01 September 2009

Australia, Indonesia dan REDD

Kepentingan sebuah bangsa atas bangsa lain tidak bisa dilepaskan dari pergolakan domestik negara tersebut. Australia menjadi salah satu negara yang sangat mendukung pelaksanaan REDD di Indonesia. Australia tidak kurang memberikan Aus$ 200juta untuk membiayai beberapa proyek awal atau demontration activities REDD di Indonesia [dan di PNG]. Di samping niat baik untuk mengurangi laju pemanasan global lewat penghentian deforestasi, sebaiknya kita juga melihat bagaimana pergolakan dalam negeri Australia sendiri dalam masalah perubahan iklim ini.

Awalnya Australia menjadi kawan Amerika Serikat dalam menolak Kyoto Protokol. Namun dengan bergantinya pucuk pimpinan pemerintahan ke tangan Kevin Rudd, Australia berbalik ingin menjadi salah satu negara pioner dalam isu perubahan iklim ini. Setelah menegaskan komitmen untuk terlibat dalam Kyoto Protokol dan dalam semua perundingan internasional tentang perubahan iklim di bawah naungan UNFCCC, di dalam negeri sendiri, Kevin Rudd menelorkan sebuah usulan undang-undang tentang pengurangan emisi. Di dalam Undang-undang tersebut mengatur mengenai cap and trade yang berlaku bagi kurang lebih 1000 perusahaan penghasil emisi terbesar. Sistem cap and trade itu sendiri memungkinkan sebuah perusahaan yang tidak bisa memenuhi batas jumlah emisi yang boleh dikeluarkan dalam tahun tertentu dapat membeli kelebihannya itu pada pihak lain yang dapat mengurangi emisi di bawah batas yang diberikan. Pihak lain ini bisa perusahaan domestik, proyek "hijau" maupun pihak dari negeri lain.

Dalam usulan UU itu [Carbon Pollution Reduction Scheme Bill 2009], Ia memberikan sejumlah kompensasi kepada perusahaan manufaktur seperti baja; namun tidak memberikan keringanan yang sama pada perusahaan batu bara dan pembangkit listrik dari batu bara. Tidak diberikannya keringanan pada perusahaan batubara dan PLTU batu bara ternyata menjadi sandungan utama usulan UU tersebut bisa disahkan menjadi UU. Perusahaan batu bara mengeluarkan laporan yang mewartakan jika ETS [Emissions Trading Scheme] itu diterapkan sekarang maka Australia akan kehilangan ratusan ribu pekerja, pelambatan ekonomi dst. Selain itu tentangan juga keluar dari pihak oposisi yang - ini menariknya - lahir dua alasan yang berbeda. Pihak Oposisi dari kalangan konservatif melihat pelaksanaan ETS itu akan berdampak pada pelambatan ekonomi karena pelaku usaha menghadapi dua tembok secara bersamaan: krisis global dan ETS itu. Sementara pihak oposisi dari pihak Partai Hijau melihat usulan itu sudah terlalu berbau kepentingan perusahaan, dengan implementasi yang terlalu lunak dan tidak jelas.

Dan memang, pada tanggal 13 Agustus 2009 ini, usulan UU versi pemerintah itu ditolak oleh senat Australia. Dengan demikian komitmen Australia dalam usaha pengurangan laju pemanasan global kembali ke titik misteri. Walaupun pihak pemerintah menyatakan bahwa usulan itu akan kembali diperdebatkan di senat tahun ini dan di sisi yang lain, pihak oposisi juga sudah siap dengan amandemen. Penolakan sekali lagi dari Senat dapat berujung pada pemilu yang dipercepat.

Di tengah panasnya politik dalam negeri itu, Australia tetap memandang penting kerja sama internasional dalam isu  perubahan iklim ini. Dan Indonesia dijadikan salah satu partner penting dalam usaha itu. REDD adalah mainan baru itu. Di Bonn, pemerintah Australia dan Indonesia bersepakat untuk lebih bekerja sama dalam masalah REDD ini. Bagi Australia, Indonesia dan REDD adalah "...given Indonesia’s impact on worldwide atmospheric carbon concentrations and its close proximity, Australia has a unique opportunity to lead the world in developing REDD offsets and linking this market to the [scheme]’.

Tetapi sebenarnya sikap pemerintah Australia dalam hal emisi dari deforestasi ini adalah memilih untuk tidak dimasukan dalam rencana penggurangan emisi Australia. Salah satu atau dua alasannya adalah emisi dari deforestasi sulit diprediksi dan memasukkan skema emisi dari deforestasi akan melahirkan insentif untuk "...pre-emptive land clearing if coverage was in prospect (where allowed under state and territory regulations) in order to avoid a future obligation. This could have a range of negative environmental consequences, as well as increasing emissions in the Kyoto Protocol period...." Alasan lainnya adalah pengurangan emisi dari deforestasi bukanlah mekanisme yang diakui dalam Protokol Kyoto, sehingga jika ia dimasukkan dalam strategi pengurangan emisi Australia dalam masa sekarang, justru akan merugikan Australia karena biayanya jadi lebih besar karena mengerjakan sesuatu yang tidak akan berkontribusi positif pada usaha Australia memenuhi kewajiban yang ditetapkan Protokol Kyoto.

Walaupun demikian, Pemerintah Australia menyadari murahnya harga pengurangan emisi dari deforestasi ini, sehingga ia akan mencari alternatif insentif bagi emisi dari deforestasi ini. Karena itu, ia membuka kerja sama dengan negara Indonesia [dan juga PNG] dalam REDD untuk melihat sejauh mana pengurangan emisi dari deforestasi dan insentif yang diberikan dapat menjadi alasan dimasukkan atau tidak emisi dari deforestasi dalam skema pengurangan emisi Australia. Dan jika itu mungkin, maka mekanisme offset akan diberlakukan juga pada mekanisme pengurangan emisi dari deforestasi ini.

Dalam usulan UU yang telah dikalahkan oleh Senat Australia itu, projek offset dalam kehutanan adalah proyek pertama yang akan berjalan [1 Juli 2010]. Tetapi tidak jelas berapa persen yang harus dilakukan di domestik dan berapa yang bisa dioffsetkan dengan proyek hutan di luar negeri [sikap pemerintah Australia dalam hal offset ini terbagi dua, ada yang menolak jika sumber emisinya berasal dari sektor yang diatur dalam usulan UU dan ada yang memperperbolehkan jika emisinya berasal dari luar sektor yang diatur. Hutan dan pertanian diberi keleluasaan untuk dilakukan offset].

Australia jelas akan sangat berkepentingan proyek-proyek awal REDD itu dapat ditindaklanjuti dengan kepastian hukum di tingkat internasional. Hal ini bisa dipahami, karena penolakan [sementara] bagi mekanisme pengurangan emisi dari deforestasi itu hanya jika mekanisme itu dilakukan di dalam negeri [karena dikawatirkan akan menaikkan emisi Australia pada masa periode Protokol Kyoto [2008 - 2012]. Tetapi, jika mekanisme itu dilakukan di luar negeri dan terjadi ketika protokol Kyoto berakhir masa berlakunya, [lihat White Paper] saya rasa, sikap pemerintah Australia akan berbeda karena melihat kalkulasi ini: harganya murah dan bisa dioffset.

Bagi Indonesia, masuknya uang dipandang sebagai keuntungan dan memang jika REDD dikerjakan dengan baik lewat sistem distribusi keuntungan yang adil dan penghargaan pada tenur masyarakat, keuntungan itu sangat besar [akan berbeda jika pelaksanaannya berbeda] - walaupun jelas jangan terlalu naif dengan memperlakukannya sebagai silver bullet yang bisa menyelesaikan semua persoalan kehutanan di Indonesia. Tetapi, yang jelas, jika dilihat dari peta politik perubahan iklim, Indonesia dan negara berkembang berada di pihak yang dirugikan karena ia kemudian diharuskan untuk menjadi pihak aktif dalam pengurangan emisi dan dengan harga yang terlalu murah. Yang untung adalah negara-negara maju yang telah merusak dan mendapatkan kemajuan ekonomi akibat itu dan sekarang difasilitasi untuk membuang "kotorannya" itu bahkan dengan harga yang kelewat murah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar