03 Februari 2009

Industri Pulp/Kertas [Masih] Boleh Gunakan Kayu dari Hutan Alam

Sudah jadi rahasia umum, konsistensi dan implementasi kebijakan adalah titik lemah dari sistem pemerintahan kita. Itulah kenapa bagi para pengusaha, Indonesia tetap dianggap punya daya kompetisi lemah karena, salah satunya, faktor ketidakpastian hukum itu. Departemen Kehutanan, saya kira, adalah Departemen Teknis yang kebijakannya sering kali berubah dalam masa yang sangat pendek [coba perhatikan perubahan kebijakan pemberian ijin IUPHHK - dari permohonan ke pelelangan lalu balik lagi ke pemohonan dalam masa kurang dari 1 dekade]. Salah satu contohnya adalah dalam soal penggunaan hutan alam bagi kepentingan industri pulp dan kertas.

Jika banyak perusahaan yang melihat ketidakpastian hukum sebagai kerugian, sepertinya industri pulp/kertas malah mendapatkan berkah dari ketidakpastian hukum itu. Tahun 2009 ini sebenarnya tahun terakhir bagi mereka untuk menggunakan bahan baku kayu yang berasal dari hutan alam. Setelah tahun ini, seharusnya mereka sudah bisa menggantungkan kebutuhan bahan baku kayunya dari areal Hutan Tanaman yang dimilikinya atau terafiliasi dengannya. Keharusan ini merupakan perintah pemerintah c.q. Dephut melalui SK No. 101/Menhut-II/2004 [versi Inggris] yang dikeluarkan pada 24 Maret 2004 semasa Menhut dijabat oleh Muhammad Prakosa. Tujuannya dari kebijakan percepatan pembangunan hutan tanaman bagi kepentingan industri pulp dan kertas itu adalah "...untuk memberikan ruang kepada pemegang HPHT [Hak Pengusahaan Hutan Tanaman - sekarang dinamakan IUPHHK-HT] yang pembuatan tanamannya ditujukan sebagai bahan baku industri pulp dan kertas, untuk menyelesaikan pembangunan hutan tanamannya pada areal yang telah ditetapkan secara lebih intensif dalam rangka memenuhi kebutuhan bahan baku industri pulp dan kertas secara lestari." Hal ini dilakukan karena adanya ketimpangan antara kapasitas produksi industri pulp/kertas dengan pasokan bahan baku dari hutan, yang malah menekan keberadaan hutan alam yang keadaannya juga tidak terlalu baik. Kebijakan ini lahir sebagai upaya untuk mengurangi tekanan terhadap hutan alam sekaligus juga memberikan kepastian kelanjutan usaha industri pulp/kertas.

Tetapi, awal Januari 2009 ini, Menhut memberikan sinyalemen bahwa deadline bagi industri pulp/kertas untuk membangun HT demi pasokan bahan bakunya itu kemungkinan diundur ke tahun 2014. Alasannya adalah dalam dua tahun terkahir ini..."muncul kasus dugaan pembalakan liar yang dituduhkan kepada sejumlah perusahaan HTI. Dampaknya, banyak perusahaan HTI yang khawatir dikenakan tuduhan yang sama dan membuat realisasi tanaman dan pembangunan HTI terganggu".

Alasan itu sungguh masuk akal namun di sisi lain juga seperti melempar kesalahan ke pihak lain. Apalagi pihak industri pulp/kertas sedang berada di atas angin dengan dikeluarkannya SP3 oleh Polda Riau atas dugaan pembalakan liar pada 13 perusahaan kayu di Riau yang terafiliasi dengan dua perusahaan raksasa pulp/kertas di sana.

Alasan itu tampak pula akan melemah dengan melihat fakta bahwa pada sekitar September 2006, Dephut sendiri sudah mengeluarkan ultimatum pada 6 perusahaan pulp/kertas agar secepatnya merealisasikan penanaman HTI yang ijinnya sudah mereka pegang sejak tahun 2003 [Bisnis indonesia, 20 September 2006]. Luas HTI yang diberikan pada tahun 2003 itu adalah 4,4 juta hektar dan diberikan pada 7 perusahaan. Hanya PT Tanjung Enim Lestari yang bisa merealisasikan 100% pembangunan HTI; sementara 6 perusahaan yang terkena ultimatum itu baru mencapai 42% dan masih mengambil kayu dari hutan alam untuk pasokan bahan bakunya. Ke-6 perusahaan yang kena ultimatum itu adalah PT Kertas Kraft Aceh, PT Toba Pulp Lestari, PT Riau Andalan Pulp & Papper, PT Indah Kiat, PT Lontar Papyrus, dan PT Kiani Kertas.

Dengan demikian, sebenarnya Dephut sendiri sudah mengetahui keengganan industri pulp/kertas untuk membangun HTI dan lebih senang menggunakan kayu dari hutan alam. ITTO bahkan menyebutkan bahwa pengunduran deadline itu terjadi karena adanya masalah defisit supply kayu dari HT yang disebabkan karena, salah satunya, banyak perusahaan pulp/kertas yang menunda awal proyek penanaman di hutan tanaman [alasan satunya lagi: pemanenan prematur]. Yang berarti alasan sebenarnya terjadi jauh sebelum rame-rame operasi pemberantasan pembalakan liar.

Untung saja ada falsafah karet sehingga kebijakan itu melentur dan membebaskan industri pulp/kertas dari tuduhan pembalak liar jika mengambil kayu dari hutan alam setelah tahun 2009.

Dan apakah tahun 2014 benar-benar menjadi awal tahun terkurangnya tekanan pada hutan alam? Ketika ultimatum tahun 2006 diberikan, para pengusaha pulp/kertas yakin tahun 2009 target 100% bisa terlampui. Namun sekarang hasilnya jauh dari janji itu.

Saya melihat bahwa ada masalah keberadaan industri kayu yang tidak menarik bagi bank untuk memberikan kredit sehingga menyulitkan industri kayu untuk membagi beban dengan pihak lain. Sementara bantuan pemerintah berupa Dana Reboisasi sudah tidak lagi mereka terima. Harapan mereka adalah dana dari mekanisme REDD pasca tahun 2012 nanti yang bisa menggantikan "kerugian' mereka menanam [terlebih dulu] pohon [dibandingkan memotong langsung dari hutan alam] sebelum dimanfaatkan sebagai bahan baku. Dan jika dana dari REDD itu tidak seberapa atau tidak ada atau bahkan jika REDD itu tidak jadi dilakukan, sepertinya tahun 2014 pun akan melentur menjadi tahun entah.

catatan:

Saya tidak menemukan SK Menhut no.101/menhut-II/2004 ini di website Dephut, sebagaimana juga Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 162/Kpts-II/2003 yang digantikannya.

2 komentar: