Keberhasilan Brazil mengurangi ketergantungan pada energi fosil dengan mengandalkan biofuel bukannya tidak menghadapi kendala. Akhir-akhir ini "kendala" itu selalu dihubungkan dengan penggunaan lahan, baik langsung maupun tidak langsung yang sedikit banyak berpengaruh pada deforestasi di Hutan Amazon. Deforestasi Hutan Amazon telah memberikan Brazil posisi tinggi sebagai salah satu negara non-annex-nya UNFCCC yang memberikan kontribusi besar pada emisi karbon, bersisian dengan negara yang selalu tidak beruntung, Indonesia.
Kali ini sebuah tulisan dari David M. Lapola dkk dari Jerman membuat simulasi untuk memperhitungkan sejauh mana rencana perluasan lahan buat biofuel yang dicanangkan oleh pemerintah Brazil berpengaruh pada peningkatan emisi karbon. Hasilnya adalah, jika dilihat dari penggunaan lahan secara langsung, tidak akan berpengaruh banyak pada peningkatan emisi karbon. Hal itu terjadi karena kebanyakan perluasan lahan itu kemungkinan akan dilakukan di lahan bekas penggembalaan ternak.
Namun jika dilihat dari dampak tidak langsung penggunaan lahan untuk perluasan lahan biofuel itu maka hasilnya akan berbeda. Secara tidak langsung, peningkatan kapasitas produksi itu akan memaksa perluasan lahan untuk penggembalaan ke dalam wilayah hutan Amazon. Dengan demikian, jika diperhitungkan pengurangan emisi, antara pengurangan emisi akibat tidak dipakainya fosil fuel dengan dampak pemakaian lahan itu maka Brazil tetap akan memiliki "hutang karbon" yang harus "dibayar" dalam jumlah tahun yang tidak sedikit [40 tahun bagi perluasan lahan tebu dan 211 tahun bagi lahan keledai].
Para penulis ini menyarankan, untuk kebutuhan biofuel sepuluh tahun kemudian, hendaknya Brazil memilih untuk menanam kelapa sawit [atau tebu] daripada memperluas lahan bagi keledai. Pemilihan ini didasarkan pada produksi biofuel yang dihasilkan oleh kelapa sawit jauh lebih besar dibandingkan dengan keledai atau tebu. Di sini terlihat perbedaan konteks antara pengaruh penanaman kelapa sawit di Asia Tenggara dengan di Brazil. Di Asia Tenggara, perluasan perkebunan sawi telah menjadi faktor penting terjaadinya deforestasi, sedangkan - jika itu dilakukan - di Brazil, ia memang akan memakan lahan hutan, namun tidak siginifikan ["Because of its high oil yield, oil palm would need only 4,200 sq km to fulfill the 2020 demand for biodiesel in Brazil. In comparison, 108,100 sq km would be needed for soybea"] dan jika dilihat dari karbon yang dikeluarkan, justru Brazil tidak akan memiliki "hutang karbon" yang banyak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar