17 Februari 2009

Aturan peralihan dalam Sistem Hukum Indonesia: Berkaca Pada Aturan Peralihan UU 4/2009

Sebuah aturan peralihan dalam sebuah peraturan perundang-undangan di negeri ini biasanya tidak pernah menyulut perdebatan. Aturan peralihan diterima di negeri ini seperti menerima matahari terbit dari timur. Saya merasa ada yang seharusnya diperhatikan dalam hal aturan peralihan ini. Untunglah ada aturan peralihan dalam UU No. 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu bara [selanjutnya:UU 4/2009] yang karena ditetapkan "tidak biasa" dengan umumnya aturan peralihan ditulis, telah - sebenarnya masih - menyulut perdebatan.

Aturan peralihan?

Sepanjang yang saya tahu, aturan peralihan dalam peraturan perundang-undangan kita mengatur hal-hal seperti ini:

[1] penyesuian isi peraturan lama dengan peraturan baru: jika isi peraturan lama tidak bertentangan dengan peraturan baru maka ia tetap berlaku [biasanya merujuk pada peraturan pelaksana dari peraturan lama];

[2] semua konsekuensi hubungan hukum atau tindakan hukum [misal, penetapan kawasan atau pemberian ijin] berdasarkan peraturan lama tetap berlaku berdasarkan peraturan yang baru;

[3] penyimpangan/penundaan sementara terhadap hubungan hukum atau tindakan hukum tertentu;

Point [2] dan [3] di atas berhubungan sangat erat, karena beberapa hal: pertama, setelah sebuah peraturan baru berlaku, maka segala hubungan hukum yang ada atau tindakan hukum yang terjadi baik sebelum, pada saat maupun sesudah peraturan baru itu dinyatakan berlaku, harus tunduk pada peraturan yang baru. Walaupun demikian, penyimpangan/penundaan [sementara] dapat diberlakukan dengan kejelasan statusnya. Misalnya, apa konsekuensi terhadap pengajuan ijin yang diajukan pada saat peraturan lama masih berlaku, tetapi di tengah jalan peraturan lama itu dicabut dengan peraturan baru.

Kedua, berhubungan erat jika peraturan baru tersebut ternyata diberlakusurutkan [kecuali pada peraturan tentang pidana dan atau pemidanaan yang tidak diperbolehkan diberlakusurutkan serta dengan syarat, pemberlakuan surut itu tidak boleh memberikan beban konkret pada masyarakat] maka penyimpangan/penundaan [sementara] dapat diberlakukan.

Penyimpangan/penundaan sementara ini mengindikasikan bahwa sebenarnya sejak peraturan perundangan baru diterbitkan, semua hubungan/tindakan hukum harus tunduk kepada aturan baru tersebut, biarpun hubungan hukum/tindakan hukum sudah dilakukan semasa peraturan lama. Ia harus disesuaikan dengan peraturan baru.

Penyimpangan/penundaan sementara penting diberikan pada situasi di atas, karena perlu waktu, tenaga, biaya untuk melakukan penyesuaiaan itu. Pada titik ini, pembuat undang-undang/pelaksana undang-undang perlu mempertimbangkan diadakannya kompensasi pada mereka yang terkena langsung maupun tidak langsung pengaruh akibat lahirnya peraturan baru itu.

Kompensasi tidak selalu harus diartikan pemberian uang/subsidi/insentif fiskal, tetapi bisa juga berwujud pengurangan waktu dan biaya administrasi perijinan, pemberian keistimewaan dalam informasi2 yang diberikan oleh pemerintah,dll.

Aturan Peralihan dalam UU 4/2009

mari kita lihat aturan peralihan dalam UU 4/2009. Aturan peralihan UU 4/2009 itu hanya memberikan penyimpanan sementara bagi pemegang KK dan PKP2B, dua bentuk perijinan pertambangan yang didasarkan pada kontrak. Sedangkan dalam UU 4/2009 ini perijinan pertambangan dilakukan dalam bentuk pemberian ijin dari pemerintah. Aturan peralihannya sendiri memiliki 4 pasal, yakni pasal 169 sampai dengan pasal 172.

Yang banyak dipermasalahkan adalah pasa 169 saja yang isinya adalah sebagai berikut:

a. Kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara yang telah ada sebelum berlakunya Undang-Undang ini tetap diberlakukan sampai jangka waktu berakhirnya kontrak/perjanjian.

b. Ketentuan yang tercantum dalam pasal kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara sebagaimana dimaksud pada huruf a disesuaikan selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan kecuali mengenai penerimaan negara.

c. Pengecualian terhadap penerimaan negara sebagaimana dimaksud pada huruf b adalah upaya peningkatan penerimaan negara.

Sementara Pasal 170 sampai dengan Pasal 172 merupakan kondisi-kondisi khusus yang harus disesuaikan akibat lahirnya UU 4/2009. Pasal 170 mengatur keharusan pemegang KK yang sudah berproduksi melakukan kegiatan pemurnian dengan deadline 5 tahun setelah UU 4/2009 terbit; pasal 171 dan Pasal 172 berhubungan dengan hubungan hukum berupa penyesuaian dalam tahapan perijinan [penyesuian apa pada pemegang KK dan PKP2B yang telah masuk tahapan eksplorasi sampai produksi serta bagi mereka yang baru mengajukan permohonan]. Ketiga pasal ini sepertinya tidak terlalu diperhatikan karena ia merupakan konsekuensi lanjutan dari pasal 169.

Bahkan menurut saya, pasal 170 bersifat pengulangan dan parsial. Pengulangan karena, jika pemegang KK sudah memenuhi peraturan pasal 169, dengan sendirinya kewajiban yang disebutkan dalam pasal 170 jo. Pasal 103 ayat [1] sudah masuk dalam penyesuaian ketentuan kontraknya. Parsial, karena kewajiban pasal 103 ayat [1] bukan hanya pemurnian tetapi juga pengolahan. Apakah ini bentuk kompensasi itu?

Contradictio interminis?

Menurut banyak kalangan Pasal 169 itu masuk kategori contradictio interminis atau ada pertentangan internal, yakni antara pasal 169 a dengan pasal 169 b. Pasal 169 a berisi pernghormatan pada kontrak yang ada sementara pasal 169 b berisi keharusan pemegang KK dan PKP2B menyesuaikan isi kontraknya dengan aturan yang diatur dalam UU 4/2009.

Penghormatan pada kontrak merupakan azas penting dalam teori hukum. "Kontrak adalah suci". Sementara dalam KUHPerdata, kontrak berlaku seperti UU bagi pembuatnya. Penghormatan pada kontrak selalu digembar-gemborkan oleh pemegang KK atau PKP2B setiap kali ada tekanan atau tuntutan, baik itu dari kalangan pemerintah atau masyarakat. Para penghormat kontrak ini melakukan demikian, bukan hanya karena mereka umumnya asing dan memakai sistem hukum yang berbeda, tetapi juga karena mereka tidak nyaman dengan atmosfir ketidakpastian hukum di Indonesia. Peraturan lahir begitu saja, seolah gampang dan hasilnya silang sengkarut dengan peraturan lainnya. Sepertinya tidak ada yang benar-benar melakukan semacam Regulatory Impact Assessment sebelum sebuah peraturan dilahirkan, sehingga bisa diperkirakan permasalahan yang timbul kemudian.

Mau tidak mau kita harus mengakui kekacauan seperti tidak baik bagi, bukan hanya pelaku usaha, tetapi keseluruhan bangsa ini. Dan memang harus ada tindakan segera untuk meluruskannya.

Tapi mari masuk lagi ke permasalahan 'contradictio interminis" ini. Saya tidak akan terkejut jika suasana ini lahir dalam bidang pengelolaan hutan; yang sistem pemberian ijin pengusahaan hutannya berubah-ubah dari permohonan ke lelang lal balik lagi ke permohonan dalam jangka waktu kurang dari satu dekade, tetapi berbeda dengan sistem pengelolaan yang berlaku di pertambangan.

UU No 11/1967 telah berlaku lebih dari 4 dasawarsa dan selama itu sistem pengelolaan pertambangan berlaku dual lisensi: ijin dan kontrak. Kontrak Karya sudah ada bahkan sebelum UU No 11/1967 lahir dan PKP2B lahir di tahun 1982-an. Cukup lama kedua bentuk kontrak pertambangan ini bertahan tanpa usikan dari luar. Sementara ijin ada dalam bentuk KP.

Permasalahannya hanya sedikit KK yang dibuat yang diimplementasikan di lapangan. Dalam hal PKP2B, hanya pemegang kontrak PKP2B generasi pertama yang sekarang ini tetap menjadi penyumbang terbesar produksi batu bara, padahal ada generasi selanjutnya PKP2B yang tidak terlacak baunya. Ada kontraknya tetapi kegiatan di lapangan nihil.

Kondisi ini dipandang oleh kalangan DPR sebagai bentuk lemahnya sistem kontrak [yang memang 'mendudukkan' pemerintah setara dengan pelaku usaha]. Pemerintah agak kesulitan - ditunjang dengan SDM yang lemah - untuk mengawasi dan melakukan renegosiasi kontrak. Karena itu diambil tindakan ekstrim untuk merubah semua sistem perijinan dalam pertambangan menjadi hanya ijin. Dengan harapan, dengan sistem ijin, posisi pemerintah menjadi lebih kuat dan diharapkan penerimaan negara dari pertambangan menjadi lebih besar.

Lalu lahirlah Pasal 169 UU 4/2009 tersebut. Dalam Pasal 169 a, Pemerintah menghormati sistem kontrak yang ada dengan tidak meminta pada pemegang KK dan PKP2B yang sudah ada untuk merubahnya menjadi sistem perijinan. Karena sepertinya pemerintah tidak lagi mempedulikan bentuknya kontrak atau ijin. Sistem kontrak dalam pertambangan [KK/PKP2B] tetap ada sampai batas waktu akhir dari KK/PKP2B terakhir.

Tetapi pemerintah punya ketentuan tersendiri dalam sistem baru ijinnya itu. Karena dalam azas hukum yang umum berlaku, sebuah perjanjian/kontrak tidak boleh bertentangan dengan hukum, kesusilaan dan kepatutan yang berlaku, maka ketentuan dalam kontrak yang dirasa tidak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UU 4/2009, harus disesuaikan. Jika tidak disesuaikan malah fatal, karena KK/PKP2B bisa saja batal demi hukum, karena bertentangan dengan hukum yang berlaku.

Pemerintah juga membuat pengecualian: yakni tidak termasuk dalam hal penerimaan negara. Jadi di luar penerimaan negara, harus disesuaikan dengan ketentuan dalam UU 4/2009. Penundaan sementara atas ketentuan UU 4/2009 juga sudah ditetapkan waktu akhirnya.

Pemerintah sendiri sepertinya ingin mencari jalan termudah: meminta satu per satu pemegang KK/PKP2B melakukan negosiasi - tanpa ada faktor pemaksa yang kuat dari segi hukum - dipandang akan memakan waktu dan berlarut-larut dengan hasil yang belum tentu memuaskan konstituennya [warga masyarakat Indonesia] mengingat bisa saja ada perbedaan hasil negosiasi. Lebih baik tetapkan satu ketentuan umum setingkat UU yang mengikat dan meminta mereka [juga dengan UU] untuk menyesuaikan kontraknya [yang katanya setingkat dengan tetapi bukan UU] dengan ketentuan yang ada di dalam UU 4/2009.

Perlu diketahui, dalam PKP2B sebenarnya punya ketentuan tentang Perubahan ketentuan-ketentuan tertentu dalam perjanjian PKP2B [walau terbatas pada pembagian hasil], yang dilakukan pertama kali pada tahun kelima setelah operasi produksi dilakukan dan dilakukan setiap lima tahun sampai kontrak berakhir. Alasannya karena adanya perbedaan situasi dan peraturan antara ketika kontrak ditandatangani dan kondisi terkini yang bisa mempengaruhi pembagian hasil. Jika dalam negosiasi itu tidak ada kesepakatan, maka ia tidak menjadi objek sengketa di arbitrase dan negosiasi harus terus dilakukan sampai ada kesepakatan [aneh, kenapa pemerintah selalu takut jika ingin melakukan renegoisasi karena takut di bawa ke arbitrase, padahal dalam kontraknya sendiri tidak demikian]. Bahkan ada PKP2B yang menyebutkan bahwa sebagian atau seluruh kontrak ini bisa disesuaikan dengan peraturan-peraturan baru yang lahir setelah PKP2B ditandatangani [walaupun ada syaratnya: menguntungkan kontraktor dan disetujui oleh pemerintah].

Intinya, negosiasi kontrak dimungkinkan bahkan oleh kontrak itu sendiri atau bahwa suatu saat negosiasi isi perjanjian akan terjadi juga. Dan ketika UU 4/2009 lahir dengan ketentuan pengelolaan pertambangan yang berbeda dengan ketika KK/PKP2B itu ditandatangani, maka negosiasi mau tidak mau harus dilakukan.

Pasal 169 menjadi faktor pemaksa bagi pemerintah dan pemegang KK/PKP2B untuk duduk bersama dan melakukan negosiasi dalam payung negosiasi yang jelas. Tinggal ditelusuri ketentuan apa dalam KK/PKP2B yang tidak sesuai dengan UU 4/2009.

Hal lain yang perlu dipertimbangkan juga adalah bentuk kompensasi apa yang bisa diberikan jika ternyata hasil dari negosiasi itu berpotensi merugikan sisi ekonomi dari pemegang KK/PKP2B? Pemberian kompensasi itu sendiri jangan sampai membuat pemerintah membuat kompromi dalam menerapkan ketentuan yang jelas diatur dalam UU 4/2009, misalnya dalam ketentuan pengelolaan lingkungan hidup.





Download di sini

1 komentar: