29 November 2007

Perbedaan antara Royalti dan Pajak Pertambangan


Oleh : Mumu Muhajir

Kedua bentuk pungutan itu merupakan hal yang jamak dalam bidang pertambangan di seluruh dunia. Biasanya keduanya diterapkan secara bersamaan dengan besaran persentasi yang berbeda-beda. Pada dasarnya kedua hal itu mempunyai pijakan filosofis dan ekonomi yang berbeda.

Royalti merupakan bagian dari Mineral Rent atau rente mineral. Royalti berhubungan erat dengan kegiatan produksi yang terjadi dalam pertambangan; ia diberikan kepada pemilik/penguasa mineral atas pemberian ijin untuk mengeksploitasi mineral yang ada di suatu wilayah. Royalti itu dikenakan karena pemilik sebenarnya sudah memberikan ijin dan kewenangannya kepada penerima ijin untuk mengambil manfaat dari adanya kekayaan mineral di tempat tersebut. Dalam kegiatan produksinya, si penerima ijin bekerja atas resikonya sendiri dan juga dengan modalnya sendiri, akan tetapi bekerja di “lahan” bukan miliknya, karena itu ia berkewajiban memberikan royalti kepada pemilik “lahan”. Ia hanya mempunyai hak untuk menambang saja [mining right]. Padanan terdekatnya adalah dalam hal pembayaran royalti dalam bidang hak cipta, dimana orang yang mau memanfaatkan [secara komersial] suatu lagu yang bukan ciptaannya harus membayar royalti kepada pencipta sebenarnya lagu tersebut. Lagu itu sendiri tetap menjadi hak milik preogratif dari penciptannya. Perbedannya dengan sistem royalti dalam hak cipta seperti lagu di atas adalah bahwa dalam sistem royalti tambang, “hak cipta itu” bisa habis.

Dalam sistem royalti, sebenarnya telah terjadi perpindahan kepemilikan kepada penerima ijin. Hal tersebut bisa dilihat dari kewenangan penerima ijin untuk menggali dan menjual hasil tambang itu atas nama dirinya. Tetapi dalam tambang ia tidak menjadi pemilik penuh dari hasil tambang itu karena ia harus membayar royalti atas berapa banyaknya hasil tambang yang digalinya.

Besaran royalti itu ditentukan dari besarnya produksi, bukan dari besarnya penjualan produksinya. Logikanya adalah pemilik sebenarnya dari barang tambang itu tetap mempunyai hak untuk menjual atau tidak atau memanfaatkan langsung atau tidak barang tambang itu yang mungkin berbeda dengan kepentingan si penerima ijin. Hanya saja ia dianggap tidak mempunyai kemampuan untuk memasarkan atau memanfaatkan barang mineral tersebut; atau kemampuan itu ditundanya dan diserahkan kepada si penerima ijin; atau bahwa telah terjadi perpindahan kewenangan/penguasaan/kepemilikan atas barang tambang itu sehingga si penerima ijinlah yang paling berhak memanfaatkan barang tambang tersebut. Tetapi walaupun begitu, atas kemauan si pemilik ijin untuk menunda/memberikan kewenangannya kepada si penerima ijin, ia berhak mendapatkan kompensasi berupa penerimaan royalti.

Pajak Pertambangan

Sementara itu pajak pertambangan masuk dalam skema mineral fiscal; dalam arti masuk dalam skema penerimaan negara berupa pajak. Pajak merupakan hak yang didapatkan oleh negara atas pelayanannya kepada para beneficiaries. Dalam sistem perpajakan, si penerima ijin membayarkan sejumlah uang atas kegiatan yang dilakukannya dan atas ijin yang didapatkannya serta tidak diperhitungkan atas besar kecilnya kegiatan yang dilakukannya. Dengan demikian, walaupun usaha sedang tidak beruntung atau produksi sedang menurun, ia tetap harus membayar berbagai macam pajak yang telah ditentukan oleh negara.

Pajak tidak memperhitungkan besar produksinya, tetapi memperhitungkan kekayaan yang dimiliki serta penghasilannya. Pajak dikenakan pada hampir semua aktivitas yang dianggap dilayani oleh negara. Karena itu bagi beberapa pihak pajak lebih tidak menguntungkan daripada royalti.

26 November 2007

Kerusakan Lingkungan Hidup dan Hutang Luar Negeri: Keterkaitannya dan Alternatif Penyelesaiannya

Oleh: Mumu Muhajir

Tsunami dan gempa bumi yang menimpa Aceh dan kawasan lain di Asia Selatan dan Tenggara pada akhir tahun 2004 telah mengakibatkan kerusakan alam yang parah dan hilangnya ratusan ribu nyawa manusia. Kejadian itu telah melahirkan suatu solidaritas internasional yang belum pernah terlihat sebelumnya. Bantuan datang tanpa diminta: orang, barang maupun uang. Sebagai negara yang paling parah terkena dampak bencana alam itu, Indonesia mendapatkan simpati yang dalam dari komunitas internasional. Dengan kemampuan finansial yang terbatas serta baru saja mau keluar dari krisis ekonomi yang telah dirasakan sejak tahun 1997, Indonesia tampaknya akan kesulitan mengatasi dampak kerusakan itu. Komunitas internasional pun datang membantu; salah satunya dengan menawarkan moratorium hutang luar negeri Indonesia. Sayangnya adalah tawaran itu ditanggapi terlalu dingin dan hati-hati oleh pemerintah Indonesia. Walaupun kemudian Indonesia mendapatkan moratorium hutang, tetapi jumlah yang didapatkannya sangat sedikit.

Banyak pihak yang menyesalkan kegagalan pemerintah Indonesia dalam mendapatkan jumlah moratorium hutang yang signifikan mengingat bahwa pembayaran hutang luar negeri Indonesia per tahunnya telah sangat memberatkan bangsa ini untuk mencapai standar kehidupan yang lebih baik. Bisa dilihat dari komponen APBN kita, di mana pembayaran hutang melebihi anggaran pembangunan Indonesia. Dengan keadaan itu tentu sangat mengherankan pihak-pihak yang sangat concern dalam masalah hutang Indonesia. Data yang dirilis oleh Bank Dunia tentang beban hutang Indonesia sudah sangat mengkhawatirkan. Bank Dunia memasukkan Indonesia dalam kategori SILICs (Severely Indebtness low-Income countries) bersama-sama dengan sebagian besar negara-negara sub-sahara Afrika. Namun nampaknya pemerintah Indonesia memilih jalan yang sangat lunak dalam penyelesaian beban hutangnya.

Indonesia setidaknya mempunyai 5 cara dalam pengelolaan dan penyelesaian beban hutangnya (pembayaran pokok dan bunga hutang sesuai dengan jatuh temponya, rescheduling melalui Paris Club, reprofiling, penerbitan obligasi untuk refinancing, pembelian kembali obligasi dan pembayaran obligasi) yang kesemuanya memperlihatkan kebijakan yang ”biasa saja” dalam melihat beban berat hutang yang dimiliki oleh Indonesia. Tentu saja banyak alasan dan data yang bisa dikemukakan untuk menegaskan pilihan yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia itu; salah satunya adalah kekhawatiran bahwa jika Indonesia, dengan alasan adanya bencana alam tsunami itu, meminta moratorium dari kreditur luar negeri, akan menyulitkan Indonesia dalam mendapatkan kepercayaan investor luar negeri, karena menunjukkan bahwa Indonesia miskin dan tidak prospektif dalam penanaman modal. Kenyataannya adalah dengan tetap konsisten dalam melakukan pembayaran hutang luar negerinya, kepercayaan investor internasional terhadap Indonesia tetap saja minim. Pada sisi yang lain, dengan beban hutang yang besar itu, bangsa ini terpaksa harus mengetatkan anggaran pembangunannya dengan mengurangi banyak anggaran yang sebenarnya sangat penting dan dibutuhkan oleh kebanyakan rakyat Indonesia. Pengurangan subsidi bahan bakar dan pendidikan serta anggaran penting lainnya, seperti lingkungan hidup, bisa dilihat sebagai salah satu contoh kebijakan menyakitkan yang diambil oleh bangsa ini. Memilih untuk mendahulukan kepentingan kreditur (yang sebenarnya sudah sangat kaya dan sudah lama menikmati net transfer dari pembayaran bunga dan cicilan hutang) daripada kepentingan rakyat Indonesia yang kebanyakan miskin adalah sebuah pengkhianatan terhadap cita-cita proklamasi 1945.

Kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia dalam menangani masalah beban hutangnya adalah kebijakan yang tidak akan menyelesaikan masalah hutang secara menyeluruh. Kebijakan itu bisa dikatakan di-copy paste-kan dari kebijakan yang ditempuh oleh kreditur negara dan badan multilateral seperti IMF pada pertengahan tahun 1980-an sebagai usaha untuk mengatasi masalah krisis hutang negara sedang berkembang yang mulai berlangsung pada tahun 1982.

Kebijakan yang kemudian terbukti gagal karena kebijakan itu hanya ingin melindungi kepentingan pemberi pinjaman dan tidak mengacuhkan kepentingan penerima pinjaman; tidak memperhatikan keadaan perekonomian lokal dan kawasan serta bersifat sementara atau hanya menunda masalah. Kebijakan seperti itu didasari oleh keyakinan bahwa masalah beban hutang yang dipunyai oleh negara sedang berkembang adalah masalah kekurangan likuiditas atau masalah tidak adanya uang di dalam kantong negara sedang berkembang itu. Kalau memang dasarnya demikian, maka moratorium, rescheduling, reprofiling atau refinancing adalah jalan yang cukup baik; dengan cara seperti itu ada dana yang masuk ke negara debitur agar dia bisa membayar kewajiban cicilan hutangnya. Beberapa negara sedang berkembang, terutama debitur besar seperti Brazil, Argentina dan Mexico, memang bisa terlepas dari kehancuran financial negaranya setelah mengikuti syarat-syarat yang ditentukan oleh kreditur.

Tetapi yang perlu diwaspadai adalah beban hutang itu ternyata tidak pernah terselesaikan secara tuntas. Begitu ada kejadian ekonomi internasional yang besar (naiknya harga minyak, turunnya harga komoditas ekspor, devaluasi nilai mata uang local) atau kebijakan ekonomi dari negara-negara maju (kebijakan protektif, subsidi (domestik atau eksport), pengenaaan tariff atau non-tariff pada produk-produk andalan negara-negara sedang berkembang), negara-negara berkembang kembali menghadapi masalah yang sama: kesulitan keuangan karena ada krisis hutang. Bisalah kemudian dikatakan bahwa kebijakan yang ditempuh negara-negara berkembang (yang dijalankan atas tekanan dari, terutama, IMF) hanya melestarikan ketergantungan negara sedang berkembang terhadap negara sedang maju. Hal itu terlihat dari keadaan ekonomi negara-negara berkembang yang pernah mengalami krisis hutang pada tahun 1980-an, tidak mengalami perbaikan (nilai GDP yang terus turun selama ikut dalam program IMF dan nilai per kapita penduduk yang juga turun). Bolehlah juga saya mengutip pernyataan Kofi Annan, jauh setelah krisis hutang 1982 berlangsung (dan dianggap selesai), yakni tahun 2004 kemarin, pada saat pembukaan pertemuan menteri-menteri dari kelompok G77, yang menyebutkan bahwa kondisi negara sedang berkembang jauh menurun dibandingkan pada tahun 1960-an; jumlah penduduk yang miskin di dunia tidak berkurang jumlahnya, sebaliknya jumlah penduduk miskin jauh lebih banyak dan kondisinya jauh lebih menyakitkan daripada tahun 1960-an. Faktor penyebabnya adalah hubungan perdagangan yang tidak adil antara negara-negara kaya dengan negara-negara miskin serta jeratan beban hutang.

Sudah sejak tahun 1980-an pula, banyak pihak yang menyadari bahwa penyebab krisis hutang tidaklah sesederhana karena kekurangan likuiditas. Masalahnya jauh lebih kompleks: ada masalah insolvency atau masalah ketidakmampuan fundamental membayar cicilan hutangnya. Masalah insolvency ini tidak hanya disebabkan oleh faktor dalam negeri negara sedang berkembang saja seperti korupsi atau pengelolaan hutang yang tidak bijaksana, tetapi juga oleh kebijakan perekonomian negara-negara maju. Sehingga penyelesaiannya tidak bisa lagi dengan hanya melakukan penundaan pembayaran atau pemberian dana baru, karena akan tetap membebani negara sedang berkembang. Banyak negara sedang berkembang, termasuk Indonesia, yang sangat rajin membayar cicilan hutangnya, tetapi tetap saja stock hutang yang mereka punyai tidak bertambah kecil, sebaliknya adalah semakin besar.

Penyelesaian hutang tidak bisa lagi dengan hanya membebankan pada negara debitur untuk lebih mengencangkan ikat pinggangnya; tetapi perlu juga adanya pembagian beban yang adil antar negara berkembang dan negara maju (lihat, misalnya, Konferensi Monterrey 2001 atau Deklarasi Johannesburg 2002). Pengurangan hutang ditambah dengan pemberian dana/pinjaman baru dan bantuan (aid) yang diperbesar jumlahnya adalah beberapa alternatif yang bisa dilakukan dan pernah dilakukan dengan hasil yang lumayan baik sebagaimana pernah terjadi di Cile (tentu saja faktor kebijakan ekonomi internasional yang lebih adil tidak bisa dikesampingkan; dengan cara seperti itu keberlanjutan keadaan ekonomi yang membaik itu bisa dipertahankan).

Lalu adakah hubungan antara beban hutang dengan kerusakan lingkungan hidup yang terjadi di negara sedang berkembang? Bisakah kedua hal itu dihubungkan dan karenanya dicarikan penyelesaiannya?

Mencari keterkaitan antara makin beratnya hutang luar negeri dengan makin parahnya kerusakan lingkungan hidup di negara-negara berkembang sebenarnya sangat komplek. Namun, demi untuk tulisan ini keterkaitan itu akan lebih mudah dijelaskan dengan melihat kebijakan masing-masing negara berkembang dalam kebijakan pembangunannya serta tata gerak perekonomian dunia.

Hutang yang didapatkan oleh negara sedang berkembang dibayar lewat ekspor, sebagaimana dianjurkan oleh IMF dan Bank Dunia. Barang-barang yang diekspor dari negara-negara berkembang umumnya bahan-bahan mentah seperti kayu, produk pertanian dan perkebunan, barang mineral alam dan lain sebagainya; juga mengikuti saran dari badan keuangan internasional (IMF, Bank Dunia) serta penasehat ekonomi internasional untuk memperkuat dan menyandarkan diri pada keuntungan komparatif yang dimiliki masing-masing negaranya.1 Melihat betapa pentingnya ekspor bagi perekonomian mereka, membuat mereka beramai-ramai menganut kebijakan ekonomi yang berorientasi ekspor.

Mereka mengekspor bahan-bahan mentah, terutama ke negara-negara maju; dari negara-negara maju mereka mengimpor barang-barang manufaktur, baik untuk keperluan konsumsi maupun produksi, yang dipergunakan untuk meningkatkan standar hidup warganya, yang karena telah melewati proses penambahan nilai, harganya lebih mahal daripada bahan mentah yang mereka ekspor. Angka defisit dalam neraca pembayaran mereka makin besar. Untuk menutupinya, mereka menggali sumber dana dari luar negeri berupa hutang atau makin meningkatkan usaha mereka dalam mengolah sumber daya alam yang dimilikinya.

Eksploitasi sumber daya alam demi kemajuan ekonomi di negara-negara berkembang itu berlangsung dengan pesat dan tidak memperhatikan keberlanjutan dari sumber daya alam itu sendiri; yang dikejar adalah pertumbuhan ekonomi; mereka hanya memperhatikan kepentingan jangka pendek. Kerusakan lingkungan hidup, karenanya, telah berlangsung jauh sebelum krisis hutang terjadi di negara negara berkembang.

Negara-negara berkembang mempunyai alasan sendiri untuk membenarkan apa yang dilakukannya dengan mengatakan bahwa pertambahan penduduk yang cepat di negara masing-masing, meningkatkan kekhawatiran akan tidak cukupnya sumber daya alam yang ada untuk memenuhi kebutuhan pangan penduduknya. Pertanian tradisional jelas tidak akan mampu memenuhi kebutuhan pangan penduduk yang terus bertambah. Penyelesaiannya, salah satunya, adalah dengan cara melakukan pembangunan pertanian, baik intensifikasi maupun ekstensifikasi pertanian, demi untuk memenuhi ketersediaan pangan.

Selain faktor pertambahan jumlah penduduk, faktor kemiskinan yang masih banyak melanda di negara-negara berkembang, memaksa mereka melakukan pembangunan ekonomi yang dipercepat untuk menguranginya. Saya mencontohkannya demikian, krisis minyak yang terjadi pada awal tahun 1980-an menyebabkan minyak tanah semakin mahal, yang tidak bisa dibeli oleh mereka yang miskin. Untuk keperluan memasak, orang-orang miskin itu menggunakan kayu yang ada disekitarnya. Sementara petani miskin, setelah tanah suburnya dijual untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari yang makin mahal karena angka inflasi yang tinggi, membuka lahan di lahan-lahan kritis seperti lereng bukit, untuk menanam tanaman bukan pohon keras sehingga mengundang erosi tanah. Kemiskinan pulalah yang menyebabkan negara-negara berkembang tidak bisa mengembangkan atau membeli teknologi yang ramah lingkungan yang sebagian sudah diterapkan di negara-negara maju.

Krisis hutang yang berpuncak pada pertengahan tahun 1982, bagi sebagian pakar dipandang malah mendatangkan kebaikan bagi lingkungan hidup. Beban hutang yang besar di negara-negara berkembang itu (berarti tidak adanya likuiditas = ketersediaan dana), membuat banyak negara maju dan badan keuangan internasional menghentikan bantuan dan pinjamannya ke negara-negara berkembang, karena ketakutan tidak bisa dibayar; sehingga banyak proyek pembangunan yang akan atau sedang dilakukan terpaksa dihentikan karena tidak adanya modal. Penghentian proyek-proyek itu dapat mengurangi tekanan yang berlebihan terhadap lingkungan hidup. Harga barang-barang yang tinggi membuat permintaan menurun dan itu punya pengaruh pada turunnya persediaan barang (produksi barang dikurangi), contohnya pada BBM (Bahan Bakar Minyak); dari sisi ini pun tekanan pada lingkungan bisa berkurang.2

Tapi pendapat di atas ditentang oleh sebagian pakar yang malah meyakini sebaliknya.3 Beban hutang yang makin besar di negara-negara berkembang justru menaikkan tekanan pada lingkungan, karena, pertama, pasti dibutuhkan dana yang besar untuk membayar hutang tersebut dan pemanfaatan sumber daya alam milik sendiri itu menjadi pilihan yang paling mudah dan murah. Tidak ada cara lain selain melakukan terus eksploitasinya pada sumber daya alam yang ada.

Kedua, adanya tekanan dari luar negeri, terutama dari IMF, untuk melakukan penghematan anggaran.4 Anggaran yang bisa dihemat atau dikurangi adalah anggaran yang menurut negara berkembang (berdasarkan arahan IMF) tersebut bukan prioritas utama atau dipandang tidak efisien; salah satunya adalah anggaran untuk kepentingan lingkungan hidup. Hal ini bisa dimaklumi karena institusi lingkungan hidup di negara-negara berkembang baru berkembang di akhir tahun 1970-an, sehingga masih muda dan belum mempunyai kekuatan politik yang kuat dibandingkan dengan institusi bidang lainnya yang telah lama ada. Selain itu, negara-negara berkembang selalu berpendapat bahwa isu perlindungan lingkungan hidup belum sewajarnya ditetapkan sekarang dimana kondisi ekonominya belum baik dan mapan seperti di negara-negara maju. Isu perlindungan lingkungan hidup bukanlah prioritas utama negara-negara berkembang. Pembangunan ekonomi adalah prioritas utama hampir semua negara berkembang untuk mengurangi tingkat kemiskinan warga negaranya. Naikkan dulu tingkat pertumbuhan ekonomi, baru setelah itu pikirkan lingkungan hidup adalah aksioma yang diterapkan oleh negara-negara berkembang yang sebenarnya juga mengikuti pola yang selama ini dijalankan oleh negara-negara maju.

Penghematan anggaran itu tidak lain tujuan utamanya adalah agar negara-negara yang terlilit hutang tetap bisa membayar kembali hutang-hutangnya, walaupun itu harus mengorbankan kepentingan warga negaranya dan lingkungan hidupnya.5

Ketiga, adalah fakta bahwa sebelumnya pun, dana yang didapatkan dari pinjaman luar negeri itu sebagian besar dipergunakan untuk membiayai kegiatan perekonomian yang tidak memperhatikan kepentingan lingkungan hidup. Pinjaman tersebut digunakan, contohnya untuk pembangunan waduk raksasa atau infrastruktur lainnya.

Kerusakan lingkungan hidup terbukti telah banyak memiskinkan banyak negara berkembang sehingga ketergantungan mereka pada penyaluran hutang dari negara-negara maju tetap besar. Sejak krisis hutang pada dekade 1980-an sampai awal millenium ini, hutang negara-negara berkembang, bukannya berkurang; sebaliknya hutang luar negeri mereka tambah membesar. Makin berat pula beban negara-negara berkembang dalam menanggulangi kerusakan lingkungan hidup sekaligus mengurangi angka kemiskinan di masing-masing negaranya.

Singkatnya, keterkaitan beban hutang dengan kerusakan lingkungan hidup bisa dijelaskan dengan kenyataan bahwa negara-negara berkembang meminjam modal dari luar untuk membiayai kegiatan perekonomian yang merusak lingkungan hidup serta di sisi yang lain pinjaman itu dibayar dengan mengeksploitasi sumber daya alamnya.6

Beban hutang luar negeri pada awalnya menjadi pemicu banyak negara berkembang mengeksploitasi habis-habisan sumber daya alamnya, yang mengakibatkan terjadinya kerusakan lingkungan hidup. Perkembangannya kemudian adalah kerusakan lingkungan hidup itu malah membuat banyak negara berkembang telah dan punya potensi besar untuk jatuh miskin. Rusaknya sumber daya alam yang dimilikinya membuat mereka tidak punya lagi hal lain untuk dikembangkan sebagai penopang pembangunan negerinya. Hal itu menyebabkan merosotnya kemampuan mereka dalam membayar hutang luar negerinya. Ketidakmampuan mereka dalam membayar hutang luar negeri itu malah menjauhkan mereka dari “radar” investor internasional (siapa yang mau meminjamkan modal pada sebuah negara yang tidak mempunyai kemampuan untuk membayarnya), yang pada gilirannya kembali memurukkan mereka ke jurang kemiskinan.7

Secara global, kerusakan lingkungan telah demikian parah dan mengkhawatirkan banyak pihak. Masalah kerusakan lingkungan adalah masalah yang tidak bisa diselesaikan per sektoral atau per negara. Dampak dari kerusakan lingkungan akan menimpa siapa saja, tanpa kecuali. Tidak ada satu negara pun yang bisa menghindar dari akibat buruk perubahan iklim, karena makin intensifnya penggurunan dan deforestasi; atau adanya masalah makin naiknya emisi gas karbon yang bertanggung jawab pada bolongnya ozon, yang berakibat pada makin panasnya suhu bumi.

Keadaan di atas diperparah dengan makin berkurangnya dana untuk mendukung konservasi alam. Hal ini diakibatkan karena adanya kebijakan pengetatan pengeluaran pemerintah serta adanya pemindahan alokasi dana dari satu sektor ke sektor lain yang dipandang lebih penting, sebagaimana terjadi di Indonesia, salah satunya, karena beban hutang yang terlalu berat untuk ditanggung. Bagi negara-negara berkembang persoalan perusakan lingkungan hidup tidak bisa dilepaskan dari masalah kemiskinan. Makin miskin sebuah negara berkembang, maka potensi negara itu untuk melakukan perusakan lingkungan hidup makin besar dan sebaliknya.

Ada hubungan yang erat antara kemiskinan, kerusakan lingkungan hidup, beban hutang dan kebutuhan akan investasi luar negeri. Kekomplekan masalah itulah yang menyebabkan penyelesaian pada beban hutang luar negeri dan kerusakan lingkungan hidup tidak bisa lagi dihadapi secara sektoral lagi.

Telah banyak konvensi internasional atau perjanjian internasional yang ditujukan untuk menyelesaikan dua permasalahan itu (misalnya adalah Deklarasi Rio, konsensus Monterrey dan deklarasi Johannesburg) atau juga berbagai prinsip-prinsip internasional seperti prinsip Common but Differentiated responsibilities (Tanggung Jawab sama, kewajiban Berbeda) yang mendasari Protokol Kyoto. Kesemuanya menyarankan tentang harus adanya solidaritas internasional dalam menyelesaikan permasalahan itu serta harus ada pembagian beban yang wajar dalam penyelesaian beban hutang dan kerusakan lingkungan hidup.8 Mereka juga merujuk pada berbagai solusi alternatif yang pernah ada dalam usaha untuk menyelesaikan kedua masalah tersebut.

Debt-for-Nature Swaps atau DNS adalah salah satu solusi alternatif itu, yang sayangnya belum banyak digali potensinya. DNS merupakan turunan dari mekanisme debt swap. Dalam pandangan saya, DNS ini adalah jalan yang cukup moderat dalam menyelesaikan masalah beban hutang dan kerusakan lingkungan hidup. Negara debitur tetap membayar hutangnya, walapun tidak secara langsung ke negara kreditur, tetapi untuk membiayai proyek-proyek lingkungan hidup di dalam negerinya, yang sebenarnya menunjukkan kemampuannya dalam membayar cicilan hutangnya; di sisi yang lain kreditur bisa terlepas dari “rasa bersalahnya” karena telah melakukan pengurangan hutang yang dimiliki oleh negara berkembang serta menunjukkan komitmen yang kuat dalam mengurangi kerusakan lingkungan hidup dan beban hutang negara sedang berkembang. Selain, jika dilihat dari sisi ekonomi, jauh menguntungkan mendapatkan dana segar sekarang, walaupun jumlahnya telah jauh turun daripada menunggu pembayaran yang tidak jelas kapan akan dilakukan.

Secara definisi, Debt-for-Nature Swaps ini adalah “pembatalan/pengalihan hutang luar negeri dengan cara menukarkannya dengan suatu komitmen dari negara debitur untuk memobilisasi sumber daya keuangan domestik untuk kepentingan lingkungan”.9

Dengan kata lain bahwa hutang luar negeri yang dimiliki oleh suatu negara, baik hutang pemerintah maupun hutang swasta, dapat dibatalkan dengan harga yang lebih rendah dari nilai awalnya, yang kemudian ditukarkan menjadi dana untuk membiayai kegiatan konservasi lingkungan hidup di negara debitur.

Sementara yang dimaksud dengan “…memobilisasi sumber daya keuangan domestik…” adalah negara debitur pada dasarnya “membayar” hutang luar negerinya itu, tapi tidak kepada krediturnya, namun dialihkan untuk suatu program-program atau proyek-proyek pelestarian lingkungan hidup di dalam negerinya sendiri dan yang paling penting adalah program-program atau proyek-proyek itu didanai dengan mata uang lokal negara debitur, bukan dengan mata uang asing sehingga bisa dikurangi terjadinya arus outflow modal, menahan mata uang lokal dan tingkat inflasi di negar debitur tersebut.

Mekanisme dalam DNS awalnya sangat rumit karena melibatkan banyak pihak, dengan proses yang kadang berbelit-belit. Namun dengan masuknya negara kreditur sebagai pihak yang terlibat dalam DNS, membuat mekanisme DNS lebih sederhana. Bahkan dalam DNS yang melibatkan negara ini, hutang yang dialihkan tidak hanya berasal dari pembelian atau dengan mengalihkan saja, tetapi juga bisa dilakukan dengan negara kreditur secara langsung mendonasikan hutangnya menjadi dana yang kemudian diberikan kepada suatu organisasi lingkungan hidup lokal atau dengan cara langsung menghapuskan sejunlah tertentu hutang demi untuk mendukung pengelolaan lingkungan hidup di suatu negara debitur.

Indonesia pun akhir-akhir mulai mempertimbangkan solusi DNS serta mekanisme Debt swaps sebagai salah satu cara dalam pengelolaan hutang luar negerinya dan bahkan sudah dilakukan. Dalam kesepakatan Paris Club ke 2 yang terjadi pada April 2000, klausul pengalihan hutang itu sudah dibicarakan dan negara Jerman telah menyetujui melakukan pengalihan hutang untuk pendidikan (Debt-for-Education Swaps) sebesar 50 juta mark. Pada kesepakatan Paris Club ke 3 yang dilaksanakan pada April 2002, negara Jerman juga menyetujui skema pengalihan hutang sebesar 23 juta Euro serta dengan negara Inggris sebesar 100 juta Poundsterling (walapun masih dalam bentuk MoU). Sayangnya adalah untuk perjanjian pengalihan hutang yang disetujui pada Paris Club ke 3 itu, belum dibicarakan untuk program apa debt swap itu dilakukan.10 Masih belum jelasnya program apa yang akan dilaksanakan dengan hasil pengalihan hutang sebagaimana disetujui dalam Paris Club ke-3 di atas, sebenarnya bisa dijadikan tantangan bagi institusi pemerintah atau swasta yang bergerak dalam masalah lingkungan hidup untuk mengajukan skema DNS ke pemerintah Indonesia.

Berbagai kalangan meragukan efektifitas DNS ini bahkan ada yang menolak sama sekali dengan alasan hanya akan menjadi legitimasi terhadap hutang najis (hutang yang tidak perlu dibayarkan karena digunakan untuk keperluan pribadi penguasa korup atau digunakan untuk kegiatan yang melanggar HAM, membiayai persenjataan, dll) yang dimiliki oleh negara debitur. Tapi dari berbagai negara yang pernah melakukan DNS terlihat bahwa DNS ini mempunyai peranan yang penting dalam membiayai berbagai kerja-kerja untuk lingkungan hidup, walaupun memang tidak efektif dalam menyelesaikan masalah hutang. Setidaknya ada dana lingkungan yang besar yang bisa dimanfaatkan untuk mengelola atau mengembangkan sebuah kawasan untuk kepentingan pariwisata, misalnya. Negara Belize di Amerika Latin atau filipina di Asia bisa menjadi contoh yang baik dalam pelaksanaan DNS. Selain itu, dengan cara seperti itu bisa mengurangi keluarnya modal (yang seharusnya dipergunakan untuk membayar hutang) ke luar negeri dan modal itu tetap berada di dalam negeri dan berguna bagi kepentingan negara debitur sendiri dan dalam beberapa kasus, DNS dilakukan sebagai cara untuk mendapatkan pengurangan hutang yang lebih besar lagi atau sebagai pemicu masuknya investasi dari luar negeri.

Maksud saya adalah lebih baik melakukan satu langkah dan nyata daripada berharap melakukan 10 langkah tapi membuat kita jauh ketinggalan dan menderita. Pengurangan hutang, bahkan pembatalan hutang adalah langkah ideal yang perlu terus dikampanyekan dan diusahakan, termasuk dengan melatih negosiator hutang luar negeri yang mumpuni dan tidak gampang lembek ketika berhadapan dengan kreditur negara atau badan multilateral, tetapi langkah-langkah kecil yang mengandung unsur pengurangan hutang, apalagi hal itu mempunyai dampak besar dalam menanggulangi kerusakan lingkungan hidup, dalam pandangan saya, jangan ditinggalkan.

Di tengah makin sulitnya pemerintah Indonesia menyediakan dana bagi upaya pelestarian fungsi lingkungan hidup, salah satunya karena sepertiga anggaran negara pertahunnya dihabiskan untuk membayar cicilan pokok dan bunga hutang, maka pencarian alternatif pendanaan sangatlah penting. Salah satunya adalah dengan mempertimbangkan dilakukannya skema DNS ini.


1 Raymond Frech Mikesell, Economic Development and The Environment: a Comparison of Sustainable Development With Conventional Development Economics, Mansell Publishing Ltd, 1992, hal 52-53. Dia berpendapat bahwa justru karena mengandalkan bahan-bahan mentah, exsport- oriented dan tidak melakukan orientasi ekonomi substitusi import, kondisi negara-negara berkembang yang terbebani hutang tidak bertambah baik.

2 lihat Patricia Adams, Odious Debts (Utang Najis): Obral Utang, Korupsi dan Kerusakan Lingkungan Di Dunia, Jakarta: INFID/Bina Rena Pariwara, 2002, hal 47-56. Saya kira kebijakan kenaikan harga BBM, yang dilakukan oleh tidak hanya pemerintah Indonesia saja, tapi juga pemerintahan negara berkembang lainnya, sejalur dengan beberapa kalangan environmentalis yang menyakini untuk mengurangi polusi adalah dengan cara menaikkan harga bahan baker (energi).

3 Lihat misalnya Arthur L. Dahl, The Eco Principle: Ecology and Economics in symbiosis, London, Zed Books, 1996, hal 84-86. Dalam definisi yang diperluas, tekanan ekonomi menyebabkan banyak negara mengambil kebijakan yang tidak pro-lingungan hidup. Ini tidak hanya terjadi di negara berkembang saja, tetapi juga di negara maju. Ketika krisis hutang 1982 terjadi dan negara maju sedang mengalami resesi, negara USA dan beberapa negara Eropa mengeluarkan kebijakan yang menurunkan tingkat emisi karbon yang diijinkan pada industri otomotifnya atau sekarang misalnya, ketika harga minyak naik, untuk mengurangi ketergantungannya pada pasokan minyak dari Timur Tengah, Presiden Bush memberi ijin untuk mengeksplorasi minyak di kawasan hutan konsevasi.

4 IMF mempunyai program SAP (Structural Adjustment Program/ Program Penyesuaian Struktural) pada tahun 1980-an untuk menyelesaikan masalah hutang di negara-negara berkembang. Negara-negara debitur bersedia melakukan program tersebut karena hal itu adalah syarat yang ditetapkan oleh para kreditur jika negara debitur ingin bunga hutang yang tidak dibayarkan dimasukkan dalam stok hutang yang ada atau agar mendapatkan pinjaman baru. Lihat Morris Miller, Debt and The Environment:Converging Crisis, New York, United Nations Publishing, 1991, hal 108-109.

5 Contoh dampak beban hutang terhadap penghematan anggaran di bidang pendidikan dan kesehatan, lihat buku Tim Peneliti IDEA, Nestapa Pembangunan Sosial: Studi Atas Dampak Beban Utang Terhadap Pembangunan Pendidikan Dan Kesehatan, Yogyakarta: Yayasan Litera Indonesia, 2000.

6 Raymond L. Bryant and Sinead Bailey, Third World Political Ecology, London: Routledge, 1997, hal 60-61

7 Tentang hal ini ada banyak contoh di Indonesia. Pada dekade 1980 dan 1990-an, pertambakan udang pernah menjadi primadona ekspor Indonesia. Lahan pertambakan itu, sebagian besar dulunya adalah hutan mangrove; yang secara ekologis sangat penting bagi pesisir pantai. Lama kelamaan karena pengelolaan yang tidak memperhatikan kondisi lingkungan menyebabkan hasil tambak menurun. Sekarang pun, walaupun lahan pertambakan semakin luas, tetapi hasilnya terus menurun, karena, salah satunya ada degradasi fungsi lingkungan hidup di sekitar tambak.

8 Pemerintah Indonesia adalah negara yang sangat taat asas dalam hal pembayaran hutang luar negerinya, walaupun itu harus mengorbankan rakyatnya. Pemerintah Indonesia beralasan bahwa itu sudah dijanjikan dan perjanjian adalah perjanjian, jadi harus ditepati. Alasan yang sama muncul di kalangan kreditur (komersial maupun publik). Dalam hal ini Indonesia sangat konsisten, tetapi tidak pada tempat yang tepat. Masalahnya adalah ada banyak kejadian seperti turunnya harga komoditas pertanian (yang harganya gampang diatur oleh negara-negara maju) atau barang tambang, naiknya suku bunga, turunnya nilai mata uang lokal atau kebijakan protektif di negara-negara maju, yang mempunyai efek yang besar pada beban hutang negara sedang berkembang, yang hanya bisa diselesaikan jika ada kemauan politik dari pihak negara kreditur.

9 Reed Merrill dan Elfian Effendi, Prospek Debt-For-Nature Swaps Di Indonesia, diambil dari laporan lokakarya tentang Kajian Kemungkinan Pemanfaatan Dana Debt-For-Nature Swaps untuk Pengurangan Beban Utang Negara, Jakarta, 17 Desember 1998.

10 Bert Hofman, Debt swaps for Indonesia: a Creditor’s view, bahan presentasi dalam seminar “Debt Swaps Sebagai Salah Satu Alternativ Untuk Mengurangi Utang Luar Negeri Pemerintah Indonesia”, Jakarta 30 Juli 2002.Kelanjutan dari persetujuan itu adalah sebagaimana diberitakan oleh Kompas, Diajukan debt swap senilai 23 juta Euro, Selasa, 31 Agustus 2004. Dalam berita itu disebutkan bahwa Indonesia telah berhasil melakukan skema pengalihan hutang dengan Jerman sebesar 50 juta mark (Paris Club ke 2) dan akan mengajukan skema serupa dengan Jerman dengan nilai sebesar 23 juta Euro, dengan program yang belum jelas (kesepakatan dalam Paris Club ke 3). Satu pertanyaan layak diajukan mengingat (sebagaimana dilakukan oleh Bert Hofman dalam makalah di atas) lamanya realisasi persetujuan yang disepakati serta masih tetap belum jelasnya program apa yang akan dilakukan dengan skema tersebut. Hal itu menunjukkan bahwa Indonesia baru akhir-akhir ini saja mempertimbangkan cara-cara lain dalam menangani masalah hutangnya.

[Tulisan ini dipersiapkan dan dipresentasikan di dan untuk acara diskusi dan syukuran omah anyar Yayasan Damar Yogyakarta, pada tanggal 19 April 2005. Baca juga kompas hari ini]

23 November 2007

Jasa-jasa Lingkungan: Kewajiban atau Sukarela?

Oleh: Mumu Muhajir

Tulisan ini dibuat sekedar inisiasi diskusi lebih jauh lagi akan adanya masalah tarik menarik pemanfaatan lingkungan, termasuk hutan, antara yang berkeinginan mengambil kayunya demi pertumbuhan ekonomi dengan yang percaya bahwa hutan bisa bermanfaat tanpa harus diambil dan dijarah kekayaannya. Awalnya didasari oleh kesedihan saya akan berkurangnya pasokan air di Balikpapan, dimana saya pernah tinggal, dan dikaitkan pula dengan masalah pengelolaan HLSW [Hutan Lindung Sungai Wain], dimana danaunya hanya dimanfaatkan untuk kepentingan Pertamina, serta kondisi memprihatinkan Danau Manggar di HLSM [Hutan Lindung sungai Manggar] yang menjadi sumber air satu-satunya bagi warga Balikpapan. Selebihnya tulisan ini juga untuk melihat sejauh mana kreativitas para pencinta lingkungan berbasis pada kepercayaan market-based mechanism dalam menyelesaikan persoalan kerusakan lingkungan.

Tulisan ini diawali dengan cerita awal mula lahirnya beberapa prinsip yang hadir sebelum dan integral dalam mekanisme PES.

Pendahuluan

Dalam usaha untuk mencari keseimbangan antara pembangunan dengan lingkungan hidup, lahirlah berbagai macam inisiatif/metode yang kebanyakan mendasarkan diri pada bidang ekonomi atau khususnya mengintegrasikannya pada sistem pasar. Pembangunan memang selalu diidentikan dengan ekonomi, terutama di negara-negara berkembang, dan karenanya ekonomi selalu menjadi biang keladi dari adanya kerusakan lingkungan hidup.

Kalangan Barat sendiri yang mulai menyadari bahwa kegiatan ekonomi atau tepatnya industrialisasi telah merugikan lingkungan hidup. Kegiatan manusia menjadi faktor utama atau setidaknya mempercepat terjadinya kerusakan lingkungan hidup global. Mereka juga menyadari bahwa pada akhirnya kerusakan lingkungan hidup akan merugikan kegiatan ekonomi mereka. Maka sekitar awal tahun 1970-an dikenalkanlah prinsip pencemar membayar [polluter pays principle], yang pada mulanya hanya dikenakan pada industri-industri di negara-negara OECD. Prinsip ini pada awalnya bersifat lunak, dalam arti setiap industri diwajibkan menyimpan uangnya di deposit tertentu dan akan berkurang jika dia melakukan pencemaran. Kemudian prinsip ini mulai diterapkan dengan mengharuskan perusahaan yang melakukan kerusakan lingkungan untuk membayar sejumlah ganti rugi tertentu. Karena prinsip hukumnya adalah liability based on fault, dimana pertanggungjawaban didasarkan pada kesalahan, yang secara tersirat membutuhkan pembuktian kesalahan dulu, maka membuktikan siapa yang mencemari menjadi masalah yang cukup rumit. Dampaknya adalah kerusakan lingkungan kerap terjadi karena: [1] sulit dibuktikan kesalahannya; [2] adanya moral hazard di kalangan industri karena harga yang harus dibayar untuk setiap kerusakan lingkungan yang dibuatnya tidak sebesar jika dibandingkan dengan keuntungan yang diraihnya dengan melakukan kerusakan lingkungan itu; [3] secara lebih luas, tercipta situasi yang memandang produk-produk dari industrialisasi sebagai barang pengganti atau supplement dari barang-barang mentah alam [sekarang ini, serat kain lebih banyak dihasilkan dari serat buatan ketimbang serat alami], sehingga timbul pandangan tidak apa-apa ada kerusakan lingkungan hidup asalkan ada barang/teknologi yang menggantikannya atau meringankannya.

Situasi di atas tentu saja tidak menguntungkan bagi lingkungan hidup. Konsumen di negara-negara maju akan dengan mudah menukarkan ketidaknyamanan akibat adanya kerusakan lingkungan hidup dengan mengeluarkan biaya atau harga tertentu, biar pun mahal. Kondisinya bertolak belakang dengan kebanyakan konsumen di negara-negara berkembang, dimana kebanyakan adalah konsumen melarat yang tidak bisa melakukan pertukaran sebagaimana dilakukan oleh konsumen di negara-negara maju. Kemiskinan akan memperparah keadaan lingkungan dan begitu juga sebaliknya.

Selain itu cara berpikirnya masih berupa penyelesaian masalah di akhir, seperti pemadam kebakaran. Belum banyak pihak yang mencari penyelesaian lingkungan hidup dari awal terjadinya kegiatan yang merusak lingkungan tersebut. Padahal sistem keseimbangan yang dipunyai ekosistem bumi mempunyai batasan tertentu.

Di sisi lain, bagi satu pihak, terutama kalangan konservasionis, kemajuan ekonomi selalu dipandang dengan pandangan memusuhi dan selalu berkeyakinan kegiatan ekonomi akan selamanya merugikan lingkungan hidup. Sehingga timbul pandangan yang melihat lingkungan hidup harus dijaga dengan menjauhkan kegiatan ekonomi di dalam atau disekitarnya.

Di tengah-tengah itu, sejak tahun 1980-an dikembangkan pemikiran dan insiatif yang mencoba mencari jalan tengah antara ekonomi dan lingkungan hidup. Pandangan yang paling dominan adalah pembangunan berkelanjutan. Seambigu apapun makna dari pembangunan berkelanjutan itu, dia telah, dengan batasan yang tidak rigid, berhasil mencari alternatif dalam menyelesaikan persoalan pertentangan ekonomi-ekologi itu.

Singkatnya, pembangunan berkelanjutan ini hendak membagi kekayaan sumber daya alam [yang pastinya bermakna ekonomi] yang ada sekarang agar bisa dinikmati juga oleh generasi selanjutnya. Pembangunan berkelanjutan juga menginginkan kita memanfaatkan “bunga”-nya saja dari alam ini, bukan pokoknya. Karena itulah pembangunan berkelanjutan bersandar pada kemajuan iptek dan kebijaksanaan lokal [local wisdom]. Pembangunan berkelanjutan memandang pembangunan secara integral, bukan hanya pertumbuhan ekonomi saja tetapi juga kelestarian lingkungan hidup dan keadaban tata sosial.

Dari konsep itu, berbiaklah banyak pendekatan dalam memandang masalah penyelesaian kerusakan lingkungan hidup ini. Lahirlah ekonomi lingkungan dengan berbagai macam derivasinya seperti akuntansi lingkungan, valuasi ekonomi SDA, pajak lingkungan dll.

Pendekatannya pun mulai beragam tidak lagi berupa tindakan eksekusi saja, tetapi juga mulai masuk ke wilayah pencegahan serta memasukan isu-isu lingkungan hidup dan sosial ke dalam kegiatan ekonomi. Dunia ekonomi harus diingatkan bahwa keberlanjutan kemajuan ekonomi mau tidak mau tetap bertumpu pada kelestarian SDA yang ada dan keadilan sosial secara keseluruhan. Ketiganya saling kait mengkait. Lalu lahirlah berbagai macam aturan, standarisasi, atau etika bisnis baru seperti Global Impact yang dikeluarkan oleh PBB, atau hasil-hasil kesepakatan dalam The World Businees Council for Sustainable Development, yang berusaha mengintegralkan isu-isu lingkungan hidup dan sosial dalam kegiatan ekonomi.

Pembayaran Jasa-jasa Lingkungan

Setelah prinsip pencemar membayar diterapkan banyak pihak dan menjadi dasar dalam menangani masalah pencemaran di berbagai negara, nampaknya banyak kalangan yang kurang puas dengan penerapan prinsip ini. Banyak inisiatif yang lahir seperti prinsip pencegahan atau precautionary principle [prinsip kehati-hatian], prinsip atur-sendiri, dan seterusnya. Hadir pula prinsip pengguna membayar atau user pays principle. Prinsip ini menginginkan pihak-pihak yang menggunakan lingkungan hidup atau sumber daya alam dalam aktivitasnya “membayar” atas jasa atau sejumlah material tertentu dari alam yang dipergunakannya itu.

Selama ini aktivitas manusia, karena didorong oleh keyakinan bahwa alam adalah pelayanan dan penyedia kebutuhan bagi manusia, mengambil dari alam apa-apa yang dibutuhkannya tanpa pernah membayarnya alias gratis. Kemampuan alam beserta zat-zat tertentu untuk menetralisir atau memudahkan proses penetralan dari limbah, tidak pernah dibayar oleh manusia atas jasanya itu. Begitu juga jasa-jasa pohon, humus tanah, penyerbukan tanaman dll. Manusia memandang itu sebagai sesuatu yang alamiah dan karenanya tidak perlu dibayar. Padahal dalam aktivitasnya, manusia mengambil untung [secara ekonomi] dari kekayaan alam yang ada.

Dengan mengambil khasanah dari ekonomi, lingkungan hidup dianggap memiliki dua produk: sumber alam dan jasa lingkungan. Sumber alam ini bisa berupa materi [batu, emas, tanah], energi [fosil, batu bara], ruang, waktu, serta keanekaragaman [ada 3 yakni jenis, landscape, dan ecology]. Sementara jasa lingkungan adalah daya atau kemampuan yang disediakan/diberikan oleh lingkungan hidup [contohnya adalah keindahan telaga atau ketersediaan air]. Dengan demikian yang dimanfaatkan adalah jasanya, bukan yang menyediakan jasanya. Karena produk lingkungan yang berupa sumber alam sudah terlalu tereksploitasi dan karenanya semakin langka, maka memanfaatkan jasa-jasa lingkungan merupakan sesuatu hal yang perlu dikampanyekan. Dalam pemanfaatan jasa-jasa lingkungan itulah kita harus membayarnya. Inilah kira-kira apa yang dimaksud dengan PES.

Dalam mekanisme PES ini ada dua pihak yang terlibat. Pertama adalah seller atau penjual atau penyedia jasa lingkungan, sedangkan kedua adalah buyer atau konsumen jasa lingkungan. Karena mekanisme ini dibuat untuk kepentingan manusia, maka dua pihak itu adalah manusia/kegiatan manusia. Penentuan siapa penjual dan siapa pembeli ditentukan dari manfaat apa yang diterima oleh konsumen dan dari mana manfaat itu hadir. Dalam pengelolaan DAS, misalnya, pihak penjual adalah masyarakat yang ada di hulu sungai yang menjaga kelestarian hutan atau tegakan pohon disekitar mereka, sedangkan konsumen adalah mereka yang ada di hilir seperti PDAM atau masyarakat konsumen air.

Selama ini mereka, yang sebenarnya adalah penjual, tidak pernah mendapatkan keuntungan dari usaha mereka untuk melestarikan lingkungannya. Bahkan mereka kadang dengan mudahnya disebut sebagai perusak lingkungan, karena membalak hutan, atau memotong pohon misalnya. Tanpa dicoba mengerti mengapa mereka melakukan itu. Sementara mereka yang ada di hilir enak saja menikmati jasa-jasa lingkungan yang diberikan oleh bagian hulu tanpa berusaha untuk membayarnya. Padahal kerusakan di hulu akan berpengaruh besar pada bagian hilir. Untuk itulah dengan mekanisme yang disepati bersama, pembeli akan membayar kepada penjual asalkan penjual selalu menjaga kelestarian lingkungannya.

Namun penentuan siapa penjual siapa pembeli bukanlah perkara mudah. Hal ini disebabkan karena lingkungan itu bersifat integral, lintas batas, serta sifat siapapun atau apapun akan menerima manfaat atau mudharatnya tanpa pandang apakah orang itu menjaganya atau malah merusaknya. Selain karena, umumnya, faktor pembatasan wilayah administratif yang menyulitkan identifikasi itu. Belum lagi masalah harganya.

Karena itulah, sejauh yang penulis ketahui dunia usahalah yang paling mudah diidentifikasi sebagai buyer, berikut juga, secara tidak langsung, masyarakat yang membeli produk dari hasil dunia usaha itu. Sementara yang menjadi seller tergantung pada jenis jasa lingkungan yang dilestarikannya, misal, masyarakat sekitar hulu untuk PES di DAS, atau masyarakat penjaga kelestarian hutan dalam mekanisme rosot karbon.

Bagi dunia usaha sendiri, kemauan mereka untuk ikut serta di dalam mekanisme PES ini, selain untuk kepentingan humas mereka, juga merupakan bentuk nyata dari adanya CSR [Corporate Social Reponsibility]. CSR ini merupakan bentuk pengakuan, dan sudah dibuktikan oleh, setidaknya, ekonom sekelas Milton Friedman, bahwa keberhasilan mereka dalam bidang ekonomi dan finansial tidak bisa dilepaskan dari kondisi lingkungan dan sosial di tempat mereka beroperasi. Perusahaan-perusahaan yang terlibat di dalam kegiatan sosial dan pelestarian lingkungan, berarti mengeluarkan dana untuk itu, terbukti menghasilkan keuntungan yang cukup besar. Mungkin ada hubungannya dengan imej baik yang dibangun oleh perusahaan itu.

CSR ini, setidaknya menurut penulis, bukanlah aturan yang dibuat dan dipaksakan dari luar, tetapi lebih menyangkut kepada etika bisnis dunia usaha itu sendiri. Seperti juga tidak setiap kali kita berbuat baik harus mendapatkan bayaran [pahala=untung]. Karenanya CSR selalu bersifat sukarela.

Di sinilah kemudian masalah itu muncul. Jika kita selalu dijejali dengan asumsi bahwa tidak akan pernah ada pengusaha yang mengeluarkan sejumlah dana tertentu tanpa mengambil dana dari luar lebih banyak lagi, maka mekanisme PES ini menantang asumsi itu. Dalam PES, dunia usaha mengeluarkan dana yang secara langsung tidak akan menguntungkan dirinya, malah dunia usaha seperti berbuat amal. Dari mekanisme PES yang dilakukan oleh PT Krakatau Tirta Indonesia [KTI] dengan petani-petani di hulu sungai Danau Cidanau, Banten, terungkap bahwa PT KTI mengeluarkan dana untuk PES ini berada di luar dana untuk Community Development.

Sifatnya yang sukarela itu akan berjalan baik, jika semua pihak merasa diuntungkan dengan adanya mekanisme itu atau jika semua pihak berhati emas. Sayangnya adalah kedua hal itu adalah utopia. Harus ada kejelasan sampai sejauh mana sebenarnya perusahaan beruntung dengan melakukan CSR, atau bahwa kegiatan PES yang dilakukan oleh perusahaan tidak berpengaruh terhadap harga produk yang dijualnya.

Masalah lain dari sifatnya yang sukarela ini adalah adanya “free riders” atau “penumpang gelap” dalam kegiatan PES. Bayangkan seperti ini, hulu DAS Cidanau berada di Kabupaten Serang dan Kabupaten Pandeglang sedangkan hilirnya ada kota Cilegon dan bermuara di Selat Sunda. Aliran sungainya melewati berbagai daerah dan dimanfaatkan oleh berbagai macam pihak, seperti masyarakat sekitar, petani, petambak, petani ikan darat, perusahaan air atau perusahaan lainnya. Sementara yang membayar untuk menjaga kelestarian hulu [sejauh ini] hanya PT KTI. Seperti yang sudah diterangkan di muka, sistem ekosistem akan memberikan manfaat bukan hanya kepada yang memeliharanya tetapi juga pada yang merusaknya atau yang tidak melakukan apa apa kepadanya. Para pihak selain PT KTI mengambil keuntungan yang sama seperti yang diterima oleh PT KTI akibat lancarnya debit air di DAS Cidanau, padahal mereka sama sekali tidak membayar kepada para petani di hulu DAS Cidanau.

Tentulah hal di atas tidak “adil” bagi pihak yang terlibat dalam PES, karena ada pihak-pihak yang mengambil untung dari kerja penuh keringat pihak tersebut. Karena itu ada dua hal yang bisa dilakukan. Pertama, inisiatif seperti yang dilakukan oleh PT KTI itu harus dibalas, sepertinya oleh pemerintah, dengan memberikan insentif kepadanya, bisa berupa pengurangan pajak atau pelunakan kebijakan kepadanya. Secara tersirat juga menginginkan adanya disinsentif pada mereka yang tidak ikut serta dalam kegiatan itu.

Kedua, penulis akhirnya tergoda untuk mengatakan bahwa sebaiknya mekanisme PES itu diwajibkan saja [involuntary] dengan dikeluarkan sebuah aturan dari pemerintah, misalnya. Semata karena adanya gejala para penumpang gelap itu. Peraturan itu, katakanlah, mengatur tentang siapa pembeli dan penjualnya, bagaimana masuk dalam mekanisme PES yang telah/akan ada, dalam bentuk apa dan mekanisme bagaimana pembayarannya, sanksinya apa dan apa insentif dan disinsentifnya, dan seterusnya.

Walaupun tetap harus diperhatikan penyakit yang biasanya timbul akibat adanya formalisasi mekanisme yang tadinya bersifat sukarela: penegakannya. Selain itu di Indonesia ini dimana investasi adalah rahmat dan hambatan kepadanya adalah dosa, maka jangan sampai formalisasi itu hanya berujung pada seberapa besar uang yang masuk ke kantong pemerintah.[1] Hal ini tentu akan memberatkan para pihak yang tidak beruntung, seperti para petani kecil, misalnya. Dan efek besarnya adalah para pihak akan melihat penyelamatan lingkungan sebagai beban baru. Dalam suasana keterjepitan ekonomi seperti saat ini, formalisasi akan menjadi bumerang bagi usaha-usaha penyelamatan lingkungan hidup.[2]

Hal lain yang juga perlu diperhatikan adalah dalam bentuk apa pembayaran itu harus dilakukan? Sementara ini pembayaran selalu dikaitkan dengan bentuk uang. Apa yang harus dibayarkan ini menjadi penting untuk mengantisipasi adanya moral hazard berupa sikap “kan sudah bayar [uang]”. Padahal, sejauh yang saya tahu, penerapan CSR dan PES tidak mungkin berjalan di sebuah lingkungan bisnis atau politik atau hukum yang tidak bisa memahami tata kerja ekonomi, ekologi dan sosial dan keterkaitan antara ketiganya. Dengan kata lain, penerapan PES hanya mungkin berjalan jika telah ada prakondisi berupa perubahan cara pandang dalam memandang peran dirinya di tengah-tengah gerak ekologi dan sosial. Sebelum ada perubahan itu, maka PES hanya akan dipandang sebagai beban. Dalam tata ekonomi, politik, hukum dan sosial yang kacau seperti di Indonesia ini, akan tercipta kanal-kanal gelap yang membuat kewajiban itu berubah menjadi retorika yang dahsyat tak terperi.

Terakhir, penerapan mekanisme PES hanya akan berhasil jika ada tiga faktor integral, yakni pengembangan kelembagaan, penyusunan kebijakan dan insentif ekonomi. Dalam penerapannya PES harus selalu menfasilitasi terjadinya proses dialog dan membuka kesempatan pada masyarakat untuk terlibat dalam penyusunan kelembagaan dan kebijakan. Tanpanya, PES hanya berlaku sebagai pemaksaan dan tidak akan bertahan lama. Masih banyak hal yang terbuka dilakukan dalam mekanisme ini dan karenanya sangatlah menantang.



[1] Beberapa perusahaan menolak untuk terlibat dalam PES atau CSR karena tidak ada aturan yang mengaturnya atau dengan alasan bahwa mereka telah membayar pajak dan restribusi kepada pemerintah. Pembebanan kembali untuk biaya PES tentu akan mendapatkan tentangan yang keras dari dunia usaha.

[2] Sebenarnya dengan tetap bersifat sukarela, asal didukung dengan insentif ekonomi yang nyata dan berkelanjutan, PES akan berjalan dengan baik dan akan diikuti oleh banyak pihak, dalam hal ini dunia usaha, tanpa harus ada formalisasi hukum kepadanya. PES sangat kental dengan bahasa ekonomi dan derivatif dari instrumen berbasis pada pasar [market-based mechanism]. Bagaimana pun tuhannya dunia usaha adalah pasar; siapa yang mengikutinya akan mendapatkan keselamatan dan pahala besar, sebaliknya laknat dan kesengsaraan bagi yang ingkar kepadanya.

20 November 2007

Prinsip Common but Differentiated Responsibilities dan Kerusakan Lingkungan Hidup Global

oleh: Mumu Muhajir

Sudah menjadi hal yang tidak bisa terbantahkan bahwa kerusakan lingkungan hidup di sebuah negara akan mempunyai dampak buruk bagi banyak negara lainnya. Hal ini disebabkan karena karakteristik lingkungan adalah tidak mengenal batas wilayah dan administratif negara. Tidak ada batas negara bagi sebuah sistem biosphere atau ekosistem. Negara-negara di dunia tidak bisa hanya berpangku tangan dengan dalih negaranya tidak melakukan tindakan yang merusak lingkungan hidup. Kerusakan lingkungan hidup secara global akan menyasar negara manapun, besar atau kecil, bahkan tanpa memperhatikan besar kecil kontribusinya pada kerusakan lingkungan hidup global.

Kasus pemanasan global bisa dijadikan contoh. Pemanasan global yang disinyalir bisa merubah iklim global secara ekstrim ternyata lebih mempunyai dampak buruk bagi negara-negara miskin di Sub-Sahara Afrika daripada negara-negara maju. Padahal negara-negara majulah yang mempunyai kontribusi paling banyak terhadap fenomena pemanasan global daripada negara-negara lainnya, terutama dalam hal emisi gas rumah kaca yang dihasilkannya. Dengan kata lain, dengan terjadinya globalization of resources extraction, menyebabkan pihak yang menikmati keuntungan dari estraksi sumber daya itu serta pihak yang terkena imbas estraksi itu terpisah oleh batas geografi dan batas ekonomi serta keuntungan yang didapatkan oleh satu generasi, bisa jadi, menjadi kerugian pada generasi mendatang (Burger/Gochfeld, 1998).

Hal itu menjadi alasan kenapa isu kerusakan lingkungan hidup ini harus menjadi tanggung jawab bersama, tanpa membedakan negara besar atau kecil, kaya atau miskin serta pelaku atau korban. Bukan berarti bahwa kewajiban hukum yang lahir kemudian karena perbedaan tindakan itu juga diandaikan sama. Pelaku pencemaran atau yang diindikasikan mempunyai kontribusi besar pada terjadinya kerusakan lingkungan global, tentu saja dan sudah menjadi keharusan, mempunyai kewajiban lebih besar daripada korban pencemaran atau yang tidak melakukan upaya-upaya perusakan lingkungan hidup.

Hukum internasional telah lama mengatur soal kewajiban bagi pelaku pencemaran lingkungan yang melewati batas suatu negara atau satu pihak ke pihak lainnya. Dikenal dengan istilah Transfrontier Pollution (TFP). Sejak awal dekade 1970-an permasalahan ini telah sering terjadi sehingga menimbulkan pemikiran tentang perlunya kesepakatan yang mengatur sekaligus mengatasi masalah tersebut. Contoh perjanjian yang telah disepakati yang mengatur masalah TFP ini adalah Perjanjian Brussel Berkenaan dengan Intervensi Di lautan Terbuka dalam hal Korban Pencemaran minyak (Brussels Convention Relating to Intervention on The High Seas In Cases of Oil Pollution Casualties) serta Perjanjian Pertanggungan Sipil untuk Kerusakan Karena Pencemaran Minyak (Convention on Civil liability for Oil Pollution Damage). Dua perjanjian itu dilatarbelakangi dengan terjadinya peristiwa kandasnya kapal tanker minyak “Torrey Canyon”, dilepas pantai Inggris pada tahun 1967 (Koesnadi Hardjasoemantri, 2002: 391-392). Kedua perjanjian di atas, disetujui pada tahun 1969, menjadi pokok yang penting dalam pengaturan lingkungan hidup yang bersifat public goods atau barang umum seperti udara, air dan lautan.

Pada tahun 1972, OECD mengenalkan sebuah prinsip penting untuk menyelesaikan masalah pencemaran lingkungan hidup tersebut, yakni prinsip pencemar membayar (polluter pays principle). Prinsip ini pada awalnya hanya mengharuskan pada pihak pelaku pencemaran membayar semua biaya untuk mengikuti aturan dan standar lingkungan hidup yang berlaku. Hal itu tentu saja menimbulkan sikap negatif, karena banyak negara atau kalangan swasta yang dengan seenaknya melakukan perusakan atau pencemaran lingkungan dengan dalih bahwa mereka telah membayar biaya tertentu untuk mengikuti berbagai macam peraturan lingkungan. Dengan kata lain, jika mereka telah mengikuti sebuah standar tertentu lingkungan, maka jika terjadi kerusakan atau pencemaran akibat aktivitasnya, ia dibebaskan dari tanggung jawab untuk ganti rugi pada korban, misalnya.

Melihat fenomena itu, prinsip ini kemudian diperluas dengan mewajibkan kepada pelaku pencemaran untuk membayar biaya tertentu terhadap terjadinya kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh aktivitasnya. Prinsip ini mewajibkan kepada pelaku untuk membayar dan bertanggung jawab terhadap setiap kerusakan lingkungan yang terjadi akibat aktivitasnya, tidak peduli apakah ia telah mengikuti standar lingkungan atau tidak. Prinsip pencemar membayar ini, dalam perkembangannya dan dalam dataran tertentu, mengatur masalah tanggung jawab sebuah negara ke negara lain atas kerusakan lingkungan hidup yang diperbuatnya. Prinsip ini lahir dari kewajiban negara untuk tidak merusak lingkungan negara lain atau teritorial di luar wilayahnya serta kewajiban tiap orang untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup. Prinsip ini sekarang telah berlaku secara universal.

Namun, bagaimana dengan kerusakan lingkungan yang tidak berjalan dengan rumusan “suatu negara atas negara lain” atau setidaknya karena melibatkan barang publik, atau dalam istilah Garrett Hardin, common-pool resources, yang sangat rumit dan komplek untuk diuraikan siapa yang paling bertanggung jawab pada kerusakan yang terjadi padanya? Contoh yang bisa dikemukakan adalah dalam hal perubahan iklim. Negara-negara maju akibat kemajuan industrinya serta tingginya standar kehidupan warga negaranya memang terbukti dan mempunyai kontribusi besar terhadap perubahan iklim global karena sumbangan gas emisi rumah kacanya; tetapi apakah hanya karena itu? Bagaimana dengan proses alam yang sungguh sulit untuk diterangjelaskan alur-alur kerjanya, yang mungkin saja berpengaruh pada perubahan iklim? Lalu apa kontribusi hilangnya wilayah hutan (deforestation) baik di negara-negara maju maupun di negara-negara berkembang? Bagaimana juga dengan pertambahan penduduk yang pesat, terutama di negara-negara berkembang?

Perubahan iklim menyangkut suatu proses alam yang sampai sekarang pun baru hanya bisa dikenali gejalanya saja, penyebab tepat dan jelasnya masih dalam penelitian, walaupun sudah ada beberapa faktor yang disinyalir sebagai penyebab perubahan iklim. Satu hal yang sudah disadari adalah bahwa perubahan iklim itu telah terjadi dengan melibatkan tidak sedikit proses fisika, kimia dan biologi di alam raya serta ada saling keterkaitan diantaranya. Dampaknya menyasar semua negara di dunia, tanpa kecuali (Matthews, 1990: 66-69).

Dalam Konferensi PBB tentang Lingkungan dan Pembangunan atau yang lebih terkenal dengan sebutan KTT Bumi, yang terjadi pada tanggal 3-14 Juni 1992 di Rio de Janeiro, Brazil, permasalahan sebagaimana diuraikan di atas dijadikan latar belakang untuk perumusan suatu prinsip, yakni prinsip Common but Differentiated Responsibilities (Tanggung Jawab Sama, Kewajiban Berbeda) (Haas/Parson, 1992).

Prinsip itu eksplisit dicantumkan dalam prinsip 7 Deklarasi Rio:

“States shall cooperate in a spirit of global partnership to conserve, protect and restore the health and integrity of the Earth's ecosystem. In view of the different contributions to global environmental degradation, States have common but differentiated responsibilities. The developed countries acknowledge the responsibility that they bear in the international pursuit of sustainable development in view of the pressures their societies place on the global environment and of the technologies and financial resources they command.”

Prinsip ini hadir, juga secara eksplisit, dalam pasal 3 (1) The Framework Convention on Climate Change :

“The Parties should protect the climate system for the benefit of present and future generations of humankind, on the basis of equity and in accordance with their common but differentiated responsibilities and respective capabilities. Accordingly, the developed country Parties should take the lead in combating climate change and the adverse effects thereof.”

Prinsip 7 Deklarasi Rio di atas harus dibaca dan atau dihubungkan dengan prinsip 6 Deklarasi Rio, yang menegaskan bahwa:

“The special situation and needs of developing countries, particularly the least developed and those most environmentally vulnerable, shall be given special priority. International actions in the field of environment and development should also address the interests and needs of all countries.”

Prinsip 7 Deklarasi Rio menegaskan bahwa negara-negara maju secara historis, bertanggung jawab atas menurunnya daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup secara global akibat aktivitas pembangunan yang mereka lakukan; bahwa dengannya, pada sisi yang lain, mereka mempunyai sumber daya yang lebih baik dan lebih banyak, terutama sumber daya keuangan dan teknologi. Kedua hal itu menjadi dasar bahwa negara maju mempunyai tanggung jawab lebih besar dalam memecahkan persoalan–persoalan lingkungan hidup global serta menjadi negara pertama dalam melakukan usaha-usaha demi tercapainya cita-cita internasional dalam hal pembangunan berkelanjutan.

Sementara prinsip 6 Deklarasi Rio menegaskan akan adanya kebutuhan dan situasi yang khusus di negara berkembang, terutama di negara terbelakang atau negara yang rentan secara lingkungan, yang membutuhkan prioritas khusus.

Dengan kata lain, kedua prinsip itu memberikan penjelasan akan adanya kontribusi yang berbeda, yang menimbulkan kewajiban atau perlakuan yang berbeda-beda di antara negara-negara di dunia. Prinsip 6 memberikan alasan perbedaan situasi di negara berkembang karena adanya kemiskinan dan keadaan khusus lingkungannya seperti dataran tinggi atau kepulauan kecil, yang membutuhkan prioritas khusus serta perhatian dan perlakuan yang disesuaikan dengan keadaan, kepentingan dan kebutuhan negara-negara tersebut. Sedangkan prinsip 7 memberikan alasan adanya perbedaan perlakuan atau kewajiban yang disebabkan, pertama, perbedaan kontribusi tiap-tiap negara pada terjadinya tekanan pada lingkungan hidup; dan kedua, karena adanya perbedaan kapasitas dalam menyelesaikan masalah dan memuluskan cita-cita pembangunan berkelanjutan, secara khusus dalam hal kepemilikan dana keuangan dan kemajuan teknologinya (Stone, 16)

Prinsip Common but Differentiated Responsibilities ini mengandung dua pokok pikiran: pertama, penegasan pada tanggung jawab bersama dan sama tiap-tiap negara untuk melindungi lingkungan hidup baik pada pada tingkat nasional, regional maupun global; tanpa melihat negara besar atau kecil. Kedua, perhatian untuk melakukan usaha mencegah, mengurangi dan mengontrol ancaman terhadap lingkungan hidup didasarkan pada perbedaan keadaan masing-masing negara, khususnya dalam hal kontribusi tiap-tiap negara tersebut pada terjadinya pertambahan intensitas ancaman terhadap lingkungan hidup dan atau kerusakan lingkungan hidup yang terjadi.

Tanggung jawab bersama dalam menjaga kelestarian lingkungan hidup global itu mengindikasikan harus adanya kerja sama yang erat antar negara, terutama dengan terlibat dan mentaati perjanjian internasional yang berurusan dengan lingkungan hidup. Perjanjian internasional merupakan sarana yang cukup baik dalam merespon dan mencari titik temu negara-negara menyangkut lingkungan hidup, walaupun banyak perjanjian internasional yang mengatur masalah lingkungan hidup yang tidak berjalan dengan baik karena tidak ada sanksi global yang tegas bagi yang melanggar atau yang tidak melaksanakan kewajibannya.

Tanggung jawab bersama dalam menjaga kelestarian lingkungan hidup global itu berasal dari serangkaian hukum internasional yang mengatur masalah sumber daya alam yang diistilahkan sebagai “perhatian bersama” (common concern) atau “warisan bersama umat manusia” (common heritage of humankind). Istilah ini dikenakan pada sumber daya alam yang dibagi dan dinikmati bersama, baik yang ada dalam yurisdiksi suatu negara atau tidak; yang menjadi kepentingan hukum bersama serta memberikan kontribusi penting bagi manusia dan sistem biosphere bumi.

Istilah common concern telah dipakai dalam perlindungan dan pengelolaan ikan tuna dan jenis tertentu ikan pada tahun 1949. Banyak istilah lain yang muncul, seperti luar angkasa serta bulan disebut sebagai “province off all mankind”, sementara keanekaragaman hayati serta perubahan iklim dianggap sebagai “common concern of humankind. Walaupun istilah yang digunakan berbeda-beda serta harus dimengerti dalam konteks peraturan dari mana istilah itu lahir, namun semuanya mempunyai kesamaan konsekuensi, yakni tanggung jawab yang sama dalam melindunginya demi kepentingan bersama umat manusia

Pengaturan dan perlindungan terhadap sumber daya tersebut di atas sangat penting dalam memperbincangkan masalah keberlanjutan planet dan penghuninya. Sedangkan perbedaan di masing-masing negara, terutama dalam hal keadaan khusus negaranya (seperti negara kepulauan kecil atau terbelakang), perkembangan ekonominya, serta kontribusinya dalam masalah lingkungan hidup global, berimplikasi pada perbedaan kewajiban tiap-tiap negara dalam menanggulangi masalah lingkungan hidup global. Perbedaan kewajiban itu berimplikasi pada perbedaan hukum. Contoh yang bisa dikemukan dengan adanya perbedaan kewajiban hukum itu, antara lain, dalam hal penerapan standar lingkungan yang berbeda; adanya masa tenggang penerapan peraturan internasional yang telah disepakati; atau juga komitmen yang lebih lunak.

Perbedaan kewajiban masing-masing negara ini sudah tampak dalam Deklarasi Stockholm, terutama dalam prinsip 13 yang menekankan bahwa dalam menerapkan standar lingkungan hidup, yang cocok untuk diterapkan di negara-negara maju, belum tentu cocok untuk diterapkan di negara-negara berkembang serta harus diperhatikan biaya sosial yang mungkin terjadi akibat penerapan standar itu di negara-negara berkembang. Sedangkan Deklarasi Rio mencantumkan perbedaan kewajiban itu dalam beberapa prinsip, antara lain, prinsip 6, yang membicarakan tindakan-tindakan internasional dalam hal pembangunan dan lingkungan hidup harus memperhatikan kepentingan dan kebutuhan semua negara, dengan memberikan prioritas khusus pada negara-negara berkembang terutama negara-negara terbelakang serta negara yang rentan secara lingkungan, serta prinsip 11, yang membicarakan masalah penerapan standar lingkungan, pengaturan masalah serta prioritasnya harus disesuaikan dengan suasana pembangunan dan lingkungan negara di mana standar itu akan diterapkan. Hal ini dikarenakan suatu standar lingkungan yang cocok diterapkan di suatu negara, belum tentu cocok jika diterapkan di negara lain serta akan menyebabkan adanya biaya ekonomi dan sosial, yang dalam keadaan tertentu jumlahnya sangat besar dan tidak tertanggungkan oleh negara tersebut, terutama di negara-negara berkembang.

Perbedaan kewajiban itu telah diterapkan di banyak konvensi, seperti dalam pembukaan konvensi PBB 1982 tentang hukum laut atau konvensi London tahun 1972 atau juga dalam Konvensi Perubahan Iklim serta Protokol Kyoto, yang mencantum kewajiban berbeda antara negara-negara maju dengan negara-negara berkembang dalam hal komitmen menurunkan emisi gas rumah kaca; walaupun sebenarnya negara berkembang tidak dikenakan komitmen apapun untuk menurunkan emisi gas rumah kacanya, karena dipandang kontribusinya pada peningkatan emisi rumah kaca masih kecil.

Prinsip perbedaan kewajiban itu tidak hanya membedakan kewajiban antara negara berkembang dengan negara maju, namun juga di antara negara maju serta di antara negara berkembang sendiri. Perbedaan kewajiban di antara negara maju tampak dalam 1988 European Commission (EC) Large Combustion Directive, yang menerapkan perbedaan standar pengurangan emisi rumah kaca di antara negara-negara Eropa. Hal ini disadari bahwa tidak semua negara Eropa maju dan menggantungkan kemajuannya pada industri.

Perbedaan kewajiban di antara negara berkembang tampak dalam Konvensi Perubahan Iklim, yang memberikan perhatian serta kebutuhan khusus pada negara-negara berkembang terutama negara-negara yang rentan terhadap akibat perubahan iklim (seperti negara-negara kepulauan kecil serta negara-negara dengan gurun yang luas atau miskin di Sub-Sahara Afrika); atau juga seperti yang ditampilkan dalam Konvensi Melawan Penggurunan, yang memberikan perhatian lebih pada negara-negara di Afrika.

Dari apa yang telah diuraikan di atas, bisa ditarik kesimpulan bahwa semua negara, tanpa terkecuali mempunyai tanggung jawab yang sama dalam melindungi lingkungan hidup serta mempromosikan pembangunan berkelanjutan, namun karena ada perbedaan sosial, ekonomi, kemajuan teknologi dan kontribusinya pada terjadinya kerusakan lingkungan hidup global serta kondisi lingkungan hidupnya, masing-masing negara harus membagi beban serta kewajiban yang berbeda-beda.

Prinsip Common but Differentiated Responsibilities sebenarnya berintikan pada persamaan (equality), bahwa, sebagaimana dicantumkan dalam prinsip 7 Deklarasi Rio, beban terbesar dalam hal perlindungan lingkungan global dibebankan pada negara-negara maju karena dipandang sebagai negara-negara yang paling bertanggung jawab dalam hal perusakan lingkungan hidup global serta karena kekayaan finansial dan kemajuan teknologi yang dimilikinya.

Sementara itu negara-negara berkembang, terutama negara-negara terbelakang dan yang secara lingkungan rentan, mendapatkan perlakuan berbeda karena keadaan ekonominya atau penguasaan pada teknologi yang terbatas. Keadaan negara negara-negara berkembang itu, pada sisi yang lain, juga membutuhkan bantuan, baik keuangan ataupun transfer teknologi dari negara-negara maju.

Jelaslah bahwa prinsip ini menekankan pada terjadinya kerja sama internasional serta berbagi beban (burden sharing) yang dalam dataran tertentu merupakan bentuk kompromi terbaik dalam menyelesaikan masalah lingkungan hidup global.

Daftar Pustaka

Angell, D. J. R., J.D. Comer and M. L. N. Wilkinson (ed), Sustaining Earth, Response To The Environmental Threat, London: MacMillan Academic and Professional LTD, 1990.

Burger, Joanna dan Michael Gochfeld, The Tragedy of Commons: 30 Year later, Environment, Volume 40 No. 10 December 1998

Hardjasoemantri, Koesnadi, “Hukum Tata Lingkungan”, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2002.

Harris, Paul G., Common But Differentiated Responsibility: The Kyoto Protocol And United State Policy, diambil dari website law.nyu.edu pada tanggal 12 Mei 2004.

Haas, Peter, Marc A. Levy And Edward A. Parson, Earth Summit: How Should We Judge UNCED’s Success?, dalam Environment, Volume 34 Number 8, Oktober 1992.

Matthews, Samuel W., Under The Sun: Is Our World Warming, National Geographics, Volume 178, No. 4, Oktober 1990.

Stone, Christopher D., Common But Differentiated Responsibilities: A Legal, Economics and Ethical Critique, diambil pada tanggal 12 Mei 2004 dari lawweb.usc.edu.

UNEP/IISD, Trade and environment: A Handbook. Diambil pada tanggal 29 Mei 2004, dari www. IISD.org/trade/handbook
[Tulisan lama; saya pikir masih relevan dengan hingar bingar Isu [yang entah kenapa jadi sangat menguat] Perubahan Iklim akhir-akhir ini]