Institusi anti korupsi [organisasi plus seperangkat peraturan anti korupsi] yang berjalan dalam jalur tradisional pendekatan pengurangan korupsi dengan basis pada pembangunan good governance dan good government, kerap kali hanya efektif ketika menghadapi kejahatan korupsi yang bentuknya administratif [administrative corruption], seperti penyuapan. Namun ketika menghadapi bentuk korupsi politik atau state capture kebanyakan ia menjadi lumpuh. Kasus Thailand menunjukan contoh yang terang di mana pembangunan institusi anti korupsi di dekade tahun 1990-an yang terutama didorong oleh IMF yang percaya bahwa korupsi bisa diberantas dengan penciptaan good governance, menjadi tiba-tiba kehilangan arah dan impoten ketika Thaksin Sinawatra naik ke kursi Perdana Menteri untuk dua periode.
Thailand dekade 1990-an jauh meninggalkan sesama anggota asia tenggara dalam usaha memerangi korupsi: amandemen konstitusi menambahkan pemberantasan korupsi sebagai basis pembangunan, mereka punya komisi pemberantasan korupsi, punya UU yang membatasi perilaku PNS-nya, punya UU perlindungan saksi, dst yang jika dilihat dalam perangkat untuk perang melawan korupsi sudah dikatakan cukup. Dari suasana kondusif untuk peperangan melawan korupsi itu lahirnya benih seorang pemimpin yang korup, tentu menjadi sebuah pertanyaan besar. Bagaimana mungkin dia bisa keluar dari jeratan institusi anti korupsi itu?
Masalahnya terletak pada keterbatasan semangat pemberantasan korupsi di Thailand yang tidak mencoba menjangkau lebih jauh ke belantara kejam: peta-dinamika politik, hubungan pengusaha-politisi. Ketika Thaksin yang seorang konglomerat membentuk Partai Thai Rak Thai dan kemudian memenangi pemilu dengan suara mutlak [lewat money politik gila-gilaan], semangat pemberantasan korupsi di Thailand meredup. Anggota Partai Thai Rak Thai ini banyak diisi oleh pengusaha kolega Thaksin. Ketika menang, banyak di antara mereka diangkat jadi menteri atau pejabat untuk lembaga-lembaga independen yang ada diantaranya dibuat untuk memberantas korupsi, mengawasi hakim dst.
Kemenangan mayoritas itu, telah memberi keleluasan pada Thaksin untuk menyetir pemerintahan dan juga lembaga legislatif. Dengan kekuatan politik dan uangnya, ia juga bisa membuat tuduhan korup pada dirinya dapat dimentahkan di tingkat MA-nya Thailand. Ia memblok banyak aturan yang dianggapnya akan mengekang keleluasaannya mengeruk kekayaan negara. Ia membelokkan perjuangan pemberantasan korupsi hanya agar tidak kena pada dirinya, kolega pengusahanya dan mereka yang mendekatkan pada dirinya. Pada masa itu, para pengusaha yang dekat Thaksin mendapatkan keistimewaan. Sumber daya alam dibagi-bagi, kontrak-kontrak pemerintah hanya beredar di antara mereka.
Lalu kenapa rakyat Thailand tetap mendukung Thaksin? Ada pergeseran budaya politik di kalangan rakyat Thailand dan ada banyak program populis dari Thaksin yang memang ditujukan buat peningkatan kalangan petani, orang desa yang masih mayoritas di sana.
Indonesia?
Dua SP3 yang berhubungan dengan kejahatan yang melibatkan pengelolaan sumber daya alam, satu hutan di Riau dan satu lagi minyak di Jawa Timur, telah mengingatkan saya pada adanya indikasi state capture itu di Indonesia. Ia bukan barang baru, tentu saja. Sejarah hubungan antara pengusaha dan politisi di negeri ini sangat kaya. Kita pernah diperintah oleh pemerintahan leviathan selama lebih kurang 32 tahun. Tapi nampaknya hubungan antara pengusaha dengan politisi - dinamika, pengaruh - selama masa reformasi ini luput dilihat dan dijadikan bahan diskusi publik. Padahal ada dua faktor yang membuat mereka justru tumbuh lebih besar: otonomi daerah dan pemilihan langsung.
Saya melihat dan menduga, lewat berita, rumor, ada banyak peraturan yang dibuat yang dibuat dengan prosedur yang legal namun isinya memberi privilage ke jaringan pengusaha-politisi tertentu. Saya juga mendengar, desakan dari "pusat" telah menyebabkan terbitnya SP3 13 perusahaan kayu di Riau yang sebagai besar di antaranya terhubung dengan dua konglomerasi kayu besar di Riau. Dan dalam kasus SP3 Lumpur Lapindo? Tak ada yang lebih jelas lagi, bukan?
Kewenangan KPK terlalu jauh dan lemah ketika harus menjangkau permasalahan turunnya SP3 dua kasus itu. Kalau pun bisa ia hanya akan menjangkau mereka yang terlibat di lapangan; yang jika pun ia lakukan, pelaku state capture akan terlebih dahulu membangun dinding yang tampak legal membuatnya samar, atau menghilang, atau membunuh langkah KPK dengan perubahan satu pasal atau seluruh isi sebuah peraturan atau apapun...,apapun.
State Capture merupakan jenis korupsi yang paling samar-samar namun memberikan dampak negatif besar perjalanan sebuah negara. Ia bergerak dalam wilayah yang semua orang pintar mengatakan legal namun sebenarnya berindikasi korupsi. Pelaku membuat aturan main yang tampak legal tetapi hanya menguntungkan dirinya.
Di Kasus Thailand, dua faktor yang menyebabkan Thaksin bisa membunuh habitat semangat anti korupsi: hubungan pengusaha-politik yang dianggap ada dan kuat yang karenanya seolah wajar dan biasa serta kecenderungan authoritarian Thaksin dengan menang mutlak di pemilihan umum. Indonesia? Ring a bell?
Bacaan:
Alex M. Mutebi, “Explaining the Failure of Thailand’s Anti-Corruption Regime”, Development and Change 39(1): 147-171 (2008)
Hellman, Joel S., Jones, Geraint and Kaufmann, Daniel, Seize the State, Seize the Day: State Capture, Corruption and Influence in Transition(September 2000). World Bank Policy Research Working Paper No. 2444.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar