25 Maret 2009
Nama Jalan Kami, Nama Seorang Narapidana
Tempo Interaktif [yang kemudian diperkuat oleh Koran Tempo, Senin, 21 Maret 2009] dalam beritanya mengatakan:
"...Peresmian DL Sitorus menjadi nama jalan terpanjang di Toba Samosir yang meliputi dua kecamatan, Lumbanjulu dan Ajibata, Sabtu (21/3), dilakukan Bupati dan Ketua DPRD Toba Samosir.
"Dasar pemberian penghargaan karena DL Sitorus dinilai masyarakat Toba Samosir sebagai pahlawan pembangunan di kabupaten pemekaran Tapanuli Utara ini," kata Bupati Monang Sitorus...."
Padahal,..."Darianus Lungguk Sitorus, terpidana perkara perambahan hutan Register 40 Padang Lawas, Sumatera Utara"
Pemberian nama jalan itu sendiri sudah ditentang oleh kalangan masyarakat Kabupaten Tapanuli Selatan dan kalangan pemerhati lingkungan.
DL Sitorus?
DL Sitorus adalah terpidana kasus perambahan kawasan hutan register 40 Padang Lawas yang berada di Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumut, untuk dijadikan perkebunan sawit. DL Sitorus sendiri dalam kasus ini berposisi sebagai Direktur Utama PT Torganda dan PT Torus Ganda yang berlaku sebagai bapak angkat bagi Koperasi Perkebunan Kelapa Sawit [KPKS] Bukit Harapan.
Kasus DL Sitorus ini menarik dalam beberapa hal, yang menunjukkan kacau balaunya hukum serta sengkarutnya kebijakan kehutanan kita:
Pertama, DL Sitorus memanfaatkan adanya ketidakjelasan kawasan antara pihak pemerintah yang mengklaim kawasan hutan register 40 sebagai kawasan hutan negara yang masih dalam status penunjukkan kawasan, dengan pihak masyarakat yang mengklaim kawasan itu sebagai kawasan hutan adat [ulayat]. Ia berhasil "membeli" kawasan hutan itu dari dua masyarakat adat yang setelahnya ia mendirikan KPKS Bukit Harapan untuk mengelola kawasan hutan itu. Hebatnya, ia sendiri seperti menghindari masalah dengan mengangkat dirinya sebagai "bapak angkat" dari KPKS Bukit Harapan. Pada perkembangan selanjutnya, BPN [Badan Pertanahan Nasional] mengeluarkan 1820 buku tanah sertifikat hak milik atas areal tanah perkebunan tersebut.
Dalam putusan PK [Peninjauan kembali], majelis hakim menolak klaim masyarakat adat dan tetap melihat kawasan itu sebagai kawasan hutan negara. Terkait terbitnya sertifikat hak milik di kawasan tersebut, Majelis Hakim di tingkat Peninjauan kembali malah menyalahkan DL Sitorus dan kawan-kawan karena telah memberikan informasi yang menyesatkan kepada pejabat BPN sehingga terbitlah sertifikat hak milik tersebut. Padahal Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Tapanuli Selatan, Irwan Nasution, juga terkena kasus ini dengan dianggap turut serta melakukan tindak pidana korupsi.
Kedua, perbuatan perambahan kawasan hutan telah dilakukan oleh DL Sitorus dkk pada tahun 1998 dan berlanjut pada tahun 1999 dengan mulai melakukan penanaman kelapa sawit. Perbuatan ini tidak terhentikan, walaupun sudah ada puluhan surat protes padanya. Tidak tanggung-tanggung, surat protes itu dikirimkan oleh mereka yang berkuasa dari Menteri Kehutanan, Gubernur, Bupati, Kakanwil Provinsi, Kadishut provinsi, dsb. DL Sitorus tetap bergeming, melanjutkan usaha kepala sawitnya.
Bahkan pada tahun 2002, atas permintaan KPKS Bukit Harapan, Menteri Kehutanan menerbitkan SK No. 1680/Menhut-III/2002 tanggal 26 September 2002 yang isinya memberikan izin prinsip untuk mengelola perkebunan kelapa sawit di dalam kawasan hutan Register 40 Padang Lawas seluas ± 23.000 HA dengan beberapa ketentuan, antara lain, bahwa izin itu diberikan selama 25 tahun.
Namun pada tahun 2004, Menhut sendiri membatalkan SK No. 1680/Menhut-II/2002 di atas dengan S.419/Menhut-II/2004 tertanggal 13 Oktober 2004. Tentu saja DL Sitorus meradang dan mengajukan gugatan ke PTUN. Setelah putusan banding yang menganulir putusan tingkat pertama TUN yang membatalkan SK S.419/Menhut-II/2004, akhirnya di tangan Majelis Kasasi MA, pada tahun 2007, DL Sitorus menang sehingga pembatalan Menhut atas SK No 1680/menhut-II/2002 tidak lagi berlaku.
Putusan Kasasi MA yang memberikan ijin PT Torganda dan KPKS Bukit Harapan untuk melanjutkan penanaman sawit di kawasan register 40 itu sendiri nantinya dipergunakan DL Sitorus sbagai novum baru ketika mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali ke MA. Tetapi dalam persidangan PK MA itu, ia malah kalah.
Ketiga, sampai sekarang eksekusi terhadap tanah atau kawasan hutan negara itu belum berhasil juga. Tentangan masyarakat yang menyakini bahwa tanah itu tanah ulayat mereka sangat kuat. Yang muncul ke permukaan adalah pemerintah vis a vis masyarakat; sementara sang pengambil untung tengah tetirah di Penjara Cirebon.
21 Maret 2009
Kejar Uangnya, Penjarakan Orangnya; Belajar dari Kasus Pembalakan Liar
Tambahkan kekecewaan itu dengan fakta: vonis bagi pemilik kayu jauh lebih ringan dari pelaku pembantunya dengan tidak ada hukuman penjara yang lebih dari 2 tahun dengan denda umumnya 5 juta dan hanya satu terdakwa yang didenda dengan 15 juta. Jumlah semua denda bagi 24 terdakwa kasus ini kurang dari 90 juta! Padahal negara dirugikan Rp 216 miliar.
Pola penegakkan hukum dalam pembalakan liar itu serupa: kejar dan tangkap pelakunya [biasanya pelaku lapangan; kasus Ketapang ini termasuk pengecualian karena berhasil menyiduk cukongnya], penjarakan dan bukti kejahatan berupa kayunya atau peralatan disita bagi negara dan kemudian dilelang. Uang hasil lelang ini sepertinya dianggap sebagai "pengganti rugi" dari hilangnya aset negara.[Uang yang masuk ke negara atas pelelangan 12 Kapal yang terlibat pembalakan liar di Ketapang adalah sebesar Rp 1.618.100.000 ].
Pola demikian hanya akan membuat penjara penuh dengan pelaku pembalakan liar [sayangnya kebanyakan adalah pelaku lapangan yang biasanya orang kecil dan suruhan]; sementara negara dirugikan setidaknya oleh dua hal: pertama, hilangnya tegakkan kayu di hutan [tidak perlu dululah menghitung "kerugian ekologis" akibat hilangnya kayu] yang nilainya komersial kayunya akan bertambah kecil karena penjualannya melalui mekanisme pelelangan [yang dalam banyak kasus juga melibatkan pelaku pembalakan liar [kelas kakap] yang menyamar] dan kedua, sumber daya negara juga habis untuk memastikan pelaku di penjara dengan perlakuan yang wajar. Tidak hanya ketika pelaku masih di penjara, sumber daya negara juga habis untuk mengejarnya, menangkapnya [satu kasus pembalakan liar dibiayai 24 juta di Polda Riau], menuntutnya, dan mengadilinya [dari PN sampai MA].
Hasilnya adalah kasus pembalakan liar masih banyak, deforestasi/degradasi hutan masih saja tinggi. Yang menang adalah ego penegak hukum yang berhasil memenjarakan orang dan akhirnya puas diri dengan itu. Yang benar-benar menang adalah bandar besar pembalak liar. selain itu, korupsi dalam bidang kehutanan ini berjalan terus dan makin melemahkan posisi negara.
Paradigma lain: utamakan pengejaran asetnya, bukan orangnya
Pola penegakkan hukum sebagaimana disebutkan di atas lazim dilakukan di hampir seluruh bagian dunia ini, di negara berkembang maupun negara maju. Polanya adalah dengan mengejar dan memenjarakan pelakunya dan kemudian melupakan aset yang membuat tindak kejahatannya menjadi mungkin. Pola ini terlihat gagal ketika dihubungkan dengan kejahatan terorganisir, seperti judi, narkotika, korupsi, pencucian uang, penyelundupan orang, dll.
Menghadapi kejahatan terorganisir seperti itu, bukan hanya gagal menghentikan kejahatannya, tetapi negara mengalami dua kerugian sekaligus: habisnya sumber daya dan, ini yang mengejutkan, makin menyuburkan korupsi aparat negara sehingga melemahkan posisi negara.
Mengapa demikian? Sebuah laporan studi yang ditulis oleh Edgardo Buscaglia, mmperlihatkan bahwa tanpa disertai/ada penyitaan aset, penangkapan fisik penjahat menjadi seolah tidak berguna. Operasi-operasi untuk menyergap pelaku kejahatan akan membuat para penjahat semakin mengintesifkan usahanya untuk mempengaruhi kebijakan negara atau menyuap para aparat negara yang hal ini mungkin terjadi karena uang/aset kejahatannya masih berkeliaran di luar. Usaha mempengaruhi kebijakan negara [misal lewat lobi, pembajakan ekonomi] serta penyuapan ini makin intensif sebagai trade off dari semakin banyaknya pelaku yang ditangkapi dan dimasukkan dalam penjara. Seolah berapapun pelaku masuk penjara, tetap tidak menghentikan tindak kejahatannya, karena masih ada aset yang bisa dipergunakan untuk menggerakkan kejahatannya.
Studi itu sangat luar biasa karena dilakukan selama 14 tahun dan meneliti kurang lebih 107 negara yang menandatangani Palermo Convention yang bermaksud memerangi kejahatan terorganisir.
Italia menghadapi persoalan ini ketika menghadapi kejahatan mafia dimana semakin banyak anggotanya dipenjara, kejahatannya terus saja mengakar dan pola mempengaruhi politik hukum negara serta penyuapannya juga semakin canggih dan semakin berani. Karena itu di dekade 80-an dan 90-an pola penghancuran mafia disertakan penyitaan aset dan hasil sudah membuat mafia makin mengecil. Amerika serikat juga mulai menerapkan pola ini dalam memerangi kejahatan narkotika. Penerapan penyitaan aset dan rezim pencucian uang juga dilakukan dalam menghadapi kejahatan sejenis lainnya.
Pola ini mensyaratkan aparat penegak hukum memahami kerja lembaga keuangan disamping tetap melakukan penahanan fisik kepada pelakunya.
Indonesia di bawah bayang-bayang mafia pembalakan liar?
Entah berapa ratus/ribu pelaku kejahatan kehutanan berupa pembalakan liar yang sedang dan sudah merasakan sempitnya ruang penjara di Indonesia ini. Namun, kejahatan kehutanan tetap saja berjalan dan bertransformasi menjadi wujud yang beraneka ragam; tidak lagi hanya sekedar memotong kayu di bukan tanahnya. Desentralisasi dipandang oleh kalangan tertentu membiakkan pola pembalakan liar ini. Bahkan bisa bersembunyi dibalik legalitas perijinan sah.
Muak akan suasana itu, pemerintah Indonesia mengintensifkan berbagai upaya untuk memeranginya. Tetap dengan pola kejar dan penjarakan orangnya. Hasilnya belum begitu menggembirakan di luar banyaknya kasus yang masuk ke pengadilan.
Saya juga mulai menyadari kebenaran yang ditemukan dalam studi Buscaglia di atas: ketika penegakkan hukum makin intensif dengan memenjarakan banyak pelaku kejahatan; pola-pola penyuapan atau mempengaruhi kebijakan negara yang membuka lebar terjadinya pembalakan liar samar-samar terkuak. Mulai dari menahan terjadinya kesepakatan tata ruang di dua provinsi besar, permintaan pelepasan kawasan hutan [misal, 2 juta ha di suatu provinsi], penyuapan anggota dewan, pemakzulan aparat penegak hukum, sampai membiayai kelompok yang menginginkan provinsi baru atau kampanye menjadi anggota dewan atau pucuk pimpinan daerah. Dan mungkin masih banyak pola lain yang di luar kemampuan saya membayangkannya yang semuanya mungkin karena ada uang maha-besar yang menggerakkannya. Semua itu terjadi di bawah pemerintahan yang menyakini pembalakan liar sebagai kejahatan luar biasa dan terorganisir.
Dominasi pola "kejar dan penjara orangnya" ini mulai coba ditantang dengan pola yang dilakukan oleh KPK terkait korupsi dalam sektor kehutanan. KPK menerapkan pola penyitaan aset dalam setiap perkara yang diajukannya ke pengadilan. Kasus yang menjadi landmark adalah Kasus Martias dkk, yang divonis bersalah melakukan korupsi dan diharuskan mengembalikan aset negara sebesar Rp 346,8 miliar; yang kemudian diikuti dengan kasus Tengku Azmun Jaafar yang dalam putusan banding Pengadilan Tinggi Jakarta mengharuskan 15 perusahaan yang terkait dengannya secara bersama-sama mengembalikan aset sebesar Rp 1,2 triliun kepada negara. Dalam kasus Adelin Lis, Kejaksaan juga mencoba menerapkan pola yang sama, sayangnya adalah bukan hanya asetnya sulit didapat, Adelin Lis-nya sendiri menghilang entah kemana.
Keberhasilan upaya di atas membuat banyak pihak menginginkan kejahatan kehutanan didekati dengan pendekatan korupsi. Padahal menurut saya, pola penindakannya saja yang dirubah sehingga memungkinkan terjadinya penyitaan aset kejahatan dan saya rasa tidak harus melulu dipergunakan pasal-pasal korupsi.
Rezim pencucian uang merupakan wilayah yang perlu dicoba dipakai dalam memerangi pembalakan liar, semata karena rezim ini menginginkan adanya proses pembekuan aset pada saat seseorang ditetapkan sebagai tersangka.
Penyitaan aset juga bukanlah hal asing dalam sistem hukum kita, hanya saja pelaksanaannya kadang tidak efektif, seperti yang terjadi dalam kasus Adelin Lis dimana penelusuran dan penyitaan aset dilakukan ketika Adelin Lis sudah jadi terpidana. Berbeda misalnya dengan yang dilakukan oleh KPK dalam Kasus Martias dimana penelusuran, pembekuan aset dilakukan ketika Martias ditetapkan sebagai tersangka, sehingga ketika vonis sudah berkekuatan hukum tetap, KPK tinggal menyita aset tersebut. Pembekuan aset ini penting agar pelaku tidak mempergunakan aset tersebut untuk mempengaruhi jalannya persidangan atau menyembunyikan dengan cara entah dan di tempat entah
Tantangannya adalah, selain beberapa hambatan hukum, aparat penegak hukum perlu ditingkatkan kapasitasnya dalam memahami keuangan yang memudahkannya dalam membaca pergerakan kejahatannya. Tantangan lainnya adalah ketika menyangkut aset di luar negeri; halangan diplomatik atau belum adanya perjanjian MLA [Mutual Legal Assistance] akan menghambat terjadinya penyitaan aset. Tetapi sekarang ini sudah dikembangkan pola penyitaan aset yang tidak didasarkan pada hukum pidana, melainkan pada hukum perdata [walaupun sangat mahal].
Intinya adalah penyitaan aset kejahatan dalam sektor kehutanan perlu dilakukan sebagai komplemen dari pendekatan penegakkan hukum sekarang ini yang lebih menekankan pada dipenjarakannya pelaku kejahatan. Dengan harapan bisa dibekukannya 'darah kejahatan', barangkali kita bisa melihat proses penegakkan hukum yang jauh lebih efektif dan [semoga] lebih adil.
14 Oktober 2008
Penerapan Mekanisme Politically Exposed Peoples [PEP’s] dalam Menangani Kejahatan Kehutanan di Indonesia
Oleh: Mumu Muhajir
I. Awal Mula PEPs
Prinsip PEPs pertama kali muncul ke permukaan sebagai respon adanya skandal kasus Ferdinand Marcos dan isterinya yang menyimpan uang hasil korupsi di bank-bank Swiss. Kenyataan uang yang disimpan itu merupakan uang haram, telah menghancurkan reputasi bank-bank swiss. Dampaknya adalah mereka, komunitas bank-bank di Swiss, mulai memperhatikan dan membuat daftar orang-orang yang secara politik kuat dan penting di Negara-negara asing, baik dia sudah menjadi nasabah maupun belum. Penggunaan prinsip PEPs ini masih terbatas dan dengan pendefinisian yang belum seragam.
Penggunaan prinsip PEPs makin menguat sejalan dengan lahirnya Patriot Act, Oktober 2001 sebagai imbas serangan teroris pada gedung WTC di New York, 11 September 2001. Penanganan PEPs ini dimasukkan dalam Section 312 dari the Patriot Act. PEPs dipakai sebagai instrument untuk mencegah resiko bagi lembaga keuangan akibat berhubungan dengan orang-orang yang secara politik kuat yang bisa membawa kehancuran reputasi atau sebaliknya menaikkan reputasi lembaga keuangan. Harga hancurnya reputasi tidaklah bisa dibayar dengan denda atau bentuk-bentuk hukuman lain akibat kelalaian suatu institusi keuangan dalam menangani kliennya, tetapi juga kehancuran secara menyeluruh bisnisnya.
PEP sendiri bukanlah sebuah daftar yang dengan otomatis menduga seseorang sebagai orang jahat. Ketika seseorang dimasukkan dalam daftar PEP, ia tidak dengan sendirinya menjadi orang jahat. PEP merupakan salah satu cara dalam manajemen resiko untuk menimalisir resiko yang mungkin terjadi jika sebuah institusi [keuangan] melakukan kontak dengan PEPs tersebut.
II. Definisi PEPs
Dalam 40 rekomendasi awal dari FATF yang dibuat pada tahun 1996, Prinsip PEPs belumlah dikenal. Prinsip PEPs ini baru muncul pada revisi 40 rekomendasi FATF pada tahun 2003 dengan definisi:
“individuals who are or have been entrusted with prominent publik functions in a foreign country, for example Heads of State or of government, senior politicians, senior government, judicial or military officials, senior executives of state owned corporations, important political party officials. Business relationships with family members or close associates of PEPs involve reputational risks similar to those with PEPs themselves. The definition is not intended to cover middle ranking or more junior individuals in the foregoing categories”.
Semua definisi tentang PEPs yang dipakai hampir di semua lembaga keuangan di dunia didasarkan pada definisi yang dibuat oleh FATF di atas. Berikut adalah sedikit penjelasan tentang definisi PEPs dari FATF di atas.
Definisi PEPs itu muncul sebagai penjelasan dari Rekomendasi Keenam FATF, yang mewajibkan institusi keuangan ketika berhubungan dengan PEPs selain melakukan proses due diligence biasa juga diharuskan: [1] mempunyai suatu sistem management resiko yang tepat untuk menentukan seseorang sebagai PEPs atau bukan; serta [2] mengharuskan adanya persetujuan dari manager senior sebelum dilakukan hubungan bisnis dengan orang yang masuk dalam kategori PEPs.
II. a. Bukan sekedar politisi biasa
Definisi di atas menyebutkan bukan hanya dan sembarang politisi yang bisa masuk dalam kategori PEPs ini. Politisi yang bisa dimasukkan dalam kategori PEPs ini adalah politisi senior [dalam jabatan] dan berpengaruh, baik sedang menjabat ataupun sudah pensiun, seperti presiden/PM, pejabat teras pemerintahan [menteri, dirjen, bupati, gubernur,dll], politisi senior [anggota DPR. DPD, dll], pejabat militer dan pengadilan [hakim, kepala staf angkatan, jaksa agung, dll], pejabat BUMN, dan anggota partai terpandang.
Memang ada kekaburan batas dimana seseorang dipandang sebagai pejabat senior atau batas mana dipandang sebagai pejabat menengah dan junior. Apalagi jika dihubungkan dengan kategori berpengaruh atau tidak. The Wolfberg Group mencoba menginterpretasikan apa yang dimaksud dengan pejabat senior dan berpengaruh itu dengan menyatakan bahwa kategori tersebut harus diartikan kepada seseorang yang jabatannya sekarang atau dulu [sudah pensiun] dapat menarik publisitas melewati batas negara yang bersangkutan dan keadaan keuangannya bisa berhubungan dengan kepentingan publik.
FATF sendiri hanya menginginkan pejabat senior saja yang masuk dalam kategori PEP’s ini. hal tersebut didasari oleh kenyataan bahwa penelusuran kasus pencucian uang bukanlah perkara yang mudah dan memerlukan pengalokasian sumber daya, baik uang, waktu dan orang, yang banyak. Apalagi misalnya jika sebuah institusi keuangan harus memiliki daftar semua pejabat menengah dan junior dari Negara-negara berkembang, misalnya, tentu itu akan jadi beban berat administrasi. Karena itulah proses penapisan perlu dilakukan.
II.b. Tidak lagi menyangkut orang asing
Sesuai dengan definisi di atas, pejabat atau politisi atau kerabat atau relasi yang bisa dimasukkan sebagai PEPs haruslah berasal dari negeri asing dan bukannya pejabat/politisi/kerabat/relasi dari negeri domestic tempat dimana lembaga keuangan berasal. Hal ini didasari oleh satu premis bahwa para PEPs ini kecil kemungkinannya menyimpan uangnya di dalam negeri. Demi alasan keamanan, biasanya mereka menyimpan dana tersebut di luar negeri, dimana pengetahuan tentang asal-usul pejabat atau dana itu sedikit diketahui. Dalam kenyataannya pun demikian, banyak pejabat publik menyimpan dananya di lembaga keuangan luar negeri, entah demi alasan keamanan, gengsi atau motif lainnya.
Dalam perkembangannya, PEPs tidak hanya mengenai pejabat/politisi/kerabat/relasi yang berada di luar negeri atau berasal dari negeri asing, FATF telah meminta negara-negara anggota untuk memperluas interpretasi Rekomendasi Keenam tersebut di atas bagi pejabat domestik di dalam negeri.
II. c. Tidak hanya politisi
Definisi di atas juga menyebutkan bahwa melakukan hubungan bisnis dengan keluarga atau relasi dekat PEPs sama beresikonya dengan melakukan hubungan bisnis langsung dengan PEPs sendiri. Ini menyebabkan relasi dan kerabat dekat PEPs masuk juga dalam ketegori PEPs.
Sampai sejauh mana kerabat dekat PEPs bisa dimasukkan sebagai PEPs? Belum ada keseragaman dalam hal pengaturannya. Tetapi sebagai best practice di kalangan institusi keuangan , anggota keluarga yang bisa dimasukkan dalam kategori PEPs ini antara lain adalah pasangan [isteri/suami], anak, orangtua, kakak-adik, menantu, dan bahkan paman/bibi.
Pengertian relasi dekat dibagi dalam dua kategori: relasi bisnis dan penasehat/staf ahli/konsultan dari PEPs. Pengertian yang terakhir ini dapat juga dikenakan pada seseorang yang secara jelas mendapatkan keuntungan dari kedekatannya dengan PEPs ini.
Selain “orang”, perhatian terhadap kejahatan pencucian uang juga diarahkan pada “perusahaan”. Begitu juga berkenaan dengan PEPs ini. Kategori PEPs juga memasukkan perusahaan swasta atau yayasan yang dimiliki atau sebagian dimiliki, baik langsung atau tidak langsung, oleh PEPs. FATF sendiri menaruh perhatian besar pada bentuk yayasan, yang biasanya dipakai untuk menyembunyikan asal-usul keuangan PEPs.
III. Contoh Penerapan PEPs di Negara Asia
Dalam tulisan ini akan dicoba dibandingkan penerapan mekanisme PEPs di lembaga keuangan di beberapa Negara di Asia, terutama di Indonesia dan Malaysia. Dokumen pembanding sebagian besar berasal dari dokumen Mutual Evaluation Report masing-masing Negara dari APG on Money Laundering.
III.a. Indonesia
Sebagaimana diketahui, FATF merekomendasikan lembaga keuangan untuk menerapkan mekanisme PEPs ini dalam kegiatan operasinya. Dua hal yang diminta oleh FATF ketika lembaga keuangan berhubungan dengan PEPs adalah membuat manajemen resiko untuk menentukan PEPs atau bukan serta mengharuskan urusan dengan PEPs ini dikerjakan oleh manajer senior.
Di Indonesia sendiri, sebuah system manajemen resiko khusus untuk menangani masalah PEPs ini belum diwajibkan secara hukum. Bahkan dalam MER-APG untuk Indonesia, memasukkan Indonesia ke dalam rating NC [Non-Compliance] dalam masalah ini. Hal ini disebabkan karena beberapa hal:
[1] hanya perbankan saja yang diharuskan melakukan enhanced Customer Due Diligent ketika berhubungan dengan PEPs dari Negara asing, sementara lembaga keuangan non bank hanya diharuskan memberikan perhatian pada PEPs domestic.
[2] tidak ada keharusan bagi perbankan untuk menerjunkan langsung sekaligus memberikan persetujuan ketika meneruskan hubungan bisnis dengan seseorang yang masuk dalam kategori PEPs.
[3] lembaga keuangan tidak mempunyai internal control untuk menentukan seseorang sebagai PEPs atau bukan dan pengimplementasiannya juga sangatlah lemah.
Pengaturan mengenai PEPS erat kaitannya dengan mekanisme KYC [Know Your Customer] yang diterapkan di lembaga keuangan. Dalam kaitannya dengan KYC ini, lembaga-lembaga keuangan di Indonesia sudah memiliki pengaturannya masing-masing. Sektor perbankan diatur dengan Peraturan Bank Indonesia No. 3/10/PBI/2001, yang mengharuskan bank mendapatkan informasi atas identitas nasabahnya, bahkan mengharuskan adanya KYC pada transaksi di atas 100 juta [Peraturan BI No. 5/21/PBI/2003. Perusahaan sekuritas diharuskan melakukan prinsip Know Your Client yang diatur dengan Aturan BAPEPAM V.D.10 Pasal 4 yang mewajibkan perusahaan sekuritas mengumpulkan informasi mengenai identitas investornya, antara lain mengenai latar belakang, tujuan pembukaan investasi, dll. Kewajiban serupa diwajibkan pada perusahaan keuangan non-bank, asuransi dan dana pensiun yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan No 74/PMK.012/2006. Dan bahkan dengan Peraturan Bank Indonesia No. 9/11/PBI/2007, tempat penukaran uang atau money changer juga diwajibkan untuk menerapkan prinsip KYC dalam setiap transaksinya. Perusahaan money changer juga diwajibkan melakukan penyelidikan terhadap identitas nasabahnya yang melakukan transaksi perharinya melewati angka 100 juta.
Namun, tidak ada kewajiban bagi semua lembaga keuangan di Indonesia untuk melakukan CDD apabila ada transaksi yang mencurigakan yang menjurus ke arah pencucian uang, biarpun semuanya diharuskan membuat laporan Transaksi mencurigakan [STR] tetapi tidak ada batasan apa yang dimaksud STR itu. Bagi Bank, misalnya, tidak ada kewajiban untuk melakukan re-check ulang terhadap informasi yang diberikan oleh nasabahnya walaupun ada keraguan tentang kebenaran informasi yang diberikan. Bahkan bagi petugas Money Changer cukup diwajibkan memeriksa KTP/SIM/identitas lain dan mencocokannya dengan nasabah. Tidak ada kewajiban hukum untuk melakukan lebih jauh dari itu.
Dari penjelasan di atas tampak bahwa lembaga keuangan di Indonesia belum mempunyai satu pengaturan yang jelas untuk melakukan investigasi lebih mendalam tentang seluk beluk nasabah/kliennya [seperti mencocokkan antara penghasilannya dengan transaksi-transaksi yang dilakukan oleh nasabahnya]. Investigasi tersebut atau CDD tersebut tidak mungkin dilakukan pada setiap klien dan setiap transaksi, karena akan membebani administrasi lembaga keuangan. Karenanya diperlukan semacam penapisan atau pembatasan. Dalam hal ini, lembaga keuangan sudah diatur mengenai besaran transaksi yang harus dicermati dengan hati-hati, tetapi nampaknya belum ada keharusan pencermatan pada siapa kliennya. Misalnya saja, tidak ada kewajiban hukum bagi lembaga keuangan untuk melakukan penelusuran apakah nasabah yang sedang bertransaksi di depannya benar-benar berlaku sebagai “legal person” dan tidak sedang mewakili pihak lain.
Hanya saja, memang sector perbankan diwajibkan untuk membuat kriteria sendiri tentang nasabah resiko tingginya [High Risk Customer], Negara beresiko tinggi, dan bisnis resiko tinggi. Dan kemudian melakukan penelusuran secara cermat mengenai kebenaran identitas dan uang yang dipunyainya. Kewajiban untuk melakukan investigasi pada nasabah beresiko tinggi ini tidak ada pada lembaga keuangan non-bank seperti perusahaan sekuritas, asuransi, dana pensiun.
Ketiadaan kewajiban atau pembuatan kriteria sendiri-sendiri ini menyebabkan lembaga keuangan di Indonesia tidak mempunyai standar yang mapan mengenai manajemen resiko untuk menentukan seseorang sebagai PEPs atau bukan. Tidak ada divisi khusus yang menelusuri siapa PEPs yang sudah, sedang dan akan jadi kliennya. Bahkan informasi tentang PEPs didapatkan dari media masa dan dari formulir identitas yang diisi PEPs ketika melakukan transaksi.
Perbankan di Indonesia berdasarkan Peraturan BI no.3/10/PBI/2001 diharuskan menugaskan petugas khusus untuk menangani relasi bisnis dengan nasabah beresiko tinggi, termasuk didalamnya pejabat yang sedang memegang jabatan publik/penyelenggara negara. Hanya saja tidak ada ketegasan level management mana yang harus bergerak ketika akan melakukan hubungan bisnis dengan PEPs. Sementara dalam rekomendasi FATF, senior manager harus bertanggung jawab dalam memberikan persetujuan baik sebelum atau selama berhubungan bisnis dengan PEPs.
Dalam perbankan, kriteria tentang siapa yang dimaksud pejabat publik/penyelenggara negara dan karenanya dimasukkan sebagai PEPs sudah ada pengaturannya, yakni merujuk pada UU No 28 tahun 1999. PEPs yang dimaksudnya pun tidak hanya pejabat domestic tetapi juga asing [walaupun dalam prakteknya bank lebih berfokus pada domestic PEPs]. Ini berbeda dengan pengaturan bagi perusahaan sekuritas, yang walaupun dalam aturannya menyebutkan adanya “PEPs” atau pejabat pemerintah, tetapi tidak ada penjelasan apa yang dimaksud dengan PEPs dan atau pejabat pemerintah itu. Perusahaan sekuritas juga diwajibkan melakukan verifikasi yang lebih ketat pada PEPs atau pejabat pemerintah, tetapi tidak jelas apa yang dimaksud dengan verifikasi lebih ketat itu serta siapa yang dimaksud dengan PEPs itu.
Kedua sektor di atas, walaupun terbatas, tetap sudah mengatur tentang PEPs, tetapi institusi lain selain bank dan sekuritas, pengaturan tentang PEPs ini masih belum ada.
Hanya ada satu faktor yang menyamakan institusi perbankan/sekuritas dengan institusi keuangan lainnya, yakni tidak adanya kewajiban untuk melakukan penelusuran tentang dari mana sumber dana berasal ketika berhubungan bisnis dengan PEPs. Kewajiban tersebut sebenarnya ada di lembaga perbankan, tetapi tidak khusus mengenai PEPs, melainkan pada semua nasabah. Sekali lagi, perlakuan pada PEPs harusnya berbeda dengan konsumen/nasabah/klien biasa.
III. b. Malaysia
Penerapan PEPs di Malaysia, menurut APG, mendapatkan ranking PC atau sebagian besar diimplementasikan. Dalam soal manajemen resiko terkait dengan nasabah, hampir semua institusi keuangan di Malaysia sudah diharuskan secara hukum [diatur oleh BNM – Bank Negara Malaysia – dalam bentuk Special Guidelines] melakukan CDD yang lengkap, kapan dan bagaimana CDD dilakukan, berapa batasan jumlah transaksi per tipe transaksi [transfer, transaksi biasa] per institusi keuangan. Begitu juga dalam penelusuran penuh pada identitas nasabah atau wakil dari nasabah, baik nasabah orang maupun perusahaan. Bagi para broker di perusahaan sekuritas, diwajibkan untuk melakukan penelusuran tentang struktur kepemilikan dan control dari investor yang diwakilinya.
Sama seperti di Indonesia, perbankan diharuskan membuat manajemen resiko ketika berhubungan dengan nasabah yang beresiko tinggi. Bedanya, ketika berhubungan dengan masalah anti pencucian uang dan pembiayaan teroris, ada kewajiban hukum untuk mengindentifikasi tipe-tipe nasabah yang berkaitan dengan pencucian uang dan pembiayaan teroris.
Di Malaysia, PEPs sudah ditentukan menjadi salah satu tipe nasabah yang beresiko tinggi, bersama-sama dengan HNWI, nasabah asing, nasabah yang berasal dari lokasi yang diketahui tingkat kriminalitasnya tinggi, dll.
PEPs di Malaysia diartikan sebagai orang asing yang menjabat jabatan publik penting seperti kepala Negara/pemerintahan, politisi senior, pejabat pemerintahan senior, staf militer dan pengadilan dan senior eksekutif dari organisasi publik. Definisi di atas pada perkembangannya diperluas bagi keluarga dan kolega dekat. Tampak bahwa bagi Malaysia, PEPs adalah hanya orang asing dan tidak mengikuti arahan FATF yang mengharuskan interpretasi PEPs diluaskan ke PEPs domestic.
Sekali seseorang sudah dimasukkan sebagai PEPs, maka akan ada perlakuan lanjutan, misalnya, institusi keuangan perbankan diharuskan melakukan penelusuran tentang asal usul dana PEPs serta melakukan terus menerus due diligent selagi masih ada hubungan bisnis dengan mereka. Keterlibatan senior manager juga jelas yakni dalam memutuskan apakah akan atau meneruskan hubungan bisnis dengan mereka yang masuk dalam daftar PEPs tadi. Hanya pada perusahaan sekuritas perlakuan khusus pada klien PEPs tidak diwajibkan secara hukum.
IV. PEPs dalam kejahatan Kehutanan
Kejahatan kehutanan, terutama di wilayah Asia Tenggara, bukanlah kejahatan biasa saja. Kejahatan kehutanan sudah dianggap sebagai kejahatan sistemik yang peluang-peluang terjadinya kejahatan terbuka karena didorong oleh beberapa faktor penting seperti tidak seimbangnya antara permintaan dengan penawaran dalam industri kayu, trade off ekonomi - ekologi, lemahnya penegakan hukum di bidang kehutanan, dll. Kejahatan kehutanan melibatkan modal yang tidak sedikit dengan hasil yang juga tidak sedikit.
Keterkaitan kejahatan kehutanan dengan kejahatan korupsi terlihat dari kenyataan bahwa kejahatan kehutanan selalu memanfaatkan tata kelola kehutanan yang buruk yang akhirnya melahirkan praktek-praktek korupsi. Pada titik ini, pencegahan atau bahkan pemberantasan kejahatan kehutanan tidak lagi hanya bisa didekati dengan pendekatan penegakan hukum kehutanan saja, tetapi juga dapat didekati dengan penegakan hukum korupsi.
Sebagaimana sudah disebutkan, kejahatan kehutanan melibatkan modal dan hasil kejahatan yang sangat besar. Pelaku kejahatan kehutanan tentu ingin kejahatannya bisa ditutupi dan dia bisa menikmati kejahatannya dengan nyaman. Dia juga pastinya ingin hasil kejahatannya itu bisa dipergunakan, selain untuk membiayai kembali tindakan jahatnya, untuk keperluan bisnis ‘legal’ atau keperluan pribadi lainnya. Pelaku kejahatan kehutanan yang dimaksud di sini tidak hanya mencakup pada subjek individu saja, tetapi juga badan hukum [misal yayasan, perusahaan].
Pada titik ini terkait dengan hukum anti pencucian uang, di mana dia akan memanfaatkan semaksimal mungkin struktur institusi keuangan yang ada di negaranya sendiri atau di luar negeri. Hubungan antara perbuatan “fraud” dengan pencucian uang sangatlah dekat. Karena itu pula pendekatan penegakan hukum anti pencucian uang bisa diterapkan pada kejahatan kehutanan.
Salah satu instrument yang bisa dipakai adalah PEPs ini. Sudah dijelaskan di muka, institusi keuangan di Indonesia dan bahkan di banyak negara sudah lama menerapkan prinsip ini, walaupun dengan derajat penerapan yang berbeda-beda. Prinsip ini bisa dipergunakan untuk membendung aliran “dana haram” masuk ke institusi keuangan legal dan akhirnya menyulap dana-dana tersebut akhirnya menjadi legal.
IV. a. Penapisan PEPs dalam bidang kehutanan
Supaya penerapan PEP berjalan dengan baik dan tidak membebani administrasi lembaga keuangan perlu kiranya dilakukan penapisan pada siapa saja yang bisa dimasukkan sebagai PEPs itu. Tidak adanya pembatasan atas siapa saja yang bisa dimasukkan sebagai PEPs ini justru akan menyebabkan penerapan PEPs menjadi tidak efektif karena terlalu banyak dan dinamisnya pergerakan para PEPs ini. Apalagi pemantauan terhadap PEPs ini tidak hanya dilakukan pada tingkat domestik, bahkan pada orang asing.
Penapisan ini bisa dimulai dengan pembatasan dimanakah batas yang dimaksud dengan pejabat senior dan berpengaruh tersebut? Memang kriteria ini akan berbeda dari satu negara ke negara lainnya, karena itu dalam tulisan ini kita akan mencoba melihat kemungkinan penerapan PEPs di Indonesia.
PEPs di Indonesia khusus dalam bidang kehutanan, mau tidak mau harus memperhatikan struktur politik dan birokrasi di Indonesia, terutama dalam pengelolaan sumber daya alam. Sesuai dengan politik hukum sumberdaya alam di Indonesia yang memasukkan hutan sebagai kekayaan sumber daya alam yang dikuasai oleh negara dan penguasaan ini dilaksanakan oleh pemerintah.
Pemerintah, sebagai representasi negara dalam penguasaan negara, berwenang melaksanakan kewenangan mengurus, merencanakan dan mengelola dan mengawasi sumber daya hutan. Pasal 4 UU 41/1999, memberikan kewenangan pemerintah untuk:
a. mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan;
b. menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan dan kawasan hutan sebagai bukan kawasan hutan; dan
c. mengatur dan menetapkan hubungan-hubungan hukum antara orang dengan hutan, serta mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai kehutanan.
Bahkan jika kebijakan kehutanan yang akan dikeluarkan oleh pemerintah itu berdampak penting dan strategis serta berdampak nasional dan internasional diharuskan ada persetujuan dulu dari DPR.
Penjelasan di atas menegaskan bahwa pengaturan masalah kehutanan dan juga sumber daya alam lainnya di Indonesia berkarakter berpusat pada pemerintah [government-based resources management] yang kemudian berimplikasi pada adanya orientasi pengelolaan SDA yang sentralistik. Karakter berpusat pada pemerintah ini tampak pula hadir dalam kebijakan hukum yang hanya mengakui peraturan yang dibuat oleh negara [state law] yang dalam kenyataannya sebenarnya menjadi hukum pemerintah [government law] dan bahkan disempitkan menjadi hukum birokrasi [birocrate law]. Pengakuan hanya pada hukum negara/pemerintah/birokrat ini menyingkirkan khazanah hukum lain seperti hukum adat dalam pengelolaan SDA di Indonesia.
Di Indonesia, sektor kehutanan diatur oleh Departemen kehutanan di tingkat pemerintah pusat, serta dinas-dinas kehutanan di tingkat pemerintah daerah. Hal itu sesuai dengan karakter managemen pengelolaan SDA kita yang menggunakan pendekatan sektoral. Di pusat, urusan kehutanan pasti dan hanya melibatkan Departemen Kehutanan. Institusi lain hanya menyesuaikan dengan apa maunya departemen ini. Pengelolaan lintas sektoral bisa dikatakan masih sulit diimplementasikan, biarpun sudah terwujud Menteri Koordinator.
Dalam hemat penulis, semua pejabat eselon 1 dan 2, selain tentu saja Menteri Kehutanan sendiri, di lingkungan Departemen Kehutanan seyogyanya dimasukkan dalam daftar PEPs. Faktor paling jelas kenapa mereka dimasukkan dalam daftar PEPs adalah dalam hal kewenangan mereka dalam memberikan ijin atau memberikan persetujuan lain [misal pemberian ijin prinsip] dalam bidang kehutanan. Sebagai ilustrasi, Direktur Bina Pengembangan Hutan Tanaman a.n. Dirjen BPK berwenang mengeluarkan ijin penggunaan dan pemindahan peralatan bagi pemegang IUPHHK-HTI. Ijin ini sangatlah penting, disamping RKT, dalam proses produksi nyata di lapangan. Selain itu, staf ahli dan yang setara dengan itu wajib pula dimasukkan dalam PEPs semata kedekatannya dengan pusat kekuasaan di Departemen kehutanan dan menentukan arah kebijakan kehutanan.
Sementara di pemerintahan daerah, selain Gubernur atau Bupati, dimasukkan pula dalam daftar PEPs ini kepala dinas yang mewadahi kewenangan dalam kehutanan. Di banyak daerah, terutama Kabupaten/Kota, kewenangan dalam kehutanan kadang digabungkan dengan kewenangan sektor lain, misalnya perkebunan. Selain karena faktor kekurangan SDM dan dana, juga untuk memudahkan jalannya birokrasi. Penggabungan dengan perkebunan, misalnya, memberi tahu kita bahwa kebijakan perkebunan bisa diintegrasikan dengan kebijakan kehutanan dan biasanya kebutuhan lahan perkebunan biasanya disediakan oleh sektor kehutanan.
Dalam pandangan penulis, kepala dinas yang membawahi kewenangan kehutanan baik di provinsi maupun kabupaten/kota menjadi batas bawah yang dimaksud dengan “pejabat senior dan berpengaruh”. Alasannya adalah pejabat di bawah kepala dinas tidak memiliki kewenangan dalam memberikan perijinan dalam bidang kehutanan. Tugas yang diemban kebanyakan adalah melaksanakan perintah kepala dinas atau bersifat teknis.
Sebenarnya ada juga pejabat di bawah Kepala Dinas yang juga berperan penting dalam tata usaha kayu – karakter lain pengelolaan SDA di Indonesia, yang berorientasi pada eksploitasi SDA, yang akhirnya melihat SDA semata nilai ekonominya saja; di kehutanan ini berwujud pada cara pikir yang melihat hutan sebagai “kumpulan kayu” – seperti P2SKSKB [Pejabat Penerbit Surat Keterangan Sahnya Kayu Bulat] yang menerbitkan SKSKB. Dalam hemat penulis, pejabat di bawah Kepala dinas ini bekerja dalam pengawasan langsung kepala dinas dan bekerja di ranah teknis dan bukan di ranah kebijakan. Karenanya implikasi kejahatannya seharusnya bisa diselesaikan dengan menggunakan pendekatan hukum konvensional. Sementara mekanisme KYC umum bisa diterapkan pada mereka dalam hal pencermatan transaksi keuangan mereka di lembaga keuangan.
Selain dari kalangan pemerintah/birokrasi, peran legislatif dalam membuat kebijakan kehutanan bersama-sama dengan pemerintah, serta mengawasi jalannnya kinerja pemerintah dalam bidang kehutanan menjadi alasan penting untuk memasukkan mereka sebagai PEPs. Ada penapisan atau tidak, dengan sendirinya anggota DPR/DPRD masuk dalam daftar PEPs. Jika ingin ada penapisan lebih rinci, maka anggota DPR yang tergabung dalam komisi yang mengurusi urusan kehutanan bisa dimasukkan sebagai PEPs. Di DPR RI komisi kehutanan masuk di komisi IV. Begitu juga seharusnya di tingkat DPRD.
Dalam kenyataan di lapangan, ada sektor lain yang juga mendapatkan porsi penting dalam kegiatan pengusahaan kehutanan ini, antara lain adalah Bapedal atau Bapedalda. Institusi ini menjadi ketua dalam rapat-rapat untuk menyetujui Amdal dari pelaku usaha.
Seturut dengan definisi PEPs, kolega dekat atau mitra bisnis harus dimasukkan dalam daftar PEPs. Di Indonesia, karakter pengelolaan sumber daya alam dari berbagai orde ternyata selalu berpihak pada pemodal-pemodal besar. Perhatikan syarat dan ketentuan dalam mendapatkan IUPHHK-HT, misalnya, sangat berorientasi pada kalangan pemodal besar. Hal ini ditunjang oleh keyakinan bahwa managemen yang baik dalam pengelolaan kehutanan, mengikuti PHPL misalnya, hanya bisa dikerjakan oleh sebuah institusi “industri” dan karenanya bermodal besar, bukan koperasi, bukan individual apalagi masyarakat adat.
Karena itulah ada hubungan istimewa antara pejabat kehutanan dengan pengusaha besar kehutanan ini. Hubungan baik mau tidak mau harus dibuat oleh pengusaha karena ketergantungan mereka pada pejabat dalam hal mendapatkan ijin usaha, ijin operasional perusahaannya sampai ijin pemasaran produknya. Keadaan ini berbeda misalnya dalam pengelolaan migas yang memang berpihak pemodal besar tetapi posisi mereka kuat karena perjanjian bisnis mereka lahir dalam bentuk kontrak. Sementara dalam kehutanan, bisnis itu berjalan berdasarkan mekanisme ijin; dimana ada pemerintah yang memberikan ijin kepada pengusaha untuk mengusahakan pada areal tertentu hutan negara. Ijin ini, karena faktor tertentu bisa saja ditarik kembali oleh pemerintah. Hubungan itu menjadi faktor penting kenapa mereka masuk dalam daftar PEPs.
Kerabat dekat PEPs sudah seyogyanya juga diperlakukan sama sebagai PEPs. Hubungan darah vertikal satu tingkat ke atas dan ke bawah bisa diperlakukan sebagai PEPs; begitu juga hubungan darah menyamping satu tingkat [paman]. Kerabat yang lebih jauh dari dua hubungan darah ini, bisa diperlakukan sebagai PEPs jika terlibat langsung atau mendapatkan keuntungan langsung atau tidak langsung dengan jabatan yang dijabat PEPs-nya.
Mencari informasi hubungan darah dengan PEPs tidaklah sesulit mencari hubungan ‘pertemanan’ dengan PEPs. Apalagi hubungan pertemanan itu terwujud dalam bentuk hubungan bisnis atau menjadi “penasehat”. Mereka memang bisa dimasukkan dalam PEPs sepanjang apa yang mereka lakukan sesuai dengan kerja-kerja PEPs tersebut. Selain itu, institusi lobi, seperti APHI, sewajarnya dimasukkan dalam PEPs terutama pembuat kebijakannya.
IV. b. Kadaluarsa PEPs
Sudah ditegaskan di awal, mekanisme PEPs merupakan salah satu cara dalam managemen resiko yang ditujukan untuk meminimalisir resiko ketika berhubungan bisnis dengan pejabat atau bekas pejabat publik yang penting dan berpengaruh berikut dengan kolega dekat dan kerabatnya. Memasukkan seseorang dalam daftar PEPs tidak dengan serta merta menjadikan mereka menjadi “penjahat” atau orang bersalah. Tetapi biarpun demikian, ada halangan tertentu bahkan mungkin perlakuan tertentu tersebut membuat bisnis kolega dekat PEPs menjadi tidak lancar, misalnya. Karena itu harus dipikirkan sampai kapan seseorang bisa dimasukkan sebagai PEPs.
Dalam definisi PEPs FATF, sudah ditegaskan bukan hanya pejabat saja tetapi juga bekas pejabat yang masuk dalam daftar PEPs. Tetapi “pengaruh” sebagai bekas pejabat tidaklah sekuat ketika dia masih pejabat, walaupun tetap punya pengaruh. Sehingga harus ada batas waktu akhir bagi bekas pejabat yang masuk kategori PEPs – misalnya 12 tahun setelah dia menjadi pensiunan, dia tidak lagi diperlakukan sebagai PEPs. Dikecualikan adalah bekas pejabat yang tetap berkiprah. Maka batas akhirnya ditentukan setelah dia benar-benar pensiun dari kiprah setelah pensiunnya itu.
Di dunia internasional sendiri, belum ada best practice yang mengatur masalah ini. FATF sendiri tidak menentukan batas akhir kapan seseorang tidak lagi dimasukkan sebagai PEPs. Tiap-tiap institusi keuangan sepertinya menentukan sendiri kapan seseorang tidak lagi dianggap PEPs.
Kadaluarsa bagi PEPs ini penting karena pergerakan mereka sangatlah dinamis. Jika tidak ada pembatasan maka beban administrasi lembaga keuangan akan sangat berat; seberat jika dia tidak melakukan penapisan mana PEPs mana bukan. Lihat saja di Indonesia, pejabat baru di tingkat gubernur saja ada puluhan, belum lagi bupati yang ratusan. Rangkaian angka itu akan mengular ketika juga diperhitungkan pejabat dan bekas pejabat di bidang kehutanan yang masih aktif dalam bidang kehutanan. Belum lagi jika memperhitungkan kolega dekatnya, penasehatnya, dan kerabat dekatnya. Dan itu baru di satu negara saja.
V. PEPs dan MLA [Mutual Legal Assistance]
Kejahatan kehutanan yang terjadi saat ini sudah dianggap sebagai kejahatan yang terorganisir dengan melibatkan beragam aktor baik di dalam maupun luar negeri. Dengan penerapan PEPs [khususnya PEPs sektor kehutanan] yang baik dan konsisten diharapkan bisa terbangun sistem database profile mereka dalam hubungannya dengan transaksi-transaksi bisnis yang dilakukan terkait dengan kebijakan kehutanan yang ada dalam wewenangnya.
Definisi PEPs yang memang pada awalnya hanya ditujukan bagi PEPs orang asing memudahkan kerja sama antar lembaga keuangan, misalnya, dalam melakukan tukar menukar data PEPs dan penelusuran asal usul dana PEPs. Pengetahuan tentang PEPs asing ini penting karena biasanya PEPs ini menyimpan dananya di luar negeri, di mana pengetahuan akan mereka dan uang mereka dianggap sedikit. Dan itu penting untuk menyembunyikan berasal dari mana dana mereka sebenarnya.
Hanya saja, selain sebagai korban atau mungkin malah menjadi pelaku peserta, lembaga keuangan berposisi sebagai pelapor ketika ada PEPs yang memang menyimpan hasil kejahatannya di lembaga keuangannya. Tindakan berikutnya untuk membekukan dan mengembalikan dana tersebut ke negeri asalnya memerlukan kerja sama antar negara. Dana yang disimpan di suatu lembaga keuangan tidak bisa begitu saja ditarik oleh negara asal PEPs itu karena – biasanya besar – akan berpengaruh pada kondisi keuangan lembaga keuangan tersebut. Intervensi dari lembaga pemerintah tempat lembaga keuangan itu berada perlu dilakukan.
Di ranah inilah timbul Mutual Legal Assistance atau bantuan hukum timbal balik di mana suatu negara meminta institusi penegak hukum negara lain untuk melakukan tindakan preventif dan koersif demi untuk keperluan investigasi atau mengeksekusi kasus-kasus pidana.
MLA ini penting karena ketika kejahatan sudah terorganisir dan melewati batas negara dengan hasil kejahatan berpindah-pindah dari satu lembaga keuangan di suatu negara ke lembaga keuangan di negara lain, aparat penegak hukum masih dikungkung oleh batas wilayah kewenangan yang tidak bisa melewati batas teritorial negaranya. Ketika dia harus melakukan investigasi kejahatan yang berada di luar negeri, jika tidak ada bantuan dari negeri luar tersebut, maka mustahil kejahatannya itu bisa terbongkar.
Sudah banyak Perjanjian internasional yang dibuat dalam rangka menjembatani jurang tersebut, misalnya saja UNCAC [United Nation Convention Against Corruptions [2003]]. Kerja sama hukum antar negara dimungkinkan untuk membekukan, menyita dan mengembalikan dana kejahatan korupsi. PEPs yang melakukan kejahatan kehutanan sedikit tidaknya akan bersangkut paut dengan masalah kejahatan korupsi ini. Misalnya saja UU Korupsi di Indonesia menegaskan salah satu subjek pelaku korupsi adalah pejabat negara. Jika bersangkutan dengan suap, maka pemberi suap dan penerima suap [pejabat negara] akan sama sama dihukum dengan pasal-psal korupsi.
Di sinilah letak irisan antara PEPs dengan MLA. Pengetahuan yang mendalam serta pembangunan sistem peringatan dini mengenai PEPs yang dilakukan oleh suatu lembaga keuangan akan membantu dalam penegakan hukum, baik itu korupsi, pencucian uang atau kejahatan lainnya. Jika ternyata prinsip hati-hatian sedemikian rupa sudah dilakukan tetapi dana dari PEPs jahat sudah terlanjur ada di lembaga keuangan tersebut, maka dengan MLA, dana tersebut bisa dikembalikan ke negara asal dari PEPs itu sebagai pemilik yang sah dana tersebut.
VI. Kesimpulan
Hancurnya reputasi lembaga keuangan akibat perbuatan nasabahnya telah melahirkan sejumlah inovasi baru dalam bidang managemen resiko lembaga keuangan. Lahirnya mekanisme KYC telah mencoba mengurangi resiko itu. Hanya saja pada umumnya mekanisme KYC yang dijalankan oleh lembaga keuangan memperlakukan lembaga keuangan sebagai pihak yang pasif, terihat dari pelaksanaan mekanisme KYC yang bertumpu pada keterangan yang diberikan oleh pihak nasabah. Lembaga keuangan yang sudah maju memang mempunyai mekanisme untuk menindaklanjuti keterangan yang diberikan nasabahnya itu dengan mencari data kebenaran/verifikasi atas data yang diberikan oleh nasabahnya atau meneruskan atau tidak transaksi bisnis dengan nasabah tertentu yang melibatkan pejabat senior bank dan bahkan melakukan penelusuran asal muasal dana nasabahnya. Di Indonesia sendiri, kewajiban hukum lembaga keuangan hanya sampai pada menyediakan form yang akan diisi oleh nasabahnya ketika menyetorkan uang atau bertransaski di lembaga keuangan. Tidak ada kewajiban hukum untuk melakukan lebih dari itu.
Posisi pasif ini tentu akan menaikkan tingkat resiko lembaga keuangan. Untuk itu sebuah mekanisme yang memungkinkan lembaga keuangan lebih bersikap aktif dalam hal mengetahui data nasabahnya menjadi hal yang penting. Penerapan prinsip PEPs ini memperlakukan lembaga keuangan sebagai pihak yang aktif dalam bertransaksi dengan pihak nasabah.
Lembaga keuangan membangun sistem database sendiri [saat ini] tentang kriteria siapa yang bisa dimasukkan sebagai PEPs itu, apa yang harus dilakukan ketika PEPs itu melakukan transaksi bisnis dengannya, bagaimana memperlakukan hubungan bisnis itu, kepada institusi mana transaksi PEPs ini harus dilaporkan, dst. Lembaga keuangan dan jaringannya akan mempunyai sistem peringatan dini dalam meminimalisir resiko reputasi tadi.
Bagi lembaga keuangan yang sering atau akan terjun dalam bisnis dengan nasabah yang bergerak di bidang kehutanan perlu memiliki database tentang PEPs di bidang kehutanan ini. Penapisan dan batas mana bisa dikatakan sebagai pejabat senior dan berpengaruh itu harus terlebih dulu dilakukan.
Pengelolaan kehutanan oleh pemerintah Indonesia yang bersifat sektoral dalam hal tertentu memudahkan penapisan pejabat PEPs, mitra bisnis/kolega dekat dan kerabat dekatnya. Hanya saja perlu ada kewajiban hukum yang lebih tegas tentang apa yang dilakukan oleh lembaga keuangan ketika bertransaksi dengan PEPs, siapa yang harus menangani, kekayaan macam apa yang harus diketahui oleh lembaga keuangan, kepada siapa melaporkan transaksi dengan mereka, apa bentuk laporan itu, dll. Kejelasan prosedur dalam menangani transaksi dengan PEPs ini sangat penting, terutama dalam menanggulangi kejahatan kehutanan di Indonesia yang tipologinya sudah sangat canggih dan melibatkan beragam aktor baik di dalam dan di luar negeri.
Dalam hal penerapan MLA ini, bukan hanya beragamnya sistem hukum yang berlaku di masing-masing negara yang harus didekati dengan perjanjian bilateral yang membuat pelaksanaannya tidak efektif, tetapi political will dari negara yang dimintai bantuan juga memegang peranan yang penting juga. Misalnya saja, Indonesia sudah menandatangani MLA dengan negara-negara ASEAN, termasuk Singapura, tetapi sampai sekarang tidak ada proses pengembalian aset yang berhasil dilakukan dengan Singapura. Bukan karena sistem hukumnya yang berbeda, tetapi karena rendahnya komitmen pemerintah Singapura untuk membantu Indonesia dalam menarik kembali dana-dana yang dianggap haram itu.
Bahan Bacaan
APG on Money Laundering, APG 2nd Mutual Evaluation Report on Indonesia: Against the FATF 40 Recommendations (2003) and 9 Special Recommendations, APG Plenary, 2008, diakses pada 14 Agustus 2008: http://www.apgml.org/documents/docs/17/Indonesia%20MER2_FINAL.pdf
APG on Money Laundering, APG Mutual Evaluation Report on Malaysia against the FATF 40 Recommendations (2003) and 9 Special Recommendations, APG Plenary, 2007, Diakses pada 9 Juli 2008: http://www.apgml.org/documents/docs/17/Malaysian%20MER%20-%20FINAL%20August%202007.pdf
Atmasasmita, Romli, Assessment of the UNCAC on Asset Recovery and Mutual Legal Assistance: From the Indonesian Law Perspective, Makalah pada “Making international anti-corruption standards operational: Asset Recovery and mutual legal assistance” Regional Seminar for Asia-Pacific, Bali, Indonesia, 5-7 September 2007
David Leppan, PEPs: Moving Forward, World Check, 2008, diakses pada 14 Juli 2008: http://www.world-check.com/media/d/content_whitepaper_reference/PEPs_Moving_Forward_Leppan.pdf
David Leppan, Refining The PEP Definition, Global Objective Limited, 2008, diakses pada 14 Juli 2008: http://www.world-check.com/media/d/content_whitepaper_reference/Refining_the_PEP_Definition_ Edition_II_17_06_.pdf
FATF, The 40 Recommendations, FATF, 2003, Diakses pada 24 Agustus 2008: http://www.fatf-gafi.org/document/28/0,3343,en_32250379_32236930_33658140_1_1_1_1,00.html
Nurjaya, I nyoman, Prinsip-prinsip Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup yang Berkelanjutan: Implikasinya Bagi Politik Pembangunan Hukum Nasional, Makalah pada FGD “Sinkronisasi dan Harmonisasi Program Pengembangan Sistem Hukum Nasional bidang Pertanahan, Pertambangan dan Kehutanan serta Lingkungan”, BPHN, 24 September 2008.
Peraturan Bank Indonesia No: 3/10/PBI/2001 Tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer Principles)
Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan.
Undang-Undang Nomor 1 tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana
U4 Expert Answer, Mutual Legal Assistance Treaties and Money laundering, Diakses pada 15 September 2008: http://www.u4.no/helpdesk/helpdesk/query.cfm?id=173
World-Check, Helping define The PEPs Definition, World-Check [Global Objective Ltd], 2005, diakses pada 14 Juli 2008: http://www.world-check.com/media/d/content_whitepaper_reference/whitepaper-1.pdf
Unduh di sini....