
Berdasarkan UU PLH, pelaku usaha yang melakukan pencemaran/perusakan lingkungan hidup wajib melakukan usaha penanggulangan dan pemulihan serta memberikan kompensasi pada pihak yang terkena dampak. Dalam kasus ini, Pertamina akan memberikan ganti rugi bagi dua entitas: hutan dan kebun. Bagi lahan hutan, Pertamina akan melakukan rehabilitasi pada lahan hutan yang diharapkan dalam waktu 2-3 bulan ke depan kondisi tanah sudah kembali normal. Nah untuk tanah kebun yang tercemar minyak, Pertamina hanya akan memberikan ganti rugi kepada masyarakat berdasarkan pepohonan yang mati dan tidak akan mengganti atau memberikan ganti rugi berdasarkan tanah yang tercemar [dengan "bonus": tidak boleh mewartakan peristiwa tumpahnya minyak ke orang asing!]. Dengan kata lain, Pertamina mengetahui bahwa keberadaan masyarakat sekitar kawasan pengeborannya itu illegal, dimana diyakini tanah itu bukan tanah masyarakat, melainkan lahan hutan TNK. Dan karenanya, Pertamina hanya akan mengganti pada entitas yang benar-benar dimiliki oleh masyarakat sekitar: pepohonan.
Pertanyaan yang mengemuka dari kasus tumpahnya minyak ini adalah: Apakah "illegalitas" atas tanah membuat masyarakat sekitar terkurangi haknya atas perlindungan lingkungan, karena kemudian Pertamina sepertinya tidak akan melakukan rehabilitasi pada lahan perkebunan warga - setidaknya tampak dari pernyataan PR mereka ["...As for the affected farms, we will offer compensation for every lost tree. We won’t compensate for land because it belongs to the park....”]? Tapi bukankah Pertamina sendiri tahu bahwa "tanah" kebun itu sebenarnya adalah lahan hutan TNK, mengapa lalu dibedakan perlakuannya?
Kesampingkan dulu kekaburan hak atas tanah masyarakat itu [perlu tulisan tersendiri yang komprehensif mengenai hal itu], perlu kiranya diperhatikan: bukankah mereka sudah melakukan usaha tertentu, memelihara, memberikan pupuk, dst atas tanah "illegal" itu, dan bukankah usaha ini layak juga untuk diganti, bukan hanya tegakan pohon yang mati? Dan sudahkan ada jaminan tanah itu benar-benar akan pulih kembali sehingga dapat ditanami kembali oleh masyarakat?
Masyarakat terkena dampak tumpahan minyak di Desa Sangkima itu sepertinya akan tetap berusaha meminta ganti rugi ke Pertamina dengan tidak hanya berdasarkan pada jumlah pepohonan yang mati, tetapi juga berdasarkan luas tanah yang terkena tumpahan. Alasannya masuk akal: ada banyak tanah kebun yang tidak ada pohonnya. Jelas, jika ganti rugi hanya didasarkan pada pepohonan, maka "pemilik" tanah itu tidak akan mendapatkan ganti rugi apapun.
Lalu bagaimana dengan pemulihan Pertamina atas tercemarnya Sungai Sangatta? Belum jelas, bahkan sama sekali tidak disinggung oleh PR Pertamina.
Peristiwa pencemaran lingkungan di kawasan konservasi seharusnya penanganannya dilakukan dengan tidak biasa-biasa saja. Pelaku usaha yang mendapat ijin melakukan usaha di kawasan konservasi seharusnya mengetahui kekhasan dan kekayaan lingkungan tempat usahanya sehingga dalam melakukan usahanya perlu dipagari dengan standar lingkungan yang tinggi.
Siapa saja yang Illegal?
Tapi, sebentar, mengapa Pertamina mendapatkan Ijin Pinjam Pakai di Kawasan Taman Nasional? Bukankah Ijin Pinjam Pakai, apalagi untuk kepentingan pertambangan, dibatasi hanya di Hutan Produksi dan hutan lindung?
Sepanjang pengetahuan saya, Ijin Pinjam Pakai Pertamina di kawasan Sangkima itu pertama kali didapatkan pada tahun 1995. Waktu itu perjanjian pinjam pakai dilakukan antara Kantor Wilayah Dephut Provinsi Kaltim dengan Pertamina Operasi Produksi EP Sangatta dan dicantumkan dalam SK Nomor 016/KWL/PTGH-3/1995 tanggal 16 Maret 1995 seluas 8,75 ha dengan jangka waktu 5 tahun. Perjanjian Pinjam Pakai ini untuk keperluan pemboran satu sumur di wilayah TNK di dalam wilayah administratif Kabupaten Kutai.
Pada tahun 1996, Pertamina Operasi Produksi EP Sangatta kembali melakukan perjanjian pinjam pakai kawasan TNK untuk keperluan eksploitasi 4 sumur minyak dengan luas 11,5697 ha. Jangka waktunya 5 tahun dimulai pada 12 Desember 1996 sampai dengan 12 Desember 2001. Perjanjian Pinjam Pakai selanjutnya setelah tahun 2001, saya tidak menemukannya. Bahkan untuk perjanjian pinjam pakai tahun 1996 belum jelas SK-nya nomor berapa.
Dua perjanjian pinjam pakai itu mengikuti Aturan Pinjam Pakai yang diatur oleh Kepmenhut 55/Kpts-II/1994 serta Kepmenhut No. 41/Kpts-II/1996. Masalahnya dalam dua aturan ini Taman Nasional berada di luar kawasan hutan yang bisa dipinjam-pakaikan. Lahan hutan yang bisa dipinjam-pakaikan terbatas pada hutan produksi.
Tapi, bisa jadi kemudian Pertamina berlindung di balik Pasal 8 Kepmenhut 55/Kpts-II/1994 yang menyatakan bagi kegiatan pertambangan dan energi diatur dalam peraturan tersendiri. Sejauh yang saya tahu peraturan yang mengatur mengenai penggunaan hutan untuk keperluan pertambangan dan energi ada dalam Keputusan Bersama Menteri Pertambangan dan Energi dan Menteri Kehutanan No.969.k/05/M.PE/1989 – No. 429/Kpts-II/1989 tentang Pengaturan Pelaksanaan Usaha Pertambangan dan Energi dalam Kawasan Hutan.
Di dalam SKB dua menteri di atas itu pun ternyata disebutkan bahwa di dalam Taman Nasional, Taman Wisata dan Hutan dengan fungsi khusus tidak dapat dilakukan kegiatan:
-
penyelidikan umum, eksplorasi, eksploitasi, pengolahan dan pemurnian pertambangan umum;
-
eksplorasi, eksploitasi, pemurnian dan pengolahan minyak dan gas bumi;
-
eksplorasi dan eksploitasi sumberdaya panas bumi;
-
eksplorasi pada pembangunan proyek ketenagalistrikan, konstruksi dan eksploitasi ketenagalistrikan.
Bagaimana dengan status kawasan itu sebelum Pertamina melakukan perjanjian pinjam pakai, yang setidaknya bisa memberikan justifikasi keberadaan Pertamina di dalam kawasan TNK? Ternyata kawasan itu sejak tahun 1950-an sudah ditetapkan sebagai Taman Margasatwa yang kemudian di tahun 1982 direncanakan dijadikan taman nasional; selanjutnya pada tahun 1995 ditunjuk sebagai kawasan taman nasional Kutai. Sehingga jelas ketika Pertamina melakukan perjanjian pinjam pakai, kawasan itu sudah masuk di dalam kawasan TNK yang menurut berbagai aturan yang ada sebenarnya tidak bisa dipinjam-pakaikan.
Tapi hukum kita memang berjalan dengan ajaib. Pasal 2 Ayat 3 SKB tersebut menyebutkan jika pada saat penetapan atau perluasan Taman Nasional, Taman Wisata atau Hutan dengan fungsi Khusus telah ada 4 kegiatan di atas, maka kawasan itu harus dikeluarkan dari Taman Nasional, Taman Wisata atau Hutan dengan fungsi Khusus. Sehingga seharusnya kawasan yang sekarang ditumpahi minyak itu dikeluarkan [di-enclave] dari TNK. Tetapi kenyataannya, kawasan itu masih berada di dalam kawasan TNK dan Pertamina mengakuinya sendiri.
Dan, terus terang, itu membuat saya bingung: bukankah lebih bagus jika kawasan Pertamina itu dikeluarkan dari kawasan TNK daripada tetap sebagai kawasan TNK dengan peruntukan yang tidak dibenarkan oleh aturan yang ada. Secara yuridis juga lebih menguntungkan kedua pihak jika kawasan itu tidak berada di dalam kawasan TNK.
Apakah itu terjadi karena status kawasan TNK sekarang "hanya" berupa penunjukan dan bukan penetapan? Tapi bukankah dalam "status" penunjukan kawasan ini memungkinkan adanya perubahan luas dan batas kawasan hutan sehingga proses pengenclavan bisa dilakukan dengan lebih baik? Mengapa sepertinya ada kesan mempertahankan kawasan itu sebagai kawasan TNK dengan konsekuensi menginjak aturan yang dibuat sendiri, atau bahkan kawasan itu malah tambah rusak? Jika ingin mempertahankan luas kurang lebih 12ribu sebagai kawasan TNK, kenapa tidak mengusir Pertamina; bukannya malah memberikan ijin pinjam pakai yang terlarang?
Penunjukan dan penetapan kawasan hutan merupakan awal dan ujung dari proses pengukuhan kawasan hutan. Di tengah dua proses itu ada proses penataan dan pemetaan batas hutan. Proses pengukuhan merupakan usaha untuk memberikan kepastian hukum atas status, fungsi, letak, batas dan luas suatu kawasan hutan. Tapi janganlah salah, hanya karena statusnya penunjukan, seolah kawasan itu kepastian hukumnya kurang kuat. Ia memberikan kepastian bahwa suatu kawasan tertentu "akan" ditetapkan sebagai kawasan hutan dengan fungsi dan status tertentu. Yang berubah adalah luas dan batasnya, tetapi status dan fungsinya tetap mengikuti alasan kenapa kawasan itu ditunjuk. Jika kawasan itu ditunjuk sebagai kawasan taman nasional, maka yang mungkin berubah adalah luas dan batas kawasannya, bukan status taman nasionalnya. Dalam proses penataan dan pemetaan batas kawasan hutan itulah, negosiasi dimungkinkan dengan pihak "luar" yang berbatasan dengan kawasan hutan: mungkin saja menyempit [dienclave], tetap [misal, jika dienclave dan ada kompensasi wilayah] atau malah melebar.
Dalam hal TNK, penunjukan statusnya sebagai kawasan TNK membuat semua aturan yang berhubungan langsung atau tidak langsung dengan kawasan taman nasional melekat pula kepadanya. Termasuk didalamnya adalah aturan tentang tidak diperbolehkannya taman nasional sebagai wilayah yang bisa dipinjam-pakaikan.
Jadi, sejauh yang dapat saya katakan dalam tulisan ini, keberadaan Pertamina di dalam kawasan TNK dengan Ijin/Perjanjian Pinjam Pakai itu sebenarnya dapat dipertanyakan legalitasnya karena menyalahi aturan yang ada. Tapi saya kira, jelas Pertamina tidak berdiri sendiri.
Intinya: kedua belah pihak, masyarakat dan Pertamina berada dalam posisi yang sama: pendatang illegal di TNK.
Lalu dimanakan peran pemerintah dalam kasus ini? Bukankah, untuk entitas hutan dan sungai sangatta, pemerintah bisa berdiri sebagai pihak yang terugikan dan menuntut adanya berbagai bentuk kompensasi? Bukankah ada "kelalaian" yang menyebabkan kerusakan lingkungan, hilangnya biodiversitas, dan masyarakat yang dirugikan?
Yang juga penting, apa yang akan dan seharusnya dilakukan oleh pemerintah, Bapedalda, Dinas Pertambangan dan Balai Taman Nasional Kutai agar setidaknya peristiwa ini tidak terulang di masa depan? Jangan sampai dengan alasan tidak tahu, di luar wewenang, pihak "pengawas", "pengurus" TNK tersebut diam seribu bahasa dan menutup mata.
----
Photo: Jakarta Globe
Tidak ada komentar:
Posting Komentar