Tulisan ini diawali dengan cerita awal mula lahirnya beberapa prinsip yang hadir sebelum dan integral dalam mekanisme PES.
Pendahuluan
Dalam usaha untuk mencari keseimbangan antara pembangunan dengan lingkungan hidup, lahirlah berbagai macam inisiatif/metode yang kebanyakan mendasarkan diri pada bidang ekonomi atau khususnya mengintegrasikannya pada sistem pasar. Pembangunan memang selalu diidentikan dengan ekonomi, terutama di negara-negara berkembang, dan karenanya ekonomi selalu menjadi biang keladi dari adanya kerusakan lingkungan hidup.
Kalangan Barat sendiri yang mulai menyadari bahwa kegiatan ekonomi atau tepatnya industrialisasi telah merugikan lingkungan hidup. Kegiatan manusia menjadi faktor utama atau setidaknya mempercepat terjadinya kerusakan lingkungan hidup global. Mereka juga menyadari bahwa pada akhirnya kerusakan lingkungan hidup akan merugikan kegiatan ekonomi mereka. Maka sekitar awal tahun 1970-an dikenalkanlah prinsip pencemar membayar [polluter pays principle], yang pada mulanya hanya dikenakan pada industri-industri di negara-negara OECD. Prinsip ini pada awalnya bersifat lunak, dalam arti setiap industri diwajibkan menyimpan uangnya di deposit tertentu dan akan berkurang jika dia melakukan pencemaran. Kemudian prinsip ini mulai diterapkan dengan mengharuskan perusahaan yang melakukan kerusakan lingkungan untuk membayar sejumlah ganti rugi tertentu. Karena prinsip hukumnya adalah liability based on fault, dimana pertanggungjawaban didasarkan pada kesalahan, yang secara tersirat membutuhkan pembuktian kesalahan dulu, maka membuktikan siapa yang mencemari menjadi masalah yang cukup rumit. Dampaknya adalah kerusakan lingkungan kerap terjadi karena: [1] sulit dibuktikan kesalahannya; [2] adanya moral hazard di kalangan industri karena harga yang harus dibayar untuk setiap kerusakan lingkungan yang dibuatnya tidak sebesar jika dibandingkan dengan keuntungan yang diraihnya dengan melakukan kerusakan lingkungan itu; [3] secara lebih luas, tercipta situasi yang memandang produk-produk dari industrialisasi sebagai barang pengganti atau supplement dari barang-barang mentah alam [sekarang ini, serat kain lebih banyak dihasilkan dari serat buatan ketimbang serat alami], sehingga timbul pandangan tidak apa-apa ada kerusakan lingkungan hidup asalkan ada barang/teknologi yang menggantikannya atau meringankannya.
Situasi di atas tentu saja tidak menguntungkan bagi lingkungan hidup. Konsumen di negara-negara maju akan dengan mudah menukarkan ketidaknyamanan akibat adanya kerusakan lingkungan hidup dengan mengeluarkan biaya atau harga tertentu, biar pun mahal. Kondisinya bertolak belakang dengan kebanyakan konsumen di negara-negara berkembang, dimana kebanyakan adalah konsumen melarat yang tidak bisa melakukan pertukaran sebagaimana dilakukan oleh konsumen di negara-negara maju. Kemiskinan akan memperparah keadaan lingkungan dan begitu juga sebaliknya.
Di tengah-tengah itu, sejak tahun 1980-an dikembangkan pemikiran dan insiatif yang mencoba mencari jalan tengah antara ekonomi dan lingkungan hidup. Pandangan yang paling dominan adalah pembangunan berkelanjutan. Seambigu apapun makna dari pembangunan berkelanjutan itu, dia telah, dengan batasan yang tidak rigid, berhasil mencari alternatif dalam menyelesaikan persoalan pertentangan ekonomi-ekologi itu.
Singkatnya, pembangunan berkelanjutan ini hendak membagi kekayaan sumber daya alam [yang pastinya bermakna ekonomi] yang ada sekarang agar bisa dinikmati juga oleh generasi selanjutnya. Pembangunan berkelanjutan juga menginginkan kita memanfaatkan “bunga”-nya saja dari alam ini, bukan pokoknya. Karena itulah pembangunan berkelanjutan bersandar pada kemajuan iptek dan kebijaksanaan lokal [local wisdom]. Pembangunan berkelanjutan memandang pembangunan secara integral, bukan hanya pertumbuhan ekonomi saja tetapi juga kelestarian lingkungan hidup dan keadaban tata sosial.
Dari konsep itu, berbiaklah banyak pendekatan dalam memandang masalah penyelesaian kerusakan lingkungan hidup ini. Lahirlah ekonomi lingkungan dengan berbagai macam derivasinya seperti akuntansi lingkungan, valuasi ekonomi SDA, pajak lingkungan dll.
Setelah prinsip pencemar membayar diterapkan banyak pihak dan menjadi dasar dalam menangani masalah pencemaran di berbagai negara, nampaknya banyak kalangan yang kurang puas dengan penerapan prinsip ini. Banyak inisiatif yang lahir seperti prinsip pencegahan atau precautionary principle [prinsip kehati-hatian], prinsip atur-sendiri, dan seterusnya. Hadir pula prinsip pengguna membayar atau user pays principle. Prinsip ini menginginkan pihak-pihak yang menggunakan lingkungan hidup atau sumber daya alam dalam aktivitasnya “membayar” atas jasa atau sejumlah material tertentu dari alam yang dipergunakannya itu.
Selama ini aktivitas manusia, karena didorong oleh keyakinan bahwa alam adalah pelayanan dan penyedia kebutuhan bagi manusia, mengambil dari alam apa-apa yang dibutuhkannya tanpa pernah membayarnya alias gratis. Kemampuan alam beserta zat-zat tertentu untuk menetralisir atau memudahkan proses penetralan dari limbah, tidak pernah dibayar oleh manusia atas jasanya itu. Begitu juga jasa-jasa pohon, humus tanah, penyerbukan tanaman dll. Manusia memandang itu sebagai sesuatu yang alamiah dan karenanya tidak perlu dibayar. Padahal dalam aktivitasnya, manusia mengambil untung [secara ekonomi] dari kekayaan alam yang ada.
Dengan mengambil khasanah dari ekonomi, lingkungan hidup dianggap memiliki dua produk: sumber alam dan jasa lingkungan. Sumber alam ini bisa berupa materi [batu, emas, tanah], energi [fosil, batu bara], ruang, waktu, serta keanekaragaman [ada 3 yakni jenis, landscape, dan ecology]. Sementara jasa lingkungan adalah daya atau kemampuan yang disediakan/diberikan oleh lingkungan hidup [contohnya adalah keindahan telaga atau ketersediaan air]. Dengan demikian yang dimanfaatkan adalah jasanya, bukan yang menyediakan jasanya. Karena produk lingkungan yang berupa sumber alam sudah terlalu tereksploitasi dan karenanya semakin langka, maka memanfaatkan jasa-jasa lingkungan merupakan sesuatu hal yang perlu dikampanyekan. Dalam pemanfaatan jasa-jasa lingkungan itulah kita harus membayarnya. Inilah kira-kira apa yang dimaksud dengan PES.
Dalam mekanisme PES ini ada dua pihak yang terlibat. Pertama adalah seller atau penjual atau penyedia jasa lingkungan, sedangkan kedua adalah buyer atau konsumen jasa lingkungan. Karena mekanisme ini dibuat untuk kepentingan manusia, maka dua pihak itu adalah manusia/kegiatan manusia. Penentuan siapa penjual dan siapa pembeli ditentukan dari manfaat apa yang diterima oleh konsumen dan dari mana manfaat itu hadir. Dalam pengelolaan DAS, misalnya, pihak penjual adalah masyarakat yang ada di hulu sungai yang menjaga kelestarian hutan atau tegakan pohon disekitar mereka, sedangkan konsumen adalah mereka yang ada di hilir seperti PDAM atau masyarakat konsumen air.
Selama ini mereka, yang sebenarnya adalah penjual, tidak pernah mendapatkan keuntungan dari usaha mereka untuk melestarikan lingkungannya. Bahkan mereka kadang dengan mudahnya disebut sebagai perusak lingkungan, karena membalak hutan, atau memotong pohon misalnya. Tanpa dicoba mengerti mengapa mereka melakukan itu. Sementara mereka yang ada di hilir enak saja menikmati jasa-jasa lingkungan yang diberikan oleh bagian hulu tanpa berusaha untuk membayarnya. Padahal kerusakan di hulu akan berpengaruh besar pada bagian hilir. Untuk itulah dengan mekanisme yang disepati bersama, pembeli akan membayar kepada penjual asalkan penjual selalu menjaga kelestarian lingkungannya.
Karena itulah, sejauh yang penulis ketahui dunia usahalah yang paling mudah diidentifikasi sebagai buyer, berikut juga, secara tidak langsung, masyarakat yang membeli produk dari hasil dunia usaha itu. Sementara yang menjadi seller tergantung pada jenis jasa lingkungan yang dilestarikannya, misal, masyarakat sekitar hulu untuk PES di DAS, atau masyarakat penjaga kelestarian hutan dalam mekanisme rosot karbon.
Bagi dunia usaha sendiri, kemauan mereka untuk ikut serta di dalam mekanisme PES ini, selain untuk kepentingan humas mereka, juga merupakan bentuk nyata dari adanya CSR [Corporate Social Reponsibility]. CSR ini merupakan bentuk pengakuan, dan sudah dibuktikan oleh, setidaknya, ekonom sekelas Milton Friedman, bahwa keberhasilan mereka dalam bidang ekonomi dan finansial tidak bisa dilepaskan dari kondisi lingkungan dan sosial di tempat mereka beroperasi. Perusahaan-perusahaan yang terlibat di dalam kegiatan sosial dan pelestarian lingkungan, berarti mengeluarkan dana untuk itu, terbukti menghasilkan keuntungan yang cukup besar. Mungkin ada hubungannya dengan imej baik yang dibangun oleh perusahaan itu.
CSR ini, setidaknya menurut penulis, bukanlah aturan yang dibuat dan dipaksakan dari luar, tetapi lebih menyangkut kepada etika bisnis dunia usaha itu sendiri. Seperti juga tidak setiap kali kita berbuat baik harus mendapatkan bayaran [pahala=untung]. Karenanya CSR selalu bersifat sukarela.
Di sinilah kemudian masalah itu muncul. Jika kita selalu dijejali dengan asumsi bahwa tidak akan pernah ada pengusaha yang mengeluarkan sejumlah dana tertentu tanpa mengambil dana dari luar lebih banyak lagi, maka mekanisme PES ini menantang asumsi itu. Dalam PES, dunia usaha mengeluarkan dana yang secara langsung tidak akan menguntungkan dirinya, malah dunia usaha seperti berbuat amal. Dari mekanisme PES yang dilakukan oleh PT Krakatau Tirta Indonesia [KTI] dengan petani-petani di hulu sungai Danau Cidanau, Banten, terungkap bahwa PT KTI mengeluarkan dana untuk PES ini berada di luar dana untuk Community Development.
Sifatnya yang sukarela itu akan berjalan baik, jika semua pihak merasa diuntungkan dengan adanya mekanisme itu atau jika semua pihak berhati emas. Sayangnya adalah kedua hal itu adalah utopia. Harus ada kejelasan sampai sejauh mana sebenarnya perusahaan beruntung dengan melakukan CSR, atau bahwa kegiatan PES yang dilakukan oleh perusahaan tidak berpengaruh terhadap harga produk yang dijualnya.
Tentulah hal di atas tidak “adil” bagi pihak yang terlibat dalam PES, karena ada pihak-pihak yang mengambil untung dari kerja penuh keringat pihak tersebut. Karena itu ada dua hal yang bisa dilakukan. Pertama, inisiatif seperti yang dilakukan oleh PT KTI itu harus dibalas, sepertinya oleh pemerintah, dengan memberikan insentif kepadanya, bisa berupa pengurangan pajak atau pelunakan kebijakan kepadanya. Secara tersirat juga menginginkan adanya disinsentif pada mereka yang tidak ikut serta dalam kegiatan itu.
Kedua, penulis akhirnya tergoda untuk mengatakan bahwa sebaiknya mekanisme PES itu diwajibkan saja [involuntary] dengan dikeluarkan sebuah aturan dari pemerintah, misalnya. Semata karena adanya gejala para penumpang gelap itu. Peraturan itu, katakanlah, mengatur tentang siapa pembeli dan penjualnya, bagaimana masuk dalam mekanisme PES yang telah/akan ada, dalam bentuk apa dan mekanisme bagaimana pembayarannya, sanksinya apa dan apa insentif dan disinsentifnya, dan seterusnya.
Hal lain yang juga perlu diperhatikan adalah dalam bentuk apa pembayaran itu harus dilakukan? Sementara ini pembayaran selalu dikaitkan dengan bentuk uang. Apa yang harus dibayarkan ini menjadi penting untuk mengantisipasi adanya moral hazard berupa sikap “kan sudah bayar [uang]”. Padahal, sejauh yang saya tahu, penerapan CSR dan PES tidak mungkin berjalan di sebuah lingkungan bisnis atau politik atau hukum yang tidak bisa memahami tata kerja ekonomi, ekologi dan sosial dan keterkaitan antara ketiganya. Dengan kata lain, penerapan PES hanya mungkin berjalan jika telah ada prakondisi berupa perubahan cara pandang dalam memandang peran dirinya di tengah-tengah gerak ekologi dan sosial. Sebelum ada perubahan itu, maka PES hanya akan dipandang sebagai beban. Dalam tata ekonomi, politik, hukum dan sosial yang kacau seperti di Indonesia ini, akan tercipta kanal-kanal gelap yang membuat kewajiban itu berubah menjadi retorika yang dahsyat tak terperi.
Terakhir, penerapan mekanisme PES hanya akan berhasil jika ada tiga faktor integral, yakni pengembangan kelembagaan, penyusunan kebijakan dan insentif ekonomi. Dalam penerapannya PES harus selalu menfasilitasi terjadinya proses dialog dan membuka kesempatan pada masyarakat untuk terlibat dalam penyusunan kelembagaan dan kebijakan. Tanpanya, PES hanya berlaku sebagai pemaksaan dan tidak akan bertahan lama. Masih banyak hal yang terbuka dilakukan dalam mekanisme ini dan karenanya sangatlah menantang.
[1] Beberapa perusahaan menolak untuk terlibat dalam PES atau CSR karena tidak ada aturan yang mengaturnya atau dengan alasan bahwa mereka telah membayar pajak dan restribusi kepada pemerintah. Pembebanan kembali untuk biaya PES tentu akan mendapatkan tentangan yang keras dari dunia usaha.
[2] Sebenarnya dengan tetap bersifat sukarela, asal didukung dengan insentif ekonomi yang nyata dan berkelanjutan, PES akan berjalan dengan baik dan akan diikuti oleh banyak pihak, dalam hal ini dunia usaha, tanpa harus ada formalisasi hukum kepadanya. PES sangat kental dengan bahasa ekonomi dan derivatif dari instrumen berbasis pada pasar [market-based mechanism]. Bagaimana pun tuhannya dunia usaha adalah pasar; siapa yang mengikutinya akan mendapatkan keselamatan dan pahala besar, sebaliknya laknat dan kesengsaraan bagi yang ingkar kepadanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar