27 Juni 2009

Peta-Jalan Penyelamatan Ekosistem Sumatera

Peta-Jalan Penyelamatan Eksositem Pulau Sumatera ditandatangani oleh 10 Gubernur dan disaksikan oleh 3 menteri dan seorang eselon dari Depdagri di Jakarta, 26 Juni kemarin. Penandatangan ini merupakan tindak lanjut dari kesepakatan para gubernur di Sumatera tentang penyelamatan eksosistem Sumatera pada 18 September 2008. Kesepakatan itu berisi penyelamatan ekosistem Pulau Sumatera melalui penataan ruang berbasis ekosistem, restorasi lahan kritis, dan mempertahankan keanekaragaman hayati yang masih ada, dengan mendasarkan pada prinsip-prinsip dalam Peta Jalan. Ada 3 langkah strategis yang akan dijalankan: [1] Merestorasi hutan alam yang sudah rusak, [2] mengupayakan perlindungan hutan alam dan ekosistem sensitif dalam rangka meningkatkan daya dukung ekosistem pulau Sumatra, dan [3] mengembangkan model insentif dan disinsentif.

Dalam Peta-Jalan yang ditandatangani kemarin ada satu yang menarik saya, sebagaimana di sebutkan dalam Antara: "...Perlindungan hutan alam dan ekosistem juga dilakukan dengan pengawasan terhadap penerbitan izin dan konsesi yang memiliki konsekuensi pada pembukaan hutan alam, pemberian akses masyarakat ke dalam wilayah hutan untuk melakukan kegiatan ekonomi berbasis konservasi, atau berpartisipasi dan berkolaborasi dalam program konservasi pemerintah...."

Apa yang dimaksud dengan 'pengawasan'? Jika pemerintah daerah mengawasi penerbitan izin yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah sendiri memang seharusnya begitu. Namun bagaimana jika izin atau konsesi pembukaan hutan itu dilakukan oleh pemerintah pusat, misalkan dalam pemberian IUPHHK-HA atau IUPHHK-HT atau Ijin Pinjam Pakai atau Ijin Tukar-Menukar kawasan Hutan [oleh Departemen Kehutanan] atau HGU Perkebunan yang dikeluarkan oleh BPN Pusat? Apakah dengan demikian, pemerintah daerah membantu tugas pengawasan pemerintah pusat, atau, dengan dimasukannya pernyataan itu timbul penafsiran tugas pengawasan siapa yang tidak berjalan dalam hal penerbitan izin atau konsesi yang berkonsekuensi pada pembukaan hutan alam, sehingga harus dilakukan dua kali pengawasan?

Hal positif lain adalah pemberian akses pada masyarakat memasuki hutan untuk melakukan kegiatan ekonomi berbasis konservasi. Tapi, memang tidak boleh berhenti di Peta-Jalan, karena hambatan struktural yang menghilangkan dan mengurangi akses masyarakat masih banyak dan kuat dan perlu diselesaikan di alam nyata.

Di luar Peta-Jalan itu, saya membaca ini merupakan pembuka jalan adanya kesepahaman antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk melempangkan jalan masuknya inisiatif konservasi semisal REDD [barangkali akan masuk dalam langkah strategi terakhir: "mengembangkan model insentif dan disinsentif"].

Salah satu hal yang masih belum diselesaikan demi lancarnya REDD adalah hubungan antara pemerintah pusat dan daerah dalam menjalankan "proyek" REDD, di luar masalah 'pembagian keuangan'. Dalam Peta-Jalan itu disebutkan bahwa 10 Gubernur di Sumatera sepakat untuk melakukan: "Restorasi hutan alam yang sudah rusak dengan memperhatikan prioritas penetapannya sebagai kawasan lindung; penerapan praktek pengelolaan hutan lestari yang baik, dan mengutamakan partisipasi masyarakat dalam pelaksanaannya. perlindungan hutan alam dan ekosistem sensitif melalui peningkatan luas peruntukan wilayah konservasi dan hutan lindung, serta pencegahan pembukaan hutan alam untuk mempertahankan areal yang masih berhutan". Dengan demikian, pemerintah pusat akan dengan mudah memasukkan inisiatif tersebut ke dalam program pemerintah daerah dan tidak kawatir bahwa inisiatif tersebut di tengah jalan akan 'disabot" oleh pemerintah daerah.

Sepanjang Peta-Jalan itu nyata terlaksana di lapangan, tidak ada salahnya kita ikut optimis, bukan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar