20 Oktober 2008

Harga minyak turun lagi: tetap kuatkah kebijakan energi terbarukan? [1]

Tanggal 16 Oktober kemarin, harga minyak menyentuh 70 dollar/barel. Banyak yang menduga harga trend ini hanya sesaat karena OPEC dan perusahaan minyak sudah pada panic; karenanya mereka mulai menerapkan kebijakan untuk mengurangi produksi dengan harapan bisa mengerek harga emas hitam kembali ke level yang memberikan keuntungan segede gajah. Sebuah pengakuan yang aneh dari CEO Shell ketika Hearing dengan Kongres Amerika mengatakan bahwa harga minyak antara 35 dollar s/d 65 dollar sudah memberikan keuntungan banyak bagi perusahaan minyak.

Tapi saya akan coba masuk ke masalah lain. Bagi pemerhati lingkungan, harga minyak memang selalu membawa dilemma. Harga minyak rendah dikawatirkan akan mendorong konsumsi yang berlebihan; sementara jika harganya mahal, maka akibatnya adalah seperti yang kita rasakan sekarang : resesi ekonomi dimana lagilagi kaum papa yang menanggung paling banyak beban.

Masalah lain yang cukup penting adalah turunnya harga minyak akan menghambat berjalannya kebijakan energi terbarukan. Tentu saja orang akan cenderung menggunakan bahan bakar minyak yang secara infrastruktur dari hulu ke hilir sudah menyatu dengan roda hidup orang modern. Ini berbeda, misalnya, dengan penggunaan energi baru dan terbarukan yang masih memerlukan banyak tahap penyatuan.

Hanya Brazil yang sampai saat ini penyatuan dan penyesuian kebijakan energy terbarukannya sejalan dengan kebijakan energy fosilnya. Di Negara mereka, ketika harga bahan bakar minyak naik, seluruh infrastruktur energy akan menyediakan energy terbarukan. Pabrik gula dengan cepat mengganti sistemnya dengan kembali memproduksi gula dan tidak lagi memproduksi bioetanol.

Sementara di negeri kita ini, kebijakan energy terbarukan berjalan tertatih-tatih dengan kebijakan yang berakar pendek: cepat berubah, tidak konsisten. Coba perhatikan kebijakan BBN. Awalnya yang didorong adalah penggunaan CPO dan biji jarak pagar. Tetapi dengan makin meningkatnya harga CPO di luar negeri membuat kebijakan BBN hilang arah; sementara biji jarak pagar memang benar-benar hanya “penutup” [karena sebenarnya yang didorong adalah CPO] dan jadi buah pemanis bibir. Jangan lagi bicara koordinasi antara departemen hulu [yang menyediakan bahan mentah sekaligus lahan] dengan departemen tengah dan hilir, semacam Departemen ESDM.

Coba lihat bagaimana bekerjanya kebijakan bioethanol di Amerika, dimana proyek tersebut dikerjakan oleh sebuah badan yang merupakan bentukan dua departemen: Pertanian dan Energi.

Kebijakan angin-anginan ini akan terus dilihat karena departemen sektoral sepertinya punya agenda masing-masing. Departemen Kehutanan, misalnya, setelah merasa emoh untuk mengembangkan jarak pagar, tiba-tiba mengajukan usulan untuk mengembangkan nyamplung! Belum lagi gerakan yang mungkin akan dilakukan oleh departemen pertanian.

Dalam suasana demikian, hal positif sebenarnya sudah ada. Pertama, sekarang ini sudah lahir Permen ESDM yang mewajibkan para pengguna dan industry untuk memakai BBN [Permen ESDM No 32 Tahun 2008]. Ada tahapan yang dicapai sebelum BBN mencukupi 5% dari bauran energy nasional. Kedua, turunnya harga CPO di pasar internasional. Ini menjadi kesempatan bagi pemerintah untuk serius menerapkan DMO sawit dan bahkan mendorong industry BBN berbahan sawit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar