18 Agustus 2011

Rimba yang ditelan sawit

Awalnya, karena kemiripan nama, saya menyamakan keberadaan PT Rimba Makmur Utama (RMU) dengan PT Rimba Raya Conservation. Padahal, setelah tanya sana-sini serta cari info lainnya, kedua nama itu hanya mirip, namun keduanya merupakan lembaga bisnis yang berbeda. Kesamaannya adalah mereka sama-sama mengajukan ijin IUPHHK-RE dan berlokasi di Kalimantan Tengah. Kedua perusahaan ini sama-sama memiliki (atau dimiliki (?)) konsultannya masing-masing: Starling resources untuk PT Rimba Makmur dan InfiniteEarth untuk PT Rimba Raya.

Perbedaan semakin jelas ketika melihat lokasi kerja mereka. Lokasi kerja PT RMU di Katingan dan Kotawaringin Timur dan diapit oleh dua sungai besar: Sungai Katingan dan Sungai Mentaya. Lokasi kerja mereka sering disebut sebagai Katingan Peatlands Conservation Project.

Lokasi kerja PT Rimba Raya conservation berada di Kabupaten Seruyan, tepatnya berada di sepanjang Sungai Seruyan mulai dari Pembuang Hulu sampai ke arah selatan dan berdekatan dengan Taman Nasional Tanjung puting.

Soal PT Rimba Raya Conservation (RRC) ini yang akan dceritakan dalam kesempatan kali ini. Ada beberapa info yang masuk ke telinga saya yang isunya menarik, terutama terkait dengan tingkah para pemburu karbon serta bagaimana hubungan mereka dengan (calon) pembeli karbon (kredit), dengan pemerintah, serta dengan komunitas.

Apa yang menarik dari PT RRC ini? Hubungan mereka dengan InfiniteEarth adalah hubungan antara pemilik dengan kepunyaannya, bukan antara kontraktor dengan pemberi kontrak. Keterangan ini dapat dilihat dari keterangannya soal projek di Kalteng ini. Pihak lain yang diikutkan dalam proyek ini adalah Peneliti Orang utan, Birute Mary Galdikas, bersama dengan OFI (Orangutan Foundation International Rehabilitation Center). Dalam keterangan soal proyek itu juga disebutkan Infinite ini "membeli" lahan seluas 500 kilometerpersegi atau setara 50.000 ha untuk dijadikan dijadikan Rimba Raya Reserve itu. Ia klaim "membeli" wilayah tersebut, dan bukan "meminta ijin kepada pemerintah". Bagaimana mungkin dia membeli "wilayah hutan?" Tidak ada aturan hukum yang membolehkan terjadinya jual beli di dalam kawasan hutan. Mekanisme hukum yang ada adalah tukar menukar atau pinjam pakai. Jual beli baru bisa terjadi ketika kawasan hutan itu dirubah statusnya menjadi kawasan hon-hutan. Dan memang lokasi PT RRC ini ada di dalam kawasan hutan produksi dan kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi.

Kekecewaan dan dalih Kemenhut
Angka setara 50.000 ha, sebagaimana diterakan dalam keterangan proyek tersebut, menarik untuk dilihat lagi. Dalam proposal pengajuan IUPHHK-RE, PT RRC ini berencana menguasai seluas sekitar 101 730 ha, yang terdiri dari (1) hutan produksi tetap: 58 857 ha dan (2) hutan produksi konversi, seluas 42 873 ha. Angka 500KM persegi itu berarti angka yang sudah disetujui oleh Kemenhut, yang nampaknya menjadi masalah dan menimbulkan kekecewaan bagi PT RRC. Laporan Reuter ini menyebutkan angka 90.000 ha untuk lokasi yang diusulkan dan realisasinya yang mencapai separuhnya 46.000 ha. Namun jika melihat data resmi dari Dephut, angka yang diusulkan adalah  89,185 ha.

Kekecewaan itu terlihat dari kenyataan bahwa sisa lokasi yang tidak diberikan kepada PT RRC ternyata diberikan kepada PT Best Group, sebuah perusahaan kelapa sawit. PT RRC mengklaim bahwa wilayah yang diberikan kepada PT Best tersebut tidak layak dijadikan wilayah kelapa sawit karena memiliki kedalaman gambut yang lebih dari 3 meter. Sementara menurut hukum Indonesia, wilayah gambut yang lebih dalam dari 3 meter harus dikonservasi ( Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung serta Peraturan Menteri Pertanian No. 14/Permentan/PL.110/2/2009 Tentang Pedoman Pemanfaatan Lahan Gambut Untuk Budidaya Kelapa Sawit).

Pemerintah c.q. Kemenhut sendiri berdalih bahwa wilayah tersebut memang sudah lama menjadi klaimnya PT Best dan berada di wilayah Hutan Produksi Konversi ( (HPK) yang ditujukan untuk dilepaskan untuk kegiatan pertanian/perkebunan, seperti kelapa sawit dan bukan untuk kegiatan REDD apalagi IUPHHK-RE. Dari pernyataan ini terlihat sebenarnya ada tumpang tindih lahan antara Kemenhut dengan PT Best, sebuah masalah yang lazim ditemukan di Kalimantan Tengah. Tumpang tindih tersebut diselesaikan dengan menetapkan kawasan tersebut sebagai kawasan hutan produksi konversi (tentu saja harus ada penelusuran lebih lanjut, apakah sudah ada SK Menteri Kehutanan yang melepaskan kawasan hutan itu menjadi kawasan non hutan (APL)?).

Di lain pihak, kekecewaan PT RRC bisa dipahami, namun perbedaan antara ijin yang diajukan dengan realisasinya seharusnya (dengan melihat prosedur pengajuan IUPHHK-RE) sudah diantisipasi. Jika dilihat dari sisi prosedural, pemerintah sebagai pemberi ijin bisa saja memberikan ijin yang tidak sesuai dengan pengajuan ijinnya. Ini hal yang biasa: sama seperti kita mengajukan proposal bisnis yang disetujui sebagian. (luas 89,185 ha adalah luas yan diajukan oleh PT RRC yang waktu itu tengah membuat RKL/RKU (semacam Amdal untuk praktek bisnis yang dianggap dampaknya kecil pada lingkungan); ini merupakan tahapan tengah sebelum Baplan atas nama Menteri mengeluarkan Peta Lokasi yang nantinya akan disahkan dalam bentuk IUPHHK-RE)

Kecuali, jika PT RRC keberatan dengan alasan pemerintah tersebut, maka terbukalah jalan penyelesaiannya ke tingkat pengadilan TUN. Apalagi Pemerintah Rusia kabarnya sudah melayangkan keberatan Gazprom atas tindakan Kemenhut tersebut.

Masalah lebih luas: tumpang tindih kawasan dan kebijakan pelepasan kawasan hutan
Tentu saja, ada masalah dalam kebijakan kehutanan terkait dengan pelepasan kawasan hutan. Posisi kawasan hutan produksi konversi selama ini selalu dikesankan dalam kondisi "idle". "idle" dalam pengertian kawasan HPK ini tidak dapat "dimanfaatkan" karena ia harus akan dikeluarkan dari kawasan hutan dan posisinya sekarang sedang menunggu ada proposal dari pihak lain (pemda atau kalangan bisnis) yang mengajukan permohonan pemanfaatan lahan tersebut. Selama belum ada proposal tersebut, posisi kawasan HPK tetap akan demikian adanya. Tapi, apakah memang benar di atas kawasan hutan produksi konversi (HPK) tersebut tidak boleh ada kegiatan kehutanan, seperti pengajuan IUPHHK-RE?

Masalah yang lebih serius adalah atas dasar kebijakan apa Kemenhut menetapkan kawasan itu sebagai kawasan hutan produksi konversi padahal diketahui adanya kawasan gambut yang harus dikonversi? Ini yang aneh. Keanehan lainnya adalah berhubungan erat dengan kewenangan Kemenhut sendiri, yang seharusnya mempertahankan dan mengurus hutannya, dan bukan malah melepaskan menjadi non hutan. Selain itu, bukankah seharusnya ia berpihak kepada pelaku kehutanan daripada pelaku perkebunan? Urusannya akan menjadi panjang ketika dikaitkan dengan pemihakan Kemenhut atas kebutuhan lahan dari pihak pelaku bisnis. Kemenhut sepertinya dengan senang hati melepaskan ribuan hektar kawasan hutan kepada pelaku bisnis, namun sangat sulit ketika yang memintanya adalah masyarakat (yang luasannya pasti jauh lebih kecil). Kecurigaan Kemenhut telah berubah menjadi "tuan tanah negara" memang menguat dengan melihat praktek tersebut. Ini mungkin masalah lain yang perlu diceritakan di kesempatan lainnya.

Bisnis karbon masih belum pasti
Yang menarik dari laporan Reuters itu adalah pernyataan Sekjen Kemenhut yang tidak mempercayai keberlanjutan industri karbon ini, dengan mempertanyakan apakah bisa memberikan kontribusi kepada negara atau menggantikan retribusi yang selama ini didapatkan dari industri "biasa" kehutanan atau bisnis yang terkait langsung dengan kehutanan. Ada keraguan di kalangan Kemenhut yang ironisnya menjadi lembaga yang paling merasa paling berwenang ketika membicarakan soal REDD atau perdagangan karbon dari hutan.

Sudah ada setidaknya 3 Permenhut terkait dengan REDD?DA REDD/perdagangan karbon serta beberapa lembaga ad hoc di internal Kemenhut, atau serangkaian diskusi, workshop, konferensi dan berbagai kegiatan lainnya yang menjadi fakta keras untuk melihat betapa seriusnya Kemenhut mengimplementasikan REDD dan sebangsanya. Namun ketika menghadapi kenyataan dari lapangan, sepertinya Kemenhut agak bimbang: benarkan industri karbon ini akan menjadi penyelamat?

Saya tidak mau berbagi kebimbangan dengan Kemenhut dalam soal itu. Kekawatiran Kemenhut saya kira berkisar pada cerita sedih CDM kehutanan yang tidak berhasil serta belum mantapnya REDD di tingkat internasional. Saya berkeyakinan bahwa respon pemerintah c.q. Kemenhut yang cenderung "cepat tanggap" ini tidak dilandasi dengan kondisi di internal mereka sendiri dan persoalan "kaca mata yang melihat keluar": apa yang diharapkan baik di dunia internasional, itulah yang dikejar oleh Kemenhut dan bukannya melihat dulu kondisi riil di internal dan Indonesia sendiri.

Saya justru agak kawatir dengan praktek-praktek "pelaku industri karbon" ini dalam mendapatkan dananya dan sekaligus pembelinya.

PT RRC, lewat InfiniteEarth sendiri menyatakan bahwa penyandang dana dan pembeli karbon sudah ada yakni dari Gazprom dan Shell. Keduanya perusahaan energi yang hendak mencari cara termurah untuk meng-offset emisi mereka. Ini trend yang terus menanjak dan seharusnya juga menjadi perhatian pemerintah atau pemerhati lainnya. Ini merupakan praktek yang justru tidak akan memberikan dampak positif bagi usaha penurunan emisi global, kecuali Shell dan Gazprom memulainya dari darinya sendiri.. Karena, perusahaan-perusahaan emitter besar ini memperlakukan isu perubahan iklim seperti bisnis biasa: ada yang ditransaksikan, ada harga dan negosiasi. Sementara isu penurunan emisinya sendiri dijauhi dan membiarkan pihak lain (yang ironisnya butuh uang mereka) melakukannya buat mereka.

Konsekuensi lain menunggu. Lahan yang ditransaksikan sangatlah luas, ribuan dan ratusan ribu hektar dan kemudian lahan ini diurus oleh sebuah lembaga usaha yang melihat trendnya lebih sebagai "calo". Di lahan tersebut hidup ribuan orang yang bergantung pada kemurahan hutan dan sedang tersingkir karena ada ketimpangan penguasaan lahan. Jika selama ini mereka menghadapi negara yang lebih jelas struktur pengurusan dan penguasaan atas lahannya (ada akses yang ditutup, namun di sisi lain ada yang dibuka). Lalu apakah bisa berharap lebh baik dari para "calo" atau pelaku usaha tersebut?

Saya kembali melihat keterangan proyeknya PT RRC, yang mengklaim bahwa mereka membeli ("purchased") lahan tersebut (saya berharap ini kesalahan editorial yang tidak memahami arti "membeli" lahan ratusan ribu hektar). Uangnya berasal dari Gazprom, perusahaan emiter. Dalam hukum, lahan itu berarti dibeli dan biasanya pembeli mendapatkan keistimewaan dari penjualnya termasuk kepemilikan atas lahan tersebut. Jika negara hanya "menguasai" (walaupun kebanyakan diimplementasikan sebagai memiliki, namun secara teoritik negara hanya menguasai) kawasan hutan tersebut, maka sekarang lahan tersebut sudah dimiliki oleh sektor swasta. Konsekuensi besar. Pembelian ini penting karena "calo" itu harus memastikan bahwa selama masa kontrak (yang berumur puluhan tahun), tidak ada aktfitas yang menyebabkan "kebocoran" yang akan merugikan mereka.

Lalu, boom, anda boleh buka soal "kedaulatan negara" atau soal "land grabbing" untuk memetakan dan mendekatkan persoalan itu dengan fenomena yang sedang berlangsung. Silakan.



2 komentar:

  1. terus terang sy jg ragu dgn 'keberlanjutan' proyek "jual beli" carbon tsb.. ironisnya,, knp Kemnehut bgtu dg mudahnya menelan (maaf hrs sy pkai kata ini). pdhal.. bgitu bnyak persoalan lahan (konflik tenurial) yg bisa mjd bom waktu.. krn kebijakan2 warisan sentralistik (perijinan2 jaman ORBA) yang 'msh hidup' smp sekarang dan seringkali mendapat protes dr msyarakat di lapangan.. melihat kenyataan ini, sy hnya bs berujar.. ternyata.. konsep tata kelola hutan Indonesia msh compang camping dan tambal sulam. :(

    BalasHapus
  2. Saya lihat ini adalah masalah konsistensi pemerintah (departemen kehutanan) dalam hal tata ruang yang lemah. Satu lagi, satahu saya perusahaan itu memohon ijin RE, bukan membeli.

    BalasHapus