Tautan menarik [di bawah]yang mengetengahkan kampanye regional Kalimantan dengan menggali sisi perusakan lingkungan akibat industri ekstraktif semisal tambang dan sawit. Bergerak karena kekawatirannya semakin hancurnya ekologi Kalimantan, terutama Kalimantan Timur, di tengah makin [terus] miskinnya sebagian besar warganya. Entah untuk membantah atau justru mempertegas teori "kutukan Sumber daya". Di gelar pula kampanye Anti Generasi Suram Kalimantan.
Di Kaltim, kabupaten yang menghasilkan paling banyak rente dari industri ekstraktif, dalam hal ini batu bara, adalah juga kabupaten yang memiliki mayoritas orang miskin. Padahal, di Kutai Kartanegara, misalnya, ada pembagian insentif pada masing-masing desa yang dulu jumlahnya sekitar 100 juta/desa menjadi, kabarnya sekarang Rp 1 milyar/desa [saya agak ragu, per bulan atau per tahun,]. Tapi tata kelola yang tidak baik [lebih cenderung pada pembangunan infrastruktur dan dikelola dengan gaya struktur birokrasi gaya lama, di mana mata proyek disesuaikan dengan mata proyek yang ada di Kabupaten - memperkecil peluang aspirasi desa - sehingga dana yang turun tidak tepat sasaran dan dana tidak mengendap di desa itu; jikapun mengendap, itu pun tidak "fluid" tapi berbentuk deposito atas nama elite desa [seperti Kades] di Bank-bank tertentu - yang merupakan kolaborasi antara elite desa dan para banker agar masing-masing bisa menikmati rentenya]dan moral hazard [kades memiliki mobil-mobil mewah]membuat dana yang besar itu sia-sia.
Berkaca pula dari skema "1% pendapatan" antara Freeport dan suku Amungme di Papua [yang menggelontorkan dana sebesar 2 trilliun/tahun!] tidak membuat suku amungme sejahtera. Jadi barangkali masalahnya bukan di ketiadaan dana untuk meningkatkan kesejahteraan warga di Kalimantan, tapi masalah lain, semisal korupsi, inefesiensi dst. Di sini kita bicara sistem yang baik dan orang yang cakap. So can we catch up...?
BORNEO 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar