19 Februari 2008

Mencari Dasar Hukum Pelaksanaan DMO [Domestic Market Obligation] Batubara di Indonesia

Oleh: Mumu Muhajir

A. Latar Belakang

Perbincangan mengenai perlunya DMO [Domestic Market Obligation] batubara semakin mengemuka ketika ada beberapa pembangkit listrik berbahan bakar batubara, terutama di Jawa, yang berhenti beroperasi akibat kekurangan pasokan batubara. Walaupun masalah sebenarnya adalah pasokan terhambat akibat cuaca buruk, tetapi tetap memunculkan pertanyaan tentang keamanan pasokan yang ajek pada PLTU di dalam negeri. Begitu juga kekawatiran dari industri di dalam negeri akan tidak diistimewakannya industri dalam negeri ditengah tingginya harga batubara di pasar internasional.

Di luar peristiwa temporer di atas, ada alasan lain yang cukup penting untuk dipertimbangkan harusnya ada DMO batubara. Menurut perkiraan pemerintah, Indonesia akan menghadapi krisis listrik pada tahun 2012 jika Indonesia tidak menambah pasokan listriknya. Permintaan akan listrik yang makin tinggi di empat tahun mendatang diperkirakan tidak akan tercukupi dengan pasokan listrik yang ada. Untuk itulah pemerintah sedang menjalankan proyek pembangkit listrik sebesar 10.000 MW yang berbahan bakar batubara di seluruh Indonesia. Tentu saja, proyek yang diperkirakan akan selesai pada tahun 2009-2010 itu, membutuhkan kepastian pasokan batubara yang kontinyu dari pertambangan batubara di Indonesia. Jika tidak, barangkali proyek itu tidak akan berhasil atau malah akan memaksa kita untuk mengimpor batubara dengan harga yang tinggi dari pasar internasional.

Alasan terakhir saja cukup valid bagi hadirnya aturan mengenai DMO batubara. Tetapi industri pertambangan batubara masih terkesan keberatan adanya aturan DMO itu. Mereka beralasan bahwa kebutuhan batubara dari dalam negeri belum jelas sehingga sulit untuk menentukan berapa persentase DMO batubara. Pada saat yang sama, penjualan batubara ke luar negeri demikian menggiurkan di tengah naiknya harga batu bara, sementara jika dijual di dalam negeri harganya lebih rendah. Industri pertambangan batubara melihat ini sebagai masalah ekonomi semata: ada komoditas berupa batubara yang sedang naik harganya di pasar internasional yang dikomparasikan dengan kebtuhan dalam negeri yang belum jelas yang harus dipenuhi dengan harga yang lebih rendah. Beberapa kalangan industri pertambangan dalam negeri bahkan menggantungkan keberatannya pada adanya kontrak jangka panjang dengan pembeli di luar negeri.

B. Analisis hukum DMO batubara.

Tetapi bagaimana sebenarnya peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia mengatur mengenai hal ini? Apakah batubara hanya diperlakukan sebagai komoditas yang harganya ditentukan permintaan dan penawaran ataukah karena posisinya sebagai komoditas yang tidak terbarukan, batubara tidak lagi harus dilihat sebagai komoditas belaka? Pertanyaan-pertanyaan ini penting untuk menggarisbawahi analisis hukum terhadap harus atau tidaknya DMO di Indonesia.

Analisis akan menelusuri beberapa peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia yang setidaknya akan bersinggungan dengan hal ini. Sejauh ini ada dua kategori peraturan perundang-undangan yang bisa membuka jalan ke arah sana, yakni aturan-aturan dalam bidang pertambangan umum dan investasi.

Kategori Peraturan Pertambangan. Analisis akan memulai penelusurannya pada UU No 11 tahun 1967 tentang ketentuan-ketentuan pokok pertambangan [selanjutnya disebut sebagai UU Pertambangan] untuk melihat posisi batubara. Menurut Pasal 3 ayat 1 UU Pertambangan, bahan-bahan galian terbagi dalam tiga golongan: strategis, vital dan bahan galian tidak strategis dan tidak vital. Strategis berarti strategis untuk pertahanan/keamanan serta perekonomian negara, sedangkan vital berarti dapat menjamin hajat hidup orang banyak. Pembagian bahan-bahan galian diatur selanjutnya dengan PP karena pertimbangan teknis dan ekonomi.

Menurut PP No 27 tahun 1980 tentang pembagian bahan-bahan galian ditentukan bahwa batubara termasuk bahan galian strategis bersama-sama, salah satunya, minyak dan gas bumi. Dengan demikian batubara strategis baik bagi kepentingan keamanan dan pertahanan dan juga perekonomian negara.

Karena masuk dalam bahan galian strategis maka batubara, dalam masalah pelaksanaan pengusaan negara dan pengaturan usaha pertambangannya, diatur oleh menteri. Dalam usaha pertambangannya, hanya ada dua institusi yang berhak melaksanakannya, yang berarti pemegang kuasa pertambangan, yakni instansi pemerintah yang ditunjuk oleh menteri dan perusahaan negara. Dengan kata lain hanya negara yang boleh mengusahakan bahan galian strategis. Walaupun demikian, dengan pendapat menteri, pengusahaannya bahan galian strategis bisa pula disahakan oleh pihak swasta, dengan alasan pengusahaan oleh pihak swasta lebih menguntungkan daripada diusahakan sendiri oleh negara [Pasal 7 UU Pertambangan] atau oleh rakyat [Pasal 8 UU Pertambangan].Sayangnya adalah UU ini tidak menjelaskan dalam bentuk apa pendapat menteri itu diwujudkan.

Khusus dengan pihak swasta, dilakukan dengan sistem kontrak karya dimana pemerintah menjalin kerjasama dengan pihak swasta untuk melaksanakan pekerjaan yang belum atau tidak bisa dilakukan oleh institusi negara atau perusahaan negara selaku pemegang kuasa pertambangan. Jika menyangkut bahan galian strategis maka kontrak itu harus dikonsultasikan terlebih dahulu dengan DPR. Syarat-syarat dalam kontrak harus mengikuti petunjuk menteri, hanya saja UU ini menentukan bahwa kontrak harus diusahakan sejauh mungkin menguntungkan negara dan masyarakat.

UU Pertambangan ini tidak secara tertulis mengatur mengenai persoalan DMO. Syarat tentang DMO nampaknya hanya bisa didasarkan pada syarat dalam kontrak atau pemberian wewenang pada pihak swasta dalam kalimat yang terlalu luas, misalnya ”menguntungkan negara”, yang interprestasi terhadapnya pun menjadi terlalu luas sehingga tidak pasti.

Dari 7 PP yang lahir dari UU Pertambangan ini, tidak ditemukan syarat bagi pelaku usaha pertambangan bahan galian strategis untuk melaksanakan DMO. Bahkan tidak ada PP yang mengatur bagaimana dan apa kriteria kontrak yang menguntungkan negara dan masyarakat itu. PP yang lahir mengatur masalah antara lain, mekanisme KP, susunan Dewan Pertambangan, atau penggolongan bahan galian yang kesemuanya luput mengatur mengenai perlunya memperhatikan kepentingan keamanan pasokan bahan galian batubara bagi kebutuhan dalam negeri. Bisa dikatakan, bahwa yang dipentingkan dalam peraturan pelaksanaan UU Pertambangan itu lebih pada upaya membuka seluas mungkin akses eksploitasi batubara dan belum pada tahap mengatur/mengurus.

Terkesan juga, walaupun batubara sestrategis migas, namun perlakuannya masih berbeda. Batubara masih dilihat oleh pemerintah atau pengambil kebijakan hanya semata komoditas yang bisa diperjualbelikan dan lain tidak. Tidak diperhatikan kontribusi lain selain pemasukan uang ke kas negara.

Di tepi lain, sejak dulu, perusahaan minyak telah dikenai kewajiban untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, walaupun jumlah pasti kebutuhan minyak dalam negeri belum diketahui [lihat UU No 15 Tahun 1962 – sudah tidak berlaku, UU Migas]. Keharusan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri bagi sektor migas ini juga ditegaskan dalam Pasal 17 Ayat 1 PP No 35 Tahun 1994 tentang syarat-syarat dan pedoman kerja sama kontrak bagi hasil minyak dan gas Bumi. Begitu pula dalam Permen ESDM no 3 tahun 2008 yang merupakan pelaksanaan kewajiban DMO bagi kontraktor KKS.

Kategori Peraturan Investasi. Lalu apakah peraturan DMO juga diatur dalam aturan investasi di Indonesia? Mari kita lihat UU No 1 Tahun 1967 jo to UU no 11 tahun 1970 tentang Penanaman Modal Asing [UU PMA] dan UU No 6 Tahun 1968 jo to UU No. 12 Tahun 1970 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri [UU PMDN]. Kedua UU ini sebenarnya sudah dicabut dengan UU No 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal [UU PM], tetapi atas nama sejarah isi kedua UU itu tidak ada salahnya diketahui.

Penulis tidak menemukan keharusan bagi investasi asing untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, begitu juga dalam aturan PMDN. Bahkan tidak ada kalimat normatif yang bisa ditafsirkan sebagai wujud pengaturan negara atas modal-modal untuk memberikan keistimewaan pada kebutuhan dalam negeri. Dalam bagian menimbang UU PMA ada kalimat ”...benar-benar diabdikan kepada kepentingan ekonomi Rakyat...”, namun tidak jelas apa itu kepentingan Ekonomi Rakyat. Kewajiban Perusahaan PMA masih menyangkut soal kewajiban memakai tenaga dalam negeri, memberikan pelatihan kepada mereka, kewajiban divestasi dan keharusan menjalankan perusahaan sesuai dengan azas-azas ekonomi perusahaan dengan tidak merugikan negara. Kewajiban perusahaan PMDN lebih sedikit lagi, selain keharusan memakai tenaga kerja dalam negeri, kewajiban lainnya adalah keharusan melaporkan perubahan komposisi kepemilikan perusahaan dan mendaftarkan diri sesuai dengan aturan perusahaan di Indonesia.

UU PM juga sama sekali tidak menyinggung mengenai kewajiban penanam modal untuk memenuhi kebutuhan nasional. Kewajiban pemodal akan pemakaian dan pelatihan bagi tenaga lokal masih dicantumkan. Dari lima kewajiban lain yang dikenakan pada pemodal menurut Pasal 15 UUPM, hanya kewajiban mematuhi semua peraturan perundang-undangan yang bisa dikaitkan dengan kewajiban DMO – itupun jika ada peraturan perundang-undangan terutama dalam bidang mineral dan atau batubara yang mengatur DMO. Secara khusus, UU PM ini mengatur kewajiban pemodal yang mengusahakan SDA yang tidak terbarukan agar menyisihkan dana bagi kewajiban reklamasi yang sesuai dengan standar lingkungan hidup. Tak kurang dari 37 kali UUPM ini menyebut kata ”dalam negeri”, dan tak ada satu pun yang didahului dengan ”kepentingan dalam negeri”. Kata ”kepentingan nasional” hadir di tiga kesempatan: pada pasal 4 Ayat 2a yang bicara soal perlakuan sama antara modal dalam negeri dan luar negeri, pasal 12 Ayat 3 tentang bidang usaha yang tertutup bagi penanaman modal asing dan dalam negeri serta di paragrap akhir penjelasan tentang alasan harus dicabutnya UU PMA dan UU PMDN.

Bagaimana dengan UU Perseroan Terbatas [UU No 40/2007] yang baru yang juga tidak menyebutkan adanya kewajiban PT untuk memperhatikan kebutuhan nasional. Mungkin saja hal ini timbul karena asumsinya kewajiban itu sudah melekat dengan sendirinya pada PT semisal dengan kewajiban untuk melaksanakan tata kelola perusahaan yang baik atau perilaku beritikad baik. Memang kemudian disebutkan bahwa PT tidak hanya harus mematuhi UU PT dan anggaran dasar perseroan, tetapi juga harus mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. Sebagaimana juga sudah disinggung di atas: itu juga jika ada peraturan perundangan yang mengatur mengenai DMO. Masalahnya adalah dalam penjelasan UU PT itu disebutkan bahwa orientasi ekspor tetap menjadi tujuan penting lahirnya UU PT ini. Dengan kebijakan ekonomi seperti itu wajar kiranya jika kebutuhan dalam negeri menjadi prioritas nomor sekian.

Kontrak PKP2B dan KP. Kontrak dalam pengusahaan batubara atau PKP2B mempunyai kedudukan istimewa. Sebagai salah satu contoh dari kategori perjanjian pemerintah atau Government Contract, PKP2B ini harus terlebih dahulu mendapatkan persetujuan DPR sebelum ditandatangani oleh pemerintah dan pengusaha batubara. Pengusaha PKP2B juga mempunyai kedudukan strategis bagi terlaksana atau tidaknya aturan tentang DMO mengingat hampir 80% prooduksi batubara Indonesia berasal dari mereka. Ternyata, satu bab tersendiri yang mengatur DMO tidak diatur dalam PKP2B, tetapi dalam Pasal 12 tentang pemasaran di paragraf pertama disebutkan bahwa walaupun pemerintah memberikan hak kepada Kontraktor untuk mengekspor batubara tetapi dalam pelaksanaannya harus mempertimbangkan dengan baik permintaan dari dalam negeri. Sementara paragraf keduanya berisi larangan ekspor. Aturan DMO dengan demikian bisa dikaitkan di bagian ini.

Aturan DMO juga bisa dikaitkan dengan pasal mengenai Promosi Kepentingan Nasional, terutama di paragraf keduanya. Tetapi sekali lagi aturan DMO tidak tersurat di bagian ini. Bahkan sebenarnya pasal ini mengatur mengenai divestasi modal yang harus mengistimewakan pemodal dalam negeri dan juga dalam hal pemakaian barang dan jasa dalam negeri.

Tetapi bagaimana dengan pengusahaan batubara lewat KP? Ini yang jadi masalah, karena walaupun kontribusi produksi batubara dari KP ini belum jelas – karena datanya tersebar dan berbeda-beda, tetapi ia adalah sama kedudukannya dengan pemilik PKP2B: mengusahakan bahan galian strategis yang penting bagi kepentingan keamanan/pertahanan dan perekonomian negara. KP ternyata tidak mengatur mengenai pengutamaan kepentingan nasional karena mungkin pemilik KP rata-rata adalah pengusaha/koperasi nasional.

Aturan mengenai DMO bagi KP dan PKP2B ini akhirnya harus diatur dalam peraturan perundang-undangan. Di sini terlihat bahwa cantolan pada UU Pertambangan terlalu jauh, karena walaupun UU itu secara jelas menyebutkan kepentingan nasional dalam pengusahaan bahan-bahan galian strategis, tetapi tidak terderivikasikan dengan jelas dan tepat di peraturan pelaksanaannya. Sebuah peraturan perundang-undangan yang secara independen mengatur mengenai DMO bagi KP dan juga PKP2B menjadi hal yang krusial.

C. Batubara sebagai bahan energi

Selama ini batubara masih dimasukkan sebagai bahan mineral, tetapi akhir-akhir ini batubara memegang peranan penting dalam memasok kebutuhan energi dunia. Peranannya mulai meningkat terus sejak pertengahan tahun 1980-an ketika harga minyak sulit diprediksi kepastian harganya. Batubara seharusnya dipandang juga sebagai bahan energi. Dengan demikian peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai energi bisa dikenakan pada batu bara.

Sebagaimana sudah disebutkan di atas, DMO terhadap minyak sudah sejak dulu dilakukan oleh Indonesia. Dengan penafsiran asosiatif, mengingat misalnya kedudukan batubara sebagai bahan galian strategis sebagaimana halnya minyak, aturan mengenai DMO bisa diterapkan pada batu bara, tetapi, entu saja dengan berbagai perubahan dan penyesuaian.

Cara lainnya adalah dengan melihat pada UU No 30 Tahun 2007 tentang Energi [UU Energi]. Dalam UU energi, tidak ada pasal yang secara khusus mengatur mengenai DMO ini. Aturan mengenai DMO bisa dikaitkan dengan salah satu tujuan dari pengelolaan energi, yakni terjaminnya ketersediaan energi dalam negeri, baik dari sumber di dalam negeri maupun dari luar negeri [Pasal 3 huruf b]. Ketersediaan itu dipergunakan untuk pemenuhan kebutuhan energi dalam negeri, pemenuhan kebutuhan bahan baku industri dalam negeri dan peningkatan devisa negara.

Pemerintah harus mempunyai kemauan yang kuat dalam melaksanakan tujuan pengelolaan energi itu. Hal itu disebabkan karena struktur pemasok energi tidak berada seratus persen dikontrol negara atau bahwa kemandirian bangsa dalam energi masih merupakan tanda tanya besar. Dalam hal pemasok dari batu bara, sebagaian besar dilakukan oleh perusahaan pemilik PKP2B yang mayoritas pula dikuasai asing. Dalam hal minyak, kita telah sama-sama tahu kondisinya.

Kekhwatiran penulis terletak pada pasal 24 UU Energi yang mengatur mengenai kewajiban badan usaha yang melakukan kegiatan usaha energi, yang tidak memasukkan aturan tentang pemenuhan kebutuhan energi nasional. Walaupun redaksi bahasa pasal 24 itu masih memungkin kewajiban lain bisa diatur kemudian dalam bentuk PP. Tapi ini tambahan pekerjaan: mengawasi pembuatan PP agar memasukkan kewajiban badan usaha energi dalam memenuhi kebutuhan energi dalam negeri.

Walaupun menurut UU Energi, Kebijakan Energi Nasional [KEN] harus diatur dalam bentuk UU, tetapi jauh sebelum UU Energi dibuat telah ada Perpres No 5 tahun 2006 yang mengatur mengenai KEN. Karena Dewan Energi Nasional yang harus menyusun KEN baru belum dibentuk, maka perpres itu masih tetap bisa dijadikan acuan dalam kebijakan energi Indonesia. Pertimbangan dalam KEN itu adalah untuk menjamin keamanan pasokan energi dalam negeri serta mendukung pembangunan berkelanjutan. Tampak bahwa kebijakan DMO sudah bisa diterjemahkan ke dalam pertimbangan pertama itu.

Untuk mencapai tujuan adanya jaminan keamanan energi dalam negeri, ada beberapa hal yang dilakukan di antaranya dengan melakukan diversifikasi energi untuk menghindarkan ketergantungan pada salah satu sumber energi seperti migas. Maka ditetapkanlah proporsi energi mix nasional yang harus tercapai pada tahun 2025. Batubara sendiri diwajibkan harus memenuhi 33% dalam energi mix itu. Tujuan itu jelas tidak akan mungkin tercapai jika batubara terus menerus diekspor, maka pembatasan dalam bentuk kewajiban DMO harus sesegera mungkin dilakukan.

Keharusan memenuhi energy mix di tahun 2025 bagi batubara di atas, sebenarnya sudah menjadi senjata yang ampuh buat pemerintah untuk melaksanakan kebijakan DMO batubaranya. Misalnya dengan membuat peraturan pelaksanaan dari perpres tadi dalam bentuk permen. Memang hambatan dimungkin datang dari para pemegang PKP2B yang merasa kontrak mereka, karena harus disetujui oleh DPR, kuat sebagaimana undang-undang. Karena itu pengaturan tersendiri tentang DMO dan dalam hirakhi peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi mau tidak mau harus dibuat.

D. Kesimpulan

Masalah di Indonesia ini adalah sudah sering kali kebijakan dibuka ke masyarakat dan seperti hendak dilaksanakan, seperti DMO batubara ini. Bahkan sudah ada hitungannya berapa persentase DMO itu: yakni 30%. Tetapi tidak jelas berdasarkan apakah perhitungan DMO batu bara itu?Pro-rata basis-kah? Atau bagaimana?

Selain itu, ada banyak kebijakan yang bagus yang tetap menjadi wacana karena tidak di-kaki-kan dalam bentuk ”hukum” atau sederhananya, dalam bentuk peraturan perundang-undangan. DMO batu bara ini juga tidak ada kejelasan akan diatur dalam bentuk apa.

Dalam hitungan penulis, pemerintah bisa mewujudkan kebijakannya itu dalam bentuk PP yang mengacu pada UU Pertambangan atau jika nanti diganti, UU Minerba. PP, menurut UU 10 Tahun 2004, memang harus dibuat jika ada perintah dari UU dan lain tidak.

Pemerintah juga bisa mempertimbangkan perwujudannya dalam bentuk Perpres, yang menurut UU 10 tahun 2004 memang lebih fleksible, menjalankan UU dan PP. Tetapi Perpres/Kepres juga bisa mengatur hal yang belum diatur dalam UU atau PP, yang pembuatannya mengikuti kewenangan diskresi Presiden berupa beleidregel yang tujuannya adalah agar bisa melaksakan roda pemerintahan. Dengan ini maka kebijakan DMO tidak lagi menggantung di awan, tetapi mudah-mudahan terlaksana karena, setidaknya, setiap orang bisa menunjuk hidung jika ada keengganan atau penyelewangan.



2 komentar:

  1. Terima kasih sekali untuk penjelasannya. Sebagai orng yang awam dalam batubara, apasih bedanya antara KP dan PKP2B. Karena saya belum melihat secara jelas bedanya. Atas penjelasannya, sya ucapkan terima kasih. Mohon penjelasannya dapat juga dikirimkan ke riarahmanck@gmail.com

    BalasHapus