REDD, sepanjang yang saya tahu, akan berhubungan dengan masalah [kebijakan] penggunaan lahan [mungkin kita masih ingat istilah LULUCF dalam perdebatan di UNFCCC]. Karena lahan terbatas, maka penggunaan lahan macam apa yang cocok dan pas serta menguntungkan biasanya akan diprioritaskan. Untuk fungsi apa lahan itu dipergunakan biasanya tidak hanya dihitung nilai intrinsik fungsi atas lahan itu, tetapi juga dikomparasikan dengan alternatif penggunaan lahan lainnya.
Hutan semakin hari semakin kuat posisinya dalam perdebatan perubahan iklim. Hutan sekaligus berfungsi penyimpan dan penghasil karbon. Karena deforestasi dari hutan disinyalir menyumbang 20% dari emisi yang keluar, kiranya mencegah deforestasi/degradasi menjadi penting.
Tetapi [lahan] hutan ternyata, bagi beberapa negara, tidak hanya dipandang sebagai kumpulan pohon dan ekosistemnya yang harus dijaga. Hutan bisa dialihfungsikan menjadi penggunaan lain, entah untuk pertanian, transmigrasi, atau penggunaan non-kehutanan lainnya. Pembangunan adalah mantranya sebab pembangunan tidak dibentuk dari sesuatu yang dirawat apa adanya. Ia hadir karena ada perubahan, menemukan, membentuk hal baru. Pembangunan yang dimaksud di sini direduksi menjadi pembangunan ekonomi. Apapun itu, ketika ia menghasilkan nilai ekonomi, ia harus didukung.
Maka- dengan asumsi lahan terbatas - hutan kemudian dihitung benefitnya dalam kacamata ekonomi: berapa harganya jika hutan tetap dilestarikan dan berapa harganya jika ia dirubah menjadi fungsi lain. Nah, celakanya, karena tema besarnya adalah hutan untuk perubahan iklim, maka fungsi hutan juga [hanya] dihitung kontribusinya pada perubahan iklim itu. Di tengah itu REDD berdiri menjadi kandidat penting untuk menghitung berapa kontribusi hutan bagi [pengurangan] perubahan iklim.[Greenpeace punya metode lain yang sejenis dengan 'avoided deforestation" itu: forest for climate initiative]
Di negara seperti Indonesia, fungsi lain itu - yang selalu dikomparasikan dengan fungsi-hutan-bagi-perubahan-iklim dan sekarang selalu jadi bahan pembicaraan - adalah kelapa sawit. Berapa sebenarnya keuntungan/kerugian ekonomi jika hutan dibiarkan sebagai bagian dari transaksi REDD dibandingkan jika ia dirubah menjadi kawasan perkebunan kepala sawit?
Jangan tanya saya, karena saya tidak paham ekonomi.
Sebuah tulisan terbaru mengajukan hasil yang cukup signifikan untuk dibicarakan. Tulisan ini dibuat oleh Lian Pin Koh, Jaboury Ghazoul dan Rhett A. Butler yang menyatakan REDD sebaiknya tidak dibatasi berjalan di jalur pasar sukarela, karena ia akan berharga murah. Sebaiknya ia dipasarkan di jalur pasar non-sukarela seperti European Union's Emission Trading System.
Menurut mereka [[dengan berbasiskan pada hipotesa 10.000 ha hutan di Sumatera Indonesia] harga NPV jika hutan dirubah fungsinya menjadi perkebunan kelapa sawit berkisar antara $3835 sampai $9630 per hektar selama 30 tahun. Sedangkan jika REDD dipasarkan di pasar sukarela hanya akan memberikan keuntungan sebesar $614-$994 per hektar selama 30 tahun. Keuntungan bagi hutan untuk REDD akan meningkat jika ia dipasarkan di pasar non-sukarela dengan estimasi keuntungan antara $1571-$6605 per hektar, dan bahkan keuntungan akan mencapai kurang lebih $11.784 per hektar jika pembayaran karbon dilakukan di muka.
Keuntungan dari hutan untuk REDD akan semakin meningkat dan barangkali bisa berkompetisi dengan penggunaan lahan hutan bagi kegiatan ekonomi [tidak hanya perkebunan sawit] jika mekanisme REDD ini menjadi pengganti dari komitmen global pengurangan emisi pasca 2012. Hanya saja, menurut saya, itu juga menjadi pintu pembuka bagi negara-negara berkembang untuk ikut menanggung tanggung jawab yang sama dengan negara maju dalam masalah perubahan iklim ini. Padahal selama ini hanya negara-negara maju yang dikenai tanggung jawab lebih dalam masalah perubahan iklim ini.
Untuk lebih jelasnya bisa dibaca di sini: REDD in the red: palm oil could undermine carbon payment schemes yang dimuat di Jurnal Conservation Letter.
Model dalam format xls bisa diunduh di sini [lewat Mongabay.com]
Jika menemui kesulitan untuk dapat tulisan itu [saya kurang tahu apakah conservation Letter jurnal berbayar atau tidak], boleh menghubungi email saya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar