06 Februari 2010

Antara Pengelolaan Dana Reboisasi dan REDD

Membandingkan sesuatu sering kali malah menyesatkan. Terjadi karena adanya "frame" yang membuat reduksi besar pada apa yang dibandingkan. Tapi perbadingan adalah kerjanya pikiran, begitu kata Jiddu Khrisnamurti. Hal biasa dilakukan. Karena baru di sanalah perjalanan evolusi kita. Jiddu menginginkan proses perbandingan itu berhenti. Bukan dihentikan. Karena jika "dihentikan" tetap ada "yang ingin" menghentikan. Dalam hal ini pikiran. Jadi pikiran menelikung: seperti membunuh pikiran, padahal pikiran itu sendiri yang berpura-pura membunuh. Ia tetap sehat wal afiat.

Tapi, bukan ke sana maksud tulisan ini. Perbandingan memang sering kali menyesatkan tapi ia juga bisa memberikan garis arah. Memberikan perkiraan. Apalagi jika perbandingan itu antara yang sudah terjadi dan diperkirakan terjadi.Dan perkiraan itu yang ditampilkan dalam tulisan ini.

Tulisan ini membandingkan praktek Indonesia dalam mengelola dana besar dalam sektor kehutanan berupa Dana Reboisasi dalam masa sebelum dan sesudah Soeharto berkuasa. DR, sampai saat ini, menduduki peringkat pertama penerimaan negara dari sektor komersial kehutanan. Selama 20 tahun pelaksanaan DR, negara sudah menerima pendapatan kurang lebih US 5,8 milliar dollar.

Peringkat itu akan segera bisa disusul jika REDD+ bisa terealisasikan di Indonesia. Diperkirakan dengan hanya pengurangan 5% saja dari rata-rata deforestasi Indonesia bisa mendapatkan pemasukan sekitar US $765 juta/tahun dan jika 30% akan masuk dana sebesar US 4,5 milliar/tahun.

Masalahnya, uang itu akan dikelola oleh institusi yang sama: Kementrian Kehutanan [DR pernah dikelola oleh Departemen Keuangan, tapi kemudian dikembalikan kembali ke Kemenhut dan sekarang dikelola oleh sebuah BLU]. Kita sama-sama tahu bagaimana DR tersebut diselewengkan [dibuat menambal dana IPTN], dikemplang oleh pengurusnya [Bob Hasan masuk penjara gara-gara pengemplangan DR ini], ketidakberhasilan proyek-proyek yang dibiayai oleh DR [Penanaman HTI, rehabilitasi lahan dan hutan]. Bahkan sampai sekarang tidak ada perubahan pada manajemen keuangan DR tersebut.

Nah, wajar kiranya, tulisan itu mempertanyakan bagaimana badan yang sama harus mengelola uang yang per tahunnya sekitar US $765 juta/tahun?

Tulisan ini sempat ramai diperbincangkan di lembaga yang mau mengeluarkannya, karena biarpun tidak secara terang-terangan menyatakan bahwa Indonesia tidak punya kemampuan untuk mengelola uang, tapi tulisan ini berhasil menempelkan keraguan di benak pembacanya. Sebagaimana juga saya.

Tapi, saya kira, ada pelajaran yang bisa diambil dari acakudutnya manajemen DR dan tulisan ini memberikan petunjuknya. Yang manarik, tulisan ini tidak hanya menyoal REDD sebagai persoalan keuangan semata. Ia menghubungkan dengan praktek-praktek pengawasan dari luar dan menurut mereka, ada harapan perbaikan. BPK sudah mulai bergigi sekarang, begitu pula keberadaan KPK dan Pengadilan korupsinya yang bisa dijadikan benteng agar pengelola dana [REDD+] bisa baik bekerja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar