05 Maret 2008

Hutan Lindung dan Pertambangan di Indonesia: Pertentangan dan Pertautannya

Tulusan berikut merupakan seri pertama dari dua seri tulisan untuk menanggapi ditetapkannya Pp No 2 Tahun 2008 tentang jenis dan tarif PNBP yang berasal dari penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan yang berlaku di Dephut. Mau tidak mau, perdebatan lama tentang hutan dan pertambangan terkuat kembali.

Tulisan pertama ini lebih menyorot latar belakang lahirnya perdebatan tentang penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan non kehutanan seperti pertambangan. Tulisan lebih banyak menyorot masalah penggunaan hutan lindung bagi kepentingan di luar kegiatan kehutanan dengan membuka kembali UU 41/1999 dengan UU 19/2004, sekaligus juga sedikit memberikan alternatif penafsiran pada dua UU itu. Semoga bisa membantu mengurai benang kusut....

Selain bisa dibaca di sini anda juga bisa mengunduhnya di sini

Hutan Lindung dan Pertambangan di Indonesia: Pertentangan dan Pertautannya

Oleh: Mumu Muhajir

A. Pembuka
Tulisan ini dibuat secara sadar berada dalam koridor peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia – yang berarti bersifat positif-tertulis. Tulisan ini karenanya akan terasa kurang dengan hiruk pikuk perdebatan politik atau ”ada sesuatu di balik sesuatu” yang ada kaitannya dengan pemanfaatan hutan [lindung] untuk kepentingan kegiatan pertambangan. Dalam tulisan ini, kecuali spesifik disebutkan lain, kegiatan pertambangan berarti semua kegiatan yang ada kaitannya dengan pengambilan bahan-bahan galian mineral dan energi baik golongan a, b dan c dari dalam dan permukaan bumi [PP No 27 Tahun 1980 tentang penggolongan bahan galian], sedangkan hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah [UU No 41 tahu 1999 Tentang Pokok Kehutanan, selanjutnya UU 41/1999]

B. Pemanfaatan Kawasan Hutan Untuk Kegiatan Pertambangan
Pada dasarnya hutan hanya boleh dipergunakan sesuai dengan fungsi dan peruntukannya sebagaimana telah ditetapkan dengan perundang-undangan yang berlaku. Karena itu, penggunaan hutan untuk kepentingan lain di luar kegiatan kehutanan hanya bisa dilakukan dengan kesempatan yang terbatas dan dibatasi untuk kepentingan-kepentingan umum terbatas atau kepentingan pembangunan selain di bidang kehutanan. Tulisan di bawah akan mencoba menguraikan naik turunnya kebijakan pertambangan di kawasan hutan [lindung].

Pada awalnya semua kawasan hutan, selain di taman nasional, taman wisata dan hutan dengan fungsi khusus, bisa diusahakan sebagai tempat kegiatan pertambangan. Termasuk ke wilayah yang bisa digunakan ini adalah cagar alam, suaka margasatwa, taman buru, hutan lindung, hutan produksi terbatas dan hutan produksi tetap. Bisa dilihat di Pasal 3 Keputusan Bersama menteri Pertambangan dan Energi dan Menteri Kehutanan No.969.k/05/M.PE/1989 – No. 429/Kpts-II/1989 tentang Pengaturan Pelaksanaan Usaha Pertambangan dan Energi dalam Kawasan Hutan, atau juga periksa di dalam UU No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Hayati, yang melarang adanya kegiatan apapun di zona inti dari taman nasional.

Kemudian dengan adanya Kepmenhut No. 55/Kpts-II/1994 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan, hanya pada hutan produksi yang bisa dilakukan kegiatan di luar kepentingan kehutanan. Pada hutan selain hutan produksi, diperbolehkan dipergunakan untuk kegiatan lain selain kehutanan asalkan kegiatan itu untuk kepentingan umum terbatas. Kepentingan umum terbatas adalah kepentingan seluruh lapisan masyarakat yang pelaksanaan kegiatan pembangunannya dilakukan dan dimiliki oleh instansi pemerintah serta tidak dipergunakan untuk mencari keuntungan, termasuk di dalamnya adalah keperluan pembangunan jalan, saluran pembuangan air dll [lihat pasal 1 angka 3 Kepmenhut No. 55/Kpts-II/1994]. Dengan kata lain hanya pada kawasan hutan produksilah kegiatan pertambangan bisa dilakukan, selain di hutan produksi, tidak diperbolehkan.

Lucunya adalah di dalam pasal 8 Kepmenhut tersebut di atas diatur ketentuan bahwa khusus untuk kegiatan pertambangan dan energi di kawasan hutan diatur dengan ketentuan tersendiri. Di mana “diatur dengan ketentuan tersendiri” itu berada? Sepertinya Keputusan bersama Men-PE dan Menhut di atas-lah yang dimaksud dengan ketentuan tersendiri itu. Atau jika meyangkut hutan lindung diatur dalam Permenhut P 12 Tahun 2004.

Akhirnya adalah masalah interpretasi apa yang dimaksud dengan kepentingan umum terbatas itu? Apakah pertambangan bisa dimasukan di dalam kepentingan umum terbatas itu? Atau dia hanya masuk di ruang tumpah tindih antara kepentingan departemen pertambangan dan energi dengan departemen kehutanan dan memanfaatkannya?

C. Pertambangan Diperbolehkan Di Hutan Lindung
UU No. 41/1999 adalah titik kompromi dan sekaligus menunjukan bahwa usaha pertambangan, tentu dengan ruang istilah yang sudah disediakan di atas, masuk ke dalam kepentingan umum terbatas itu, atau kalau pun tidak, telah dengan sangat radikal merubah pengertian kepentingan umum terbatas itu. Penjelasan pasal 38 ayat [1] menyebutkan, ketika berusaha menjelaskan apa yang dimaksud dengan kepentingan pembangunan di luar kehutanan, sebagai kegiatan untuk tujuan strategis yang tidak dapat dielakan di mana termasuk di dalamnya kegiatan pertambangan.

Makin banyak kawasan hutan [lindung] yang dipergunakan untuk kegiatan selain kegiatan kehutanan, yang termasuk didalamnya kegiatan pertambangan, atau banyak perusahaan yang antri meminta ijin, sehingga aturan tentang hal itu nampaknya meluas dan sekaligus melemah. Semua kawasan hutan boleh dimanfaatkan kawasannya kecuali hutan cagar alam serta zona inti dan zona rimba pada taman nasional. Secara tersurat, hutan produksi memang masih terbuka untuk kegiatan pertambangan [baik pola terbuka atau tertutup], dengan ketentuan, ketika menyangkut pertambangan pola terbuka, dilakukan dengan ketentuan khusus dan selektif.

Setelah lahirnya UU 41/1999 ini, kegiatan pertambangan diperluas tidak lagi hanya di hutan produksi, tetapi bisa juga dilakukan di hutan lindung. Hanya saja pertambangan di hutan lindung tidak diperbolehkan dilakukan dengan pola terbuka. Membuka kemungkinan, secara tersirat, diadakannya pertambangan di hutan lindung asalkan dengan pola tertutup.

Pola pertambangan yang dikenal ada dua: terbuka dan tertutup. Pola pertambangan terbuka dilakukan dengan cara membuka permukaan tanah untuk mengambil bahan galian yang ada di dalam tanah. Pola pertambangan terbuka mau tidak mau akan merubah lanskap alam dan menghilangkan lapisan subur pada tanah. Berbeda dengan pola pertambangan tertutup yang dilakukan dengan membuat terowongan ke dalam bumi untuk mengeduk bahan galian yang ada atau dengan tidak merusak bentang alam permukaan tanahnya.

Ketentuan tentang pertambangan di hutan lindung makin menguat dengan dilahirkannya Perpu No 1 Tahun 2004 [telah diundangkan dengan UU No 19 Tahun 2004] yang menambahkan ketentuan baru pada UU 41/1999 pada masalah pertambangan di kawasan hutan lindung. Perpu ini lahir dengan alasan adanya kekosongan hukum bagi usaha-usaha pertambangan dengan pola terbuka yang ijinnya telah keluar sebelum UU No 41 Tahun 1999 disahkan. Bagaimana posisi mereka? Perpu tersebut membolehkan mereka untuk tetap melanjutkan usahanya sampai habis masa ijinnya.

Perpu tersebut juga membuka kenyataan dan bahkan mengafirmasi bahwa sebenarnya sebagian besar pertambangan di Indonesia dilakukan dengan sistem/pola terbuka yang secara operasional lebih murah, namun berharga mahal bagi lingkungan. Pemerintah Indonesia nampaknya agak kesulitan menerapkan pola pertambangan tertutup, yang sebenarnya sudah menjadi standar di negara-negara maju [asal kebanyakan perusahaan pertambangan besar di Indonesia], di tengah ketergantungan kita terhadap modal dan investasi [finansial atau teknologi atau SDM] dari luar negeri.

Di sisi lain, terlihat bahwa kebijakan kehutanan yang lestari dan berkelanjutan nampaknya agak sulit dilakukan ketika berhadapan dengan industri pertambangan. Posisi industri pertambangan memang sangat kuat. Lihatlah bagian Menimbang di UU No. 11/1967, yang menyebutkan bahwa “guna untuk mempercepat terlaksananya pembangunan ekonomi nasional dalam menuju masyarakat Indonesia yang adil dan makmur materiil dan spirituil berdasarkan pancasila maka perlulah dikerahkan semua dana dan daya untuk mengolah dan membina segenap kekuatan ekonomi potensial di bidang pertambangan menjadi kekuatan ekonomi riil”. Lihat juga pasal 28 UU yang sama yang mengharuskan mereka yang punya hak atas tanah membolehkan pekerjaan pemegang kuasa pertambangan atas tanah yang bersangkutan.

Perhatikan pula bahwa dalam peraturan perundang-undangan selanjutnya setelah UU No 41/1999 keterangan tentang kegiatan pertambangan seperti apa yang tidak dijinkan di hutan lindung tidak disinggung lagi. UU No 19/2004 hanya menyinggung sedikit tentang hal ini di bagian penjelasan umumnya. Tetapi Permenhut P 12 Tahun 2004 sebagai aturan pelaksanaan dari UU No 19/2004 tersebut, hanya menyebutkan ”pertambangan di hutan lindung diijinkan bagi 13 perusahaan”. Sehingga seolah-olah ke 13 perusahaan itu boleh melakukan kegiatan pertambangan pola terbuka di hutan lindung, padahal UU 41/1999 jelas-jelas melarang pertambangan pola terbuka di hutan lindung. Seyogyanya, ketentuan itu dibaca: ketiga belas perusahaan diperbolehkan melanjutkan kegiatan pertambangannya di hutan lindung tetapi, sejak tahun 2004, tidak boleh lagi dilakukan dengan pola terbuka, melainkan harus dengan pola tertutup. Di bawah adalah alasannya.

Mencantumkan keterangan dengan tersurat pola pertambangan macam apa yang boleh ada di hutan lindung di dalam UU 19/2004 menjadi sebuah keharusan karena banyak pihak yang membaca UU No 19/2004 sebagai pengganti dari UU 41/1999. Padahal UU No 19/2004 itu seharusnya hanya mengatur soal pemberian ijin bagi ketiga belas perusahaan tambang yang sebelum tahun 1999 sudah mendapatkan ijin melakukan pertambangan secara terbuka di hutan lindung. Lain tidak. Sehingga seyogyanya dalam UU 19/2004 itu, keterangan yang ada dalam pasal 38 UU 41/1999 tidak boleh dikurangi atau ditambahi.

Jelas kemudian bahwa UU No 41/1999 jo to UU No. 19/2004 memang tidak boleh berlaku surut dalam hal larangan pertambangan di hutan lindung. Perusahaan yang telah mengantongi ijin menambang di hutan lindung tetap diperbolehkan untuk terus menambang sampai selesai ijinnya, tetapi polanya tidak lagi bisa secara terbuka, melainkan harus tertutup. Ini terkait dengan bahwa pemberian ijin itu adalah dalam hal menambang di hutan lindung, sementara apakah pola terbuka atau tertutup itu soal metode pertambangan..

Pola pertambangan, baik terbuka atau tertutup tidak dimasukkan dalam kategori syarat yang harus dipenuhi dalam pemberian ijin untuk menambang. Sehingga perusahaan hanya mendapatkan ijin/kontrak untuk melakukan kegiatan pertambangan di suatu wilayah yang ditunjuk oleh pemerintah. Dalam metode pertambangannya, pemerintah hanya menentukan bahwa kegiatan pertambangn itu harus memperhatikan aspek lingkungan hidup [misalnya dalam KK dan PKP2B, sementara untuk KP mengikuti aturan perlindungan lingkungan hidup]. Dengan demikian, kebijakan perusahaan sendirilah yang menentukan pola mana yang akan dipakainya tergantung kemampuan teknologi dan finansialnya.

Aturan tentang kriteria penambangan terbuka dan tertutup belum diatur di Indonesia. Acuan kalimat “penambangan dengan pola pertambangan terbuka”, akhirnya harus ditempatkan dalam khazanah ilmu pengetahuan pertambangan. Sayangnya UU 41/1999 juga tidak mau dan mampu menjadi pionir dalam memberikan penjelasan apa yang dimaksud dengan pola pertambangan terbuka itu. Sehingga memang jadi kabur.

Konsekuensinya adalah pemerintah, dalam hal ini Dephut, sebenarnya tetap mempunyai wewenang untuk memberikan ijin pertambangan di hutan lindung tetapi harus dengan tidak pola terbuka. Pertambangan yang sudah berjalan sebelum UU 41/1999 lahir yang berpola tertutup tetap bisa melanjutkan kegiatannya. Nampaklah kemudian bahwa kehadiran Perpu No 1 Tahun 2004 yang hanya mengijinkan 13 perusahaan melakukan pertambangan di hutan lindung secara terbuka sebenarnya keliru, diskriminatif, tidak konsekuen dan mengandung aroma politis.

D. Kesimpulan
Sampai kapan pun ”konflik” antara kehutanan dengan pertambangan akan terus terjadi selama hal-hal mendasar, dalam area hukum dan peraturan perundang-undangan, tentu saja, tidak dirembugkan bersama dan dicarikan jalan ke luarnya. Pengertian tentang apa yang dimaksud dengan pola pertambangan terbuka itu, apa itu pola pertambangan tertutup harus dimasukkan dalam area-area hukum sehingga larangan pertambangan terbuka di hutan lindung mrnjadi jelas menunjuk apa dan ”siapa”. UU No 41/1999 sebenarnya sudah memberikan kesempatan kejelasan itu dapat tercapai dengan mengharuskan hadirnya Peraturan Pemerintah bagi pasal 38-nya. Sayangnya kesempatan ini belum terwujudkan. Atau sekalian saja diatur: Indonesia hanya mengijinkan pertambangan secara tertutup. Cantumkan pula aturan peralihannya dimana perusahaan yang memakai pola terbuka tetap bisa melanjutkan kegiatannya sampai jangka tahun tertentu sebelum harus menyesuaikan ke dalam pola pertambangan tertutup.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar