24 Oktober 2009

Tumpahan Minyak Montara dan Perlunya Kesepakatan Regional di Laut Timor

Kejadiannya di mulai di jurisdiksi negara tetangga, Australia. Pada 21 Agustus 2009, sebuah rig minyak dalam proyek eksplorasi minyak lepas pantai terbesar kedua di Australia bernama Montara gagal dalam melakukan pengeboran sehingga minyak dari dasar laut sedalam kurang lebih 2,6 kilometer itu menyembur keluar dan mengotori Laut Timor. Rig minyak bernama The West Atlas itu dioperasikan oleh PTTEP Australasia, anak perusahaan PTTEP Thailand – dimiliki oleh mantan PM Thailand, Thaksin Sinawatra, dan berada di 690 kilometer dari Kota Darwin, Australia. Tumpahan minyak itu menggenangi areal seluas 2500 mil persegi pada 30 Agustus 2009; kemudian pada 3 September 2009 mulai 3951854968_b3ddea6dd0_bmemasuki wilayah Indonesia dengan posisi pada tanggal 29 September 2009 berada sejauh sekitar 50 mil dari batas wilayah perairan laut antara Indonesia-Australia. PTTEP sendiri sejauh ini sudah melakukan tiga kali usaha untuk menutup kebocoran itu, tetapi semuanya gagal.

Tumpahan minyak di daerah “Coral Triangle” itu jelas telah menerbitkan protes dari banyak pihak, baik dari Australia maupun Indonesia. Protes dari kalangan environmentalis berdasarkan pada potensi mati dan hilangnya keanekaragaman hayati di tempat itu. Wilayah itu merupakan koridor bagi migrasi paus dan penyu, berbagai jenis ikan dan terumbu karang. Protes juga terbit dari kalangan nelayan Indonesia yang menggantungkan hidup dari keberadaan ikan di wilayah Laut Timur yang menghasilkan komoditas kurang lebih 130.000 ton/tahun. Jika tumpahan minyak itu terus masuk ke wilayah Indonesia, dikawatirkan ia akan masuk ke kawasan perlindungan laut terbesar di Indonesia, Kawasan Konservasi Perairan Nasional Laut Sawu. Protes kalangan masyarakat sipil di Australia juga mempertanyakan kebenaran jumlah minyak yang tertumpah yang diklaim oleh Pemerintah Federal Australia dan PTTEP sebesar 500.000 liter per hari.

Dengan demikian, permasalahan yang bisa dilingkupi adalah adanya rig minyak yang dimiliki oleh operator swasta yang berada di jurisdiksi Australia yang mengalami kebocoran [berarti bukan di wilayah ZEE], yang tumpahan minyaknya memasuki wilayah negara lain, Indonesia, dimana tumpahan minyak itu berada di kawasan kaya keanekaragaman hayati laut. Jadi ada beberapa “wilayah” hukum atau aturan yang saling berkaitan: aturan tentang laut dan kelautan,aturan tentang pengeboran minyak lepas pantai dengan aturan lingkungan hidup, baik nasional maupun internasional.

Aturan Internasional tentang laut dan Polusi

Sedikit penjelasan tentang aturan yang mengatur mengenai polusi di suatu negara yang berakibat pada negara lain sudah saya tuliskan di sini.

Tumpahnya minyak Montara itu jika disederhanakan merupakan kejadian yang melanggar aturan tentang lingkungan hidup di wilayah laut. Hal ini terjadi karena aturan internasional yang langsung mengatur mengenai polusi dari aktivitas seperti ini masih dalam tahap perkembangan.

Dalam UNCLOS, aktivitas polusi akibat pengeboran minyak di lepas pantai di dasar laut itu dimasukkan dalam Pasal 208 UNCLOS yang mengatur mengenai Polusi Akibat Aktivitas Bawah Laut di Jurisdiksi suatu Negara. Dalam pasal itu tertera jelas bahwa negara pantai berkewajiban membuat aturan dan hukum yang mencegah, mengurangi dan mengontrol polusi dari aktivitas di bawah laut, dimana aturan dan hukum itu tidak boleh lebih lemah daripada aturan internasional, standar dan prosedur serta best-practice yang mengatur aktivitas tersebut. Negara-negara juga diharuskan melakukan harmonisasi kebijakan dengan negara lain di wilayah regional yang sama. Dalam hal terjadi polusi, maka negara yang masuk dalam Pasal 208 ini harus melakukan usaha untuk mencegah, mengurangi dan mengontrol polusi tersebut. Dari apa yang dimaksud dengan aktivitas di dasar laut, maka aktivitas pengeboran minyak lepas pantai dimasukkan dalam kriteria aktivitas di dasar laut.

UCLOS juga mengatur mengenai polusi yang dikibatkan aktivitas di dasar yang berada di luar jurisdiksi suatu negara Pasal 209]. Dalam kasus ini, aturan ini tidak akan saya singgung, karena Montara berada di wilyah jurisdiksi Australia.

Aturan Internasional lain yang juga bisa diberlakukan adalah 1972 London Convention, 1976 Mediteranian Convention, kemudian di tahun 1982, UNEP mengeluarkan pedoman tentang penambangan dan pengeboran lepas pantai.

Sampai sekarang, belum ada aturan internasional yang menerjemahkan secara detail Pasal 208 ini, terutama dalam masalah polusi dari aktivitas perminyakan. Karenanya negara-negara hanya melakukan harmonisasi kebijakan yang pemberlakuannya bersifat regional. Aturan itu adalah:

1. 1989 The Kuwait Protocol concerning Marine Pollution Resulting from Exploration and Exploitation of the Continental Shelf

2. 1994 THE PROTOCOL FOR THE PROTECTION OF THE MEDITERRANEAN SEA AGAINST POLLUTION RESULTING FROM EXPLORATION AND EXPLOITATION OF THE CONTINENTAL SHELF AND THE SEABED AND ITS SUBSOIL [1994 Madrid Offshore Protokol; berlaku di Laut Mediterania; belum berlaku]

3. 1992 The Black Sea Convention

4. 1992 The Baltic Sea Convention

Tampak bahwa belum ada aturan yang sifatnya regional yang mencandra terjadinya tumpahan di Laut Timor itu. Maka nampaknya ia akan disandarkan pada aturan nasional negara Australia.

Kewajiban Negara Australia

Australia ternyata membagi wilayah kewenangan laut antara negara bagian dengan negara federal hampir sama dengan bagaimana Indonesia membagi kewenangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah provinsi. Wilayah laut seluas sampai 3 mil dalam laut teritorial menjadi tanggung jawab negara bagian [“state”] sementara wilayah lebih dari 3 mil laut menjadi kewenangan negara federal. Dalam hal terjadinya polusi di wilayah suatu negara dan berdampak pada wilayah negara lain, maka sudah menjadi prinsip internasional, negara “pembuat” polusi menjadi negara yang bertanggung jawab untuk menjaga dan menghentikan polusi tersebut. Tapi dalam implementasinya digantungkan pada hukum nasional dan kalau bisa aturan bilateral atau regional wilayah negara tersebut. Bagaimana dengan polusi yang dihasilkan dari aktivitas pengeboran minyak lepas pantai yang berdampak pada wilayah negara lain?

Untuk masalah lingkungan dalam pengeboran lepas pantai, Australia memiliki beberapa aturan, yakni: Petroleum (Submerged Lands) Act 1967 dan Environment Protection and Biodiversity Conservation Act 1999. Karena tumpahan minyak juga masuk ke dalam kawasan laut negara bagian, maka aturan lingkungan di negara bagian tersebut juga wajib dilihat. Harus dilihat juga Persetujuan antara APPEA dan Departemen Lingkungan Australia, yang merupakan kesepakatan bersifat voluntary dalam hal pelaksanaan best practice dalam pengelolaan lingkungan dalam aktivitas perminyakan.

Tampak bahwa sebenarnya aturan hukum di Australia juga bersifat Command and control, dalam arti peran pemerintah sangat berarti dalam menjaga lingkungan dengan cara membuat standar, memberikan perijinan dan mengawasi perijinan serta menindak jika ada pelanggaran. Menurut kedua aturan di atas, perusahaan diharuskan melakukan aktivitas yang mengacu pada aktivitas terbaik dalam sektor perminyakan. Perusahaa minyak yang hendak melakukan eksploitasi di laut lepas diharuskan juga membuat “Environmental Plan” [diharuskan oleh PSLA 1967], “Assessment on preliminary documentation”, “Public environment report”, “An environment impact statement”, “Public enquiry dan atau “An accredited process” [5 terakhir diminta oleh EPBC 1999]. Perijinan macam inilah yang nantinya akan dijadikan bahan bagi pemerintah Australia untuk melakukan pengawasan.

Dalam hal terjadi kerusakan lingkungan maka, seperti juga di negara lain, pemerintah memberikan peringatan, denda, penundaan proyek dan bahkan pembatalan proyek.

Intinya, pemerintah Australia mempunyai aturan lingkungan yang langsung terkait dengan aktivitas pengeboran minyak di lepas pantai serta aturan tidak langsung lainnya [seperti, Aboriginal and Torres Strait Islander Heritage Protection Act 1984, Fisheries Management Act 1991 dan Industrial Chemicals (Notification and Assessment) Act 1989] serta best practice yang disusun oleh APPEA dan persetujuan APPEA dengan departemen lingkungan Australia. Kesemuanya aturan tersebut menjadi dasar bagi Australia untuk bertanggung jawab atas terjadinya kebocoran minyak tersebut. Dan memang, Pemerintah Australia sudah melakukan upaya dengan mengharuskan PTTEP Australasia untuk mengurangi dan menghentikan dampak kebocoran itu dan memonitor kondisi perairan laut Timor. Dalam hal masuknya kebocoran minyak ke wilayah Indonesia, sudah ada kapal yang sedang memonitor dampak pada lingkungan dan kehidupan nelayan di wilayah NTT.

Perlukah Perjanjian Regional dalam Pengeboran Minyak Lepas Pantai di Perairan Perbatasan dengan Australia?

Namun, kebocoran minyak di lepas pantai Darwin ini sebenarnya membuka masalah lama yang sepertinya sudah lama hendak dilupakan oleh Indonesia. Harus lepasnya Timor-Timur dari Indonesia dan menjadi negara merdeka merupakan aib yang hendak ditutupi terus oleh Indonesia, termasuk segala tuntutan HAM kepada Indonesia. Muncul juga sinyalemen bahwa Australia – yang awalnya mendukung aksi Indonesia di Timor-Timur – kemudian berbalik menjadi pihak yang mengambil untung banyak akibat lepasnya Timor-Timur itu; yang jika di-kuantifikasi-kan terlihat dalam perjanjian kerjasama Australia-Timur-Timor dalam pembagian keuntungan pengeboran minyak di kedua perbatasan kedua negara.

Sampai sekarang, perundingan perbatasan antara tiga negara masih terus dilakukan, terutama dalam mengatur pengelolaan ZEE. Indonesia dan Australia hingga saat ini belum menyetujui batas ZEE kedua negara; yang kemudian sangat merugikan posisi nelayan Indonesia. Perbatasan itu masih didasarkan ketika Timor-Timur masih sebagai wilayah Indonesia; dengan lepasnya Timor-Timur seharusnya ada perundingan lagi untuk membicarakan masalah itu.

Nah, dalam hal kebocoran minyak ini, posisis Indonesia adalah korban yang hanya bisa meminta Pemerintah Australia melaksanakan kewajiban internasionalnya dengan tidak bisa melakukan ‘intervensi” dalam bentuk apa seharusnya kewajiban Australia itu dilakukan dengan memperhitungkan kepentingan bangsa Indonesia. Hal yang sama mungkin dirasakan oleh Singapura dan Malaysia yang saban tahun kebagian asap akibat kebakaran hutan di Indonesia. Yang mereka lakukan adalah melakukan proteksi dalam wilayah yurisdiksi mereka sambil meminta “pengertian” Indonesia untuk menghentikan kebakaran hutannya. Tapi siapa yang bisa mengarahkan arah angin? Malaysia dan Singapura telah membantu Indonesia dalam mengatasi kebakaran hutannya itu; namun kerja sama itu bersifat ad-hoc dan doktrin kedaulatan negara menjadi faktor yang menghalangi tindakan lebih jauh dalam kerja sama menghentikan kerusakan lingkungan itu. Apalagi dengan kenyataan Indonesia, secara geopolitik, jauh lebih kuat daripada kedua negara itu.

Bangsa Indonesia jelas tidak bisa berdiam diri ketika melihat bocoran minyak itu memasuki halaman rumahnya dan merusak keanekaragaman hayati yang penting bagi kelangsungan hidup bagi penduduk di sekitar Laut Timor. Dia harus melakukan sesuatu. Tidak adil jika Indonesia menjadi korban sekaligus harus menyelesaikan kerusakan lingkungan yang dilakukan oleh pihak lain tanpa adanya “pengetahuan” dari negara lain.

Saluran diplomatik jelas menjadi satu-satunya jalan yang dimungkin sekarang ini. Indonesia sewajarnya meminta Australia agar juga bertanggung jawab dalam terjadinya kebocoran itu. Dan kemudian menunggu…, sampai kemudian hal lebih buruk terjadi. Bisa jadi kunjungan PM Australia kemarin tidak hanya membicarakan masalah pelintas batas illegal dari negara-negara Asia Selatan, tetapi juga membicarakan masalah ini.

Pada titik ini saya kira, keberadaan sebuah perjanjian regional dengan Australia dan juga Timor-Timur perlu dilakukan. Mungkin tidak langsung menyangkut hal yang lebih “substansial” dan “sensitif” seperti pengurangan/penambahan wilayah negara, namun dalam hal yang bisa memberikan keuntungan bersama, seperti kerja sama ekonomi di wilayah yang diklaim sebagai wilayah ZEE.

Dalam hal pengeboran minyak, sewaktu Timor-Timur masih sebagai wilayah Indonesia, sudah ada kesepakatan kerja sama di area perbatasan Timor-Timur dengan Northern Australia yang terkenal dengan Timor Gap Treaty. Ketika imor-Timur merdeka, kesepakatan itu direvisi menjadi kesepakatan antara Australia dengan Negara Timor-Timur. Dengan adanya kejadian kebocoran minyak ini, tidak ada salahnya diadakan perjanjian regional tentang perlindungan laut akibat aktivitas pengeboran minyak dengan mengambil pelajaran dari wilayah kelautan lain, seperti Mediterania dan Baltik atau, yang lebih maju, seperti di Timur Tengah. Sebuah treaty atau traktak ini sifatnya mengikat bisa memperjelas apa yang harus dilakukan oleh masing-masing negara ketika ada operator minyak yang hendak membuka pengeboran di wilayah teritorial sebuah negara, bentuk pemberitahuan macam apa yang harus dibuka ke negara lain, kewajiban dan hak masing-masing negara, dst, sehingga ketika kejadian seperti ini berulang sudah ada tindakan segera yang tidak menggantungkan diri pada baik-buruknya atau cepat-tidaknya hubungan diplomatik antar negara. Tidak ada pihak yang menunggu, melempar tanggung jawab, pun tidak ada pihak yang merasa tidak harus peduli atau pura-pura peduli karena itu bukan wilayah negaranya sambil mengetahui bahwa di lapangan dampaknya telah nyata merusak lingkungan dan masyarakat sekitar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar