20 November 2007

Prinsip Common but Differentiated Responsibilities dan Kerusakan Lingkungan Hidup Global

oleh: Mumu Muhajir

Sudah menjadi hal yang tidak bisa terbantahkan bahwa kerusakan lingkungan hidup di sebuah negara akan mempunyai dampak buruk bagi banyak negara lainnya. Hal ini disebabkan karena karakteristik lingkungan adalah tidak mengenal batas wilayah dan administratif negara. Tidak ada batas negara bagi sebuah sistem biosphere atau ekosistem. Negara-negara di dunia tidak bisa hanya berpangku tangan dengan dalih negaranya tidak melakukan tindakan yang merusak lingkungan hidup. Kerusakan lingkungan hidup secara global akan menyasar negara manapun, besar atau kecil, bahkan tanpa memperhatikan besar kecil kontribusinya pada kerusakan lingkungan hidup global.

Kasus pemanasan global bisa dijadikan contoh. Pemanasan global yang disinyalir bisa merubah iklim global secara ekstrim ternyata lebih mempunyai dampak buruk bagi negara-negara miskin di Sub-Sahara Afrika daripada negara-negara maju. Padahal negara-negara majulah yang mempunyai kontribusi paling banyak terhadap fenomena pemanasan global daripada negara-negara lainnya, terutama dalam hal emisi gas rumah kaca yang dihasilkannya. Dengan kata lain, dengan terjadinya globalization of resources extraction, menyebabkan pihak yang menikmati keuntungan dari estraksi sumber daya itu serta pihak yang terkena imbas estraksi itu terpisah oleh batas geografi dan batas ekonomi serta keuntungan yang didapatkan oleh satu generasi, bisa jadi, menjadi kerugian pada generasi mendatang (Burger/Gochfeld, 1998).

Hal itu menjadi alasan kenapa isu kerusakan lingkungan hidup ini harus menjadi tanggung jawab bersama, tanpa membedakan negara besar atau kecil, kaya atau miskin serta pelaku atau korban. Bukan berarti bahwa kewajiban hukum yang lahir kemudian karena perbedaan tindakan itu juga diandaikan sama. Pelaku pencemaran atau yang diindikasikan mempunyai kontribusi besar pada terjadinya kerusakan lingkungan global, tentu saja dan sudah menjadi keharusan, mempunyai kewajiban lebih besar daripada korban pencemaran atau yang tidak melakukan upaya-upaya perusakan lingkungan hidup.

Hukum internasional telah lama mengatur soal kewajiban bagi pelaku pencemaran lingkungan yang melewati batas suatu negara atau satu pihak ke pihak lainnya. Dikenal dengan istilah Transfrontier Pollution (TFP). Sejak awal dekade 1970-an permasalahan ini telah sering terjadi sehingga menimbulkan pemikiran tentang perlunya kesepakatan yang mengatur sekaligus mengatasi masalah tersebut. Contoh perjanjian yang telah disepakati yang mengatur masalah TFP ini adalah Perjanjian Brussel Berkenaan dengan Intervensi Di lautan Terbuka dalam hal Korban Pencemaran minyak (Brussels Convention Relating to Intervention on The High Seas In Cases of Oil Pollution Casualties) serta Perjanjian Pertanggungan Sipil untuk Kerusakan Karena Pencemaran Minyak (Convention on Civil liability for Oil Pollution Damage). Dua perjanjian itu dilatarbelakangi dengan terjadinya peristiwa kandasnya kapal tanker minyak “Torrey Canyon”, dilepas pantai Inggris pada tahun 1967 (Koesnadi Hardjasoemantri, 2002: 391-392). Kedua perjanjian di atas, disetujui pada tahun 1969, menjadi pokok yang penting dalam pengaturan lingkungan hidup yang bersifat public goods atau barang umum seperti udara, air dan lautan.

Pada tahun 1972, OECD mengenalkan sebuah prinsip penting untuk menyelesaikan masalah pencemaran lingkungan hidup tersebut, yakni prinsip pencemar membayar (polluter pays principle). Prinsip ini pada awalnya hanya mengharuskan pada pihak pelaku pencemaran membayar semua biaya untuk mengikuti aturan dan standar lingkungan hidup yang berlaku. Hal itu tentu saja menimbulkan sikap negatif, karena banyak negara atau kalangan swasta yang dengan seenaknya melakukan perusakan atau pencemaran lingkungan dengan dalih bahwa mereka telah membayar biaya tertentu untuk mengikuti berbagai macam peraturan lingkungan. Dengan kata lain, jika mereka telah mengikuti sebuah standar tertentu lingkungan, maka jika terjadi kerusakan atau pencemaran akibat aktivitasnya, ia dibebaskan dari tanggung jawab untuk ganti rugi pada korban, misalnya.

Melihat fenomena itu, prinsip ini kemudian diperluas dengan mewajibkan kepada pelaku pencemaran untuk membayar biaya tertentu terhadap terjadinya kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh aktivitasnya. Prinsip ini mewajibkan kepada pelaku untuk membayar dan bertanggung jawab terhadap setiap kerusakan lingkungan yang terjadi akibat aktivitasnya, tidak peduli apakah ia telah mengikuti standar lingkungan atau tidak. Prinsip pencemar membayar ini, dalam perkembangannya dan dalam dataran tertentu, mengatur masalah tanggung jawab sebuah negara ke negara lain atas kerusakan lingkungan hidup yang diperbuatnya. Prinsip ini lahir dari kewajiban negara untuk tidak merusak lingkungan negara lain atau teritorial di luar wilayahnya serta kewajiban tiap orang untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup. Prinsip ini sekarang telah berlaku secara universal.

Namun, bagaimana dengan kerusakan lingkungan yang tidak berjalan dengan rumusan “suatu negara atas negara lain” atau setidaknya karena melibatkan barang publik, atau dalam istilah Garrett Hardin, common-pool resources, yang sangat rumit dan komplek untuk diuraikan siapa yang paling bertanggung jawab pada kerusakan yang terjadi padanya? Contoh yang bisa dikemukakan adalah dalam hal perubahan iklim. Negara-negara maju akibat kemajuan industrinya serta tingginya standar kehidupan warga negaranya memang terbukti dan mempunyai kontribusi besar terhadap perubahan iklim global karena sumbangan gas emisi rumah kacanya; tetapi apakah hanya karena itu? Bagaimana dengan proses alam yang sungguh sulit untuk diterangjelaskan alur-alur kerjanya, yang mungkin saja berpengaruh pada perubahan iklim? Lalu apa kontribusi hilangnya wilayah hutan (deforestation) baik di negara-negara maju maupun di negara-negara berkembang? Bagaimana juga dengan pertambahan penduduk yang pesat, terutama di negara-negara berkembang?

Perubahan iklim menyangkut suatu proses alam yang sampai sekarang pun baru hanya bisa dikenali gejalanya saja, penyebab tepat dan jelasnya masih dalam penelitian, walaupun sudah ada beberapa faktor yang disinyalir sebagai penyebab perubahan iklim. Satu hal yang sudah disadari adalah bahwa perubahan iklim itu telah terjadi dengan melibatkan tidak sedikit proses fisika, kimia dan biologi di alam raya serta ada saling keterkaitan diantaranya. Dampaknya menyasar semua negara di dunia, tanpa kecuali (Matthews, 1990: 66-69).

Dalam Konferensi PBB tentang Lingkungan dan Pembangunan atau yang lebih terkenal dengan sebutan KTT Bumi, yang terjadi pada tanggal 3-14 Juni 1992 di Rio de Janeiro, Brazil, permasalahan sebagaimana diuraikan di atas dijadikan latar belakang untuk perumusan suatu prinsip, yakni prinsip Common but Differentiated Responsibilities (Tanggung Jawab Sama, Kewajiban Berbeda) (Haas/Parson, 1992).

Prinsip itu eksplisit dicantumkan dalam prinsip 7 Deklarasi Rio:

“States shall cooperate in a spirit of global partnership to conserve, protect and restore the health and integrity of the Earth's ecosystem. In view of the different contributions to global environmental degradation, States have common but differentiated responsibilities. The developed countries acknowledge the responsibility that they bear in the international pursuit of sustainable development in view of the pressures their societies place on the global environment and of the technologies and financial resources they command.”

Prinsip ini hadir, juga secara eksplisit, dalam pasal 3 (1) The Framework Convention on Climate Change :

“The Parties should protect the climate system for the benefit of present and future generations of humankind, on the basis of equity and in accordance with their common but differentiated responsibilities and respective capabilities. Accordingly, the developed country Parties should take the lead in combating climate change and the adverse effects thereof.”

Prinsip 7 Deklarasi Rio di atas harus dibaca dan atau dihubungkan dengan prinsip 6 Deklarasi Rio, yang menegaskan bahwa:

“The special situation and needs of developing countries, particularly the least developed and those most environmentally vulnerable, shall be given special priority. International actions in the field of environment and development should also address the interests and needs of all countries.”

Prinsip 7 Deklarasi Rio menegaskan bahwa negara-negara maju secara historis, bertanggung jawab atas menurunnya daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup secara global akibat aktivitas pembangunan yang mereka lakukan; bahwa dengannya, pada sisi yang lain, mereka mempunyai sumber daya yang lebih baik dan lebih banyak, terutama sumber daya keuangan dan teknologi. Kedua hal itu menjadi dasar bahwa negara maju mempunyai tanggung jawab lebih besar dalam memecahkan persoalan–persoalan lingkungan hidup global serta menjadi negara pertama dalam melakukan usaha-usaha demi tercapainya cita-cita internasional dalam hal pembangunan berkelanjutan.

Sementara prinsip 6 Deklarasi Rio menegaskan akan adanya kebutuhan dan situasi yang khusus di negara berkembang, terutama di negara terbelakang atau negara yang rentan secara lingkungan, yang membutuhkan prioritas khusus.

Dengan kata lain, kedua prinsip itu memberikan penjelasan akan adanya kontribusi yang berbeda, yang menimbulkan kewajiban atau perlakuan yang berbeda-beda di antara negara-negara di dunia. Prinsip 6 memberikan alasan perbedaan situasi di negara berkembang karena adanya kemiskinan dan keadaan khusus lingkungannya seperti dataran tinggi atau kepulauan kecil, yang membutuhkan prioritas khusus serta perhatian dan perlakuan yang disesuaikan dengan keadaan, kepentingan dan kebutuhan negara-negara tersebut. Sedangkan prinsip 7 memberikan alasan adanya perbedaan perlakuan atau kewajiban yang disebabkan, pertama, perbedaan kontribusi tiap-tiap negara pada terjadinya tekanan pada lingkungan hidup; dan kedua, karena adanya perbedaan kapasitas dalam menyelesaikan masalah dan memuluskan cita-cita pembangunan berkelanjutan, secara khusus dalam hal kepemilikan dana keuangan dan kemajuan teknologinya (Stone, 16)

Prinsip Common but Differentiated Responsibilities ini mengandung dua pokok pikiran: pertama, penegasan pada tanggung jawab bersama dan sama tiap-tiap negara untuk melindungi lingkungan hidup baik pada pada tingkat nasional, regional maupun global; tanpa melihat negara besar atau kecil. Kedua, perhatian untuk melakukan usaha mencegah, mengurangi dan mengontrol ancaman terhadap lingkungan hidup didasarkan pada perbedaan keadaan masing-masing negara, khususnya dalam hal kontribusi tiap-tiap negara tersebut pada terjadinya pertambahan intensitas ancaman terhadap lingkungan hidup dan atau kerusakan lingkungan hidup yang terjadi.

Tanggung jawab bersama dalam menjaga kelestarian lingkungan hidup global itu mengindikasikan harus adanya kerja sama yang erat antar negara, terutama dengan terlibat dan mentaati perjanjian internasional yang berurusan dengan lingkungan hidup. Perjanjian internasional merupakan sarana yang cukup baik dalam merespon dan mencari titik temu negara-negara menyangkut lingkungan hidup, walaupun banyak perjanjian internasional yang mengatur masalah lingkungan hidup yang tidak berjalan dengan baik karena tidak ada sanksi global yang tegas bagi yang melanggar atau yang tidak melaksanakan kewajibannya.

Tanggung jawab bersama dalam menjaga kelestarian lingkungan hidup global itu berasal dari serangkaian hukum internasional yang mengatur masalah sumber daya alam yang diistilahkan sebagai “perhatian bersama” (common concern) atau “warisan bersama umat manusia” (common heritage of humankind). Istilah ini dikenakan pada sumber daya alam yang dibagi dan dinikmati bersama, baik yang ada dalam yurisdiksi suatu negara atau tidak; yang menjadi kepentingan hukum bersama serta memberikan kontribusi penting bagi manusia dan sistem biosphere bumi.

Istilah common concern telah dipakai dalam perlindungan dan pengelolaan ikan tuna dan jenis tertentu ikan pada tahun 1949. Banyak istilah lain yang muncul, seperti luar angkasa serta bulan disebut sebagai “province off all mankind”, sementara keanekaragaman hayati serta perubahan iklim dianggap sebagai “common concern of humankind. Walaupun istilah yang digunakan berbeda-beda serta harus dimengerti dalam konteks peraturan dari mana istilah itu lahir, namun semuanya mempunyai kesamaan konsekuensi, yakni tanggung jawab yang sama dalam melindunginya demi kepentingan bersama umat manusia

Pengaturan dan perlindungan terhadap sumber daya tersebut di atas sangat penting dalam memperbincangkan masalah keberlanjutan planet dan penghuninya. Sedangkan perbedaan di masing-masing negara, terutama dalam hal keadaan khusus negaranya (seperti negara kepulauan kecil atau terbelakang), perkembangan ekonominya, serta kontribusinya dalam masalah lingkungan hidup global, berimplikasi pada perbedaan kewajiban tiap-tiap negara dalam menanggulangi masalah lingkungan hidup global. Perbedaan kewajiban itu berimplikasi pada perbedaan hukum. Contoh yang bisa dikemukan dengan adanya perbedaan kewajiban hukum itu, antara lain, dalam hal penerapan standar lingkungan yang berbeda; adanya masa tenggang penerapan peraturan internasional yang telah disepakati; atau juga komitmen yang lebih lunak.

Perbedaan kewajiban masing-masing negara ini sudah tampak dalam Deklarasi Stockholm, terutama dalam prinsip 13 yang menekankan bahwa dalam menerapkan standar lingkungan hidup, yang cocok untuk diterapkan di negara-negara maju, belum tentu cocok untuk diterapkan di negara-negara berkembang serta harus diperhatikan biaya sosial yang mungkin terjadi akibat penerapan standar itu di negara-negara berkembang. Sedangkan Deklarasi Rio mencantumkan perbedaan kewajiban itu dalam beberapa prinsip, antara lain, prinsip 6, yang membicarakan tindakan-tindakan internasional dalam hal pembangunan dan lingkungan hidup harus memperhatikan kepentingan dan kebutuhan semua negara, dengan memberikan prioritas khusus pada negara-negara berkembang terutama negara-negara terbelakang serta negara yang rentan secara lingkungan, serta prinsip 11, yang membicarakan masalah penerapan standar lingkungan, pengaturan masalah serta prioritasnya harus disesuaikan dengan suasana pembangunan dan lingkungan negara di mana standar itu akan diterapkan. Hal ini dikarenakan suatu standar lingkungan yang cocok diterapkan di suatu negara, belum tentu cocok jika diterapkan di negara lain serta akan menyebabkan adanya biaya ekonomi dan sosial, yang dalam keadaan tertentu jumlahnya sangat besar dan tidak tertanggungkan oleh negara tersebut, terutama di negara-negara berkembang.

Perbedaan kewajiban itu telah diterapkan di banyak konvensi, seperti dalam pembukaan konvensi PBB 1982 tentang hukum laut atau konvensi London tahun 1972 atau juga dalam Konvensi Perubahan Iklim serta Protokol Kyoto, yang mencantum kewajiban berbeda antara negara-negara maju dengan negara-negara berkembang dalam hal komitmen menurunkan emisi gas rumah kaca; walaupun sebenarnya negara berkembang tidak dikenakan komitmen apapun untuk menurunkan emisi gas rumah kacanya, karena dipandang kontribusinya pada peningkatan emisi rumah kaca masih kecil.

Prinsip perbedaan kewajiban itu tidak hanya membedakan kewajiban antara negara berkembang dengan negara maju, namun juga di antara negara maju serta di antara negara berkembang sendiri. Perbedaan kewajiban di antara negara maju tampak dalam 1988 European Commission (EC) Large Combustion Directive, yang menerapkan perbedaan standar pengurangan emisi rumah kaca di antara negara-negara Eropa. Hal ini disadari bahwa tidak semua negara Eropa maju dan menggantungkan kemajuannya pada industri.

Perbedaan kewajiban di antara negara berkembang tampak dalam Konvensi Perubahan Iklim, yang memberikan perhatian serta kebutuhan khusus pada negara-negara berkembang terutama negara-negara yang rentan terhadap akibat perubahan iklim (seperti negara-negara kepulauan kecil serta negara-negara dengan gurun yang luas atau miskin di Sub-Sahara Afrika); atau juga seperti yang ditampilkan dalam Konvensi Melawan Penggurunan, yang memberikan perhatian lebih pada negara-negara di Afrika.

Dari apa yang telah diuraikan di atas, bisa ditarik kesimpulan bahwa semua negara, tanpa terkecuali mempunyai tanggung jawab yang sama dalam melindungi lingkungan hidup serta mempromosikan pembangunan berkelanjutan, namun karena ada perbedaan sosial, ekonomi, kemajuan teknologi dan kontribusinya pada terjadinya kerusakan lingkungan hidup global serta kondisi lingkungan hidupnya, masing-masing negara harus membagi beban serta kewajiban yang berbeda-beda.

Prinsip Common but Differentiated Responsibilities sebenarnya berintikan pada persamaan (equality), bahwa, sebagaimana dicantumkan dalam prinsip 7 Deklarasi Rio, beban terbesar dalam hal perlindungan lingkungan global dibebankan pada negara-negara maju karena dipandang sebagai negara-negara yang paling bertanggung jawab dalam hal perusakan lingkungan hidup global serta karena kekayaan finansial dan kemajuan teknologi yang dimilikinya.

Sementara itu negara-negara berkembang, terutama negara-negara terbelakang dan yang secara lingkungan rentan, mendapatkan perlakuan berbeda karena keadaan ekonominya atau penguasaan pada teknologi yang terbatas. Keadaan negara negara-negara berkembang itu, pada sisi yang lain, juga membutuhkan bantuan, baik keuangan ataupun transfer teknologi dari negara-negara maju.

Jelaslah bahwa prinsip ini menekankan pada terjadinya kerja sama internasional serta berbagi beban (burden sharing) yang dalam dataran tertentu merupakan bentuk kompromi terbaik dalam menyelesaikan masalah lingkungan hidup global.

Daftar Pustaka

Angell, D. J. R., J.D. Comer and M. L. N. Wilkinson (ed), Sustaining Earth, Response To The Environmental Threat, London: MacMillan Academic and Professional LTD, 1990.

Burger, Joanna dan Michael Gochfeld, The Tragedy of Commons: 30 Year later, Environment, Volume 40 No. 10 December 1998

Hardjasoemantri, Koesnadi, “Hukum Tata Lingkungan”, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2002.

Harris, Paul G., Common But Differentiated Responsibility: The Kyoto Protocol And United State Policy, diambil dari website law.nyu.edu pada tanggal 12 Mei 2004.

Haas, Peter, Marc A. Levy And Edward A. Parson, Earth Summit: How Should We Judge UNCED’s Success?, dalam Environment, Volume 34 Number 8, Oktober 1992.

Matthews, Samuel W., Under The Sun: Is Our World Warming, National Geographics, Volume 178, No. 4, Oktober 1990.

Stone, Christopher D., Common But Differentiated Responsibilities: A Legal, Economics and Ethical Critique, diambil pada tanggal 12 Mei 2004 dari lawweb.usc.edu.

UNEP/IISD, Trade and environment: A Handbook. Diambil pada tanggal 29 Mei 2004, dari www. IISD.org/trade/handbook
[Tulisan lama; saya pikir masih relevan dengan hingar bingar Isu [yang entah kenapa jadi sangat menguat] Perubahan Iklim akhir-akhir ini]

1 komentar:

  1. Kalau kita lihat memang cukup ideal prinsip Common but differentiated responsibility, cuma dalam penerapanya seringkali bias pada tolak ukur yang mungkin dijadikan dalih untuk menghindar dari tanggung jawab lingkungan itu. Masalahnya jelas kepentingan ekonomi lebih menggiurkan dari pada pemanfaatan yang berkelanjutan, barangkali ini pula yang menjadikan US tidak meratifikasi protokol kyoto ya...

    BalasHapus