21 Januari 2009

Burung Kakaktua dan Rencana 32 Hektar Hutan Bagi Limbah PT Newmont Nusa Tenggara

Proses penambangan emas yang dilakukan oleh Newmont Mining Corporation di Batu Hijau sumbawa Barat, NTB diakui oleh dunia sebagai salah satu penambangan emas terbaik, dalam arti lebih ramah terhadap lingkungan dan manusia.Misalnya saja, dalam proses pemisahan emas dari konsentrat lain, apa yang dilakukan PT Newmont Nusa Tenggara [PT NNT] berbeda dengan yang dilakukan oleh penambang rakyat/Newmont di Peru dan Ghana [memakai merkuri] atau perusahaan emas lainnya atau perusahaan newmont di lahan tambang lain [proses heap leaching yang mempergunakan sianida]. Newmont di Batu Hijau ini mempergunakan teknologi pengapungan yang tertala dengan baik dan tidak beracun [informasi berbeda bisa dilihat sini- dimana PT NNT memakai sianida].

Yang menjadi masalah adalah belum ada teknologi yang bisa menghilangkan limbah hasil galian. Padahal di Batu Hijau ini untuk menghasilkan satu ons emas [31 gram] ada lebih kurang 250 ton batu dan bijih yang harus digali dan ini belum dihitung limbah tailingnya. Ada dua metode yang dipakai Newmont untuk membuang limbahnya itu: pertama, untuk membuang limbah tailing dipergunakan dengan metode STD atau Submarine Tailing Disposal atau dengan cara membuang limbah tailing ke laut dalam [tailing dialirkan lewat pipa sepanjang 13 km sampai pantai, diteruskan dengan pipa sepanjang 3,2 km ke arah laut dan dibuang pada kedalaman 100m - sebuah metode yang sebenarnya sudah banyak dilarang di negera -negara maju, termasuk Amerika sendiri. Sementara untuk limbah batuan digunakan cara penimbunan di area sekitar tambang yang dulunya adalah hutan alam. Area tempat penimbunan limbah batuan ini sekarang sudah menjulang tinggi hampir menggantikan gunung yang dulunya setinggi 550 meter tempat penambangan yang sekarang sudah menghilang dan bahkan dalamnya sudah mencapai 105 meter di bawah permukaan laut.

Gugatan pemerhati lingkungan terhadap metode STD ini sudah sering dilakukan, dan bahkan sudah pernah masuk ke pengadilan walaupun bukan Newmont Batu Hijau yang didakwa, tetapi PT Newmont Minahasa Raya [NMR]. PT NMR diduga mencemari wilayah Teluk Buyat tempat dimana pembuangan limbah tailingnya berada. Putusan pengadilan akhirnya membebaskan dakwaan terhadap PT NMR, karena terbukti tidak ada pencemaran yang dilakukan oleh PT NMR. Sekarang, kekawatiran yang sama dilayangkan ke PT Newmont Batu Hijau karena penggunaan metode STD-nya itu. DTE memberitakan telah terjadi kebocoran di pipa STD PT NNT pada tahun 2005 yang memicu tekanan pada pemerintah Indonesia untuk tidak memperpanjang ijin STD PT NNT.Pemerintah Indonesia sendiri melakukan manuver aneh dalam proses perpanjangan ini dengan cara memperpanjang proses birokrasi pemberian ijin dan sekaligus juga menunjukkan, dalam banyak hal, kebijakan pemerintah Indonesia dalam hal STD. Proses perpanjangan ijin STD itu yang dulunya hanya menjadi wewenang dari pemerintah pusat, sekarang tidak lagi dengan cara melibatkan pemerintah daerah berupa harus adanya rekomendasi dari Bupati Kabupaten Sumbawa Barat dan Gubernur NTB.

Dalam soal penimbunan batu galian, PT Newmont batu Hijau juga menghadapi masalah. Ternyata setelah 10 tahun beroperasi, tempat penimbunan limbah batuan itu sudah tidak cukup lagi menampung limbah batuan. karena itu sekitar tahun 2005, PT Newmont mengajukan ijin penggunaan 32 hektar hutan sebagai tempat penimbunan limbah batuan. Namun pemeritah Indonesia sampai sekarang belum memberikan lampu hijau, walaupun ada "ancaman" dari PT Newmont: jika tidak ada hutan yang diizinkan untuk dijadikan tempat penimbunan limbah, maka akan ada PHK bagi pekerja Indonesia [ngomong-ngomong, metode ini cukup ampuh menakuti pemerintah Indonesia dalam kasus pemberian SP3 bagi 13 perusahaan kayu pemasok bahan mentah bagi PT Indah Kiat dan RAPP - dua perusahaan kertas dan bubur kertas raksasa di Riau].

Alasan belum keluarnya ijin itu, takjubnya, adalah karena adanya kekawatiran akan nyaris punahnya burung kakaktua jambul kuning di Sumbawa jika lahan hutan kembali berkurang. Tentu saja, saya angkat topi dengan alasan itu, yang menunjukkan pemerintah Indonesia lebih memperhitungkan keberadaan Burung Kakaktua daripada keuntungan besar yang akan diraih dengan diberikannya ijin pemakaian 32 hektar hutan tersebut.

Namun, saya rasa, alasan ini terlalu naif untuk dipercaya. Belum lagi dengan alasan: kan hanya 32 ha ini; bandingkan dengan alih fungsi hutan menjadi perkebunan sawit yang jumlahnya ratusan ribu hektar. Mungkin alasan sebenarnya terletak pada tarik menarik proses divestasi PT NNT yang sekarang sudah masuk ke proses Arbitrase. Ijin penggunaan lahan itu dapat digunakan sebagai alat penekan kepada PT NNT untuk mengikuti maunya pemerintah. Jika alasannya adalah burung kakaktua jambul Kuning, meminjam ungkapan bahasa Inggris: I'm not buying it.

Sumber bacaan: "The real Price of Gold" National Geographic, January 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar