24 Januari 2008

Pengawasan DPR pada KKS Migas di Indonesia

Oleh: Mumu Muhajir

Ini hanya monitoring dari jauh saja sebuah kasus Judicial Review yang dimohonkan oleh delapan anggota DPR atas UU No 22 tahun 2001 tentang Migas kepada Mahkamah Konstitusi. No perkaranyanya adalah 20/PUU-V/2007. Judicial Review ini merupakan Judicial Review yang kedua atas UU yang sama.

Kasus ini menarik karena pemohon adalah anggota DPR yang merasa hak konstitusionalnya terugikan dengan Pasal 11 Ayat 2 UU Migas yang menyatakan bahwa KKS hanya perlu diberitahukan secara tertulis kepada DPR dan bukannya disetujui oleh DPR. Pemohon berpendapat bahwa KKS adalah salah satu jenis dari Perjanjian Internasional lainnya [Pasal 11 Ayat 2 UUD 1945] yang karenanya memerlukan persetujuan dari DPR.

Selain itu Pasal 11 Ayat 2 UU Migas bertentangan pula dengan Pasal 20A Ayat 1, Pasal 33 Ayat 3 dan Pasal 33 Ayat 4 UUD 1945. Singkatnya Pasal dalam UU Migas itu tidak menghormati fungsi pengawasan DPR, tidak sesuai dengan konsep "hak menguasai negara" atas SDA dan dengan prinsip perekonomian nasional yang dijalankan dengan prinsip kebersaman, efesiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, dan serta menjaga keseimbangan antara kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional

Jalannya Persidangan

Diawali dengan permohonan dari pemohon [Zainal Arifin, Sonny Keraf, Alvin Lie, Ismayatun, Hendarso Hadiparnomo, Bambang Wuyanto, Dradjat Wibowo, Tjatur Sapto Edi] pada tanggal 9 Juli 2007. Sidang dimulai pada 1 Agustus 2007 dan pembacaan keputusan pada tanggal 17 Desember 2007. Keterangan yang didengarkan adalah dari Pemerintah, dari DPR, serta masing-masing dua ahli dari pemerintah [Hikmahanto Juwana dan Zen Purba] dan pemohon [Ryad Chairil dan Muhammad Sair Nisar].

Duduk Soal

Bagi 8 anggota DPR:
1. Anggota DPR punya legal standing dan karenanya bisa mengajukan JR.
2. KKS telah bertentangan dengan UUD 1945 karena tidak disetujui terlebih dahulu oleh DPR. Hal itu disebabkan karena KKS adalah salah satu contoh dari "perjanjian internasional lainnya" sebagaimana diatur dalam Pasal 11 Ayat 2 UUD 1945 yang karenanya harus terlebih dahulu mendapatkan persetujuan dari DPR. Sementara berdasarkan Pasal 11 Ayat 2 UU Migas, KKS hanya perlu diberitahukan secara tertulis kepada DPR.
3. Ketiadaan pengawasan dari DPR itu telah menyebabkan pihak pemohon mengalami kerugian konstitusional yang spesifik dan aktual atau potensial mengalami kerugian.

Bagi Pemerintah
1. KKS adalah masalah Bisnis; bukan masalah publik karenanya KKS tidaklah diatur dengan hukum internasional sehingga tidak masuk dalam pengertian "perjanjian internasional" lainnya.
2.Posisi sebagai anggota DPR dipertanyakan legal standingnya. Contohnya karena mereka juga terlibat dalam pembuatan UU Migas - thus seharusnya bukan JR, tetapi amandemen UU Migas atau legislatif review.

Putusan MK No. 20/PUU-V/2007

Keputusan MK adalah Tidak Menerima Permohonan - lebih karena tidak adanya legal standing bagi anggota DPR yang mengajukan permohonan itu. Pokok Masalah itu sendiri karenanya tidak diperiksa.

Tetapi ada dua keputusan berbeda [Dissenting opinion] dari Hakim Harjono dan Maruarar Siahaan, yang keduanya berpendapat bahwa pemohon yang anggota DPR mempunyai legal standing mengingat bahwa UUD 1945 telah memberikan hak konstitusional baik kepada anggota DPR maupun kepada DPR-nya sendiri. Hak konstitusional itu harus dijaga dan dihormati. Selain itu UUD 1945 adalah hukum materiil dan hukum formil atau acaranya adalah UU MK; dengan demikian, jika ada subjek hukum yang diberikan hak oleh konstitusi, maka UU MK harus memberikan jalan pada subjek hukum itu untuk mempertahankan atau mengajukan gugatan.

DPR telah diberikan Hak oleh konstitusi berupa fungsi untuk mengawasi jalannya eksekutif. Hak mengawasi itu baru akan jalan jika dijalankan oleh anggota DPR. Dalam UU Susduk DPR disebutkan bahwa salah satu hak anggota DPR adalah mengajukan pendapat. Dengan demikian, Hak mengawasi DPR baru bisa jalan jika hak mengajukan pendapat anggota DPR dijalankan. Pada posisi inilah Anggota DPR bisa memohonkan dan berhak mendapatkan Legal Standing untuk mengajukan Judicial Review.

Alasan lainnya adalah sama dengan keputusan MK dalam perkara JR UU Praktek Kedokteran dimana MK menerima legal standing dari anggota warga negara dalam kedudukannya sebagai dokter [karena UU itu mengatur mengenai dokter] dan menolak legal standing warga negara lain karena kedudukannya sebagai pasien.

Dalam memeriksa pokok perkaranya, keputusan berbeda ini [dissenting opinion] sejalan dengan pendapat Pemerintah yang berpendapat bahwa KKS adalah masalah hukum perdata sehingga dia tidak termasuk dalam pengertian "perjanjian Internasional" sebagaimana ditentukan dalam Pasal 11 ayat 2 UUD 1945 atau sebagaimana disebutkan dalam konvensi Wina. Dengan demikian menolak permohonan pemohon bahwa Pasal 11 Ayat 2 UU Migas bertentangan dengan Pasal 11 Ayat 2 UUD 1945.

Tetapi, keputusan berbeda ini mengabulkan keberatan pemohon dalam masalah tidak adanya kewenangan pengawasan dari DPR dalam pengurusan KKS yang berupa pemberian persetujuan DPR kepada kontrak KKS. Karena selama ini, berbeda dengan permohonan bagi KK/PKP2B yang diharuskan adanya konsultasi terlebih dahulu dengan DPR, dalam hal KKS hanya perlu dengan pemberitahuan secara tertulis kepada DPR. Padahal semua kontrak dimaksud mengatur persoalan yang sama yakni SDA yang dalam konstitusi pengurusannya didasarkan pada pasal 33 ayat 3 UUD 1945. Sehingga Pasal 11 ayat 2 UU Migas bertentangan dengan UUD 1945 dalam hal ketiadaan pengawasan dari DPR atau bertentangan dengan Pasal 20A UUD 1945 tentang Hak pengawasan DPR. Selain itu Pasal 11 Ayat 2 UU Migas juga bertentangan dengan mekanisme standar pengurusan kekayaan sumberdaya alam yang dikuasai negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat atau bertentangan dengan Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945.

Komentar

Sangat disayangkan sebenarnya kasus ini tidak diterima karena hanya masalah ketiadaan legal standing dari pihak pemohon. Padahal jika bisa diteruskan pemeriksaan pada pokok perkaranya, barangkali akan sangat menarik. Karena setidaknya akan memperjelas pengaturan/pengelolaan SDA bahan galian strategis yang dimiliki Indonesia. Memang, agak terlalu memaksakan jika KKS dimasukkan sebagai contoh dari Perjanjian internasional lainnya sebagaimana diinginkan oleh pemohon karena sepertinya ada perbedaan subjek hukum yang kentara antara subjek hukum internasional dengan subjek hukum perdata.

Tetapi apakah KKS perlu terlebih dahulu disetujui DPR? Ini tergantung bagaimana negara ini memandang arti penting dan strategis migas. Dan sangat kentara bahwa migas ini sangat penting dan strategis, sehingga keterlibatan DPR seharusnya ada. Ini juga untuk mengharmonisasikan dengan kontrak-kontrak dalam wilayah kekayaan mineral strategis seperti KK/PKP2B dimana kontraknya harus terlebih dahulu dikonsutasikan dengan DPR. Keterlibatan DPR ini harus sedari awal, bukan setelah KKS itu jadi, dimana jika ada keberatan akan lebih sulit lagi dirubah karena adanya term tentang penyelesaian sengketa yang walaupun secara keseluruhan KKS ini tunduk pada hukum Indonesia tetapi biasanya penyelesaian perkara selalu di tingkat arbitrase internasional. Nah yang mungkin harus dipikirkan adalah keterlibatan sedari awal DPR itu bagaimana: apakah memberikan persetujuan atau memberikan rekomendasi?

Keterlibatan di awal DPR ini penting karena selama ini KKS/PSC yang disetujui sudah berada di luar yang diinginkan bahkan oleh pemerintah sendiri. KKS belum memenuhi semua amanat Pasal 11 Ayat 3 UU Migas mengenai ketentuan-ketentuan pokok yang harus diatur lebih detil dalam KKS. Misalnya saja UU Migas menginginkan pengutamaan pamanfaatan barang dan jasa dalam negeri sebagai ketentuan pokoknya; tetapi KKS hanya mengaturnya sebagai salah satu sub pasal dari bab tentang Hak dan Kewajiban para pihak. Termasuk juga masalah pengelolaan lingkungan hidup. Padahal dalam KK dan PKP2B ketentuan pngelolaan lingkungan hidup disebutkan secara detail dalam Bab tersendiri.

Jika memang "setan ada di dalam detil" maka KKS terlihat terlalu umum dan tidak detail sehingga banyak lubang kosong. Padahal kontrak ini punya kedudukan yang penting dalam kerjasama antara pemerintah dengan kontraktor. Contoh lain adalah masalah Kahar yang tidak diatur dengan detail dalam KKS tetapi dalam KK diatur dengan detail termasuk detail apa dan siapa yang harus di[-me]lakukan ketika kahar terjadi. Kejelasan dan detailnya kontrak ini bisa menghindari perselisihan penafsiran atas ketentuan dalam kontrak.

Nah karena JR ini tidak diterima yang dengan demikian DPR hanya akan diberitahukan secara tertulis KKS yang sudah ditandatangani pemerintah c.q. BP Migas, sementara tampak jelas bahwa ada "tuntutan rakyat" yang tidak diakomodasi dalam KPS, maka sewajarnya:
1. pengawasan DPR terhadap pemerintah dalam soal KKS dan, dalam hal lebih luas migas ini harus diperkuat lagi, misalnya meminta pemerintah untuk melakukan amandemen KKS sehingga sesuai dengan amanat UU Migas.
2. Pemerintah harus segera membuat PP tentang pedoman, tata cara dan syarat-syarat KKS sebagaimana diamanatkan dalam pasal 18 UU migas [sudah masuk dalam draft kerangka regulasi migas-nya ESDM versi Februari 2007, tetapi nampaknya tidak ada kemajuan]. PP Ini dimaksudkan untuk mengganti PP No 35 Tahun 1994 tentang pedoman PSC yang sudah isinya sudah banyak yang harus diamandemen. Salah satu yang harus masuk adalah memperjelas definisi Cost Recovery termasuk apa apa yang dimasukkan sebagai CR dan apa yang bukan [Barangkali terlalu tinggi kalau diatur dalam PP, tetapi bisa saja uraian detailnya diatur kemudian dengan Keppres atau Kepmen].
3. Harus ada transparansi [terutama dari departemen sektoral energi dan mineral, hehehe, sulit bener dapat KKS atau kontrak2 pertambangan lainnya]. Ini memudahkan pengawasan dari luar "jalur formal" kayak dari masyarakat.

2 komentar:

  1. halo, lama tidak diupdate blog-nya?
    apa kabar RUU Minerba?
    :)

    BalasHapus
  2. Hehehe...lagi ada gonjang ganjing di "dapur" saya, Mbak.

    RUU Minerba ya? Harusnya keluar akhir tahun 2007 kemarin. Tapi entah kenapa gak jadi lagi. DPR-nya sibuk kali hehehe...

    BalasHapus