Bupati PPU menyatakan bahwa Pasal 38 Ayat 3 (kewenangan Menteri Kehutanan memberikan ijin pinjam pakai kawasan hutan jika kawasan hutan akan dipakai untuk kepentingan pertambangan) dan Pasal 50 Ayat 3 huruf g (dilarang melakukan kegiatan penyelidikan umum atau eksplorasi atau eksploitasi bahan tambang di dalam kawasan hutan, tanpa izin Menteri) bertentangan dengan UUD 1945 terutama Pasal 1 ayat 3, Pasal 18 dan Pasal 18A. Persidangan di MK sendiri sudah sampai pada mendengarkan saksi ahli dari masing-masing pihak (risalah sidang). Jika mendengarkan pendirian pihak pemohon, persoalan ini diangkat lebih menitikberatkan pada menjadi panjangnya birokrasi perijinan (tambang di kawasan hutan) dan, dengan tidak adanya kewenangan di pihak daerah, membuat kesejahteraan rakyat tidak tercapai. Bahkan secara intrinsik, pemohon juga mempertanyakan sistem pembagian keuntungan dari pertambangan yang diterima secara tidak langsung oleh daerah dalam bentuk royalti (royalti ini dibayarkan ke pemerintah pusat, lalu pemerintah pusat membagaikan ke daerah).
Dari mana sebenarnya akar permasalahannya? Disinyalir berasal dari perbedaan cara pandang dalam melihat pengurusan hutan: ada yang melihatnya dari sisi hutannya (ini posisinya pemerintah) dan ada yang melihatnya dari sisi otonomi daerah (ini posisi pemohon). Dan hal tersebut didasari oleh teori hukum: peraturan yang khusus mengalahkan peraturan yang umum. apa yang khusus di antara peraturan perundang-undangan dalam bidang otonomi daerah dengan peraturan di bidang kehutanan?
Saldi Isra (saksi ahli dari pemohon) berpendapat sebenarnya tidak ada yang khusus di antara aturan otda dan kehutanan tersebut. Hanya saja jika dilihat dari posisi UU mana yang harus dibuat sebagai perintah UUD 1945, Saldi menyebut UU Otda-lah yang mempunyai posisi kuat sebagai "Undang-undang Pokok".
Pendapat pemerintah dalam menaggapi permohonan ini adalah dengan mencoba ke luar dari polemik UU Kehutanan vs UU Otda, dengan menyatakan bahwa Pasal 38 dan Pasal 50 harus dibaca secara senapas dengan Pasal 66 yang mengatur soal penyerahan kewenangan ke daerah. Jadi kedua pasal itu tidak bertentangan dengan otonomi daerah karena esensinya adalah dalam rangka pengendalian pemanfaatan hutan lewat pemberian ijin. Jadi tidak ada kewenangan daerah yang diambil alih, sehingga tidak ada "kerugian konstitutional" yang diderita oleh pemohon.
Saya kira, di balik pendapat pemerintah itu, sebenarnya ada meta-pikirnya, mungkin paradigma, yang melekat di benak pemerintah pusat dalam melihat pengurusan hutan ini. Pemerintah pusat melihat bahwa ketika pemerintah daerah diberikan kewenangan luas dalam mengurus hutan, maka hutan akan rusak karena daerah ternyata hanya melihat hutan sebagai aset untuk kepentingan pemasukan PAD saja. Ini sebenarnya agak bersisian dengan pendapat pemohon sendiri, yang melihat posisi penting kehutanan dalam peningkatan kesejahteraan daerahnya.
Kekawatiran makin rusaknya hutan jika pengurusannya diberikan sepenuhnya kepada daerah ternyata juga diamini oleh beberapa aktivis lingkungan hidup yang sempat saya tangkap pendiriannya. Inisiatif Bupati PPU untuk mengajukan judicial review ke MK memang bisa dilihat dari usaha daerah untuk "mempertanyakan" kekuasaan "absolut" Kemenhut dalam mengurus kawasan hutan. Ini penting, karena salah satu ciri negara hukum adalah adalah penyebaran kekuasaan, baik horizontal maupun vertikal (pusat-daerah).
Tapi, bercermin dari praktek pengelolaan SDA yang dilakukan oleh Pemda serta niatan pemohon sendiri, daerah hanya akan melihat hutan sebagai aset ekonomi semata. Permohonan ini dilihat dengan penuh curiga sebagai usaha pemerintah daerah memaksimalkan keuntungan dari adanya hutan di daerahnya. Apalagi konflik antara kehutanan dengan pertambangan akhir-akhirnya ini mengemuka terus. Posisi kehutanan (dalam term "konservasi"-nya, saya kira) dianggap sebagai "penghalang" kemajuan daerah.
Para aktivis itu cenderung untuk berpendapat biarlah IPPKH ini dipegang oleh pemerintah pusat. Meta-pikirnya adalah dalam hal pemberian ijin pemakaian kawasan hutan sebaiknya terkontrol di tingkat pusat saja. Ini lebih memudahkan pengawasan, daripada diserahkan di tingkat daerah yang membuka peluang dihambur-hamburkannya IPPKH atau bentuk IPPKH yang berbeda-beda antar kabupaten.
Tapi apakah benar pengawasan menjadi lebih mudah jika IPPKH itu hanya ada di tangan Menhut? Saya tidak sepenuhnya yakin. Praktek selama ini, informasi soal IPPKH yang sudah jalan tidak dibuka ke publik. Informasi yang ada hanya dalam bentuk statistik yang lebih berupa penyederhanaan. Sudah adakah tindakan Menhut pada pemilik IPPKH yang tidak menaati aturan? Lalu apa tindakan Menhut terhadap pemilik usaha yang tidak memiliki IPPKH?
Kekawatiran itu sendiri sebenarnya, secara teori, bisa ditepis dengan mengetengahkan bahwa dalam aturan otonomi daerah pun, ada pengawasan bersama antara pemerintah pusat dan daerah. Gampangnya, jika sekarang ini dianggap pengurusan hutan oleh daerah tidak betul sebetulnya membuka ruang tanya juga: lalu apa kerja pemerintah pusat? Bukankah di dalam UU Otda sendiri sudah dijelaskan pembagian kewenangannya: pusat buat aturan, norma; daerah eksekusi; pusat-daerah mengawasi. Hancurnya hutan tidak hanya karena ada euforia daerah, tapi juga karena adanya pengawasan yang lemah, bahkan pembiaran, dari pemerintah pusat.
Untuk itu, menarik untuk dinanti apa putusan MK soal masalah ini. Mungkin saja Mahkamah Konstitusi dapat memberikan jalan tengah dari konflik peraturan perundang-undangan ini dan mengajarkan kepada kita bagaimana seharusnya kawasan hutan/hutan itu diurus?
Dari mana sebenarnya akar permasalahannya? Disinyalir berasal dari perbedaan cara pandang dalam melihat pengurusan hutan: ada yang melihatnya dari sisi hutannya (ini posisinya pemerintah) dan ada yang melihatnya dari sisi otonomi daerah (ini posisi pemohon). Dan hal tersebut didasari oleh teori hukum: peraturan yang khusus mengalahkan peraturan yang umum. apa yang khusus di antara peraturan perundang-undangan dalam bidang otonomi daerah dengan peraturan di bidang kehutanan?
Saldi Isra (saksi ahli dari pemohon) berpendapat sebenarnya tidak ada yang khusus di antara aturan otda dan kehutanan tersebut. Hanya saja jika dilihat dari posisi UU mana yang harus dibuat sebagai perintah UUD 1945, Saldi menyebut UU Otda-lah yang mempunyai posisi kuat sebagai "Undang-undang Pokok".
Pendapat pemerintah dalam menaggapi permohonan ini adalah dengan mencoba ke luar dari polemik UU Kehutanan vs UU Otda, dengan menyatakan bahwa Pasal 38 dan Pasal 50 harus dibaca secara senapas dengan Pasal 66 yang mengatur soal penyerahan kewenangan ke daerah. Jadi kedua pasal itu tidak bertentangan dengan otonomi daerah karena esensinya adalah dalam rangka pengendalian pemanfaatan hutan lewat pemberian ijin. Jadi tidak ada kewenangan daerah yang diambil alih, sehingga tidak ada "kerugian konstitutional" yang diderita oleh pemohon.
Saya kira, di balik pendapat pemerintah itu, sebenarnya ada meta-pikirnya, mungkin paradigma, yang melekat di benak pemerintah pusat dalam melihat pengurusan hutan ini. Pemerintah pusat melihat bahwa ketika pemerintah daerah diberikan kewenangan luas dalam mengurus hutan, maka hutan akan rusak karena daerah ternyata hanya melihat hutan sebagai aset untuk kepentingan pemasukan PAD saja. Ini sebenarnya agak bersisian dengan pendapat pemohon sendiri, yang melihat posisi penting kehutanan dalam peningkatan kesejahteraan daerahnya.
Kekawatiran makin rusaknya hutan jika pengurusannya diberikan sepenuhnya kepada daerah ternyata juga diamini oleh beberapa aktivis lingkungan hidup yang sempat saya tangkap pendiriannya. Inisiatif Bupati PPU untuk mengajukan judicial review ke MK memang bisa dilihat dari usaha daerah untuk "mempertanyakan" kekuasaan "absolut" Kemenhut dalam mengurus kawasan hutan. Ini penting, karena salah satu ciri negara hukum adalah adalah penyebaran kekuasaan, baik horizontal maupun vertikal (pusat-daerah).
Tapi, bercermin dari praktek pengelolaan SDA yang dilakukan oleh Pemda serta niatan pemohon sendiri, daerah hanya akan melihat hutan sebagai aset ekonomi semata. Permohonan ini dilihat dengan penuh curiga sebagai usaha pemerintah daerah memaksimalkan keuntungan dari adanya hutan di daerahnya. Apalagi konflik antara kehutanan dengan pertambangan akhir-akhirnya ini mengemuka terus. Posisi kehutanan (dalam term "konservasi"-nya, saya kira) dianggap sebagai "penghalang" kemajuan daerah.
Para aktivis itu cenderung untuk berpendapat biarlah IPPKH ini dipegang oleh pemerintah pusat. Meta-pikirnya adalah dalam hal pemberian ijin pemakaian kawasan hutan sebaiknya terkontrol di tingkat pusat saja. Ini lebih memudahkan pengawasan, daripada diserahkan di tingkat daerah yang membuka peluang dihambur-hamburkannya IPPKH atau bentuk IPPKH yang berbeda-beda antar kabupaten.
Tapi apakah benar pengawasan menjadi lebih mudah jika IPPKH itu hanya ada di tangan Menhut? Saya tidak sepenuhnya yakin. Praktek selama ini, informasi soal IPPKH yang sudah jalan tidak dibuka ke publik. Informasi yang ada hanya dalam bentuk statistik yang lebih berupa penyederhanaan. Sudah adakah tindakan Menhut pada pemilik IPPKH yang tidak menaati aturan? Lalu apa tindakan Menhut terhadap pemilik usaha yang tidak memiliki IPPKH?
Kekawatiran itu sendiri sebenarnya, secara teori, bisa ditepis dengan mengetengahkan bahwa dalam aturan otonomi daerah pun, ada pengawasan bersama antara pemerintah pusat dan daerah. Gampangnya, jika sekarang ini dianggap pengurusan hutan oleh daerah tidak betul sebetulnya membuka ruang tanya juga: lalu apa kerja pemerintah pusat? Bukankah di dalam UU Otda sendiri sudah dijelaskan pembagian kewenangannya: pusat buat aturan, norma; daerah eksekusi; pusat-daerah mengawasi. Hancurnya hutan tidak hanya karena ada euforia daerah, tapi juga karena adanya pengawasan yang lemah, bahkan pembiaran, dari pemerintah pusat.
Untuk itu, menarik untuk dinanti apa putusan MK soal masalah ini. Mungkin saja Mahkamah Konstitusi dapat memberikan jalan tengah dari konflik peraturan perundang-undangan ini dan mengajarkan kepada kita bagaimana seharusnya kawasan hutan/hutan itu diurus?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar