28 Desember 2008

Klimak Kasus Pembalakan Liar di Ketapang, Kalimantan Barat

Ingatan kita rasanya masih jernih untuk mengingat bagaimana aparat kepolisian langsung dari Pusat dibawah arahan Kapolri sekarang, pada pertengahan bulan Maret menyeret para pelaku pembalakan liar di Ketapang. lebih dari 30 orang dibawa ke Jakarta, salah satunya Kapolres Ketapang waktu itu, Akhmad Sun'an. Bukan hanya itu, Polisi juga membekuk DPO yang diperkirakan sebagai otak perambahan liar ini yakni calon Wagub Kabupaten kayong Utara, Adi Murdiani. Nilai kayunya diperkirakan sebesar Rp 208 miliar. Akibat grudukan ini, Kapolda Kalbar dicopot dan aktivitas perkayuan di Ketapang mendadak sepi.

Dari lebih dari 30 orang yang diangkut ke Jakarta itu, 24 orang diantaranya diproses lebih lanjut ke pengadilan dan diberkas menjadi 18 berkas perkara. Dalam catatan saya, berkas itu dibagi menjadi 4 kelompok: kelompok pelaku dari kepolisian, kelompok pelaku dari unsur kehutanan, kelompok pelaku dari pemilik kayu/cukong dan kelompok pelaku dari nakhoda kapal.

Persidangan di mulai pada bulan Agustus 2008 kemarin dan semua berkas diputus sebelum Natal tahun 2008 ini. Hasilnya adalah [tabel dari Kompas, Rabu, 24 Desember 2008]:



Dalam sidang, JPU mempergunakan KUHP dan UU No 41/99 dan menuntut rata-rata penjara di atas 5 tahun. Dalam vonisnya pun, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Ketapang menyatakan bahwa semua terdakwa terbukti secara sah dan menyakinkan melakukan tindakan pidana berupa 'pembalakan liar'. Tetapi hanya kepada kelompok pelaku dari kepolisian saja yang hukuman penjaranya 3 tahunan, sisanya 1 tahun, bahkan ada yang dihukum percobaan [yakni, Kadishut Ketapang, Syaiful H. Iskandar, yang bahkan hukumannya jauh lebih rendah dari hukuman buat anak buahnya, Nurfadli].

Kejaksaan Tinggi Kalimantan Barat sudah punya rencana untuk melakukan banding karena berdasarkan protap yang dipunyai oleh kejaksaan: jika hukuman yang dijatuhkan hakim kurang dari 2/3 tuntutan jaksa, maka kejaksaaan diharuskan melakukan banding. Yang jelas, kelompok pelaku dari kepolisian akan melakukan banding ke pengadilan tinggi.

Dari kasus ini memang terlihat bahwa [1] majelis hakim sepertinya tidak memperhitungkan kerugian lingkungan, bahkan "nilai kayu" yang kemungkinan hilang yang akan merugikan negara. [2] penggunaan KUHP dan UU 44/99 seharusnya mulai dipergunakan secara selektif, misalnya untuk para pelaku di lapangan; sedangkan untuk pelaku "besar" seperti cukong atau pemilik kayu atau pejabat pemerintah seharusnya dipergunakan peraturan perundangan lain yang efek jeranya lebih kuat semisal UU Korupsi dan, mungkin, UU Pencucian Uang. Penggunaan dua aturan sebelumnya di atas akhirnya juga mengaburkan 'nilai' kejahatan yang dilakukan oleh terdakwa yang konsisten dengan catatan [1] di atas.

Catatan [2] ini penting digaris bawahi, karena sejauh yang saya tahu, penggunaan UU Korupsi untuk kasus perambahan liar atau kasus kehutanan selalu berhasil.

Dalam kasus Ketapang ini, Jaksa dalam dakwaan untuk kelompok pelaku dari kepolisian sudah membuka fakta adanya unsur 'penyuapan' atau gratifikasi yang dilakukan oleh pemilik kayu kepada 3 pelaku dari kepolisian. Uang suapnya tidaklah besar, tetapi jelas ditujukan untuk melindungi kegiatan haram yang dilakukan oleh para pemilik kayu. Majelis hakim mempergunakan fakta itu sebagai bahan pertimbangan untuk memperjelas unsur 'melawan hukum' dari pelaku yang didakwa dengan pasal tentang membantu kejahatan [Pasal 56 ke-2]. Sayangnya, JPU tidak melihat itu sebagai unsur kejahatan korupsi.

[3] rendahnya hukuman itu salah satunya diakibatkan oleh lemahnya dakwaan jaksa. Misalnya, kepada pelaku dari kepolisian dan dinas kehutanan, pasal yang disangkakan adalah pasal membantu kejahatan dan bukannya ikut serta. Bandingkan misalnya dengan salah satu dakwaan yang disangkakan kepada Uuh Aliyudin, Robian, Waskito serta Suwarna - dalam kasus penyalahgunaan IPK di Kaltim - yang mempergunakan pasal ikut serta [Pasal 55 ayat 1 KUHP] dalam tindak pidana.

Penggunaan pasal-pasal dalam UU Kehutanan bagi pelaku pemilik kayu juga hanya dilihat dari penerbitan surat administrasi berupa DAKO dan FAKO serta SKSHH yang tidak benar [yang bisa dikategorikan sebagai penggelapan] dan bukannya 'pencurian'.

[4] akhirnya adalah tidak adanya pengembalian kerugian yang dilakukan oleh para terdakwa [yang memang tidak dikenal dalam sistem pidana kita; kecuali kalau dilakukan secara perdata]. Nilai denda yang dijatuhkan jauh lebih kecil dari nilai kayunya. Apalagi kemudian ketika kayu-kayu tersebut dilelang hasilnya juga kecil [hanya Rp 1,618 miliar saja]. Penjatuhan hukuman itu tidak memberikan 'pemulihan' bagi korban dan masyarakat yang merupakan salah satu tujuan dari adanya hukuman [apakah uang itu sebanding dengan usaha untuk memulihkan kondisi hutan?]

Jatuhnya vonis ini memang sangat mengecewakan dan akan memberi peluang terjadinya kembali praktek pembalakan liar. Kita tunggu saja, apa yang akan dilakukan oleh kejaksaan di tingkat banding nanti.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar