. Begitu ada kejadian ekonomi internasional yang besar (naiknya harga minyak, turunnya harga komoditas ekspor, devaluasi nilai mata uang local) atau kebijakan ekonomi dari negara-negara maju (kebijakan protektif, subsidi (domestik atau eksport), pengenaaan tariff atau non-tariff pada produk-produk andalan negara-negara sedang berkembang), negara-negara berkembang kembali menghadapi masalah yang sama: kesulitan keuangan karena ada krisis hutang. Bisalah kemudian dikatakan bahwa kebijakan yang ditempuh negara-negara berkembang (yang dijalankan atas tekanan dari, terutama, IMF) hanya melestarikan ketergantungan negara sedang berkembang terhadap negara sedang maju. Hal itu terlihat dari keadaan ekonomi negara-negara berkembang yang pernah mengalami krisis hutang pada tahun 1980-an, tidak mengalami perbaikan (nilai GDP yang terus turun selama ikut dalam program IMF dan nilai per kapita penduduk yang juga turun). Bolehlah juga saya mengutip pernyataan Kofi Annan, jauh setelah krisis hutang 1982 berlangsung (dan dianggap selesai), yakni tahun 2004 kemarin, pada saat pembukaan pertemuan menteri-menteri dari kelompok G77, yang menyebutkan bahwa kondisi negara sedang berkembang jauh menurun dibandingkan pada tahun 1960-an; jumlah penduduk yang miskin di dunia tidak berkurang jumlahnya, sebaliknya jumlah penduduk miskin jauh lebih banyak dan kondisinya jauh lebih menyakitkan daripada tahun 1960-an. Faktor penyebabnya adalah hubungan perdagangan yang tidak adil antara negara-negara kaya dengan negara-negara miskin serta jeratan beban hutang.

Sudah sejak tahun 1980-an pula, banyak pihak yang menyadari bahwa penyebab krisis hutang tidaklah sesederhana karena kekurangan likuiditas. Masalahnya jauh lebih kompleks: ada masalah insolvency atau masalah ketidakmampuan fundamental membayar cicilan hutangnya. Masalah insolvency ini tidak hanya disebabkan oleh faktor dalam negeri negara sedang berkembang saja seperti korupsi atau pengelolaan hutang yang tidak bijaksana, tetapi juga oleh kebijakan perekonomian negara-negara maju. Sehingga penyelesaiannya tidak bisa lagi dengan hanya melakukan penundaan pembayaran atau pemberian dana baru, karena akan tetap membebani negara sedang berkembang. Banyak negara sedang berkembang, termasuk Indonesia, yang sangat rajin membayar cicilan hutangnya, tetapi tetap saja stock hutang yang mereka punyai tidak bertambah kecil, sebaliknya adalah semakin besar.

Penyelesaian hutang tidak bisa lagi dengan hanya membebankan pada negara debitur untuk lebih mengencangkan ikat pinggangnya; tetapi perlu juga adanya pembagian beban yang adil antar negara berkembang dan negara maju (lihat, misalnya, Konferensi Monterrey 2001 atau Deklarasi Johannesburg 2002). Pengurangan hutang ditambah dengan pemberian dana/pinjaman baru dan bantuan (aid) yang diperbesar jumlahnya adalah beberapa alternatif yang bisa dilakukan dan pernah dilakukan dengan hasil yang lumayan baik sebagaimana pernah terjadi di Cile (tentu saja faktor kebijakan ekonomi internasional yang lebih adil tidak bisa dikesampingkan; dengan cara seperti itu keberlanjutan keadaan ekonomi yang membaik itu bisa dipertahankan).

Lalu adakah hubungan antara beban hutang dengan kerusakan lingkungan hidup yang terjadi di negara sedang berkembang? Bisakah kedua hal itu dihubungkan dan karenanya dicarikan penyelesaiannya?

Mencari keterkaitan antara makin beratnya hutang luar negeri dengan makin parahnya kerusakan lingkungan hidup di negara-negara berkembang sebenarnya sangat komplek. Namun, demi untuk tulisan ini keterkaitan itu akan lebih mudah dijelaskan dengan melihat kebijakan masing-masing negara berkembang dalam kebijakan pembangunannya serta tata gerak perekonomian dunia.

Hutang yang didapatkan oleh negara sedang berkembang dibayar lewat ekspor, sebagaimana dianjurkan oleh IMF dan Bank Dunia. Barang-barang yang diekspor dari negara-negara berkembang umumnya bahan-bahan mentah seperti kayu, produk pertanian dan perkebunan, barang mineral alam dan lain sebagainya; juga mengikuti saran dari badan keuangan internasional (IMF, Bank Dunia) serta penasehat ekonomi internasional untuk memperkuat dan menyandarkan diri pada keuntungan komparatif yang dimiliki masing-masing negaranya.1 Melihat betapa pentingnya ekspor bagi perekonomian mereka, membuat mereka beramai-ramai menganut kebijakan ekonomi yang berorientasi ekspor.

Mereka mengekspor bahan-bahan mentah, terutama ke negara-negara maju; dari negara-negara maju mereka mengimpor barang-barang manufaktur, baik untuk keperluan konsumsi maupun produksi, yang dipergunakan untuk meningkatkan standar hidup warganya, yang karena telah melewati proses penambahan nilai, harganya lebih mahal daripada bahan mentah yang mereka ekspor. Angka defisit dalam neraca pembayaran mereka makin besar. Untuk menutupinya, mereka menggali sumber dana dari luar negeri berupa hutang atau makin meningkatkan usaha mereka dalam mengolah sumber daya alam yang dimilikinya.

Eksploitasi sumber daya alam demi kemajuan ekonomi di negara-negara berkembang itu berlangsung dengan pesat dan tidak memperhatikan keberlanjutan dari sumber daya alam itu sendiri; yang dikejar adalah pertumbuhan ekonomi; mereka hanya memperhatikan kepentingan jangka pendek. Kerusakan lingkungan hidup, karenanya, telah berlangsung jauh sebelum krisis hutang terjadi di negara negara berkembang.

Negara-negara berkembang mempunyai alasan sendiri untuk membenarkan apa yang dilakukannya dengan mengatakan bahwa pertambahan penduduk yang cepat di negara masing-masing, meningkatkan kekhawatiran akan tidak cukupnya sumber daya alam yang ada untuk memenuhi kebutuhan pangan penduduknya. Pertanian tradisional jelas tidak akan mampu memenuhi kebutuhan pangan penduduk yang terus bertambah. Penyelesaiannya, salah satunya, adalah dengan cara melakukan pembangunan pertanian, baik intensifikasi maupun ekstensifikasi pertanian, demi untuk memenuhi ketersediaan pangan.

Selain faktor pertambahan jumlah penduduk, faktor kemiskinan yang masih banyak melanda di negara-negara berkembang, memaksa mereka melakukan pembangunan ekonomi yang dipercepat untuk menguranginya. Saya mencontohkannya demikian, krisis minyak yang terjadi pada awal tahun 1980-an menyebabkan minyak tanah semakin mahal, yang tidak bisa dibeli oleh mereka yang miskin. Untuk keperluan memasak, orang-orang miskin itu menggunakan kayu yang ada disekitarnya. Sementara petani miskin, setelah tanah suburnya dijual untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari yang makin mahal karena angka inflasi yang tinggi, membuka lahan di lahan-lahan kritis seperti lereng bukit, untuk menanam tanaman bukan pohon keras sehingga mengundang erosi tanah. Kemiskinan pulalah yang menyebabkan negara-negara berkembang tidak bisa mengembangkan atau membeli teknologi yang ramah lingkungan yang sebagian sudah diterapkan di negara-negara maju.

Krisis hutang yang berpuncak pada pertengahan tahun 1982, bagi sebagian pakar dipandang malah mendatangkan kebaikan bagi lingkungan hidup. Beban hutang yang besar di negara-negara berkembang itu (berarti tidak adanya likuiditas = ketersediaan dana), membuat banyak negara maju dan badan keuangan internasional menghentikan bantuan dan pinjamannya ke negara-negara berkembang, karena ketakutan tidak bisa dibayar; sehingga banyak proyek pembangunan yang akan atau sedang dilakukan terpaksa dihentikan karena tidak adanya modal. Penghentian proyek-proyek itu dapat mengurangi tekanan yang berlebihan terhadap lingkungan hidup. Harga barang-barang yang tinggi membuat permintaan menurun dan itu punya pengaruh pada turunnya persediaan barang (produksi barang dikurangi), contohnya pada BBM (Bahan Bakar Minyak); dari sisi ini pun tekanan pada lingkungan bisa berkurang.2

Tapi pendapat di atas ditentang oleh sebagian pakar yang malah meyakini sebaliknya.3 Beban hutang yang makin besar di negara-negara berkembang justru menaikkan tekanan pada lingkungan, karena, pertama, pasti dibutuhkan dana yang besar untuk membayar hutang tersebut dan pemanfaatan sumber daya alam milik sendiri itu menjadi pilihan yang paling mudah dan murah. Tidak ada cara lain selain melakukan terus eksploitasinya pada sumber daya alam yang ada.

Kedua, adanya tekanan dari luar negeri, terutama dari IMF, untuk melakukan penghematan anggaran.4 Anggaran yang bisa dihemat atau dikurangi adalah anggaran yang menurut negara berkembang (berdasarkan arahan IMF) tersebut bukan prioritas utama atau dipandang tidak efisien; salah satunya adalah anggaran untuk kepentingan lingkungan hidup. Hal ini bisa dimaklumi karena institusi lingkungan hidup di negara-negara berkembang baru berkembang di akhir tahun 1970-an, sehingga masih muda dan belum mempunyai kekuatan politik yang kuat dibandingkan dengan institusi bidang lainnya yang telah lama ada. Selain itu, negara-negara berkembang selalu berpendapat bahwa isu perlindungan lingkungan hidup belum sewajarnya ditetapkan sekarang dimana kondisi ekonominya belum baik dan mapan seperti di negara-negara maju. Isu perlindungan lingkungan hidup bukanlah prioritas utama negara-negara berkembang. Pembangunan ekonomi adalah prioritas utama hampir semua negara berkembang untuk mengurangi tingkat kemiskinan warga negaranya. Naikkan dulu tingkat pertumbuhan ekonomi, baru setelah itu pikirkan lingkungan hidup adalah aksioma yang diterapkan oleh negara-negara berkembang yang sebenarnya juga mengikuti pola yang selama ini dijalankan oleh negara-negara maju.

Penghematan anggaran itu tidak lain tujuan utamanya adalah agar negara-negara yang terlilit hutang tetap bisa membayar kembali hutang-hutangnya, walaupun itu harus mengorbankan kepentingan warga negaranya dan lingkungan hidupnya.5

Ketiga, adalah fakta bahwa sebelumnya pun, dana yang didapatkan dari pinjaman luar negeri itu sebagian besar dipergunakan untuk membiayai kegiatan perekonomian yang tidak memperhatikan kepentingan lingkungan hidup. Pinjaman tersebut digunakan, contohnya untuk pembangunan waduk raksasa atau infrastruktur lainnya.

Kerusakan lingkungan hidup terbukti telah banyak memiskinkan banyak negara berkembang sehingga ketergantungan mereka pada penyaluran hutang dari negara-negara maju tetap besar. Sejak krisis hutang pada dekade 1980-an sampai awal millenium ini, hutang negara-negara berkembang, bukannya berkurang; sebaliknya hutang luar negeri mereka tambah membesar. Makin berat pula beban negara-negara berkembang dalam menanggulangi kerusakan lingkungan hidup sekaligus mengurangi angka kemiskinan di masing-masing negaranya.

Singkatnya, keterkaitan beban hutang dengan kerusakan lingkungan hidup bisa dijelaskan dengan kenyataan bahwa negara-negara berkembang meminjam modal dari luar untuk membiayai kegiatan perekonomian yang merusak lingkungan hidup serta di sisi yang lain pinjaman itu dibayar dengan mengeksploitasi sumber daya alamnya.6

Beban hutang luar negeri pada awalnya menjadi pemicu banyak negara berkembang mengeksploitasi habis-habisan sumber daya alamnya, yang mengakibatkan terjadinya kerusakan lingkungan hidup. Perkembangannya kemudian adalah kerusakan lingkungan hidup itu malah membuat banyak negara berkembang telah dan punya potensi besar untuk jatuh miskin. Rusaknya sumber daya alam yang dimilikinya membuat mereka tidak punya lagi hal lain untuk dikembangkan sebagai penopang pembangunan negerinya. Hal itu menyebabkan merosotnya kemampuan mereka dalam membayar hutang luar negerinya. Ketidakmampuan mereka dalam membayar hutang luar negeri itu malah menjauhkan mereka dari “radar” investor internasional (siapa yang mau meminjamkan modal pada sebuah negara yang tidak mempunyai kemampuan untuk membayarnya), yang pada gilirannya kembali memurukkan mereka ke jurang kemiskinan.7

Secara global, kerusakan lingkungan telah demikian parah dan mengkhawatirkan banyak pihak. Masalah kerusakan lingkungan adalah masalah yang tidak bisa diselesaikan per sektoral atau per negara. Dampak dari kerusakan lingkungan akan menimpa siapa saja, tanpa kecuali. Tidak ada satu negara pun yang bisa menghindar dari akibat buruk perubahan iklim, karena makin intensifnya penggurunan dan deforestasi; atau adanya masalah makin naiknya emisi gas karbon yang bertanggung jawab pada bolongnya ozon, yang berakibat pada makin panasnya suhu bumi.

Keadaan di atas diperparah dengan makin berkurangnya dana untuk mendukung konservasi alam. Hal ini diakibatkan karena adanya kebijakan pengetatan pengeluaran pemerintah serta adanya pemindahan alokasi dana dari satu sektor ke sektor lain yang dipandang lebih penting, sebagaimana terjadi di Indonesia, salah satunya, karena beban hutang yang terlalu berat untuk ditanggung. Bagi negara-negara berkembang persoalan perusakan lingkungan hidup tidak bisa dilepaskan dari masalah kemiskinan. Makin miskin sebuah negara berkembang, maka potensi negara itu untuk melakukan perusakan lingkungan hidup makin besar dan sebaliknya.

Ada hubungan yang erat antara kemiskinan, kerusakan lingkungan hidup, beban hutang dan kebutuhan akan investasi luar negeri. Kekomplekan masalah itulah yang menyebabkan penyelesaian pada beban hutang luar negeri dan kerusakan lingkungan hidup tidak bisa lagi dihadapi secara sektoral lagi.

Telah banyak konvensi internasional atau perjanjian internasional yang ditujukan untuk menyelesaikan dua permasalahan itu (misalnya adalah Deklarasi Rio, konsensus Monterrey dan deklarasi Johannesburg) atau juga berbagai prinsip-prinsip internasional seperti prinsip Common but Differentiated responsibilities (Tanggung Jawab sama, kewajiban Berbeda) yang mendasari Protokol Kyoto. Kesemuanya menyarankan tentang harus adanya solidaritas internasional dalam menyelesaikan permasalahan itu serta harus ada pembagian beban yang wajar dalam penyelesaian beban hutang dan kerusakan lingkungan hidup.8 Mereka juga merujuk pada berbagai solusi alternatif yang pernah ada dalam usaha untuk menyelesaikan kedua masalah tersebut.

Debt-for-Nature Swaps atau DNS adalah salah satu solusi alternatif itu, yang sayangnya belum banyak digali potensinya. DNS merupakan turunan dari mekanisme debt swap. Dalam pandangan saya, DNS ini adalah jalan yang cukup moderat dalam menyelesaikan masalah beban hutang dan kerusakan lingkungan hidup. Negara debitur tetap membayar hutangnya, walapun tidak secara langsung ke negara kreditur, tetapi untuk membiayai proyek-proyek lingkungan hidup di dalam negerinya, yang sebenarnya menunjukkan kemampuannya dalam membayar cicilan hutangnya; di sisi yang lain kreditur bisa terlepas dari “rasa bersalahnya” karena telah melakukan pengurangan hutang yang dimiliki oleh negara berkembang serta menunjukkan komitmen yang kuat dalam mengurangi kerusakan lingkungan hidup dan beban hutang negara sedang berkembang. Selain, jika dilihat dari sisi ekonomi, jauh menguntungkan mendapatkan dana segar sekarang, walaupun jumlahnya telah jauh turun daripada menunggu pembayaran yang tidak jelas kapan akan dilakukan.

Secara definisi, Debt-for-Nature Swaps ini adalah “pembatalan/pengalihan hutang luar negeri dengan cara menukarkannya dengan suatu komitmen dari negara debitur untuk memobilisasi sumber daya keuangan domestik untuk kepentingan lingkungan”.9

Dengan kata lain bahwa hutang luar negeri yang dimiliki oleh suatu negara, baik hutang pemerintah maupun hutang swasta, dapat dibatalkan dengan harga yang lebih rendah dari nilai awalnya, yang kemudian ditukarkan menjadi dana untuk membiayai kegiatan konservasi lingkungan hidup di negara debitur.

Sementara yang dimaksud dengan “…memobilisasi sumber daya keuangan domestik…” adalah negara debitur pada dasarnya “membayar” hutang luar negerinya itu, tapi tidak kepada krediturnya, namun dialihkan untuk suatu program-program atau proyek-proyek pelestarian lingkungan hidup di dalam negerinya sendiri dan yang paling penting adalah program-program atau proyek-proyek itu didanai dengan mata uang lokal negara debitur, bukan dengan mata uang asing sehingga bisa dikurangi terjadinya arus outflow modal, menahan mata uang lokal dan tingkat inflasi di negar debitur tersebut.

Mekanisme dalam DNS awalnya sangat rumit karena melibatkan banyak pihak, dengan proses yang kadang berbelit-belit. Namun dengan masuknya negara kreditur sebagai pihak yang terlibat dalam DNS, membuat mekanisme DNS lebih sederhana. Bahkan dalam DNS yang melibatkan negara ini, hutang yang dialihkan tidak hanya berasal dari pembelian atau dengan mengalihkan saja, tetapi juga bisa dilakukan dengan negara kreditur secara langsung mendonasikan hutangnya menjadi dana yang kemudian diberikan kepada suatu organisasi lingkungan hidup lokal atau dengan cara langsung menghapuskan sejunlah tertentu hutang demi untuk mendukung pengelolaan lingkungan hidup di suatu negara debitur.

Indonesia pun akhir-akhir mulai mempertimbangkan solusi DNS serta mekanisme Debt swaps sebagai salah satu cara dalam pengelolaan hutang luar negerinya dan bahkan sudah dilakukan. Dalam kesepakatan Paris Club ke 2 yang terjadi pada April 2000, klausul pengalihan hutang itu sudah dibicarakan dan negara Jerman telah menyetujui melakukan pengalihan hutang untuk pendidikan (Debt-for-Education Swaps) sebesar 50 juta mark. Pada kesepakatan Paris Club ke 3 yang dilaksanakan pada April 2002, negara Jerman juga menyetujui skema pengalihan hutang sebesar 23 juta Euro serta dengan negara Inggris sebesar 100 juta Poundsterling (walapun masih dalam bentuk MoU). Sayangnya adalah untuk perjanjian pengalihan hutang yang disetujui pada Paris Club ke 3 itu, belum dibicarakan untuk program apa debt swap itu dilakukan.10 Masih belum jelasnya program apa yang akan dilaksanakan dengan hasil pengalihan hutang sebagaimana disetujui dalam Paris Club ke-3 di atas, sebenarnya bisa dijadikan tantangan bagi institusi pemerintah atau swasta yang bergerak dalam masalah lingkungan hidup untuk mengajukan skema DNS ke pemerintah Indonesia.

Berbagai kalangan meragukan efektifitas DNS ini bahkan ada yang menolak sama sekali dengan alasan hanya akan menjadi legitimasi terhadap hutang najis (hutang yang tidak perlu dibayarkan karena digunakan untuk keperluan pribadi penguasa korup atau digunakan untuk kegiatan yang melanggar HAM, membiayai persenjataan, dll) yang dimiliki oleh negara debitur. Tapi dari berbagai negara yang pernah melakukan DNS terlihat bahwa DNS ini mempunyai peranan yang penting dalam membiayai berbagai kerja-kerja untuk lingkungan hidup, walaupun memang tidak efektif dalam menyelesaikan masalah hutang. Setidaknya ada dana lingkungan yang besar yang bisa dimanfaatkan untuk mengelola atau mengembangkan sebuah kawasan untuk kepentingan pariwisata, misalnya. Negara Belize di Amerika Latin atau filipina di Asia bisa menjadi contoh yang baik dalam pelaksanaan DNS. Selain itu, dengan cara seperti itu bisa mengurangi keluarnya modal (yang seharusnya dipergunakan untuk membayar hutang) ke luar negeri dan modal itu tetap berada di dalam negeri dan berguna bagi kepentingan negara debitur sendiri dan dalam beberapa kasus, DNS dilakukan sebagai cara untuk mendapatkan pengurangan hutang yang lebih besar lagi atau sebagai pemicu masuknya investasi dari luar negeri.

Maksud saya adalah lebih baik melakukan satu langkah dan nyata daripada berharap melakukan 10 langkah tapi membuat kita jauh ketinggalan dan menderita. Pengurangan hutang, bahkan pembatalan hutang adalah langkah ideal yang perlu terus dikampanyekan dan diusahakan, termasuk dengan melatih negosiator hutang luar negeri yang mumpuni dan tidak gampang lembek ketika berhadapan dengan kreditur negara atau badan multilateral, tetapi langkah-langkah kecil yang mengandung unsur pengurangan hutang, apalagi hal itu mempunyai dampak besar dalam menanggulangi kerusakan lingkungan hidup, dalam pandangan saya, jangan ditinggalkan.

Di tengah makin sulitnya pemerintah Indonesia menyediakan dana bagi upaya pelestarian fungsi lingkungan hidup, salah satunya karena sepertiga anggaran negara pertahunnya dihabiskan untuk membayar cicilan pokok dan bunga hutang, maka pencarian alternatif pendanaan sangatlah penting. Salah satunya adalah dengan mempertimbangkan dilakukannya skema DNS ini.


1 Raymond Frech Mikesell, Economic Development and The Environment: a Comparison of Sustainable Development With Conventional Development Economics, Mansell Publishing Ltd, 1992, hal 52-53. Dia berpendapat bahwa justru karena mengandalkan bahan-bahan mentah, exsport- oriented dan tidak melakukan orientasi ekonomi substitusi import, kondisi negara-negara berkembang yang terbebani hutang tidak bertambah baik.

2 lihat Patricia Adams, Odious Debts (Utang Najis): Obral Utang, Korupsi dan Kerusakan Lingkungan Di Dunia, Jakarta: INFID/Bina Rena Pariwara, 2002, hal 47-56. Saya kira kebijakan kenaikan harga BBM, yang dilakukan oleh tidak hanya pemerintah Indonesia saja, tapi juga pemerintahan negara berkembang lainnya, sejalur dengan beberapa kalangan environmentalis yang menyakini untuk mengurangi polusi adalah dengan cara menaikkan harga bahan baker (energi).

3 Lihat misalnya Arthur L. Dahl, The Eco Principle: Ecology and Economics in symbiosis, London, Zed Books, 1996, hal 84-86. Dalam definisi yang diperluas, tekanan ekonomi menyebabkan banyak negara mengambil kebijakan yang tidak pro-lingungan hidup. Ini tidak hanya terjadi di negara berkembang saja, tetapi juga di negara maju. Ketika krisis hutang 1982 terjadi dan negara maju sedang mengalami resesi, negara USA dan beberapa negara Eropa mengeluarkan kebijakan yang menurunkan tingkat emisi karbon yang diijinkan pada industri otomotifnya atau sekarang misalnya, ketika harga minyak naik, untuk mengurangi ketergantungannya pada pasokan minyak dari Timur Tengah, Presiden Bush memberi ijin untuk mengeksplorasi minyak di kawasan hutan konsevasi.

4 IMF mempunyai program SAP (Structural Adjustment Program/ Program Penyesuaian Struktural) pada tahun 1980-an untuk menyelesaikan masalah hutang di negara-negara berkembang. Negara-negara debitur bersedia melakukan program tersebut karena hal itu adalah syarat yang ditetapkan oleh para kreditur jika negara debitur ingin bunga hutang yang tidak dibayarkan dimasukkan dalam stok hutang yang ada atau agar mendapatkan pinjaman baru. Lihat Morris Miller, Debt and The Environment:Converging Crisis, New York, United Nations Publishing, 1991, hal 108-109.

5 Contoh dampak beban hutang terhadap penghematan anggaran di bidang pendidikan dan kesehatan, lihat buku Tim Peneliti IDEA, Nestapa Pembangunan Sosial: Studi Atas Dampak Beban Utang Terhadap Pembangunan Pendidikan Dan Kesehatan, Yogyakarta: Yayasan Litera Indonesia, 2000.

6 Raymond L. Bryant and Sinead Bailey, Third World Political Ecology, London: Routledge, 1997, hal 60-61

7 Tentang hal ini ada banyak contoh di Indonesia. Pada dekade 1980 dan 1990-an, pertambakan udang pernah menjadi primadona ekspor Indonesia. Lahan pertambakan itu, sebagian besar dulunya adalah hutan mangrove; yang secara ekologis sangat penting bagi pesisir pantai. Lama kelamaan karena pengelolaan yang tidak memperhatikan kondisi lingkungan menyebabkan hasil tambak menurun. Sekarang pun, walaupun lahan pertambakan semakin luas, tetapi hasilnya terus menurun, karena, salah satunya ada degradasi fungsi lingkungan hidup di sekitar tambak.

8 Pemerintah Indonesia adalah negara yang sangat taat asas dalam hal pembayaran hutang luar negerinya, walaupun itu harus mengorbankan rakyatnya. Pemerintah Indonesia beralasan bahwa itu sudah dijanjikan dan perjanjian adalah perjanjian, jadi harus ditepati. Alasan yang sama muncul di kalangan kreditur (komersial maupun publik). Dalam hal ini Indonesia sangat konsisten, tetapi tidak pada tempat yang tepat. Masalahnya adalah ada banyak kejadian seperti turunnya harga komoditas pertanian (yang harganya gampang diatur oleh negara-negara maju) atau barang tambang, naiknya suku bunga, turunnya nilai mata uang lokal atau kebijakan protektif di negara-negara maju, yang mempunyai efek yang besar pada beban hutang negara sedang berkembang, yang hanya bisa diselesaikan jika ada kemauan politik dari pihak negara kreditur.

9 Reed Merrill dan Elfian Effendi, Prospek Debt-For-Nature Swaps Di Indonesia, diambil dari laporan lokakarya tentang Kajian Kemungkinan Pemanfaatan Dana Debt-For-Nature Swaps untuk Pengurangan Beban Utang Negara, Jakarta, 17 Desember 1998.

10 Bert Hofman, Debt swaps for Indonesia: a Creditor’s view, bahan presentasi dalam seminar “Debt Swaps Sebagai Salah Satu Alternativ Untuk Mengurangi Utang Luar Negeri Pemerintah Indonesia”, Jakarta 30 Juli 2002.Kelanjutan dari persetujuan itu adalah sebagaimana diberitakan oleh Kompas, Diajukan debt swap senilai 23 juta Euro, Selasa, 31 Agustus 2004. Dalam berita itu disebutkan bahwa Indonesia telah berhasil melakukan skema pengalihan hutang dengan Jerman sebesar 50 juta mark (Paris Club ke 2) dan akan mengajukan skema serupa dengan Jerman dengan nilai sebesar 23 juta Euro, dengan program yang belum jelas (kesepakatan dalam Paris Club ke 3). Satu pertanyaan layak diajukan mengingat (sebagaimana dilakukan oleh Bert Hofman dalam makalah di atas) lamanya realisasi persetujuan yang disepakati serta masih tetap belum jelasnya program apa yang akan dilakukan dengan skema tersebut. Hal itu menunjukkan bahwa Indonesia baru akhir-akhir ini saja mempertimbangkan cara-cara lain dalam menangani masalah hutangnya.

[Tulisan ini dipersiapkan dan dipresentasikan di dan untuk acara diskusi dan syukuran omah anyar Yayasan Damar Yogyakarta, pada tanggal 19 April 2005. Baca juga kompas hari ini]

3 komentar:

  1. terimakasih pak atas tulisannya.
    sangat membantu dalam menyelesaikan tugas.
    Mohon izin menggunakan dalam menyelesaikan tugas.

    BalasHapus
  2. Silakan saja, Tapi enaknya sih enggak pake Anonim yak? Japri aja izinya....

    BalasHapus
  3. terimakasih pak atas tulisannya.
    sangat membantu dalam menyelesaikan tugas.
    Mohon izin menggunakan dalam menyelesaikan tugas.

    BalasHapus