Sungguh akan sulit menjadi pengusaha minyak di masa yang tidak akan terlalu jauh lagi. Sebuah laporan dari fisikawan Oxford membuka jalan bagi masyarakat/individu yang dirugikan karena akibat perubahan iklim melakukan tuntutan hukum ke perusahaan minyak. Salahnya adalah, masih dari berita yang sama, karena perusahaan minyak ini menjadi aktor utama terjadinya perubahan iklim.
Selama ini peristiwa alam yang terjadi selalu dianggap sebagai "kuasa tuhan", namun nampaknya di masa yang akan datang, seiring dengan majunya ilmu pengetahuan kita akan mendapati abhwa dalam kadar tertentu, perbuatan manusialah yang menyebabkan itu terjadi. Hal tersebut terjadi karena perbuatan manusia menjadi aktor utama terjadinya perubahan iklim yang dilakukan hanya kurang dari 3 abad.
Walaupun demikian, tuntutan hukum tetap akan sangat sulit ketika masuk dalam pembuktian. Karena sulit untuk menemukan "single faktor" terjadinya kenaikan co2 yang berakibat pada perubahan iklim. Apalagi menemukan bukti bahwa kejadian tertentu, misalkan banjir yang diakibatkan naiknya permukaan laut atau kekeringan yang amat sangat, diakibatkan "langsung" oleh adanya perusahaan minyak.
Terobosan hukum sebenarnya sudah membuka pintu - mungkin sedikit - pada terjadinya tuntutan seperti itu, di mana akibat tidak selalu dibuktikan tepat lahir dari adanya sebab tertentu. Misalnya adalah dalam kasus mesothelioma [lihat bagian legal issunya] yang diakibatkan oleh asbes, di mana dalam kasus yang sudah diputus di MA-nya Inggris menyebutkan bahwa "....past employers can be liable for having contributed to the overall exposure, though the harm cannot be scientifically attributed to any specific period of employment....".
Terobosan kedua adalah dengan menuntut pada adanya penyelewengan informasi yang dilakukan oleh perusahaan minyak untuk menutupi kontribusinya pada perubahan iklim. Kasus ini sejalan dengan kasus yang menimpa perusahaan rokok di US yang tidak memberikan informasi yang sebenarnya mengenai bahaya merokok.
Nah, di Indonesia, sebagaimana juga di Prancis, dimana tuntutan kerugian sangat sulit dilakukan, akan menghadapi tantangannya. Hukum lingkungan di Indonesia sebenarnya menganut paham "strict liability" dimana perusahaan yang diduga melakukan pencemaran lingkungan harus serta merta mengganti kerugian akibat perbuatannya itu tanpa harus dibuktikan sebab akibatnya/kesalahannya terlebih dahulu. Tetapi bagaimana itu dilakukan? hemh....Sebenarnya gampang: penuntut hanya perlu membuktikan bahwa kerugian itu terjadi dan perusahaan tersebut bertanggung jawab. Tapi, perusahaan juga tinggal membuktikan bahwa kesalahan itu tidak terjadi. Konsep ini juga ada dalam hukum konsumen. Contohnya, misalkan ada orang keracunan karena memakan mie merk tertentu. Pemilik merk mie itu bertanggung jawab untuk mengganti kerugian yang terjadi kepada orang itu, biarpun dia sudah melakukan segala upaya untuk mencegah masuknya zat beracun ke dalam produk mienya itu. Dalam kasus nyata tentang pencemaran lingkungan yang melibatkan PT NMR, putusan hakim membebaskan PT NMR karena unsur kesalahan bisa dibuktikan tidak ada oleh pembela, biarpun penuntut sudah menunjukkan adanya kerugian dari masyarakat Teluk Buyat.
Jadi, tunggu aja.....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar