Nampaknya tidak cukup sinis untuk melihat bagaimana hubungan kuasa antara mereka yang punya kuasa politik dengan mereka yang punya kuasa uang di negeri ini. Dan bagaimana rasa malu sudah meluntur digantikan greget akan kekuasaan dan kemewahan. Tidak, saya sedang tidak berbicara elit politik nasional. Saya sedang ingin berbicara mengenai elit lokal di Sumatera Utara yang memberi nama jalan terpanjang di kotanya dengan nama seorang narapidana yang sekarang masih mendekam di sebuah penjara di Cirebon.
Tempo Interaktif [yang kemudian diperkuat oleh Koran Tempo, Senin, 21 Maret 2009] dalam beritanya mengatakan:
"...Peresmian DL Sitorus menjadi nama jalan terpanjang di Toba Samosir yang meliputi dua kecamatan, Lumbanjulu dan Ajibata, Sabtu (21/3), dilakukan Bupati dan Ketua DPRD Toba Samosir.
"Dasar pemberian penghargaan karena DL Sitorus dinilai masyarakat Toba Samosir sebagai pahlawan pembangunan di kabupaten pemekaran Tapanuli Utara ini," kata Bupati Monang Sitorus...."
Padahal,..."Darianus Lungguk Sitorus, terpidana perkara perambahan hutan Register 40 Padang Lawas, Sumatera Utara"
Pemberian nama jalan itu sendiri sudah ditentang oleh kalangan masyarakat Kabupaten Tapanuli Selatan dan kalangan pemerhati lingkungan.
DL Sitorus?
DL Sitorus adalah terpidana kasus perambahan kawasan hutan register 40 Padang Lawas yang berada di Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumut, untuk dijadikan perkebunan sawit. DL Sitorus sendiri dalam kasus ini berposisi sebagai Direktur Utama PT Torganda dan PT Torus Ganda yang berlaku sebagai bapak angkat bagi Koperasi Perkebunan Kelapa Sawit [KPKS] Bukit Harapan.
Kasus DL Sitorus ini menarik dalam beberapa hal, yang menunjukkan kacau balaunya hukum serta sengkarutnya kebijakan kehutanan kita:
Pertama, DL Sitorus memanfaatkan adanya ketidakjelasan kawasan antara pihak pemerintah yang mengklaim kawasan hutan register 40 sebagai kawasan hutan negara yang masih dalam status penunjukkan kawasan, dengan pihak masyarakat yang mengklaim kawasan itu sebagai kawasan hutan adat [ulayat]. Ia berhasil "membeli" kawasan hutan itu dari dua masyarakat adat yang setelahnya ia mendirikan KPKS Bukit Harapan untuk mengelola kawasan hutan itu. Hebatnya, ia sendiri seperti menghindari masalah dengan mengangkat dirinya sebagai "bapak angkat" dari KPKS Bukit Harapan. Pada perkembangan selanjutnya, BPN [Badan Pertanahan Nasional] mengeluarkan 1820 buku tanah sertifikat hak milik atas areal tanah perkebunan tersebut.
Dalam putusan PK [Peninjauan kembali], majelis hakim menolak klaim masyarakat adat dan tetap melihat kawasan itu sebagai kawasan hutan negara. Terkait terbitnya sertifikat hak milik di kawasan tersebut, Majelis Hakim di tingkat Peninjauan kembali malah menyalahkan DL Sitorus dan kawan-kawan karena telah memberikan informasi yang menyesatkan kepada pejabat BPN sehingga terbitlah sertifikat hak milik tersebut. Padahal Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Tapanuli Selatan, Irwan Nasution, juga terkena kasus ini dengan dianggap turut serta melakukan tindak pidana korupsi.
Kedua, perbuatan perambahan kawasan hutan telah dilakukan oleh DL Sitorus dkk pada tahun 1998 dan berlanjut pada tahun 1999 dengan mulai melakukan penanaman kelapa sawit. Perbuatan ini tidak terhentikan, walaupun sudah ada puluhan surat protes padanya. Tidak tanggung-tanggung, surat protes itu dikirimkan oleh mereka yang berkuasa dari Menteri Kehutanan, Gubernur, Bupati, Kakanwil Provinsi, Kadishut provinsi, dsb. DL Sitorus tetap bergeming, melanjutkan usaha kepala sawitnya.
Bahkan pada tahun 2002, atas permintaan KPKS Bukit Harapan, Menteri Kehutanan menerbitkan SK No. 1680/Menhut-III/2002 tanggal 26 September 2002 yang isinya memberikan izin prinsip untuk mengelola perkebunan kelapa sawit di dalam kawasan hutan Register 40 Padang Lawas seluas ± 23.000 HA dengan beberapa ketentuan, antara lain, bahwa izin itu diberikan selama 25 tahun.
Namun pada tahun 2004, Menhut sendiri membatalkan SK No. 1680/Menhut-II/2002 di atas dengan S.419/Menhut-II/2004 tertanggal 13 Oktober 2004. Tentu saja DL Sitorus meradang dan mengajukan gugatan ke PTUN. Setelah putusan banding yang menganulir putusan tingkat pertama TUN yang membatalkan SK S.419/Menhut-II/2004, akhirnya di tangan Majelis Kasasi MA, pada tahun 2007, DL Sitorus menang sehingga pembatalan Menhut atas SK No 1680/menhut-II/2002 tidak lagi berlaku.
Putusan Kasasi MA yang memberikan ijin PT Torganda dan KPKS Bukit Harapan untuk melanjutkan penanaman sawit di kawasan register 40 itu sendiri nantinya dipergunakan DL Sitorus sbagai novum baru ketika mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali ke MA. Tetapi dalam persidangan PK MA itu, ia malah kalah.
Ketiga, sampai sekarang eksekusi terhadap tanah atau kawasan hutan negara itu belum berhasil juga. Tentangan masyarakat yang menyakini bahwa tanah itu tanah ulayat mereka sangat kuat. Yang muncul ke permukaan adalah pemerintah vis a vis masyarakat; sementara sang pengambil untung tengah tetirah di Penjara Cirebon.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar