21 Maret 2009

Kejar Uangnya, Penjarakan Orangnya; Belajar dari Kasus Pembalakan Liar

Lahirnya vonis banding bagi pelaku pembalakan liar di Ketapang dari unsur kepolisian dan Dinas Kehutanan Ketapang, saya rasa, tidak akan mengubah apa-apa pada peta pembalakan liar di Ketapang, khususnya dan di Indonesia, umumnya. Vonis banding bagi anggota kepolisian Resort ketapang itu memang lebih rendah dari vonis PN Ketapang dan pastinya akan membuat patah hati mereka yang menganggap dirinya "pembela lingkungan'. Tetapi, andai pun lebih berat, efek jeranya hanya akan berlaku pendek saja.

Tambahkan kekecewaan itu dengan fakta: vonis bagi pemilik kayu jauh lebih ringan dari pelaku pembantunya dengan tidak ada hukuman penjara yang lebih dari 2 tahun dengan denda umumnya 5 juta dan hanya satu terdakwa yang didenda dengan 15 juta. Jumlah semua denda bagi 24 terdakwa kasus ini kurang dari 90 juta! Padahal negara dirugikan Rp 216 miliar.

Pola penegakkan hukum dalam pembalakan liar itu serupa: kejar dan tangkap pelakunya [biasanya pelaku lapangan; kasus Ketapang ini termasuk pengecualian karena berhasil menyiduk cukongnya], penjarakan dan bukti kejahatan berupa kayunya atau peralatan disita bagi negara dan kemudian dilelang. Uang hasil lelang ini sepertinya dianggap sebagai "pengganti rugi" dari hilangnya aset negara.[Uang yang masuk ke negara atas pelelangan 12 Kapal yang terlibat pembalakan liar di Ketapang adalah sebesar Rp 1.618.100.000 ].

Pola demikian hanya akan membuat penjara penuh dengan pelaku pembalakan liar [sayangnya kebanyakan adalah pelaku lapangan yang biasanya orang kecil dan suruhan]; sementara negara dirugikan setidaknya oleh dua hal: pertama, hilangnya tegakkan kayu di hutan [tidak perlu dululah menghitung "kerugian ekologis" akibat hilangnya kayu] yang nilainya komersial kayunya akan bertambah kecil karena penjualannya melalui mekanisme pelelangan [yang dalam banyak kasus juga melibatkan pelaku pembalakan liar [kelas kakap] yang menyamar] dan kedua, sumber daya negara juga habis untuk memastikan pelaku di penjara dengan perlakuan yang wajar. Tidak hanya ketika pelaku masih di penjara, sumber daya negara juga habis untuk mengejarnya, menangkapnya [satu kasus pembalakan liar dibiayai 24 juta di Polda Riau], menuntutnya, dan mengadilinya [dari PN sampai MA].

Hasilnya adalah kasus pembalakan liar masih banyak, deforestasi/degradasi hutan masih saja tinggi. Yang menang adalah ego penegak hukum yang berhasil memenjarakan orang dan akhirnya puas diri dengan itu. Yang benar-benar menang adalah bandar besar pembalak liar. selain itu, korupsi dalam bidang kehutanan ini berjalan terus dan makin melemahkan posisi negara.

Paradigma lain: utamakan pengejaran asetnya, bukan orangnya

Pola penegakkan hukum sebagaimana disebutkan di atas lazim dilakukan di hampir seluruh bagian dunia ini, di negara berkembang maupun negara maju. Polanya adalah dengan mengejar dan memenjarakan pelakunya dan kemudian melupakan aset yang membuat tindak kejahatannya menjadi mungkin. Pola ini terlihat gagal ketika dihubungkan dengan kejahatan terorganisir, seperti judi, narkotika, korupsi, pencucian uang, penyelundupan orang, dll.

Menghadapi kejahatan terorganisir seperti itu, bukan hanya gagal menghentikan kejahatannya, tetapi negara mengalami dua kerugian sekaligus: habisnya sumber daya dan, ini yang mengejutkan, makin menyuburkan korupsi aparat negara sehingga melemahkan posisi negara.

Mengapa demikian? Sebuah laporan studi yang ditulis oleh Edgardo Buscaglia, mmperlihatkan bahwa tanpa disertai/ada penyitaan aset, penangkapan fisik penjahat menjadi seolah tidak berguna. Operasi-operasi untuk menyergap pelaku kejahatan akan membuat para penjahat semakin mengintesifkan usahanya untuk mempengaruhi kebijakan negara atau menyuap para aparat negara yang hal ini mungkin terjadi karena uang/aset kejahatannya masih berkeliaran di luar. Usaha mempengaruhi kebijakan negara [misal lewat lobi, pembajakan ekonomi] serta penyuapan ini makin intensif sebagai trade off dari semakin banyaknya pelaku yang ditangkapi dan dimasukkan dalam penjara. Seolah berapapun pelaku masuk penjara, tetap tidak menghentikan tindak kejahatannya, karena masih ada aset yang bisa dipergunakan untuk menggerakkan kejahatannya.

Studi itu sangat luar biasa karena dilakukan selama 14 tahun dan meneliti kurang lebih 107 negara yang menandatangani Palermo Convention yang bermaksud memerangi kejahatan terorganisir.

Italia menghadapi persoalan ini ketika menghadapi kejahatan mafia dimana semakin banyak anggotanya dipenjara, kejahatannya terus saja mengakar dan pola mempengaruhi politik hukum negara serta penyuapannya juga semakin canggih dan semakin berani. Karena itu di dekade 80-an dan 90-an pola penghancuran mafia disertakan penyitaan aset dan hasil sudah membuat mafia makin mengecil. Amerika serikat juga mulai menerapkan pola ini dalam memerangi kejahatan narkotika. Penerapan penyitaan aset dan rezim pencucian uang juga dilakukan dalam menghadapi kejahatan sejenis lainnya.

Pola ini mensyaratkan aparat penegak hukum memahami kerja lembaga keuangan disamping tetap melakukan penahanan fisik kepada pelakunya.

Indonesia di bawah bayang-bayang mafia pembalakan liar?

Entah berapa ratus/ribu pelaku kejahatan kehutanan berupa pembalakan liar yang sedang dan sudah merasakan sempitnya ruang penjara di Indonesia ini. Namun, kejahatan kehutanan tetap saja berjalan dan bertransformasi menjadi wujud yang beraneka ragam; tidak lagi hanya sekedar memotong kayu di bukan tanahnya. Desentralisasi dipandang oleh kalangan tertentu membiakkan pola pembalakan liar ini. Bahkan bisa bersembunyi dibalik legalitas perijinan sah.

Muak akan suasana itu, pemerintah Indonesia mengintensifkan berbagai upaya untuk memeranginya. Tetap dengan pola kejar dan penjarakan orangnya. Hasilnya belum begitu menggembirakan di luar banyaknya kasus yang masuk ke pengadilan.

Saya juga mulai menyadari kebenaran yang ditemukan dalam studi Buscaglia di atas: ketika penegakkan hukum makin intensif dengan memenjarakan banyak pelaku kejahatan; pola-pola penyuapan atau mempengaruhi kebijakan negara yang membuka lebar terjadinya pembalakan liar samar-samar terkuak. Mulai dari menahan terjadinya kesepakatan tata ruang di dua provinsi besar, permintaan pelepasan kawasan hutan [misal, 2 juta ha di suatu provinsi], penyuapan anggota dewan, pemakzulan aparat penegak hukum, sampai membiayai kelompok yang menginginkan provinsi baru atau kampanye menjadi anggota dewan atau pucuk pimpinan daerah. Dan mungkin masih banyak pola lain yang di luar kemampuan saya membayangkannya yang semuanya mungkin karena ada uang maha-besar yang menggerakkannya. Semua itu terjadi di bawah pemerintahan yang menyakini pembalakan liar sebagai kejahatan luar biasa dan terorganisir.

Dominasi pola "kejar dan penjara orangnya" ini mulai coba ditantang dengan pola yang dilakukan oleh KPK terkait korupsi dalam sektor kehutanan. KPK menerapkan pola penyitaan aset dalam setiap perkara yang diajukannya ke pengadilan. Kasus yang menjadi landmark adalah Kasus Martias dkk, yang divonis bersalah melakukan korupsi dan diharuskan mengembalikan aset negara sebesar Rp 346,8 miliar; yang kemudian diikuti dengan kasus Tengku Azmun Jaafar yang dalam putusan banding Pengadilan Tinggi Jakarta mengharuskan 15 perusahaan yang terkait dengannya secara bersama-sama mengembalikan aset sebesar Rp 1,2 triliun kepada negara. Dalam kasus Adelin Lis, Kejaksaan juga mencoba menerapkan pola yang sama, sayangnya adalah bukan hanya asetnya sulit didapat, Adelin Lis-nya sendiri menghilang entah kemana.

Keberhasilan upaya di atas membuat banyak pihak menginginkan kejahatan kehutanan didekati dengan pendekatan korupsi. Padahal menurut saya, pola penindakannya saja yang dirubah sehingga memungkinkan terjadinya penyitaan aset kejahatan dan saya rasa tidak harus melulu dipergunakan pasal-pasal korupsi.

Rezim pencucian uang merupakan wilayah yang perlu dicoba dipakai dalam memerangi pembalakan liar, semata karena rezim ini menginginkan adanya proses pembekuan aset pada saat seseorang ditetapkan sebagai tersangka.

Penyitaan aset juga bukanlah hal asing dalam sistem hukum kita, hanya saja pelaksanaannya kadang tidak efektif, seperti yang terjadi dalam kasus Adelin Lis dimana penelusuran dan penyitaan aset dilakukan ketika Adelin Lis sudah jadi terpidana. Berbeda misalnya dengan yang dilakukan oleh KPK dalam Kasus Martias dimana penelusuran, pembekuan aset dilakukan ketika Martias ditetapkan sebagai tersangka, sehingga ketika vonis sudah berkekuatan hukum tetap, KPK tinggal menyita aset tersebut. Pembekuan aset ini penting agar pelaku tidak mempergunakan aset tersebut untuk mempengaruhi jalannya persidangan atau menyembunyikan dengan cara entah dan di tempat entah

Tantangannya adalah, selain beberapa hambatan hukum, aparat penegak hukum perlu ditingkatkan kapasitasnya dalam memahami keuangan yang memudahkannya dalam membaca pergerakan kejahatannya. Tantangan lainnya adalah ketika menyangkut aset di luar negeri; halangan diplomatik atau belum adanya perjanjian MLA [Mutual Legal Assistance] akan menghambat terjadinya penyitaan aset. Tetapi sekarang ini sudah dikembangkan pola penyitaan aset yang tidak didasarkan pada hukum pidana, melainkan pada hukum perdata [walaupun sangat mahal].

Intinya adalah penyitaan aset kejahatan dalam sektor kehutanan perlu dilakukan sebagai komplemen dari pendekatan penegakkan hukum sekarang ini yang lebih menekankan pada dipenjarakannya pelaku kejahatan. Dengan harapan bisa dibekukannya 'darah kejahatan', barangkali kita bisa melihat proses penegakkan hukum yang jauh lebih efektif dan [semoga] lebih adil.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar