02 Desember 2007

Kesiapan Pemerintah Daerah Dalam Menyongsong UU Minerba: Studi Kasus Kalimantan Timur

Oleh Mumu Muhajir

Perpindahan politik dari sentralisme ke politik desentralisme yang diwujudkan dengan kebijakan otonomi daerah pada tahun 1999 dan diformalkan dengan UU No 22 Tahun 1999 jo.to UU 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah. Dengan kebijakan ini, selain apa yang ditentukan oleh pemerintah pusat sebagai kewenangannya, menjadi kewenangan pemerintah daerah [provinsi dan kabupaten/kota] dan atau ada pembagian kewenangan antar hirarkhi pemerintahan. Termasuk didalamnya adalah kewenangan daerah pada pengelolaan sumber daya mineral atau tambang. Secara lebih jelas kewenangan itu dicantumkan dalam PP No 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota.

PP tersebut menyebutkan bahwa ada 31 urusan pemerintahan yang bisa dibagi antar tingkatan dan/atau susunan pemerintahan; dimana salah satunya adalah dalam bidang energi dan sumber daya mineral. Dalam pasal selanjutnya disebutkan bahwa bidang energi dan sumber daya mineral ini merupakan urusan pilihan mengingat tidak semua daerah memliki potensi itu atau jika pun ada tidak melihat potensi itu sebagai salah satu cara dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Dalam sub bidang mineral, batu bara, panas bumi dan air tanah ada 27 urusan pemerintahan yang dicantumkan yang 18 di antaranya merupaka urusan yang dibagi antara tingkatan pemerintahan dan 9 di antaranya hanya menjadi wewenang dari pemerintah pusat. 18 urusan pemerintahan yang dibagi itu antara lain adalah urusan pembuatan perda terkait mineral, batubara, panas bumi dan air tanah, pemberian izin usaha pertambangan mineral, batu bara dan panas bumi sekaligus pembinaan dan pengawasannya, pemberian izin badan usaha jasa pertambangan mineral, batubara, dan panas bumi dalam rangka PMA dan PMDN yang disesuaikan dengan wilayah administratif [Pusat: lintas provinsi dan di luar 12 mil laut; provinsi: wilayah lintas kabupaten/kota dan paling jauh 12 (dua belas) mil laut; serta kabupaten/kota: wilayah kabupaten/kota dan 1/3 (sepertiga) dari wilayah laut kewenangan provinsi].

Pembagian pemerintahan ini mengindikasikan terjadinya pelimpahan wewenang dan sekaligus juga tanggung jawab, di mana pemerintahan daerah mempunyai wewenang lebih dalam mengelola subjek pemerintahannnya yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Kesadaran di pemerintahan bahwa pelimpahan wewenang itu berarti pelimpahan tanggung jawab harus diakui kurang begitu berjalan dengan semestinya. Pemerintah daerah, terutama kabupaten/kota melihat pelimpahan wewenang esar itu sebagai kesempatan untuk megeruk sebanyak mungkin kekayaan alam yang ada di wilayahnya yang kadang bukan demi tujuan PAD tetapi juga untuk kepentingan jangka pendek elit tertentu.

Dalam pelaksanaan kebijakan dalam pengelolaan kekayaan sumber daya mineral, pemerintah daerah masih mengandalkan pada pola pengusahaan saja dan belum pada tingkat pengendalian apalagi konservasi mineral. Ini tentu saja harus dihentikan.

Di sisi yang lain, dengan lahirnya UU minerba baru yang salah satu isinya adalah merubah mekanisme perijinan dalam pengusahaan pertambangan yang dulunya masih dikenal ada kontrak [Kontrak Karya dan PKP2B] menjadi hanya izin saja. Mau tidak mau kebijakan dalam pertambangan umum harus menyesuaikan diri denga kebijakan otonomi daerah yang salah satunya telah diatur dalam PP di atas. Jika demikian maka lembaga pemberi izin harus lebih kuat dan berwibawa agar pelaksanaan izin itu bisa berlaku semestinya atau jika menyimpang bisa ditindak. Lembaga pemberi ijin itu, yakni pemerintah, harus mempunyai kapasitas dan wibawa yang lebih karena ia telah memilih untuk berada di atas para pihak lainnya.

Dan dengan memperhatikan pelimpahan wewenang akibat lahirnya otonomi daerah, bisa dipastikan bahwa pemerintah daerahlah, terutama kabupaten/kota, menjadi ujung tombak baik-buruknya pengelolaan kekayaan sumber daya mineral ini.

Justru di sinilah masalahnya. Pengerdilan kapasitas yang dilakukan oleh ORBA menyumbang faktor terbesar akan kekawatiran tidak bisanya pemerintah daerah mengatur kekayaannya itu. Selain juga pengutamaan pada kepentingan daerahnya sendiri. Faktor-faktor lain bisa disebutkan juga.

Kembali ke masalah tanggung jawab, yang juga berarti pemerintah daerah harus mempunyai visi dan kebijakan yang jelas hendak kemana dan diapakan/tidak diapa-apakan kekayaan sumber daya alamnya itu. Sayangnya adalah provinsi sekaya Kalimantan timur sama sekali tidak mempunyai arahan yang jelas dan spesifik tentang pengelolaan kekayaan sumber daya mineral ini, setidaknya dalam bentuk Perda tentang pertambangan umum, begitu pun beberapa kabupaten/kota.

Konsekuensinya adalah praktis sebenarnya pemerintah daerah menjalankan peraturan yang dibuat oleh pemerintah pusat. Dengan demikian, semangat otonomi daerah sebenarnya dipertanyakan dalam masalah pertambangan ini.

Karena itulah di beberapa kabupaten/kota, seperti Kukar, kita kerap kali mendengar adanya tumpang tindih pemberian izin, bukan hanya dengan izin di luar pertambangan, tetapi juga dengan sesama pertambangan itu sendiri. Hal itu terjadi, bukan hanya karena ada kepentingan menarik rente ekonomi mineral sebanyak-banyaknya, tetapi barangkali lahir dari ketidakmampuan aparat pemerintah dalam membuat kebijakan pertambangan yang baik dan adil atau lemah dalam melakukan pengawasan. Jangankan membicarakan bagaimana caranya biar lingkungan hidup tidak terlalu rusak atau memberikan perhatian pada masyarakat terkena dampak pertambangan atau memaksa pada perusahaan tambang untuk menerapkan praktek-praktek baik dalam pengusahaan pertambangan, pemerintah daerah nampaknya masih bingung juga dengan kebijakan untuk mengeksploitasinya!

Sehingga lahirlah kebijakan di kabupaten/kota yang jika dilihat dari peraturan di atasnya yag mengatur pertambangan sebenarnya tidak ada atau malah bertentangan. Misalnya saja selain diharuskan mendapatkan izin KP, pengusaha diharuskan juga mendapatkan ijin lokasi. Padahal sebenarnya dengan dikelurkan izin KP otomatis sebenarnya sudah ada persetujuan pemerintah atas akan dilakukannya pengusahaan pertambangan di lokasi itu.

Masalah lain yang ditemukan adalah adanya ”musuhan” antara pemerintah kabupaten/kota dengan provinsi, sehingga jika ada pengusaha yang ingin mengajukan ijin petambangan dan wilayahnya itu masuk ke dua atau lebih kabupaten/kota, yang masuk dalam kewenangan provinsi, maka pemerintah kabupaten/kota menyarankan ke pengusaha itu untuk memecahnya permohonan ijinnya ke masing-masing kabupaten/kota. Alasannya adalah mengurus ke provinsi itu terlalu lama dan bahwa pada akhirnya juga pihak provinsi akan melibatkan mereka, pemerintah kabupaten/kota. Tentu saja alasan utamanya adalah kabupaten/kota tidak mau ”berbagi” dengan provinsi dalam hal rente mineral tadi. Sehingga sampai sekarang, pemerintah provinsi kaltim praktis tidak pernah memberikan izin pertambangan dan karenanya hanya menjalankan dua fungsi saja:pembinaan dan pengawasan; itupun terbatas karena instansi di kabupaten juga melakukan hal yang sama. Pemerintah provinsi hanya terbantu dengan tugas dekonsentrasi saja, terutama mengawasi perusahaan pemegang KK dan PKP2B yang sebenarnya menjadi tanggung jawab pemerintah pusat.

Pemecahan ijin ini tentu saja akan meyulitkan pengawasan dalam lingkungan hidup yang tidak melihat batas administrasi. Sehingga kerap kali instansi pengawas lingkungan hidup kesulitan menentukan pihak pemerintah mana yang harus bertanggung jawab jika terjadi kerusakan lingkungan.

Inilah sekelumit masalah pertambangan pasca adanya kebijakan otonomi daerah dan UU Minerba. Tentu kita tidak harus berkecil hati dengan keadaan itu. Pemerintah Pusat sebagai pembina sebenarnya memerankan peran yang penting dalam rangka alih pengetahuan dan keterampilan ke pihak pemerintah daerah. Ini memang bukan masalah yang mudah, tetapi seiring dengan berjalannya waktu, pemerintah daerah bisa memahami peranannya dalam mengelola kekayaan pertambangan di daerahnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar