27 Maret 2009

Permenhut P.14/Menhut-II/2009: Dephut Tidak Pede Mengelola hutan?

Awal Maret 2009 ini, Departemen Kehutanan menerbitkan Permenhut P.14/menhut-II/2009 [selanjutnya Permenhut P.14/2009] yang berisi perubahan satu pasal pada Permenhut P.62/Menhut-II/2008 yang mengatur pengesahan RKU/RKT HTI dan HTR, tepatnya Pasal 16. Kewenangan pengesahan RKT-HTI itu selama ini berada di tangan Kepala Dinas Kehutanan Provinsi. Namun Permenhut P.14/2009 menyatakan khusus kewenangan pengesahan RKT-HTI juga dilakukan oleh Dephut c.q. Dirjen BPK c.q. DPHT, yakni terhadap usulan RKT-HTI yang tidak disahkan oleh Kepala Dinas Propinsi. Permenhut P. 14/2009 sepertinya lahir bukan untuk melakukan penarikan [kembali] atau pencabutan kewenangan, tetapi lebih pada pemecahan [monopoli] kewenangan pemberian ijin RKT yang tidak lagi berada di tangan kadishut provinsi.

Sekilas Permenhut P.14/Menhut-II/2009

Bukan masalah berubah-rubahnya kebijakan tentang aturan operasional HTI yang sejak tahun 2007 tiap tahun berubah, yang menarik perhatian saya dengan lahirnya Permenhut P.14/2009 ini. Bukan pula, penarikan kewenangan RKT-HTI itu mengindikasikan adanya proses re-sentralisasi kebijakan kehutanan; karena re-sentralisasi kebijakan kehutanan sudah terjadi sudah lama, bahkan ketika PP 34/2002 diterbitkan. Namun, entah alasan transparansi atau entah apa, bagian pertimbangan Permenhut P.14/2009 menyita perhatian saya:

Pertama, penegasan bahwa perubahan atau tepatnya pemecahan pengesahan RKT-HTI didasarkan pada adanya krisis finansial global yang meminta pemerintah melakukan langkah-langkah konkrit dalam mendukung pembangunan HTI. Apa hubungan antara krisis finansial global dengan dukungan pembangunan HTI?

Kedua, hubungan itu ternyata terdapat dalam kondisi di mana ternyata pembangunan HTI itu mengalami stagnasi dalam pelayanan pengesahan RKT-HTI. Permenhut P.14/2009 menyebut kondisi stagnasi itu terutama terjadi di Provinsi Riau. Karena seperti yang kita ketahui bersama, tidak adanya pengesahan RKT-HTI membuat pengusaha kayu HTI tidak bisa beroperasi. Stagnasi itu merugikan - dalam pandangan dephut c.q. pemerintah Indonesia - karena menghambat pembangunan HTI yang sudah masuk dalam program nasional dan pembangunan ekonomi. Tidak dilaksanakannya atau terhambatnya program nasional pembangunan HTI dipandang dapat mende-legitimasi pemerintah; sementara kontribusi pada negara juga menurun jika program HTI itu terhambat apalagi dalam menghadapi tantangan global berupa krisis finansial global.

Ketiga, Stagnasi pelayanan pengesahan RKT-HTI disebut secara khusus terjadi di Provinsi Riau. Mengapa Riau? Menhut beberapa kali menyatakan bahwa operasi pemberantasan Illegal Logging di provinsi Riau, terutama yang dilakukan oleh Polisi di tahun 2007, sudah "keluar dari jalur" dan menghambat kinerja perusahaan kehutanan. Dan sekarang, masalahnya bukan itu lagi, tetapi stagnasi tetap saja terjadi karena, menurut Dephut, tidak bekerjanya Dinas Kehutanan Provinsi Riau dalam mengesahkan RKT-HTI. Benarkah demikian? Berdasarkan pernyataan dari Kadishut Provinsi Riau [sekarang] yang tidak akan mengesahkan RKT-HTI yang berasal dari hutan alam dan tetap akan mengesahkan RKT di luar itu. Beliau juga menyatakan bahwa dari sejak menjabat sampai sekarang [maret 2009] belum akan mengesahkan RKT-HTI dari hutan alam. Lalu kenapa Departemen Kehutanan mempermasalahkan stagnasi pelayanan pengesahan RKT-HTI di Riau? Jika usulan RKT-HTI itu bukan berasal dari hutan alam [yang memang seharusnya begitu; karena kalau tidak, apa bedanya dengan IUPHHK-HA/HPH?], bukankah Kadishut provinsi Riau akan memberikan persetujuan [tentu setelah melewati penilaian berdasarkan persyaratan yang ditentukan]? Sehingga seharusnya tidak ada stagnasi itu.

Dari pernyataan Kadishut Propinsi Riau itu terlihat bahwa yang dimaksud dengan "stagnasi pelayanan pengesahan" itu justru terjadi bagi pengusaha HTI yang usulan RKT- HTInya berasal dari hutan alam yang ternyata posisinya dominan/mayorits di provinsi Riau. Sehingga terhambatnya RKT mereka membuat terhambat pula pembangunan HTI [HTI di Indonesia sangat jarang dilakukan di kawasan yang gundul tidak ada kayunya; kebanyakan kawasan HTI ini dulunya merupakan hutan alam], secara khusus, di Riau.

Selain itu bahwa yang dimaksud dengan "pengesahan RKT-HTI" dalam Permenhut P.14/2009 adalah, terutama, RKT-HTI yang berasal dari hutan alam terlihat dalam pertimbangan:.... bahwa kayu-kayu sebagai akibat kegiatan penyiapan lahan Hutan Tanaman bila tidak dimanfaatkan menjadi sumber/tempat hama dan penyakit tanaman dan negara kehilangan PNBP (PSDH, DR), serta bila dibakar akan bertentangan dengan Undang-Undang Lingkungan Hidup, dan kegiatan penanaman lambat untuk diselesaikan;....Tampak bahwa penyebutan provinsi Riau secara khusus ini merujuk pada tidak disahkannya RKT-HTI yang berasal dari hutan alam. Nampak jelas bahwa kepentingan siapa yang diuntungkan dengan lahirnya Permenhut ini.

keempat, langkah konkrit yang dilakukan oleh dephut dalam menghadapi hambatan dari Kadishut provinsi Riau itu adalah dengan membawa masalah itu ke Rapat Paripurna tingkat menteri di Kantor Menko-pol-huk-kam, yang rapat itu [bukan lagi Dephut] mengeluarkan statemen:"...agar perusahaan HTI dapat terus beroperasi guna menjamin kelangsungan pasokan bahan baku industri di dasarkan pada RKT yang telah disahkan oleh Departemen Kehutanan [belum ada, sebelum Permenhut ini lahir] atau Dinas Kehutanan Provinsi Riau...."

Kelima, Dephut sepertinya, sudah kehilangan akal menghadapi hambatan dari institusi kehutanan daerah itu: tidak ada lagi bujukan, tekanan pada Dishut prov Riau, yang ada adalah lemahkan legitimasinya dengan membagi kewenangan pengesahan RKT-HTI dengan Dephut. Dengan Permenhut ini, maka usulan RKT-HTI yang tidak disahkan oleh Kadishut Propinsi akan disahkan oleh Dirjen BPK.

Konsekuensi Lahirnya Permenhut P.14/Menhut-II/2009

Dalam catatan saya, kewenangan RKT-HTI sebelum kebijakan desentralisasi sudah ada di tangan pemerintah pusat c.q. Dephut [misalnya, kepmenhut 114/kpts-II/1992 jo. Kepmenhutbun 314/kpts-II/1999 dimana pengesahan berada di tangan Kakanwil Provinsi Dephut[-bun]]. Saya rasa ini wajar, karena dengan lahirnya UU 6/1967 tentang kehutanan, hutan memang sudah disentralisasikan. Tahun 2002 merupakan awal dimana kepala dinas propinsi diberikan kewenangan melakukan pengesahan RKT. Kewenangannya itu dilandasi oleh Kepmenhut No. 6652/KPTS-II/2002, dengan alasan demi debirokratisasi dan deregulasi perizinan dalam bidang kehutanan. Kepmenhut tersebut kemudian diperkuat dengan Kepmenhut 151/kpts-II/2003.

Jika merujuk pada Pasal 47 PP No 34/2002 yang menegaskan bahwa Menhutlah yang berwenang mengesahkan RKT dan tidak ada penunjukkan pejabat lain, maka penunjukan Kepala Dinas Propinsi sebagai pejabat yang ditugaskan untuk memeriksa dan menilai RKT merupakan bentuk tugas perbantuan dan bukan desentralisasi. Karena kewenangan sebenarnya tetap ada di tangan Menteri Kehutanan.

PP No. 6/2007 lahir sepertinya untuk mempertegas adanya kebijakan desentralisasi, debirokratiasi dan deregulasi perijinan di Kehutanan dengan menyatakan bahwa pengesahan RKT-HTI dilakukan oleh Kepala KPH atau pejabat yang ditunjuk oleh Menteri. Kepala KPH adalah pimpinan, pemegang kewenangan dan penanggung jawab pengelolaan hutan dalam wilayah yang dikelolanya. Kepala KPH tidak sama sekali sama dengan Kepala dinas kehutanan, karena KPH, menurut Pasal 6 PP 6/2007, bisa dibentuk dalam satu atau lebih fungsi pokok hutan dan satu atau lintas wilayah administratif pemerintahan.

Namun, dalam peraturan pelaksana dari PP 6/2007 tersebut saya melihat banyak ketidakkonsistenan dan kacau balau istilah. Perhatikan dalam bagian menimbang Permenhut P.9/menhut-II/2007 yang menyatakan bahwa, berdasarkan Pasal 71 dan Pasal 75 PP 6/2007, yang berwenang menyetujui RKU dan RKT adalah Menteri [Kehutanan] atau pejabat yang ditunjuk. Tidak ada sama sekali penyebutan Kepala KPH. RKU memang disetujui oleh Menteri, tetapi RKT tidak, ia disahkan oleh Kepala KPH atau pejabat yang ditunjuk oleh menteri. Begitu juga yang tampak dalam Permenhut P.62/menhut-II/2008. Tapi kemudian seolah muncul tiba-tiba, dalam batang tubuh dua permenhut itu disebutkan bahwa pejabat pengesah RKT adalah Kepala Dinas Propinsi. Dengan kata lain, yang dimaksud dengan pejabat yang ditunjuk oleh menteri itu adalah kepala dinas propinsi sebagaimana disebut dalam Kepmenhut No 6652/kpts-II/2002.

Barulah dalam Permenhut P.14/2009, dalam bagian menimbangnya tidak menyimpang dari apa yang disebutkan dalam Pasal 75 PP 6/2007. Ia menyebut kepala KPH atau pejabat yang ditunjuk oleh Menteri. Nah masalahnya adalah Permenhut ini lahir untuk memberikan kewenangan pada Dirjen BPK c.q. DPHT untuk mengesahkan usulan RKT-HTI yang tidak disahkan oleh Kepala Dinas Propinsi. Permenhut P.14/2009 sendiri hanya merubah satu pasal, yakni, Pasal 16 Permenhut P. 62/Menhut-II/2008.

Beberapa konsekuensi yang timbul akibat lahirnya Permenhut P.14/2009, antara lain:

Pertama, dalam ayat pertama tambahan atau ayat 4 Pasal 16, kewenangan Dirjen BPK c.q. DPHT, untuk mengesahkan RKT-HTI bersifat otomatis karena tidak adanya kata 'dapat' yang bersifat optional. Dengan demikian, begitu usulan RKT-HTI ditolak oleh kepala Dinas [Kehutanan] Provinsi, otomatis akan disahkan oleh Dirjen BPK c.q. DPHT. Mengapa? karena berbeda dengan kepala Dinas Propinsi yang melakukan penilaian dan pengesahan terhadap usulan RKT-HTI, Dirjen BPK c.q. DPHT hanya melakukan pengesahan berdasarkan pada kelengkapan administratif dan RKU yang telah disahkan oleh Menteri atau Usulan RKU yang diserahkan ke Dephut.

Kedua, cita-cita debirokratisasi dan deregulasi tidak berjalan sebagaimana mestinya. Bukannya memperpendek, kehadiran Permenhut P. 14/Menhut-II/2009 ini malah memperpanjang birokrasi dan bahkan memperumit mekanisme. Siapa yang harus mengajukan Usulan RKT yang tidak disahkan oleh Kepala Dinas Provinsi itu? Atau bagaimana mekanisme pengesahan [jika ada] di intenal DPHT? Bisakah pengusul RKT langsung memohonkan pengesahan RKT-HTI-nya ke DPHT? Tidak ada penjelasannya.

Ketiga, penghancuran legitimasi kepala dinas propinsi. Ia tidak lagi mempunyai legitimasi dalam hal pengesahan RKT-HTI, karena ia hanya akan mempunyai satu pilihan saja: mengesahkan RKT-HTI. Jika ia menolak, maka keputusannya itu akan sia-sia, karena akan dengan segera dianulir oleh Dirjen BPK c.q. DPHT.

Masalahnya adalah, jika dikomparasikan dengan informasi dari Dinas Kehutanan provinsi Riau, penolakan pengesahan RKT-HTI yang dilakukan oleh Kadishut Provinsi Riau [sebagai dasar lahirnya Permenhut P.14/2009 ini] hanya terhadap Usulan RKT-HTI di hutan alam, tidak pada semua usulan RKT-HTI. Bahkan Kadishut Provinsi yang sekarang menjabat memberikan jaminan pengesahan [tentu jika telah melewati prosedur penilaian] bagi usulan RKT-HTI di lahan non-hutan alam. Terlihat bahwa Dephut sepertinya ingin menyelesaikan masalah seperti membuang air di ember sekalian dengan bayinya. Demi untuk mengejar target pembangunan HTI serta kepentingan ekonomi, dephut - dengan Permenhut P.14/2009 ini - memberikan jaminan pengesahan RKT-HTI yang diusulkan oleh semua perusahaan HTI dengan tidak ada pengecualian, apakah RKT-HTI tersebut di hutan alam maupun di hutan non-alam.

Keempat, pemberian kewenangan pengesahan ijin ke tangan Dirjen BPK, ternyata, dalam kasus Riau, memberikan keuntungan tersendiri bagi pengusul RKT-HTI yang berada di huan alam; ia akan mendapatkan kepastian bahwa usulan RKT-HTI-nya pasti akan disahkan oleh Dephut. Misalkan saja, industri pulp/kertas yang sedang menghadapi krisis bahan baku serta sedang menghadapi deadline memakai bahan baku kayu yang berasal dari hutan alam. Keuntungan lainnya antara lain adalah usulan RKT-HTI di tahun 2008-2009 tidak perlu berdasarkan RKU yang sudah disahkan Menteri, sebagaimana diminta Pasal 11 Permenhut P.62/2008, tetapi berdasarkan Usulan RKU yang diserahkan ke dephut.

Lucunya adalah dukungan Departemen Kehutanan terhadap pengusaha HTI [dari hutan alam dan dari provinsi Riau] sepertinya tidak dilandasi kepercayaan 100% atau tanpa prasyarat sama sekali. Sebaliknya, setelah pengusaha HTI dapat pengesahan RKT dari Dephut, mereka diharuskan juga membuat dan menandatangani dokumen yang namanya "Pakta Integritas". Ada 4 hal pokok yang diatur dalam Pakta Integritas itu: [1] komitmen akan mempercepat pembangunan HTI di provinsi Riau; [2] komitmen akan berlaku proaktif dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi serta tidak akan berbuat tercela; [3] melindungi whistelblower atau saksi yang menyampaikan informasi jika Pakta Integritas ini dilanggar; [4] melibatkan lembaga independen yang memantau pelaksanaan Pakta Integritas ini.

Dephut nampaknya tidak ingin pemberian dukungan yang demikian besar dalam bentuk pengesahan RKT-HTI langsung oleh Dephut tidak [hanya] dipandang sebagai pemberian jalan mudah bagi pengusaha HTI; sebaliknya Dephut tetap ingin menjaga wibawa dan legitimasinya dengan menambah 'kewajiban' pada mereka dengan harus membuat Pakta Integritas.

Di luar isi Pakta Integritas yang sangat brilian [memasukkan kewajiban melindungi saksi dan ikut sertanya lembaga independen adalah salah satu tandanya], saya agak ragu posisi hukum Pakta Integritas ini, selain hanya surat pernyataan dan tidak berkonsekuensi hukum apapun. Keharusan membuat dan menandatangani Pakta Integritas ini malah takutnya menunjukkan ketidakpercayaan Dephut sendiri pada kebijakan dan sistem pengawasan yang dibuatnya sendiri.

Jika ia percaya bahwa dengan disahkan RKT-HTI pengusaha HTI oleh Dephut, pengusaha akan lebih patuh [dalam arti mempercepat pembangunan HTI-nya] karena sistem pelayanan dan pengawasan yang dibangunnya lebih baik daripada sistem pelayanan dan pengawasan yang dibangun oleh Dishut Provinsi, maka kenapa ia harus membuat Pakta integritas? Bukankan peraturan dan infrastruktur yang ada sebenarnya sudah cukup untuk memagari tingkah laku pengusaha HTI? Ataukah peraturan dan infrastruktur yang ada sebenarnya tidak cukup kuat untuk menjadi benteng dan pendorong kepatuhan pengusaha HTI sehingga harus ditambahi dengan Pakta Integritas?

Saya takutnya pertanyaan terakhir itu yang mendekati benar.

------------------

Unduh di sini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar