07 April 2010

Pemerintah Provinsi, REDD, Safeguard

Tautan di bawah adalah hasil workshop sebuah Tim Kerja yang bernama The Governors’ Climate and Forests Task Force (GCF) yang berjudul Regulatory Design Option for Sub-national REDD Mechanism. Tergabung dalam GCF ini ada empat Provinsi di Indonesia: Aceh, Papua, Kalbar dan Kaltim. GCF sekarang terdiri dari 14 Provinsi dari 5 negara [USA, Meksiko, Brazil, Nigeria dan Indonesia]. GCF ini dibentuk dengan tujuan untuk mengintegrasikan REDD ke dalam skema besar penurunan emisi gas rumah kaca dan memberikan advokasi agar tujuan itu tercapai. GCF ini tidak terlepas dari dibuatkannya skema Cap and Trade serta Tropical Forest Conservation Act di dalam negeri Amerika. Amerika membutuhkan partner dari negara berkembang pemilik hutan tropis untuk dijajagi kemungkinan melakukan offset karbon.

Bersamaan dengan lahirnya Copenhagen Accord pada COP 15 telah disepakati pula dokumen yang berjudul "Methodological guidance for activities relating to reducing emissions from deforestation and forest degradation and the role of conservation, sustainable management of forests and enhancement of forest carbon stocks in developing countries". Dalam dokumen itu dinyatakan " To establish, according to national circumstances and capabilities, robust and transparent national forest monitoring systems and, if appropriate, sub-national systems as part of national monitoring systems. Ini merupakan "karpet merah" bagi organisasi seperti GCF ini dalam perjuangan agar tingkat provinsi/sub-nasional bisa terlibat langsung baik dalam negosiasi maupun pelaksanaan REDD.

Ingat pula, bahwa ada "pertentangan" antara California dengan pemerintah federal Amerika dalam soal strategi mitigasi perubahan iklim. California dianggap "mendahului" pemerintah federal dalam penerapan skema cap and trade dengan lahirnya Global Warming Solution Act. Politik lokal ini membuat apa yang disepakati di COP 15 menguntungkan GCF ini.

Dalam soal REDD, apa yang "ditawarkan" oleh GCF ini merupakan salah satu "proses" dalam lingkup perdebatan REDD secara internasional yang satu sama lain saling bersaing untuk mendapatkan "penguatan" secara legal dan politik dalam fora isu global soal perubahan iklim.

Saya rasa tawaran GCF itu harus diperhatikan, jika ternyata skema sub-nasional ini bisa berlaku seperti nasional, "pertentangannya" dengan kebijakan REDD Indonesia yang "bermadzhab" National approach by sub-national implementation, di mana REDD dihitung referensinya secara nasional yang dalam pelaksanaannya dilakukan secara sub-nasional. Dalam interpretasi saya, konsekuensinya itu berarti satu-satunya "channel" pelaksanaan REDD adalah lewat Pusat/Nasional, termasuk di dalamnya dana/program/proyek yang masuk, lalu kemudian dibagi ke provinsi/kabupaten. Pernah saya dengar keluhan dari salah seorang pejabat di Dephut yang tidak suka dengan inisiatif Aceh dan Papua [waktu itu] yang melakukan kerja sama dengan provinsi lain negara lain.

Lalu apa yang menarik dari tautan itu adalah soal Safeguard. Ada 3 kategori: lingkungan, perlindungan hak dan bagi keuntungan. Ada banyak hal yang bisa dibandingkan [karena ia bicara soal regulatory yang karenanya harus practible] dengan usulan safeguard lainnya.

Dalam soal Lingkungan, GCF ini mengusulkan, salah satunya, bahwa Kredit REDD tidak boleh dipergunakan untuk aktivitas apapun yang mengarah pada konversi hutan alam. Usulan ini menarik karena, misalnya, di Indonesia konversi hutan [alam] masih sering dilakukan untuk kepentingan HPH/HTI atau perkebunan sawit, seperti sawit. Padahal Sawit , HTI dan HPH merupakan aktor yang diusulkan oleh Indonesia dapat menjalankan dan mendapatkan insentif REDD.

Dalam soal Perlindungan Hak/Kepentingan, usulannya sebenarnya "standar", misalnya soal aktivitas REDD sejauh mungkin tidak menciderai kepentingan dan hak-hak masyarakat lokal, Adat atau masyarakat rentan lainnya, di antaranya dengan mencegah aktivitas REDD membuat mereka pindah secara tidak sukarela. Selain itu, soal FPIC harus dilakukan secara benar dan komprehensif, seperti misalnya masyarakat mempunyai akses luas pada segala informasi yang ada hubungannya dengan proyek REDD. Di lapangan, FPIC ini memang lebih enak disebutkan daripada dipraktekkan. Di Kalbar, misalnya, ada proyektor REDD yang ke mana-mana selalu ngomong FPIC dalam menjalankan proyeknya, ternyata di salah satu desa yang akan dijadikan percontohan REDD atau malah REDD, masyarakat sekitar tidak banyak diberitahu soal hal-hal mendasar soal aktivitas REDD, termasuk soal apa sebenarnya isi MoU antara mereka dengan Pemda dalam soal REDD ini.

Tentu saja perjuangan GCF ini masih panjang. Salah satu yang menarik perhatian saya, terutama kasusnya Indonesia adalah bagaimana mereka melakukan koordinasi dengan pemerintah Pusat dan Pemerintah Kabupaten? Jika "debat panas" sudah sering kita dengar antara Pemprov dengan Pusat, bagaimana dengan Pemprov vs Pemkab? Saya ada informasi terkait soal ini yang kejadiannya ada di Kalbar, tapi kayaknya tidak terlalu bijak untuk dibuka di sini karena masih harus cek-rechek lagi.

Ini link-nya: Option Paper

Tidak ada komentar:

Posting Komentar